Kutinggalkan Banda, kusimpan kenangan bersama teman-teman untuk kuceritakan kelak pada siapa yang mau mendengar. Angin malam menerpa wajahku yang terasa berat kubuang dari kerlap-kerlip lampu di sepanjang jalan utama. Banda sudah jadi kota besar, segala penjuru diterangi lampu milik negara. Mobil-mobil pribadi berjejer di lampu merah dengan berbagai merek. Mulai dari merek termurah sampai merek termahal sekali pun ada. Sudah kaya-kaya orang Aceh rupanya, sanggup membeli mobil dengan harga fantastis.
Mobil yang membawaku ke Kampung Pesisir ini melewati warung kopi yang mulai dipenuhi pelanggan. Warung kopi masa kini yang harus berinternet gratis jika ingin menarik pelanggan. Tidak hanya laki-laki, perempuan pun terlihat duduk berkelompok di antara kerumuman laki-laki dengan smartphone bahkan laptop di depan mereka. Era sudah berubah jauh meninggalkan primitif. Warung kopi sudah menjadi langganan elit muda Banda untuk bernostalgia di dunia maya hanya dengan secangkir kopi lima ribu rupiah. Mungkin, sesekali aku bisa menikmati kopi sambil berselancar di dunia tanpa bersentuhan fisik jika suatu saat kembali ke Banda.
Mobil penumpang yang kutumpangi terus melaju meninggalkan hiruk-pikuk Banda. Aku perhatikan seisi mobil ini. Di samping sopir seorang bapak berumur lima puluhan tak hentinya berbicara dan membakar rokok putih. Di barisan kedua tampaknya suami istri dengan seorang anak belasan tahun. Berulang kali istrinya mengeluh asap rokok membuat dirinya tak bisa bernafas. Kupikir hanya aku saja yang terganggu dengan asap rokok itu. Suaminya diam saja, protes ke bapak tua itu bukan pilihan tetap karena itu sangat sensitif sekali. Bisa-bisa terjadi perdebatan panjang seperti yang sudah pernah kualami dulu.
Semasa kuliah sarjana, aku pernah menegur seorang laki-laki yang duduk di sampingku. Dengan perasaan tidak bersalah laki-laki itu terus mengganti puntung demi puntung rokok. Aku tidak tahu berapa bungkus rokok yang disiapkan laki-laki itu selama perjalanan. Berulang kali pula aku terbatuk-batuk karena asap rokoknya. Begitu kutegur untuk berhenti merokok, aku malah dicibir.
“Bagaimana Anda ini? Laki-laki itu harus merokok! Suami Anda nanti akan jadi perokok aktif salama hidupnya di dunia ini. Laki-laki yang tidak merokok bukan laki-laki namanya, laki-laki macho harus merokok!” dan berbagai alasan lain yang tidak bisa diterima akal sehatku. Suamiku harus merokok? Tentu saja aku tidak akan menikah dengannya. Laki-laki harus merokok? Bahkan banyak teman laki-lakiku di kampus tidak merokok. Pemikiran laki-laki itu sangat jauh tertinggal di kampung halamannya. Seharusnya laki-laki itu berinteraksi dengan banyak laki-laki di kota besar yang tidak pernah merokok.
Seandainya malam ini di sampingku duduk laki-laki yang sama entah di tahun berapa yang lewat itu, akan kukasih tahu padanya, teman-teman laki-lakiku di Amerika satu pun tidak merokok. Budaya memang beda, mereka memang pernah minum minuman beralkohol, mereka memang main perempuan, tapi tidak semua melakukan itu. Ada kaidah yang tidak bisa mereka langgar saat berhubungan dengan kesehatan, walau mereka tidak semua percaya akan adanya Tuhan.
