Minggu yang cerah. Kami mempunyai rencana menarik hari ini. Rencana tidak terduga kuutarakan pada Haikal yang menemaniku menyapu pagi kemarin. Pantai pesisir barat selalu menyisakan rasa terdalam bagiku. Sejak dulu, pantai semenanjung barat selatan ini membawa angin tersendiri yang sangat menusuk, kecuali minggu pagi dua puluh enam Desember di tahun yang enggan kusebut angkanya. Siapa pun tahu, jerita pilu hidup kami tidak pernah bisa terlupa. Kisah itu sudah menjadi kenangan panjang dan bahan cerita kepada anak cucu. Musibah besar itu meniadakan yang ada dan menghadirkan yang belum ada sehingga kami benar-benar tegar dalam menjalani hidup.
Pagi ini. Berbeda dengan tahun luka itu. Di hari Minggu yang berisik pohon kelapa, daun nipah, pohon yang mendapat tempat tersendiri bagi umat kristiani; terdengar alunan syahdu memainkan nada kehidupan di atas not-not terindah ciptaan Tuhan. Pantai tujuan kami ini bukan tempat khusus yang sudah dibangun tenda-tenda kecil seperti pantai lain. Kami sengaja mencari tempat yang jarang dikunjungi orang lain. Sepanjang jalan menuju Banda adalah pantai dengan hamparan lautan lepas. Kami hanya perlu mencari tempat yang lebih bersih dari kotoran lembu, tanah lapang dan teduh payung daun kelapa. Pantai ini tak berpenghuni, hanya Dia yang memiliki. Bebas saja kami ingin berada di sana. Jauh dari teriakan-teriakan orang banyak yang sedang menghibur diri. Jauh dari orang-orang jualan karena persediaan makan sudah kami bawa sendiri.
Aku memarkirkan mobil di samping mobil Bang Mul. Di salah satu pantai perawan. Beberapa pohon kelapa menjulang tinggi. Tidak terlihat sampah berarti semacam botol minuman maupun makanan. Pilihan kami benar. Pantai ini masih belum dijadikan tempat nongkrong oleh anak muda masa kini dengan beragam gaya.
Kami menggelar tikar pandan di antara empat pohon kelapa membentuk persegi empat. Dari atas terlihat beberapa buah kelapa yang sudah berwarna kecokelatan. Jika nasib nahas menjumpai, maka kelapa itu akan ditarik gaya tarik Bumi. Jika beruntung kami bisa menghindar, jika tidak maka di antara kami akan menjadi korban kelapa jatuh.
Dari mobil Bang Mul turun Ibu, Kak Sita, Isra dan Asri. Dari mobilku, mudi-mudi penuh gairah dan semangat, terkecuali Asma. Semenjak dari rumah, Irus yang badannya lebih besar dari kami semua tak hentinya bercerocos dan geli-geli senang karena tak pernah naik mobil mewah. Risma yang fobia terhadap mobil, belum setengah jalan sudah muntah-muntah. Misan lain pula tingkahnya, begitu mobilku meninggalkan Kampung Pesisir, sudah tertidur pulas dan terbangun saat mobil kuparkirkan.
Bang Mul satu-satunya laki-laki dalam rombongan kami. Maksudku, yang datang bersama kami. Haikal membuntuti kami dengan sepeda motornya. Mungkin karena tidak kuminta mengajak seorang teman, Haikal terlihat datang sendirian. Kukutuk diriku yang terlambat mengeluarkan suara. Belum tentu Haikal merasa nyaman bersama Bang Mul. Walaupun kami tetangga dekat, Haikal dan Bang Mul belum pernah terlibat dialog serius satu sama lain. Harus kuakui sendiri, hubungan Haikal dengan Bang Mul entah berada di langit mana. Sebenarnya tidak ada apa-apa di antara mereka, mungkin perasaanku saja yang terlalu berlebihan menilai sikap keduanya. Aku begitu sensitif merasakan sesuatu yang berbeda. Satu hal yang pasti, Bang Mul sangat menginginkaku tidak dekat dalam arti apapun dengan Haikal. Bang Mul tidak pernah mengutarakan isi hatinya. Aku saja yang berprasangka buruk terhadap kemungkinan dalam hati Bang Mul. Omelan Mak Sari dan Dara cukup jadi alasan Bang Mul menjauhkanku dengan Haikal. Aku bukan lagi remaja yang menggantungkan hidup dalam roman picisan. Aku membiarkan sesuatu yang menurut sebagian besar orang menarik berjalan dengan sendirinya. Antara aku dengan Haikal, kami tetap baik-baik saja sebagai tetangga dan sahabat sejak kecil.
