Loading...
Logo TinLit
Read Story - Cinta Wanita S2
MENU
About Us  

Pada dasarnya, semua orang ingin menghindarkan diri dari masalah. Namanya masalah, datang tidak diundang pulang pun tanpa pamit. Tidak sama dengan undangan ke pesta pernikahan, orang datang membawa kado, makan lalu menjumpai tuan rumah lantas pulang.

Jelas sekali prosedurnya. Membawa diri dalam masalah pun tidak pernah direncanakan, seandainya masalah datang karena diberitakan akan menjumpai sudah pasti semua orang tidak akan pusing memikirkan cara penyelesaiannya.

Kupikir, pulang ke Kampung Pesisir, bekerja sebagai dosen muda dengan gelar lulusan luar negeri sudah cukup membawa bahagia bagiku dan keluarga. Kendati demikian, aku tidak bisa menghindari persoalan yang datang tiba-tiba.

Hari itu, Ibu mengajakku ke rumah salah seorang tidak terkenal di dusun kami. Kukatakan tidak terkenal karena aku lupa nama dan wajahnya, orang yang ingin kukunjungi ini termasuk perempuan yang jarang sekali keluar rumah.

Waktu interaksi dengan orang lain hanya pada acara pembacaan Yasin bersama yang dilaksanakan secara bergiliran. Kebetulan hari ini giliran rumah perempuan ini dan aku harus mengunjungi perempuan yang luput dari pandanganku. Kukenal perempuan ini karena anaknya sering memanjat jambu di depan rumahku, itu pun hanya nama dan wajahnya benar-benar terlupakan olehku.

Kampung Pesisir masih tetap teguh melaksanakan acara Yasin ini. Kami menyebutnya wirid Yasin, dilaksanakan seminggu sekali di rumah berbeda berdasarkan undian.

Kami yang kena giliran akan menyuguhkan penganan sekadarnya, bisa kue saja, mie tepung khas daerah ini, atau jika sanggup biaya bisa menghidangkan nasi beserta lauk yang lezat. Karena baru pulang, Ibu memaksa aku ikut acara ini, walaupun aku masih bingung memikirkan kaidah pembacaan Yasin secara bergiliran ini. Baca Yasin hanya sebentar, namun ada kegiatan lain yang menghabiskan waktu lama.

“Bukannya dia jarang ke rumah orang?” tanyaku sambil jalan. Ibu tidak menoleh. Jarak rumahku dengan rumah perempuan yang tidak kutahu bentuknya kini itu selang beberapa rumah, setelah tikungan kecil di depan lapangan bola.

“Yasin tetap ikut dia, kita tak boleh pun menghakimi karena sekali-kali dia masih ikut dan masih mau memberikan iuran kas,” itu patokannya?

Dari dulu memang kukenal perempuan itu tidak pernah bergabung dengan siapapun. Pesta besar di Kampung Pesisir tidak dipenuhinya, apalagi dengan pesta kecil-kecilan seperti syukuran rumahku kemarin. Jika aku undang juga tidak akan datang dia ke rumah, habis waktuku saja mengetuk pintu rumahnya.

“Dia tetap jarang keluar rumah kan?”

“Iya! Kemarin habis melahirkan lagi!” aku hampir tertawa. Aku pun jadi sangat heran dengan anak perempuan itu. Dalam keseharian memang jarang bahkan bisa dibilang tidak pernah berkumpul dengan orang lain, tetapi urusan keturunan perempuan ini juara.

Anak-anaknya masih kecil-kecil, baju tidak ada satu pun yang bersih, cara bicara juga tidak ada satu pun yang benar tata bahasanya, sikap dalam berteman dengan anak-anak lain tidak ada satu pun yang bisa bersahabat dengan baik hanya diam di tempat tanpa berdialog.

Bahkan, di bulan puasa terakhir sebelum keberangkatanku ke Amerika, lima anak perempuan itu memanjat jampu di depan rumahku siang hari. Anak paling besar sekitar sepuluh tahun, berikut adik-adiknya yang tidak bisa kutafsirkan umur mereka.

Anak paling kecil mungkin sekitar tiga atau empat tahun. Berapa tahun sekali perempuan itu beranak? Mungkin saja aku salah, anak tertua bukan sepuluh, atau ada yang kembar di antara mereka. Entahlah. Waktu itu aku benar-benar bingung sendiri.

Anak yang paling besar memanjat jambu setelah meminta tanpa menunggu persetujuanku yang sedang menyapu di teras rumah, “Kasih jambu dua buah Kak ya!”

Katanya sih dua, ambilnya banyak. Anak paling besar itu langsung makan sendiri di atas pohon. Menyusul dua adiknya panjat ke pohon jambu yang semak dengan buah memerah.