Sayangnya, malam ini di sampingku seorang laki-laki muda yang putih bersih. Kurasa setiap perempuan akan tertarik padanya. Dan sayangnya lagi, barusan laki-laki itu menerima telepon dari seorang perempuan, tak lama tangisan seorang bayi. Hancur sudah harapan perempuan yang ingin berada di dekapnya karena laki-laki itu sudah beristri. Beruntung pula istrinya karena laki-laki itu tidak merokok. Sengaja kupalingkan wajah ke samping kananku, lelaki itu duduk di dekat jendela, di bagian tengah dibiarkan kosong dan diletakkan jaket warna abu-abu. Laki-laki itu memejamkan mata dan melipat kedua tangannya ke dada. Laki-laki itu paham benar akan sopan santun serta kesetiaaan. Bisa saja laki-laki itu duduk di kursi tengah, berdempetan denganku yang duduk di dekat pintu. Tidak akan ada yang tahu kelakuan laki-laki itu padaku saat semua terlelap di mobil terus berjalan menembus malam. Apalagi kami duduk di barisan ketiga, dan hanya kami berdua saja. Ah, lagi-lagi aku mendapatkan teman laki-laki yang menampakkan sifat gentlemen sebenarnya. Paling tidak, penilaianku bisa kupertahankan sampai malam semakin larut dan tidak ada seorang pun yang bicara selain deru mobil ini.
Mobil yang kami tumpangi terus berjalan di antara pekat malam. Menaiki bukit, lalu memasuki kawasan pengunungan. Dalam hati aku memanjatkan doa-doa, rasa was-was menghampiriku yang pada dasarnya takut berkendara di malam hari. Tidak bisa kujelaskan kenapa aku memilih pulang malam ini, aku tidak mempunyai alasan apapun untuk menguatkan kepulanganku. Rasa takutku pada malam dan gunung berliku melupakan keberadaan laki-laki di sampingku. Dari depan masih terdengar dialog sopir dan laki-laki tua dengan rokok masih menyala. Di bagian tengah, suami istri serta anak mereka sudah terlelap dalam goyangan mobil. Mungkin hanya aku yang meraba-raba ketenangan di alam bawah sadar, kuamati laki-laki di sampingku juga memejamkan matanya.
Jalan terus menanjak, kami sudah memasuki kawasan Gunung Geurute. Salah satu gunung pembatas antara Aceh Besar dengan pantai Barat Selatan Aceh. Jika siang hari, orang-orang akan singgah di atas gunung ini. Terdapat beberapa warung yang menjurus ke lautan lepas. Menikmati lautan membiru sungguh pemandangan yang tiada tandingannya di atas gunung ini. Hanya karena malam, kami tidak menemukan apa-apa selain pekat.
Sopir memelankan mobilnya pada tikungan menanjak. Aku sedikit linglung. Kantuk dan perasaan tidak enak menjalar ke sekujur tubuhku. Firasatku mengatakan sesuatu akan terjadi malam ini. Belum pula pikiranku tenang, di depan kami sebuah mobil putih terseok-seok mendaki gunung. Di bagian belakang mobil tertulis, jenazah.
Bulu kudukku merinding. Laki-laki di sampingku juga mengangkat wajahnya lalu kembali duduk seperti semula. Kurapatkan sweater biru muda ke tubuhku yang tiba-tiba sangat dingin. Mataku tidak berani lagi melihat keluar jendela, tatapanku ke dalam mobil dan ke jalan raya di depan yang diterangi lampu mobil kami.
Suasana benar-benar sangat hening. Laki-laki tua di samping sopir pun tidak mengeluarkan suaranya lagi, asap rokok pun tidak lagi mengepul sampai ke belakang. Sunyi seperti malam dikejutkan oleh suara klakson sebuah mobil di belakang kami. Semakin tidak diberi jalan, klakson itu bersahut-sahutan. Kudengar sopir mengeluh sendiri dan memberi jalan pada mobil di belakang kami yang ternyata juga mobil penumpang yang ugal-ugalan.
“Malam-malam ngebut di jalan!” ujar laki-laki tua itu emosi.
“Biasanya sopir baru,” kata sopir itu datar.
“Biar pun baru, dia harus sadar ini malam dan kita masih di gunung!” laki-laki tua itu terdengar sangat emosi. Bunyi klakson kembali terdengar keras. Rupanya mobil itu ingin melewati mobil jenazah. “Jangan lakukan itu! Dasar sopir ingusan, tidak sabar, biarkan mobil jenazah lewat terlebih dahulu! Celakalah kalian!” umpat laki-laki tua itu.
Kami semua terjaga, termasuk suami istri dan seorang anaknya di depanku. Aku tidak yakin dengan sebuah kepercayaan yang tidak ada panutannya dalam agama. Namun, aku pun tidak bisa mengatakan tidak perkataan laki-laki tua itu.
