Kampung Pesisir, Menjelang Subuh
Tubuhku tidak begitu segar saat mobil yang kutumpangi berhenti di depan rumahku. Mabuk perjalanan dan mengalami kejadian yang tidak mengenakkan selama di jalan membuat tidurku tidak nyenyak. Aku terbangun saat mobil di rem mendadak. Aku kembali tertidur sesaat lantas terbangun lagi saat jalan bergelombang.
Satu hal yang bisa kuacungi jempol, laki-laki yang duduk di sampingku sejak pukul sepuluh malam tidak pernah bersikap yang menjatuhkan martabatnya sebagai laki-laki. Laki-laki yang bisa jadi panutan, kurangnya mungkin dia sudah beristri. Aku tersenyum ganjil pada malam. Bicara laki-laki selalu diiringi perempuan di sekitar mereka. Bicara laki-laki juga seakan bicara akan kejantanan merayu perempuan maupun kesanggupan ekonomi.
Aku memang sering bicara dengan laki-laki, terutama di kampus, dengan orang-orang hebat seperti kata Erni. Hebat dalam tanda kutip sebagai akademisi, belum tentu hebat dalam tantangan hidup yang mahakuat cobaannya. Pribadi Mahdi atau laki-laki yang tidak kuketahui namanya itu menjadi contoh laki-laki yang sangat menjaga hasrat mereka ingin menyentuh perempuan. Mahdi punya cara tersendiri dalam menilai perempuan dan menjaga kesetiaan.
Laki-laki yang tidak kukenal ini malah tidak pernah mengeluarkan kata permulaan dalam sebuah perkenalan, hanya sebaris kalimat penjelasan tentang truk yang semalam ditabrak mobil penumpang dari belakang. Hanya itu saja. Selebihnya laki-laki itu abai akan kehadiranku di sampingnya. Aku tidak bisa mengatakan dia tidak normal, aku sempat mendengar dia menghubungi istrinya melalui ponsel sesaat setelah mobil ini bergerak meninggalkan Banda.
Banyak cara menilai laki-laki di umurku yang mungkin sudah wajib berumah tangga. Laki-laki yang akan menjadi pendamping hidupku tentu orang yang punya prinsip agar aku tidak terlantar dengan rayuan gombalnya. Aku tidak membanding-bandingkan Mahdi dengan laki-laki tanpa nama itu, dalam diam mereka punya kesamaan yang entah, tidak bisa kudefisinikan lebih jauh.
Aku sudah berada di luar mobil penumpang warna hijau itu. Sopir mobil itu juga sudah menurunkan dua koper besar milikku. Setelah berterima kasih sopir itu kembali ke belakang kemudi, tak lama mobil itu mengepulkan asap dan hilang di tikungan kampungku.
Tanpa kusadari Ibu sudah menungguku dengan tangan terbuka, Ibu langsung memelukku yang sudah dua tahun lebih tidak pernah bertemu. Sebagai perempuan paling bungsu dan satu-satunya perempuan dalam keluarga, aku mempunyai tempat tersendiri di hati ini. Kami sama-sama saling menyelami isi naluri masing-masing. Ibu tidak pernah lepas memberikan segala apa yang dimiliki, tidak hanya kasih sayang, perhatiannya padaku sangat berlebih dibandingkan abang-abangku yang lain.
Di teras, Bang Mul dan Kak Sita berdiri tegak. Aku merasa tidak enak hati sudah membangunkan mereka belum pada waktunya. Subuh belum juga berdentang, masih ada waktu sekitar tiga puluh menit lagi menjelang subuh. Perjalanan kami yang banyak hambatan membuat waktu tempuh terasa sangat lama. Belum lagi kami masih harus melintasi jalanan yang sedang dibuat dari pertama.
Tsunami sudah menghancurkan jalan di sepanjang jalur Banda ke pesisir barat Aceh. Lima tahun belum cukup untuk membuat jalan lintas kabupaten tersebut. Di tempat tertentu, masih ada jalan yang belum teraspal, jembatan masih dari batang kelapa dan pemindahan jalur ke jalan cadangan selama jalan utama dipoles dengan bagus.