Kami mulai sibuk dengan aktivitas masing-masing. Misan dan Risma bertugas mengiris-ngiris bawang, tomat, cabai rawit, dan jeruk nipis. Irus dan Kak Sita memberi garam dan bumbu lain pada ikan yang akan kami bakar. Aku, Isra dan Asri malah berleha-leha tanpa mengerjakan apa-apa. Jarak lima langkah Haikal menggali tanah horizontal ke barat sepanjang dan sedalam kira-kira satu jengkal menggunakan cangkul yang sengaja kami bawa. Sedangkan Bang Mul berusaha menghidupkan api di tengah desis angin semilir. Api itu dinyalakan pada tempurung kelapa kering yang nantinya akan dimasukkan ke dalam lubang yang sedang digali Haikal. Saat membakar ikan nanti, kami tidak perlu mencari penyangga karena langsung meletakkan panggang di atas lubang berisi arang tersebut.
Angin laut terhembus tak tentu membuat Bang Mul kesusahan menyalakan api. Haikal yang bekerja lebih cepat sudah selesai menggali tanah berwarna kecokelatan. Dengan suara yang samar kudengar mereka saling berbincang sebelum menuangkan tempurung kelapa ke dalam lubang yang sudah digali. Haikal mengambil daun kelapa yang sudah kering tak jauh dari mereka. Sedikit berjongkok, Haikal mengarahkan daun kelapa kering di antara tempurung yang tidak tersusun rapi di dalam lubang yang baru saja digalinya. Haikal berusaha keras menghidupkan api yang tak mau menyala di tengah angin sepoi-sepoi.
Aku memalingkan wajah ke arah lautan lepas. Ombak berkejaran. Di tengah lautan tampak bongkahan kecil terombang-ambing tak tentu arah. Perahu nelayan sedang menjala ikan di tengah terik matahari. Dapat kurasakan bagaimana panasnya di tengah lautan; kulit jadi kering dan menggelap, dahaga, apalagi jika tangkapan sedikit sudah pasti terbawa emosi ke pemikiran negatif.
Saat aku kembali berpaling ke arah Haikal dan Bang Mul. Api sudah menyala. Bang Mul kalah telaten dibandingkan Haikal. Bang Mul berdiri di samping Haikal sambil sesekali mencondongkan badan ke arah api yang semakin membesar. Sebentar lagi kami akan membakar ikan yang sudah dibumbui di atas arang tempurung kelapa kering.
“Bagaimana nasib nelayan itu di tengah lautan?” tanyaku entah kepada siapa. “Panas, haus, lapar…,”
“Mereka sudah terbiasalah di laut, sudah pasti mereka paham betul cara mengatasi masalah yang kamu khawatirkan,” ujar Ibu.
“Benar juga. Apalagi air laut tidak berubah jadi panas di sana,” lanjutku kemudian. Pura-pura paham dengan teori yang sebenarnya memang sudah benar adanya. Air laut tidak berubah jadi panas mendidih, kulit manusia yang dibakar matahari di tengah lautan tentu berubah bukan?
Bisa kubayangkan seandainya air laut mendadak panas di siang hari. Sudah tidak berbentuk lagi seisi bumi ini. Jika dibandingkan jumlah dataran dan lautan tentu sangat luas laut di planet bernama Bumi. Begitulah, begitu besar dan kuasa ciptaan-Nya. Dia menempatkan sesuatu sesuai porsinya, untuk merayakan keseimbangan kehidupan di dunia. Dan aku, masih merasa belum bersyukur dengan apa yang sudah diberikan-Nya terhadap hidupku.