Sedangkan dua adiknya yang lain berdiri di bawah pohon jambu dengan menatap kosong ke atas. Tidak meminta dan tidak pula ada pengertian anak tertua yang sudah bisa berpuasa untuk memberikan jambu kepada kedua adiknya.

Aku melongo.

Ibu yang jalan beriringan denganku yang sudah hampir sampai ke rumah perempuan itu menyenggol lenganku, hampir saja aku terjatuh. Dulu mungkin mereka masih kecil jadi wajar bersikap demikian. Sekarang mana tahu sikap sebenarnya dari anak perempuan itu, siapa tahu sudah lebih pintar dalam bercakap-cakap.

Kami tiba di rumah perempuan yang tak kutahu nama dan lupa rupa itu saat orang-orang sudah mulai membaca Yasin. Tanpa memperpanjang kata basa-basi aku langsung duduk dan membuka Yasin berterjemahan pemberian Ibu.

Semula aku mendengar, lalu mengikuti. Baru kali ini aku ikut terlibat dalam acara Yasin mingguan dusun kami ini, sebelumnya aku tidak pernah ikut karena saat libur sekolah atau kuliah selalu bulan puasa dan acara ini juga diliburkan.

Pertama-tama bacaan Yasin masih mengikuti aturan panjang pendek, lama-kelamaan lafal yang benar acapkali terdengar sangau, tidak serentak, putus-putus pada bagian yang seharusnya disambung, tersambung pada bagian yang putus, pendek yang bagian yang seharusnya dipanjangkan, panjang pada bagian dipendekkan, pertemuan antara huruf ini dan itu seharusnya dibaca begini atau begitu berubah jadi dengungan lain. Aku lantas mengatupkan mulut. Suatu saat mungkin harus belajar lagi membaca dengan benar, termasuk untuk diriku sendiri.

Pembacaan Yasin selesai, acara makan-makan dimulai. Perempuan tuan rumah yang banyak anak ini rupanya menyiapkan nasi hari ini. Setahuku, suaminya hanya buruh tani biasa dengan penghasilan pas-pasan.

“Sudah lama kayak begini!” ujar Irus yang duduk di sampingku, maksudnya tentu memberikan nasi seusai pembacaan Yasin.

Tiba-tiba seorang perempuan yang duduk di sebelah Irus berkomentar manis sekali didengar. Bukan untukku, untuk orang yang tidak ada di antara kami.

“Jadi benar Haikal akan melamar kamu, Inong? Apa sanggup dia memberi mahar yang katanya lebih 20 mayam?”

Sendok yang sedang kuangkat hampir sampai ke mulut lunglai ke piring sehingga membunyikan suara berdenting. Orang-orang semua menoleh padaku. Sebelum memoriku terkuak membuka siapa jati diri perempuan ini, suaranya kembali terdengar.

“Dengar-dengar Haikal pulang kemarin karena tahu kamu pulang, siapa tahu kalian sudah sering bicara di handphone selama ini. Saya sih sarankan ya, Haikal itu tidak ada kerja yang jelas, nanti kamu jadi menyesal menerima lamarannya!”

Perempuan ini sudah membakar ranting dalam tumpukan kayu ini. Mak Sari, begitu kami menyebut namanya. Perempuan yang selalu mencari akar permasalahan untuk dibesar-besarkan.

Rumahnya selang empat rumah dari rumahku. Keluarganya tidak kurang dan tidak pula kaya raya. Anak tunggalnya sudah jadi pegawai negeri dan baru saja mengambil uang bank untuk membangun rumah mereka.

Semenjak anaknya jadi pegawai negeri, Mak Sari sering mencari-cari sesuatu untuk menaikkan darah Ibu. Ibu sangat mudah sekali tersulut emosinya akhir-akhirnya, belum lagi urusan kedua menantu yang tak lebih kurang dari Mak Sari, hadir lagi berita harga mahal dari mulut Mak Sari semakin bertambah beban pikiran Ibu. Dan, kepalaku langsung berputar begitu kulihat Ibu duduk sangat berhimpitan dengan ibu Haikal.

“Saya pernah dengar ya,” Mak Sari belum akan berhenti, dan tidak akan pernah. Seorang saja terpancing omongannya, akan ada bersesi perdebatan di rumah perempuan tuan rumah banyak anak ini.

“Dulu waktu Inong belum kuliah, masih baru-baru selesai sekolah, saya mencium ada hubungan tidak wajar kalian berdua. Tidak perlu mengaku juga bukan urusan saya ya, mata ini pernah melihat sendiri Haikal dan Inong jalan bersama dari masjid sampai di depan rumah, mengantar Inong sehabis pulang dari shalat magrib! Saya tidak tahu apa yang kalian lakukan, tapi siapa yang tahu gelap-gelapan berdua begitu berbuat apa!”