Memang, jalan lintas kabupaten ini tidak lagi mengambil jalan sebelum tsunami. Banyak jalur yang dipotong, karena jalan sebelum tsunami sebagian tidak berbekas dan hilang menjadi rawa-rawa atau sudah ditengah lautan. Sungai-sungai pun masih dibuat jembatan sehingga kami masih harus menyewa rakit besar untuk mengantarkan kami ke seberang.
Ada memang jalan alternatif, dengan mendaki, namun itu membutuhkan waktu yang sangat lama, jalan becek, hutan belantara, serta tidak aman. Bahkan, semua orang memilih mengeluarkan ongkos dua puluh ribu untuk roda empat, dan lima ribu untuk roda dua, agar bisa menyeberang sungai. Di kawasan Aceh Jaya itulah kami harus menyeberangi dua sungai karena jembatan masih dibuat baru, di jalur yang berbeda dari jalan sebelum tsunami.
Ibu melepas pelukannya. Tak ada sepatah kata keluar dari mulut Ibu. Sudah cukup pula rasanya pelukan kami berdua mengisyaratkan segala rasa. Tanpa bersuara pun kutahu, Ibu sangat rindu, aku juga memendam rindu pada perempuan yang sudah melahirkan dan membesarkanku. Bang Mul pun sudah berada di sampingku.
Kak Sita bergantian dengan Ibu memelukku erat. Bang Mul hanya menyalami kemudian mengangkat kedua koperku ke dalam rumah. Koper pertama diangkat Bang Mul dengan mudah karena berisi oleh-oleh khas Amerika yang sengaja kubeli untuk sanak-keluarga. Koper kedua diangkat Bang Mul dengan susah payah karena lebih berat berisi pakaianku serta beberapa buku.
Sebenarnya bisa saja Bang Mul mendorong kedua koper sama bentuk beroda itu, Bang Mul tidak melakukannya karena tahu pasti koperku tidak akan bisa jalan di halaman berkerikil.
“Apa kabar kamu, Nong? Makin kurus saja?” Kak Sita masih sama seperti dulu, tetap renyah suaranya walaupun baru bangun tidur.
“Baik, Kak. Iya sedikit kurus, banyak pikiran kali,” jawabku asal.
“Sudah selesai kuliah kok banyak pikiran, mikir apa lagi ayo?” aku tidak menjawab lagi gurauan Kak Sita. Hanya kuberikan sebuah senyuman padanya.
Aku memang sangat dekat dengan istri Bang Mul dibandingkan dengan istri kedua abangku yang lain, Bang Muis dan Bang Mus. Bang Mul dan Kak Sita masih tinggal di rumah Ibu sehingga bisa dekat denganku. Kedua abangku yang lain sudah memiliki rumah sendiri di kampung berbeda dengan kami. Bang Muis bersama Kak Rita tinggal di kota dan punya sebuah minimarket yang laris manis. Bang Mus tinggal di kampung istrinya, Kak Afni, berjarak empat kampung berselang dengan Kampung Pesisir.
Kami duduk di ruang keluarga menanti subuh. Ibu sudah menganjurkan aku segera istirahat. Aku masih menolak mengingat sebentar lagi subuh, biar sekalian saja aku istirahat seusai menjalankan kewajibanku. Kak Sita memberikan segelas air hangat untukku, langsung kuteguk perlahan-lahan. Rasanya segar dan menjalar ke seluruh tubuhku.
Benar kata orang, ke mana pun kaki melangkah rumah selalu menjadi pilihan akhir untuk pulang. Karena di rumah semua damai terasa indah. Karena di rumah paling mengerti mau kita dibandingkan tempat lain.
Kukeluarkan beberapa oleh-oleh yang bisa dibagikan untuk sanak-keluarga saat aku sudah istirahat nanti. Apalagi kedua keponakanku, kedua anak Bang Mul pasti sudah menanti-nanti kapan aku sampai di rumah. Sehabis magrib tadi mereka sudah bertanya-tanya kapan aku sampai.