Bang Mul memberi aba-aba ikan sudah siap dibakar. Memang benar, nyala api yang barusan besar sekali dari dalam lubang yang digali Haikal sudah tidak terlihat. Aku membawa nampan berisi ikan yang sudah dibumbui beserta pemanggang yang terbuat dari besi. Pemanggang itu berbentuk persegi empat dengan lebar sebesar kira-kira 12 inci, bentuknya seperti buku yang bisa dibuka tutup, di salah satu bagian terdapat pengait untuk merapatkan pemanggang tersebut saat diisi ikan.
Haikal menyambut kami dengan sumringah. Kami langsung meletakkan enam ikan tongkol sebesar lengan balita di atas pemanggang. Setelah pemanggang itu dikaitkan dan tertutup kuat, Haikal meletakkannya di lubang berisi arang panas tempurung kelapa. Sebelum itu, di dua sisi lubang terlebih dahulu diletakkan pelepah kelapa kering supaya pemanggang tidak langsung menyentuh tanah.
Saat yang kutunggu telah tiba, duduk di dekat ikan yang sedang dibakar bagaikan duduk di depan perapian saat musim dingin di Amerika. Bedanya, badanku di sini tidak terasa hangat melainkan berubah panas menggelora. Haikal tersenyum jahil seakan mengejekku yang sedang menemani ikan di atas bara arang menunggu matang.
“Cocok!” ujar Haikal sambil nyengir. Haikal berdiri di sampingku yang sedang mengipasi ikan di atas pemanggang dengan kipas plastik bergambar boneka mengenakan gaun berwarna merah muda.
“Cocok apanya?” tanyaku sewot.
“Cocok saja,” logat bicara Haikal masih ganjil. Tidak kuketahui dengan pasti apa yang terlintas dibenaknya. “Jangan dikipas terus, nanti kedinginan ikan itu apalagi sudah kena angin laut!”
“Biar cepat gosong!” aku berlagak cuek. Padahal memang benar ucapan Haikal. Angin yang mengalun menyentuh pipiku cukup membawa kipasan tersendiri pada ikan yang sedang kami bakar.
“Wah, bisa pahit ikan bakar ala chef Amerika!” gurauan Haikal sepertinya makin panjang.
“Dari pada manis terus kayak kamu, susah-susah disembunyiin tercium juga baunya ke mana-mana!”
“Kamu baru sadar aku manis ya?”
“Iya, kegeeran kamu, kan?”
“Enggak. Kamu kali yang susah sembunyiin aku dari matamu,”
“Enak saja, ngapain aku sembunyiin kamu di balik mataku?”
“Karena aku manis,”
“Karena kamu nggak penting banget dipelihara,”
“Karena aku susah disembunyiin katamu,”
“Kamu bau sih,”
“Ah masa? Manis itu rasa di mulut, mana mungkin tercium sampai hidung!”
“Sekarang sudah berubah, kamu saja yang nggak paham itu!”
“Oh, teori baru dari Amerika ya?”
“Lagi-lagi itu!”
“Kamu sendiri yang bilang seperti itu. Mungkin benar, mungkin juga salah. Nama juga master Amerika lawan mister tamatan SMA, sudah jelaslah beda derajatnya. Badanku boleh kokoh bagai baja tetapi dibandingkan denganmu, aku bagai lintah kena air sabun!”
Lama-lama Haikal menjurus ke hal-hal yang tidak penting. Seperti biasa, raut wajah Haikal tidak memperlihatkan bahwa dirinya sedang dalam posisi serius. Haikal menyungging senyum termanis kepadaku yang merasakan hawa panas dari bawah pemanggang ikan.
“Ikannya dibalik, Nong! Sudah gosong sebelah itu,” suara Bang Mul terdengar datar. Bang Mul berdiri tidak jauh dari tempatku mengipasi ikan di atas arang tempurung kelapa yang tinggal sisa.
Karena terburu-buru, aku memegang sembarangan saja pemanggang ikan itu. Aku melonjak sambil menjerit. Haikal menarik lenganku menjauh dari lubang berisi arang yang masih panas. Pemanggang besi panas itu jatuh dan ikan tongkol hampir matang berserak ke rumput. Hampir saja aku mengalami gaya teromantis dalam film-film cinta. Tidak bisa kubayangkan jika Haikal memelukku. Mata kami saling tatap, diiringi lagu slow menambah nikmat khayalan tingkat tinggi.