Suasana ruang tamu sekaligus ruang keluarga rumah perempuan tuan rumah banyak anak ini semakin tidak sedap. Selera makanku menyusut dan lari mengelilingi lapangan bola di depan mataku. Mak Sari tidak berhenti sampai di situ, jurus-jurus yang sudah sekian lama disiapkan untuk menyerangku sudah dihafal betul olehnya.

“Saya rasa cocok saja Haikal sama Inong, kayak di sinetron-sinetron ada cinta lama bersemi kembali! Tidak apa-apa, satu ibu dosen, satu lagi pengangguran, oh bukan, penjaga toko kain sepi pembeli!” Mak Sari menggigit kerupuk. Suara kunyahan kerupuk terdengar ke seluruh ruangan. “Susah lho, dapat laki-laki sekarang!”

Susah? Emosiku sudah tidak terkendali.

“Si Dara sudah ada calon Kak Sari?” itu suara ibu Haikal. Saya jadi sangat iba, orang tua itu ikut dilibatkan dalam panggangan bara api Mak Sari yang semakin panas. Suara ibu Haikal terdengar tidak stabil, barangkali mencoba mengendalikan emosi yang bisa merajalela ke mana-mana.

“Oh jelas sekali! Kakak kan tahu sendiri Dara sudah jadi pegawai negeri, laki-laki mana yang tidak mau sama Dara? Haikal pun kejar-kejar Dara, Kak, tapi sudah saya bilang jangan terima nanti gaji Dara habis digunakan Haikal pacaran sama ibu dosen!” dengan mulut penuh kunyahan Mak Sari sempat melirik ke arahku.

Badanku sudah tidak bisa menahan gejolak ingin segera merobek mulut Mak Sari. Kalau saja aku tidak memikirkan cemoohan yang akan kudapat setelah ini, lebih baik aku diam saja.

“Jadi kapan Dara pesta, Kak?” tanya ibu Haikal lagi. Ibuku membulatkan mata penuh amarah. Aku harap-harap cemas akan kata-kata yang mungkin keluar dari mulut Ibu. Ibu harus menghindari sebisa mungkin bara api yang dibangun Mak Sari. Sekali saja Ibu terkena percikan api dan teriak histeris, Mak Sari akan tertawa seumur hidup.

“Mudahlah itu, Kak! Sekali lagi ya saya bilang, pegawai negeri itu mudah dapat jodoh tidak sama dengan ibu dosen lulusan luar negeri yang belum jelas jadi pegawai atau tidak!”

Sudahlah. Mak Sari harus diberi pelajaran kalau begitu. Saat suaraku mencapai pintu keluar dengan kata-kata yang sudah kusiapkan agar Mak Sari tidak menjadi-jadi, kami semua menatap senang ke arah Mak Sari.

“Aduh! Pedas! Panas!”

Aku memberi senyum sinis, selalu ada cara orang banyak cakap dibalas oleh yang miliki suara. Mak Sari menggigit cabai merah, lantas karena kepedasan gegabah merebut secangkir kopi di depan Risma, tidak tahunya kopi itu masih sangat panas. Tak lama Mak Sari keluar rumah sambil muntah-muntah dengan lidah terbakar.

***

“Kudengar ada berita terkini tadi sore ya?” langkahku terhenti. Suara yang sangat kukenal sudah berdiri di belakangku.

Haikal!

Seharusnya aku bisa menghindari ini. Aku tidak bisa mengelak saat Haikal jalan beriringan di sampingku, aku sangat berharap ada orang lain yang membuntuti di belakang kami sehingga aku dan Haikal tidak beriringan berdua saja.

“Sudah lama kita tidak jumpa ya?” alis mata Haikal naik beberapa centi saat berbicara. Mengulur senyum yang sangat menawand di wajah putih hampir kemerahan miliknya. Senyum pipit di kedua pipi membuat alis tebal yang terangkat sempurna menambah nilai jual laki-laki ini.

“Tiga tahun? Lebih? Atau kurang?” Haikal masih mencoba merayuku dengan kata-katanya. Badannya membungkuk ke depan, dada bidang dan perut sixpack menambah kilau laki-laki yang tingginya hampir dua meter ini.

Untuk ukuran keturunan kami, Haikal menjulang tinggi. Nada suaranya pun serak bercampur pelan, intonasi yang dikeluarkan bagai irama bernada indah dalam cita rasa tinggi. Begitulah Haikal, karena banyak yang dilihat darinya sehingga orang menaruh rasa tidak suka padanya.

Aku mempercepat langkah. Suara azan hampir selesai dari masjid yang kubahnya terlihat dari depan rumahku.

“Apa sudah ada pemahaman baru perempuan yang sudah berwudhu tidak boleh bicara dengan laki-laki?” canda Haikal. Kali ini aku benar-benar tidak tahan. Selalu saja, ada cara Haikal membuatku mengeluarkan suara. Aku pun terlalu mempertimbangkan perasaan orang lain yang belum tentu melihat kami jalan beriringan magrib ini.