Bang Mul dan Kak Sita punya anak kembar, Isra dan Asri. Keduanya sudah duduk di bangku SMA. Isra dan Asri pun sama-sama dekat denganku. Kalau aku pulang ke kampung mereka selalu memberiku kejutan, cerita-cerita mereka membuatkan tertawa girang. Isra dan Asri sudah menjadi gadis yang menawan, sebentar lagi mereka juga akan menjalani masa kuliah di Banda.
Kantukku menyerang cepat. Ibu mengisyaratkan aku segera masuk ke kamar yang sudah dibersihkan jauh-jauh hari sebelum aku pulang. Aku tidak lagi membantah. Badanku tidak kuat menahan beban berat di kepala.
***
Keluar kamar, wajah segar dan baju rapi aku mendapati meja makan dengan makanan enak. Ibu sengaja menghidangkan penganan khas Aceh menyambut kepulanganku. Aku paling suka gulai masam pedas ikan Kerling. Kuahnya tak ada tandingan, rasa asam dan pedas seakan tertinggal di lidah walaupun kuahnya sudah tertelan habis.
“Bagaimana kabarmu, Nong?” Ibu memang perempuan yang sangat pengertian. Baru di hari menjelang siang ini Ibu memulai percakapan denganku. Kukira Ibu juga tidak bisa menahan keingintahuan jiwaku yang sebagian masih tertinggal di langit Banda dan Amerika.
“Masih lelah, belum cukup istirahat setelah perjalanan panjang. Ibu bagaimana di sini?” kusuap sesendok nasi tanpa memperhatikan Ibu yang melihatku sangat lahap memakan hidangannya.
“Ibu tak kurang suatu apa pun. Jika masih lelah, istirahatlah!” tanpa kulihat ekspresi wajah Ibu, dapat kubayangkan bagaimana rupa Ibuku saat mengucapkan kalimat itu. “Nanti baru kita pikiran lagi apa yang akan kamu lakukan di sini,”
Aku tak berkata apa-apa. Semenjak aku selesai sarjana Ibu sudah meminta aku pulang.
“Ibu sudah pikirkan beberapa alternatif pekerjaan untukmu, tapi tak usah kamu pikiran dahulu.” Kami semua tahu, Ibu punya banyak relasi. Ibu pernah menjabat sebagai kepala sekolah bertahun-tahun lalu. Kerabat dekatku dari pihak Ibu dan Ayah juga termasuk orang terpandang di Kota Pesisir Barat. Sebenarnya aku tidak perlu khawatir akan keberadaanku di sini. Hanya saja, aku merasa sangat kerdil saat hubungan keluarga dilekatkan pada pekerjaan bukan pada kemampuanku sendiri.
“Ibu masih ingin kamu berada di rumah beberapa waktu ke depan, karena Ibu tidak lagi ke mana-mana. Saat kamu sudah bekerja kelak, waktumu akan terkuras di luar rumah, Ibu akan kembali sendiri,” ada rona yang tidak dapat kutafsirkan dari kata-kata Ibu. Aku tidak bisa mempertahankan ego lalu selalu berada di atas mau sendiri.
Sudah cukup lama aku meninggalkan Ibu tanpa seorang anak perempuan di sisinya. Aku sangat paham sekali rasa yang dipendam Ibu. Penantian panjang, pendidikan panjang pula menjadikan kami terpisah oleh ruang dan waktu.
Aku jauh di negeri orang, Ibu menjalani kehidupannya sebagai pengabdi negara sebelum pensiun dua tahun lalu. Aku berdiri di negeri berbeda, Ibu masih di tanah kering dan hujan tanpa salju dan daun berguguran dengan segenap harapan dan kecemasan.
Tanpa banyak kata, kami saling menyelami rindu tersendiri. Aku sudah pulang. Suasana hati Ibu akan lebih tenteram di masa tuanya!
***