Ibu tak kalah terkejutnya. Dengan wajah pias, Ibu menghampiriku yang sudah berdiri tegak. Haikal dengan Bang Mul memungut ikan tongkol yang berserak dalam diam. Dari bahasa tubuh Bang Mul, kurasakan tidak sukanya pada Haikal. Dibandingkan dengan kedua abangku yang lain, Bang Mul paling perasa dan mendiamkan banyak masalah sehingga sulit untukku menebak isi hatinya. Sifat itu membuat petaka bagiku kemudian hari, biasanya sesuatu yang dipendam Bang Mul akan meledak pada saat semua masalah itu matang.
Dan yang lain, peserta acara makan-makan keluarga kami ini, mereka terbahak melihat petaka yang menimpaku.
“Makanya Nong, lain kali belajar dulu tata cara bakar ikan dari kamus alam!” Misan mencoba mencairkan suasana.
“Kamus alam apa maksudnya?” tanya Irus.
“Kamu tidak tahu? Pertama, perhatikan tingkat kematangan ikan yang sedang dibakar, kalau kira-kiraudah cukup matang kita wajib menukar posisi yang bawah ke atas yang atas ke bawah. Sebelum itu ambil kain atau sejenisnya untuk memegang pemanggang supaya tidak panas, baru dibalik,” ujar Misan seakan benar serius.
“Semua juga tahu kalau begitu!” protes Risma.
Setelah itu, kami lebih banyak diam. Semua ikan selesai dibakar. Walau tidak sepenuhnya tidak bersuara, sesekali ketiga sahabatku protes ikan yang terlalu matang, Irus yang kepedasan setelah menggigit cabai lantas minum banyak sampai lupa nasi masih setengah piring.
Bang Mul dan Haikal duduk berdekatan dalam rasa canggung. Bang Mul menghabiskan hampir dua ikan tongkol seorang diri. Haikal belum menghabiskan satu ikan saja. Haikal tentu bukan laki-laki yang makan dengan porsi sedikit, pasti makanannya dua kali lipat dibandingkan denganku. Kasihan juga laki-laki itu, sudah kuajak seorang diri tanpa teman laki-lakinya yang lain, kubuat insiden tidak mengenakkan sampai tangannya hampir memelukku utuh, lalu kubiarkan pula dia makan lebih sedikit dari biasanya.
“Tambah lagi, Haikal,” ujar Ibu dengan nada biasa. Haikal mengangguk saja. Kedekatan Ibu dengan Haikal masih penuh tanda tanya. Barangkali Ibu berada di posisi tengah. Menjaga kedekatanku dengan Haikal supaya tidak menuju ke arah yang lebih serius. Mengamati kelakuanku terhadap Haikal sebelum menegur atau menjurus kepada fitnah orang.
Pucuk masalah Ibu sebagai bodyguard di antaraku dan Haikal tak lain karena Dara dan Mak Sari. Karena cinta remaja yang tak kunjung usai dan berlanjut sampai kini. Perlahan-lahan, penilaian Ibu tidak lagi sebatas cinta ingusan yang belum sempat kami bangun. Ibu menjauhkan ragaku dengan Haikal lebih kepada kemapanan hidup. Kekuasaan Ibu yang memiliki segala, tidak mau menerima kelemahan orang lain. Ibu berada di posisi tertinggi di Kampung Pesisir, belum ada yang mampu menandingi dalam hal apapun.
Keluargaku dengan keluarga Haikal sangat timpang sekali. Kami bertetangga. Kami berhadapan tiap waktu. Kubuka pintu depan dari kayu jati dengan ukiran pohon jati pula, langsung kudapati pintu rumah Haikal yang terbuat dari kayu biasa hampir usang. Pintu rumahku menggilap warna cokelat, pintu rumah Haikal sudah memudar warna catnya.
Ketimpangan yang menjadi penghalang hubungan kami. Orang-orang dewasa terlalu sering melihat jauh ke depan, tanpa pernah mempertimbangkan rasa yang kualami. Orang-orang dewasa ini, terlalu cepat mengambil kesimpulan yang sebenarnya belum tentu benar.