“Pemahaman yang kubuat sendiri!” sahutku.

“Oya? Berapa buku yang menjadi acuan pemahamanmu itu? Apa bule Amerika mengajarkan itu padamu?”

“Jelas sekali! Buku mereka keren-keren, mereka tahu banyak hal, mereka bisa menciptakan teknologi canggih, mereka bisa membuat kita lupa jati diri sebenarnya, mereka bisa mengubah fisikmu menjadi lebih sempurna dari sekarang ini,” langkahku terhenti. Haikal mengikuti. “

Mereka, hanya tidak sujud lima kali, tidak rukuk lima kali dan tidak duduk di antara dua sujud dua kali dalam sehari semalam!”

Haikal terkekeh. Aku manyum. Harus kuakui, Haikal memikili segala untuk menarik perempuan ke dalam pelukannya. Pendidikan boleh saja tidak setinggi denganku, tetapi pendidikan hidup yang didapat Haikal tentu sudah mengajar banyak hal akan sabar dan menghargai pemberian Tuhan kepada dirinya.

Tidak ada perempuan yang menolak cinta laki-laki yang langkahnya besar-besar ini, sehingga aku hampir ngos-ngosan mengejar langkahnya mencapai masjid yang sudah selesai mengumandangkan azan. Mungkin banyak pertimbangan yang membuat Haikal belum mendapatkan jodoh di usianya yang sangat matang untuk laki-laki kampung agar segera melepas masa lajang.

Kami mempercepat gerak. Haikal berlari ke tempat wudhu sedangkan aku langsung memasuki masjid yang sudah hening.

Kami akan pulang bersama selepas senja, mungkin besok akan ada foto kami jalan berdua di dunia maya!

***

Dara sejak kecil sudah jadi saingan terberatku, persaingan kami tidak hanya dalam meraih juara kelas. Persaingan yang kemudian kusadari sebagai sebuah ajang perlombaan siapa yang lebih hebat dari siapa.

Keluarga Dara masih utuh, ayahnya sebagai tukang bangunan cukup mampu menghidupi keluarga mereka pada masa itu. Mak Sari pun kemudian meminta suaminya membuka kios kecil-kecilan di depan rumah mereka. Herannya aku, sebungkus kerupuk saja tidak cukup uang akan ditagih sampai kapanpun.

Mak Sari cukup cekatan menjaga kiosnya, nama hutang piutang tidak pernah masuk dalam kamus Mak Sari. Kadang, perempuan Kampung Pesisir memang tidak punya sepeser uang pun bahkan untuk membeli sabun cuci.

Mak Sari tidak bisa tawar-menawar sebatang sabun kecil itu dimasukkan dalam buku besar miliknya, kapan ada rejeki mungkin akan dibayar. Mungkin, pantas saja Mak Sari tergolong berada di Kampung Pesisir karena pelit itu. Lantas Dara? Aku bukan tipikal orang pendendam dan mau bersaing dengan siapapun.

Namun Dara berbeda, semenjak kami masih kanak-kanak Dara sudah menampakkan tabiat yang tidak jauh berbeda dengan Mak Sari. Hal seringan apapun akan menjadi masalah sangat besar jika berhadapan dengan Dara, tentu saja berkat ikut campur Mak Sari. Dara akan melapor setiap permasalahan yang dihadapi di mana saja saat bermain atau di sekolah kepada Mak Sari.

Ujung mula keretakan pertemanan kami kelas satu sekolah dasar. Kami sama-sama masuk di sekolah kampung kami yang belum negeri waktu itu. Masa kanak-kanak yang menyenangkan berakhir pahit dalam memori kecilku.

Pagi itu, aku bersekolah dengan sepeda, Ibu memang membelikan sepeda baru untukku. Baju merah putih yang kukenalan masih sangat rapi, ransel bercorak boneka warna merah muda menempel di punggungku, sepatu hitam dengan kaos kaki putih, dan rambut dikepang dua dengan bendo warna merah muda juga. Kukayuh sepeda pelan-pelan karena aku belum terbiasa bersepeda jauh kecuali di perkarangan rumah saja.

Dari jauh sudah kulihat rombongan siswa lain, terdiri dari empat laki-laki dan dua perempuan. Di antara mereka, termasuk Dara yang berjalan menunduk di belakang.

Senyummu menyimak melihat teman-teman yang berjalan riang gembira. Ku bunyikan lonceng kecil di sepedaku. Suaranya berdenting satu-satu. Dara menoleh beserta yang lain, tatapan mata lima orang lain penuh senyum dan meneriaki namaku yang sudah pandai bersepeda. Dara yang berbeda satu orang, wajahnya cemberut dan tangannya tergenggam ke belakang.

Aku membalas senyum manis teman-temanku, pada semua tidak terkecuali Dara. Kukayuh sepeda lebih pelan agar bisa beriringan dengan yang lain. Namun apa didaya tiba-tiba kurasakan kepalaku sakit sekali seperti baru dilempar sesuatu.

Wajah teman-teman kecilku juga terlihat pias. Mereka lantas berteriak-teriak kencang sekali. Kepalaku berubah menjadi bergoyang-goyang. Aku langsung hilang kendali dan sepadaku menyentuh jalan belum terasap sepenuhnya masa itu.

“Ada darah!” teriak mereka lagi.

Pandanganku bersitatap dengan Dara yang memberi senyum sinis. Genggaman tangannya kini terbuka lebar dan dilipat di dada.

“Dara jahat buat Inong terluka!” teriak Haikal. Pembelaan pertama Haikal terhadap diriku waktu itu. Raut wajah Dara mendadak berubah menjadi sangat kusut. Teman-temanku yang lain terus berteriak-teriak menyalahi Dara.

Hari pertama sekolah membuahkan hadiah bekas jahitan di keningku, entah berapa besar kerikil yang dilempar Dara. Dulu aku tidak memikirkan kemungkinan buruk, baru sekarang terpikirkan olehku jika seandainya mengenai mataku mungkin sudah gelap sebelah duniaku sampai kini. Hari pertama sekolah pula aku tertulis sakit di absensi guru.

Padahal hari pertama sekolah ini akan menghadirkan kenangan paling berharga bagiku, kami akan berebut meja paling depan, memilih teman sebangku atau hal-hal menarik lain. Hari pertama yang nestapa menempatkanku di deretan paling akhir di kelas satu, tidak berteman!

Hubungan keluargaku dengan Mak Sari meredup sejak itu. Umur yang menentukanku agar tidak mengetahui bagaimana cara penyelesaian masalahku dengan Dara kecil. Tahu-tahu dua malam setelah kejadian itu, Mak Sari ditemani perempuan lain, Dara dan ayahnya datang ke rumah membawa ketan. Mereka kemudian mempeusijukku.[1]

Kami sudah berdamai. Bekas luka dikeningku masih teriris hingga aku besar. Kadang aku menyiasati dengan berbagai cara agar bekas luka tidak terlihat.

Orang memang tidak akan mengetahui bekas luka yang kecil itu jika tidak kuberitahu. Sebagai perempuan, aku tidak nyaman dengan sedikti coretan di wajah karena sebagian orang akan menilaiku dari fisik kemudian baru kemampuan yang kumiliki.

Kami berubah tidak saling tegur, Ibu tidak pernah datang ke rumah Mak Sari dan Mak Sari tidak pernah datang ke rumahku. Ibu seperti menutup mata akan kehadiran Mak Sari.

Terlebih, saat pemberian hasil belajar sebelum liburan pertama di kelas satu. Nilai semua mata pelajaran di raport milikku semuanya sempurna. Aku menjadi juara kelas dan mendapatkan hadiah dari guru.

Di masa itu, hanya juara kelas saja yang mendapatkan hadiah berupa buku satu lusin. Dan Dara, nilainya jauh dibawahku walaupun di mendapatkan peringkat kedua.

Tidak menerima keputusan guru, Mak Sari memporak-porandakan meja wali kelas kami. Teriakan Mak Sari membahana sampai didengar seluruh wali siswa yang datang hari itu. Masih kuingat dan tidak kulupakan ucapan Mak Sari kala itu.

“Apa semua guru di sekolah ini bodoh semua? Sudah jelas Dara sangat pintar dibandingkan Inong! Kalau guru-guru tidak sanggup mengajar biar saya saja yang menjadi guru mereka!”

Aku memeluk Ibu dengan sangat erat. Sebagai orang yang mengerti Ibu meredam emosinya agar Mak Sari tidak menjadi-jadi. Karena tidak mendapat respon dari siapapun, Mak Sari kemudian menarik Dara dengan paksa.

Tatapan mata mereka penuh dengki terhadapku dan Ibu. Kepala sekolah yang mengejar Mak Sari dan Dara dibentak dengan kata-kata kotor ajimat Mak Sari.

Persainganku dengan Dara tidak pernah berhenti. Peringkat kelas lama-kelamaan tidak dipersoalkan lagi. Lulus sekolah dasar, Ibu membawaku ikut tes di Banda. Ibu memeras otakku dengan paksaan keras.

Tidak bisa kubantah perintah Ibu waktu itu. Aku belum siap tinggal di asrama selepas sekolah dasar, meninggalkan teman-teman sepermainan, kampung halaman yang rindang dan sejuk di pagi hari, dan rumahku yang teduh.

Aku lulus di sekolah Banda, mata Mak Sari bulat seakan tak berkedip. Kutahu, Ibu tidak bermaksud membalas persaingan yang dimulai oleh Mak Sari. Ibu hanya mencoba mengambil jalan tengah, dan tentu saja memberikan yang terbaik untukku. Kemampuan ekonomi Mak Sari waktu itu belum bisa mengikuti kemauan Dara yang juga ingin sekolah ke Banda.