Lihatlah dari fisiknya. Haikal adalah kriteria laki-laki idaman. Karena fisik ini pula Dara melempar bara ke hatiku. Perperangan yang tidak pernah meledak menjadi nyata. Kami tidak saling rebut. Tidak saling mengaku. Tidak berterus-terang memiliki.
Dan entah, mungkin dahulu aku lupa memikirkan sebuah hubungan serius dengan seorang laki-laki. Dilihat dari berbagai pandangan, Haikal termasuk ke dalam kategori laki-laki yang pantas diajak ke mana-mana. Perempuan yang berdampingan dengannya tentu sangat beruntung dan memamerkan Haikal sebagai suami sempurna. Sebagai perempuan normal, aku saja bisa tergiur dengan anggapanku sendiri.
Haikal hadir di Kampung Pesisir sebagai laki-laki berbeda. Hanya Haikal seorang yang memiliki paras, tata bahasa, sikap dan tingkah laku berbeda. Kurasa, pantas jika perempuan yang merasa punya kelebihan mau berlomba-lomba mendapatkan Haikal. Namun Haikal mengunci rapat-rapat hatinya untuk dimiliki orang lain. Haikal perkasa dan gagah menolak perempuan lain di sekitarnya. Ternyata, Haikal sangat lemah berhadapan denganku.
Haikal mencari semua yang berhubungan dengan keberadaanku. Asma pernah mengatakan Haikal tinggal di toko di Kota Pesisir Barat. Haikal pulang sekali dalam seminggu, menjenguk ibunya. Pola hidup Haikal justru berubah semenjak kepulanganku. Haikal sudah pulang pergi ke pekerjaannya. Pagi kubuka pintu, Haikal pun membuka pintu. Kadang aku yang lebih dulu mengeluarkan mobil dari garasi, kadang Haikal yang sudah menghidupkan motornya. Kami tidak pernah berangkat beriringan. Lebih sering Haikal yang cepat menarik gas motornya dan tenggelam dari pandanganku. Tapi tiap senja, kami selalu beriringan menuju masjid.
***
Acara bakar ikan keluarga kami begitu cepat tersebar. Bagi yang suka membuat keruh suasana, mencari cara mengarang berita sensasional. Seperti biasa, Mak Sari bercakap-cakap dengan suara sangat keras tepat di saat aku turun dari mobil.
“Orang pintar memang begitu kelakuannya,” Mak Sari memulai dengan mata tajam menatap ke rumah kami. Di kedainya yang sebagian besar barang dagangannya sudah kedaluwarsa, beberapa perempuan duduk menunggu waktu supaya cepat berlalu untuk hari ini.
“Seperti itulah kelakuan lulusan luar negeri, alasan bakar ikan tidak tahunya bawa laki-laki lajang depan rumah!” Mak Sari makin mengeraskan volume suaranya. Tujuan ucapan Mak Sari untuk didenagr keluarga kami. “Sudah jelas si lajang itu tak mau sama dia masih diguna-guna juga. Saya takut ikan bakar itu sudah dikasih ramuan tujuh rupa!”
Kupingku memanas. Sebentar lagi mobil Bang Mul sampai di rumah. Aku harus meredakan ocehan Mak Sari yang jelas-jelas bertujuan menjatuhkanku di hadapan orang lain. Kenapa pula hari ini Mak Sari melihat kami pulang dari pantai. Dan Haikal, motornya menyusul di belakang mobilku. Dengan santainya Haikal memarkirkan motornya persis di depanku. Haikal membuka helm, membenarkan anak rambut, menepuk-nepuk kedua pipinya; seakan sudah lupa insiden kecil di pantai yang membuatnya terasing dari kami semua.
“Benar apa yang saya bilang, bukan?” wajah Mak Sari girang sekali mendapati Haikal di depan rumahku. “Pintar sekali orang itu! Alih-alih bakar ikan satu keluarga tidak tahunya berduaan di bibir pantai. Saya pernah dengar sepasang muda-mudi ditangkap lalu dikawinkan setelah kedapatan berduaan dan berbuat mesum. Bisa malu sekali lulusan luar negeri ditangkap sedang berduaan dengan lajang pengangguran!”