Akhirnya, aku sekolah di Banda dari sekolah menengah pertama sampai atas dan Dara di Kota Pesisir Barat. Cibiran mulai datang ketika libur tiba, saat aku berleha-leha di rumah bersama Ibu. Mak Sari sengaja membawa petaka ke rumah kami.

“Apa juga sekolah jauh-jauh ke Banda, dapat rangking saja tidak apalagi juara umum!” Mak Sari memulai. “Lihat si Dara, sudah saya katakan dia yang paling pandai cuma guru SD saja masih salah mata. Di sekolahnya Dara selalu mendapat rangking satu dan juara umum!”

Kali ini Ibu terpancing dengan umpan yang dibawa Mak Sari. Kami tidak salah. Benar tidak salah. Mak Sari yang salah. Mak Sari datang membawa kail dengan umpan monyong ke depan beberapa centi dan badan berkacak pinggang.

“Kak Sari, sekolah di sini dengan Banda beda kualitasnya,” ujar Ibu masih dengan nada lembut.

“Beda dari mana?” Mak Sari mulai menunjuk-nunjuk ke arahku dan Ibu. “Yang nama sekolah sama saja, mau di atas langit, di atas bumi, pelajaran itu juga yang diajarkan, lulus tiga tahun juga!”

“Di Banda sekolah unggulan, belajar siang dan malam, persaingan ketat, semua siswa pandai berkumpul di sana, waktu belajar sudah ditentukan oleh guru mereka,”

“Oh, jadi menurut kamu Dara tidak belajar siang dan malam?”

“Bukan begitu, di Banda belajarnya dikontrol guru siang dan malam, belajarnya lebih disiplin dibandingkan di sini,”

“Asal kamu tahu saja ya! Si Dara tidak pernah meletakkan buku di meja, ke mana-mana selalu dibawa dan dibaca!”

“Baca sendiri, tidak dibimbing sama gurunya!” Ibu menekan kata-katanya.

“Kan sama saja, buku itu juga, isinya itu juga, kamu ini rugi saja jadi pegawai negeri itu pun tak paham!”

Amarah Mak Sari semakin tidak terkontrol. Cara berdiri Mak Sari tidak tetap. Mondar-mandir di halaman rumah kami. Aku dan Ibu duduk saja di kursi teras rumah, bahkan Ibu tidak menawarkan tempat duduk untuk Mak Sari.

“Kita lihat saja ya! Anak siapa yang lebih hebat! Saya akan buktikan Dara langsung jadi pegawai negeri setelah lulus kuliah!” Mak Sari kembali menunjuk-nunjuk ke arahku dan Ibu.

“Apa urusan Mak Sari dengan keluarga saya?” aku dan Ibu menoleh ke pintu. Di sana Bang Mul berdiri hanya mengunakan sarung dan kaos oblong putih. “Keluarga saya tidak pernah mengusik ketenangan keluarga Mak Sari, Mak Sari seharusnya berkaca pada pengalaman terdahulu. Keluarga siapa yang merasa dirugikan dan tidak tenteram?”

“Oh, jelas keluarga saya! Dari dulu si Inong ajak Dara berlomba jadi yang terbaik!”

“Siapa yang katakan demikian? Itu menurut Mak Sari,”

“Ohya? Saya yang rugi karena Inong tak mau mengalah!”

Bang Mul berdehem.

“Jelas Inong yang rugi! Mak Sari lihat sendiri bekas luka hasil lemparan Dara, apa sebab anak Mak Sari membuang marah kepada Dara? Waktu itu Dara masih kecil Mak Sari, tidak mengerti apa-apa masalah saing-bersaing. Mak Sarilah yang seharusnya mengajarkan etika sopan santun pada anak Mak sendiri. Tidak datang ke rumah kami, marah-marah pada kami yang tidak menyentuh anak Mak Sari sehelai bulu pun!”

Mata Mak Sari membulat. Sebelum Mak Sari mengeluarkan jurus suara lantang Bang Mul membentak dengan suara baritonnya.

“Hari ini pula Mak Sari jangan pernah injakkan kaki di rumah kami!”

Perang benar-benar terjadi.

Kami lulus sekolah menengah atas, sekali ikut tes aku langsung lulus di perguruan tinggi favorit di Banda. Berulang kali pula Dara ikut tes tidak satu pun yang membawa keberuntungan padanya.

Terakhir, kata Ibu, Dara pulang ke Kota Pesisir lalu kuliah di jurusan keperawatan tiga tahun. Program studi tiga tahun tersebut banyak mengeluarkan biaya karena merupakan perguruan tinggi swasta yang masih mencari nama besar.

Mak Sari sudah tidak lagi melempar granat ke rumah kami. Namun senapannya masih terus meletus di tempat orang ramai.

“Si Dara, sebentar lagi sudah jadi dokter dan mengobati orang sakit. Si Inong kuliah di Banda belum tentu lulus empat tahun! Setelah lulus pun si Inong harus mencari kerja, Dara tidak perlu lagi, orang sakit pasti datang ke rumah kami!” itu kata Mak Sari.

Sampai sekarang, setelah aku menetap kembali di Kampung Pesisir tidak seorang pun yang datang berobat ke rumah Mak Sari, Ibu tidak mengatakan itu, mungkin Ibu sudah melupakan semua masalah dengan Mak Sari. Ada Asma, Irus, Risma dan Misan yang menjelaskan dengan sangat gamblang, Dara lulusan perawat salah kasih obat bukan dokter seperti yang diiming-imingkan Mak Sari.

Irus bahkan pernah sekali minta dikasih obat saat demam tinggi, bukannya sembuh Irus malah harus dibawa ke rumah sakit sampai beberapa hari menginap di sana. Mungkin Dara memang tidak salah, mungkin karena kondisi Irus yang sedang tidak stabil. Namun diagnosa yang diberikan dokter rumah sakit berkata lain, obat yang diberikan sebelumnya tidak bisa dikonsumsi Irus!

Selesai kuliah, Dara langsung dapat tawaran kerja di Puskesmas, katanya juga. Kata sahabat karibku, Dara merengek ke rumah kepala Puskesmas agar diberikan kesempatan honor di sana. Setahun honor di Puskesmas bertepatan dengan wisuda sarjanaku, penyaringan pegawai negeri dibuka. Dara ikut tes pegawai negeri sedangkan aku ikut tes melanjutkan pendidikan ke Amerika. Dara lulus tes pegawai negeri, aku juga sudah berangkat ke Amerika.

Terakhir, Misan berbisik padaku di malam terakhir aku di Kampung Pesisir sebelum ke Amerika. “Dara main sogok makanya mudah lewat!”

Aku tidak tahu siapa menang dan kalah dari status persaingan kami, yang dimulai oleh Dara.

***

Aku sudah pulang, berdiri di Kampung Pesisir dengan senyum penuh lelah. Ke Amerika aku sudah berkelana, bagi Mak Sari itu tidak apa-apa dibandingkan pegawai negeri yang bisa ambil kredit di bank dan gaji tetap perbulan. Alangkah sempitnya Kampung Pesisir, semua orang mampu mengambil kredit di bank tidak mesti pegawai negeri.

Mak Sari barangkali tidak akan berubah. Dara yang bisa berubah karena sudah belajar banyak hal, tidak hanya pendidikan di bangku kuliah. Aku berharap Dara menjadi sosok yang diamini keberadaanya di Kampung Pesisir. Dan sekali lagi, perkiraanku salah.

Persaingan yang sengaja dibentuk Dara dan Mak Sari tidak hanya pada prestasi akademik. Masalah perasaan terhadap lawan jenis juga Mak Sari ikut terlibat. Aku mengetahui semua tabiat Mak Sari masa itu. Tanpa sepengetahuan Mak Sari, Dara datang sendiri ke rumah begitu aku pulang libur sekolah sebelum pengumuman kelulusan, merengek, mengiba, menangis tersedu-sedu.

“Lepaskan Haikal untukku, Nong!” permintaan yang tak akan pernah kulupakan dibandingkan dengan apa yang dilakukan Dara kepadaku.

Mak Sari? Sangat tahu perasaan Dara terhadap Haikal. Mak Sari sendiri juga tergila-gila ingin meminang Haikal menjadi menantunya. Haikal satu-satunya laki-laki idaman di Kampung Pesisir ini.

Permintaan Dara yang tidak kugeleng dan angguk kepala menimbulkan tanda tanya besar akan hubunganku dengan Haikal. Dara pulang dengan tangisan tersendak-sendak. Entah apa yang dikatakan Dara kepada Mak Sari malam itu. Jika waktu memperlihatkan aku sedang bertegur sapa dengan Haikal, Mak Sari menatap dongkol dan Dara membuang muka.

“Dara yang bilang suka sama aku, Nong!” ujar Haikal tanpa kutanya. Haikal sangat jujur dalam berbagai hal kepadaku. “Aku tidak suka bagaimana mau sama dia!”

Penjelasan Haikal sangat jelas, Dara tidak menerima namun terus menyalahkanku. Hubunganku dengan Haikal tidak kami lebihkan ke arah serius dan tidak kami kurangkan sehingga tidak ada waktu bersua. Kami tetap saling sapa dan bercerita dengan mudah karena rumah kami berhadapan.

Kedekatan kami belum bisa kutafsirkan walau pendidikanku sudah naik dua peringkat dibandingkan Dara yang masih lulusan tiga tahun!