Mak Sari makin terbawa amarah. Perempuan-perempuan lain yang duduk di kedainya berbisik-bisik. Ucapan Mak Sari sudah tepat. Aku dan Haikal ke pantai. Kehadiran keluarga dan teman-temanku akan mereka anggap sebagai pemanis saja.
“Saya dengar, keluarga dia tidak mau sama si lajang pengangguran. Kelakuan dia saja tidak berkelas. Dengar-dengar, biar ditangkap sedang berbuat mesum supaya dikawinkan tanpa mahar!”
Rendahan sekali aku di matamu, Mak Sari?
“Iyalah, dia terlahir sebagai perempuan yang tak tahu malu. Kuliah luar negeri masa selera sama lajang pengangguran!”
Berulang kali Mak Sari menekan suara pada kata pengangguran. Kulirik Haikal yang sedang mengecek isi pesan di ponselnya. Laki-laki ini sudah kebal dengan omongan Mak Sari. Irus, Risma dan Misan tidak bisa mengontrol emosi saat Mak Sari membawa nama mereka dalam percakapan satu arah tersebut.
“Apalagi yang tiga itu! Paling sampai di pantai jadi tukang masak dan tukang kawal. Kalau tidak sudah dari tadi saya dengar berita warga kampung kita ditangkap dan dikawinkan tanpa mahar!”
Pemikiran Mak Sari benar-benar harus kukasih perhargaan khusus. Sengaja Mak Sari mengulang-ulang kata yang sama dengan penuh penekanan.
“Dengar ya, warga kampung kita ini baik-baik semua, dia saja yang gatal seluruh tubuh dari dulu sampai sepulang dari luar negeri!”
Irus yang terlanjur emosi tahu-tahu sudah berada di depan Mak Sari.
“Mak Sari! Mulutmu yang gatal butuh dioles kerupuk dan roti yang sudah dimakan rayap itu!” tunjuk Irus ke dalam kedai Mak Sari. Tak mau kalah, Mak Sari tampak senang mendapatkan lawan. Sudah kuduga, jangan pernah ikut terlibat dalam ocehan Mak Sari.
“Si Irus ini lama-lama makin sama kayak dia, tak ada sopan santun sama orang tua!”
“Dia itu siapa, Mak? Kalau ngomong yang jelas dong!”
“Main jawab lagi, kamu tahu apa masalah orang?”
“Mak Sari tahu apa masalah orang? Masalah Mak Sari apa? Dari tadi nama kami di bawa-bawa. Dia dijelek-jelekkan. Dia itu siapa? Makanya, mulut besar itu mau kuobati pakai kerupuk dan roti yang sudah lembek dari kedai milik pemiliknya sendiri!”
“Jangan salah paham kamu! Kerupuk itu masih keras, roti itu masih manis, beli saja kalau tidak percaya. Kamu pikir dia yang tak laku-laku lalu guna-guna lajang orang?”
Irus tidak mau tinggal diam. Misan dan Risma menemani sebagai pengawal sambil berkacak pinggang. Aku yang berdiri di halaman rumah bersama Haikal sudah merasa sangat tidak nyaman. Aku berharap-harap cemas, semoga mobil Bang Mul dipelankan dan tidak terparkir di depan rumah kami sebelum peperangan usai di tengah jalan itu.
“Kami tidak mau beli kerupuk lapuk!”
“Lapuk katamu? Apa dia sudah guna-guna kamu juga?”
“Dia siapa? Mak Sari kalau ngomong harus jelas!”
“Ya dia, yang guna-guna kamu!”
“Guna-guna apa?”
“Pakai doa-doa!”
“Kayaknya Mak Sari paham betul guna-guna itu? Kami tidak tahu sedang bicara dengan siapa. Tujuan Mak Sari sebut dia juga kami tidak tahy. Jadi lebih baik Mak Sari ambil barang dagangan di dalam kedai dan kasih ke ayam di belakang rumah dari pada makin lapuk di makan rayap!”
“Daganganku tidak lapuk!” Mak Sari mulai frustasi.
“Jelas sekali sudah lapuk. Apalagi ditambah angin kotor yang keluar dari mulut Mak Sari. Angin itu busa membuat kerupuk-kerupuk itu jadi lapuk dan bau!”
“Kamu sama seperti dia!”