***

 

[1]Peusijuk merupakan adat Aceh sejak turun-temurun. Tradisi ini tidak hanya dilakukan terhadap orang menikah saja. Misalnya terjadi pertikaian, saat pertemuan dua kubu untuk berdamai juga dilaksanakan Peusijuk. Peusijuk dilakukan dengan cara menabur beras dicampur padi dari ujung kepala ke kaki, tepung yang sudah dicampur air dibilas dengan daun berbagai rupa pada kaki dan tangan yang duduk bersila, serta ketan yang disuapi atau dilekatkan dibalik telinga, ditutup dengan salaman. Peusijuk masih dipercaya untuk keselamatan dengan dibacakan doa-doa tertentu. Saat ini terdapat silang pendapat antara dibenarkan dan tidak perkara Peusijuk ini, sehingga sebagian masyarakat Aceh sudah meninggalkan Peusijuk karena dianggap sisa ajaran kepercayaan agama lain.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Cinta Butuh Jera
1455      938     1     
Romance
Jika kau mencintai seseorang, pastikan tidak ada orang lain yang mencintainya selain dirimu. Karena bisa saja itu membuat malapetaka bagi hidupmu. Hal tersebut yang dialami oleh Anissa dan Galih. Undangan sudah tersebar, WO sudah di booking, namun seketika berubah menjadi situasi tak terkendali. Anissa terpaksa menghapus cita-citanya menjadi pengantin dan menghilang dari kehidupan Galih. Sementa...
Pilihan Terbaik
4842      1470     9     
Romance
Kisah percintaan insan manusia yang terlihat saling mengasihi dan mencintai, saling membutuhkan satu sama lain, dan tak terpisahkan. Tapi tak ada yang pernah menyangka, bahwa di balik itu semua, ada hal yang yang tak terlihat dan tersembunyi selama ini.
Me, My Brother And My Bad Boy
3981      1903     0     
Romance
Aluna adalah gadis cantik yang baru saja berganti seragam dari putih biru menjadi putih abu dan masuk ke SMA Galaksi, SMA favorit di ibu kota. Sejak pertama masuk ia sudah diganggu seorang pria bernama Saka, seorang anak urakan dan bad boy di sekolahnya. Takdir membuat mereka selalu bertemu dalam setiap keadaan. Berada dalam satu kelas, satu kelompok belajar dan satu bangku, membuat mereka sering...
Confession
563      411     1     
Short Story
Semua orang pasti pernah menyukai seseorang, entah sejak kapan perasaan itu muncul dan mengembang begitu saja. Sama halnya yang dialami oleh Evira Chandra, suatu kejadian membuat ia mengenal Rendy William, striker andalan tim futsal sekolahnya. Hingga dari waktu ke waktu, perasaannya bermetamorfosa menjadi yang lain.
Fallin; At The Same Time
3154      1427     0     
Romance
Diadaptasi dari kisah nyata penulis yang dicampur dengan fantasi romansa yang mendebarkan, kisah cinta tak terduga terjalin antara Gavindra Alexander Maurine dan Valerie Anasthasia Clariene. Gavin adalah sosok lelaki yang populer dan outgoing. Dirinya yang memiliki banyak teman dan hobi menjelah malam, sungguh berbanding terbalik dengan Valerie yang pendiam nan perfeksionis. Perbedaan yang merek...
Kejutan
466      257     3     
Short Story
Cerita ini didedikasikan untuk lomba tinlit x loka media
Kala Saka Menyapa
12021      2852     4     
Romance
Dan biarlah kenangan terulang memberi ruang untuk dikenang. Sekali pun pahit. Kara memang pemilik masalah yang sungguh terlalu drama. Muda beranak begitulah tetangganya bilang. Belum lagi ayahnya yang selalu menekan, kakaknya yang berwasiat pernikahan, sampai Samella si gadis kecil yang kadang merepotkan. Kara butuh kebebasan, ingin melepas semua dramanya. Tapi semesta mempertemukannya lag...
Sacrifice
6695      1709     3     
Romance
Natasya, "Kamu kehilangannya karena itu memang sudah waktunya kamu mendapatkan yang lebih darinya." Alesa, "Lalu, apakah kau akan mendapatkan yang lebih dariku saat kau kehilanganku?"
KESEMPATAN PERTAMA
535      371     4     
Short Story
Dan, hari ini berakhir dengan air mata. Namun, semua belum terlambat. Masih ada hari esok...
The Secret
412      283     1     
Short Story
Aku senang bisa masuk ke asrama bintang, menyusul Dylan, dan menghabiskan waktu bersama di taman. Kupikir semua akan indah, namun kenyataannya lain. Tragedi bunuh diri seorang siswi mencurigai Dylan terlibat di dalam kasus tersebut. Kemudian Sarah, teman sekamarku, mengungkap sebuah rahasia besar Dylan. Aku dihadapkan oleh dua pilihan, membunuh kekasihku atau mengabaikan kematian para penghuni as...