“Dia siapa, Mak Sari? Aku tidak ada duanya di Kampung Pesisir!”
“Siapa lagi lulusan luar negeri di kampung kita?” Mak Sari mencibir ke arahku.
“Maksud Mak Sari, Inong?”
Mak Sari tidak menjawab.
Irus melanjutkan, “Kalau dipikir-pikir, Mak Sari ini seperti punya sentimen pribadi sama dia yang ada dalam pemikiran Mak Sari. Saran saja ya, Mak, bilang sama si Dara kalau mau ke luar negeri belajarnya di rumah jangan di pantai tiap minggu!”
“Maksud kamu apa?”
“Aduh, Mak Sari ini bagaimana?”
“Jangan permainkan saya, Irus!” bentak Mak Sari.
“Saya serius, Mak Sari!”
“Apa maksud ucapanmu barusan?”
“Tanya saja sendiri sama perempuan cantik di rumah Mak Sari. Dia yang dimaksud apakah ada di rumah sekarang? Dia sangat mengerti apa yang barusan kita bicarakan.” Irus tersenyum senang. “Jadi, karena tadi pagi kami tidak pamitan, aku minta maaf tidak minta izin bakar ikan ke pantai pada Mak Sari. Kami tidak ajak karena mobil Inong enggan menerima napas bau yang keuar dari mulut penuh dengki Mak Sari. Oh ya, ikannya besar-besar. Asal Mak Sari tahu juga, kami perginya ramai-ramai. Kami makan ikan sambil tertawa-tawa. Kami mandi laut. Kami makan rujak. Kami senang sekali hari ini!”
“Itu urusanmu! Jelaskan dulu apa yang kamu ingin jelekkan pada Dara!”
“Berita bagus, Mak Sari. Kami tidak suka menjelek-jelekkan orang. Kami mau ajak Dara ikut, karena Dara sudah ada janji sama orang lain kami tidak jadi kasih undangan sama dia. Asal tahu saja, kami ketemu Dara sedang berduaan di pantai dekat pohon kelapa tumbang!”
“Jangan asal ngomong kamu!”
“Ini berita bagus, Mak Sari!” Irus mencari dukungan dari Misan dan Risma yang buru-buru memberi anggukan. Mak Sari sudah terpancing. Sebentar lagi Mak Sari akan jatuh ke dalam buaian kata-kata yang tidak berdasarkan fakta dari mulut Irus. Hebat juga Irus bisa bercerita demikian melawan ketangguhan senjata Mak Sari yang belum ada yang mau mengajaknya duel.
“Coba Mak Sari lihat ke dalam rumah? Syukur-syukur Dara sedang belajar, jadi tidak ada kemungkinan ditangkap warga dan dikawinkan tanpa mahar!”
Haikal terbahak mengikuti drama amarah dari diciptakan Irus dan Mak Sari. Mak Sari bergegas ke dalam rumah. Terdengar pekikan tertahan. Perkataan Irus jadi benar, Dara tidak di rumah. Tak lama sudah keluar dengan meletakkan ponsel di telinga kanannya.
“Ke mana anak ini?” suara Mak Sari geram.
“Kenapa Mak Sari?” tanya Irus senang mendapati wajah pias Mak Sari.
“Dara tidak mengangkat telepon,” suara Mak Sari melemah.
“Sedang didamaikan mungkin habis ditangkap orang kampung. Jangan-jangan sedang dinikahkan, Mak Sari!” kata Irus sekenanya.
Mata Mak Sari seperti menyala kembali. Ditekannya kembali ponsel itu lalu diletakkan di telinga kanannya.
“Dara tidak akan ditangkap, dia perempuan baik-baik!”
“Kami juga perempuan baik-baik, Mak Sari!”
Irus, Misan dan Risma berlenggak-lenggok meninggalkan Mak Sari. Perempuan-perempuan yang sedari tadi duduk bersama Mak Sari juga sudah meninggalkan perempuan itu. Haikal ikut-ikutan pulang ke rumahnya. Tinggallah aku seorang diri mengamati gerak-gerik Mak Sari. Kasihan perempuan tua itu. Irus hanya mengarang cerita. Kami tidak melihat Dara di mana pun.
***