“Kita pelan-pelan saja, kita hormati mobil jenazah itu!” ujar sopir saat melihat mobil penumpang yang melewati kami sudah hilang entah ke mana setelah melewati mobil jenazah. Kami semua setuju.
Malam kian sunyi di atas pengunungan sepi. Sebelah kananku gunung meninggi dengan pohon-pohon menghitam dalam gelap. Sebelah kiriku, setelah laki-laki yang tidak kutahu namanya, lautan lepas menunggu kami jika terpeleset di aspal berembun. Jurang yang sangat jarak dengan lautan itu bisa menerkam siapa saja tanpa bisa memilih. Bila sopir kantuk, tembok pembatas bisa ditabrak dengan mudah dan kami akan melayang ke jurang dengan pepohonan tinggi sebelum tercebur ke dalam air asin. Tidak bisa kubayangkan bila itu terjadi. Nyawa kami mungkin bisa terselamatkan jika tersangkut di antara pohon-pohon di dalam jurang, seandainya jatuh bebas ke dasar laut tubuh kami bisa jadi santapan empuk makhluk air asin itu.
Mobil kami terus melaju dengan pelan. Kami masih mendaki gunung yang rasanya sangat lama. Pada tikungan berikutnya, kami mendapati mobil jenazah itu berhenti di pinggir sebelah gunung. Perasaanku sudah tidak karuan. Bayangan tentang film-film horor membuatku waspada. Siapa tahu ini sama dengan dalam film, mobil jenazah sengaja berhenti, lalu keluar perempuan dengan pakaian serba putih dan rambut semampai, melambai tangan ke arah kami, meminta pertolongan. Lalu kami berhenti, dan satu persatu kami dilempar ke lautan lepas.
Dan benar, sopir mobil jenazah itu berdiri di samping mobilnya. Salahnya, sopir mobil yang kutumpangi juga berhenti walau sopir mobil jenazah itu tidak melampai meminta pertolongan. Bagaimana jika kami diapa-apakan?
“Apa yang terjadi, Bang?” tanya sopir mobil yang kutumpangi.
“Kempes ban,” jawab sopir mobil jenazah dengan raut lelah dan pias. Mungkin dia juga ketakutan seperti kami. Di tengah gunung, dalam dingin, di malam kelam, mau tidak mau dia harus membereskan ban mobilnya yang kempes. Waktu yang tidak tepat untuk ban itu menghilangkan anginnya. Kasihan sopir mobil jenazah itu. “Tidak apa-apa, bang. Di dalam mobil ada kerabat jenazah, Anda bisa jalan terus. Terima kasih!”
Sebenarnya berat hatiku melihat kejadian itu di tengah malam buta. Orang yang sudah tidak bernyawa segera ingin dikebumikan. Orang yang ditinggal pula ingin segera beristirahat melupakan sedih.
Mobil kami kembali melaju, dalam diam kami sedang mengartikan rasa kasihan menurut versi kami masing-masing. Sudut pandangku tentu akan berbeda dengan laki-laki yang kembali memejamkan mata di sampingku. Caraku mengasihani tentu tak sama dengan laki-laki tua di samping sopir. Dan cara sopir melihat kejadian itu mungkin sudah biasa baginya yang setiap waktu hidup di jalanan. Kurasa, intinya tetap sama. Kami iba dan terharu.
Jalan masih menanjak, entah kenapa kami tidak habis-habisnya mendaki gunung. Seperti ada makhluk gaib yang menarik mobil kami ke belakang agar tidak bisa berlari kencang, padahal setiap detik mobil kami sudah berpindah tempat, pohon-pohon tampak berlarian walaupun mereka diam.
“Ada apa lagi itu?” seru laki-laki tua mengejutkan kami semua. Di depan kami, sebuah mobil penumpang berhenti di tengah jalan. Posisinya sudah tidak stabil, agak miring ke kiri dengan tangan melambai-lambai dari jendela. “Bukankah mobil itu yang menyalip kita dan mobil jenazah itu? Sudah saya bilang mobil itu pasti kena petaka, biar tahu rasa sopir itu yang tidak tahu tata krama!”
Kami berhenti melihat keadaan. Aku pun ikut turun, karena semua orang turun. Tinggal sendiri di dalam mobil bisa-bisa aku pingsan ketakutan. Tidak bisa kupercaya apa yang baru saja terjadi. Mobil penumpang itu sudah tidak berbentuk di bagian depan. Mungkin sebuah hantaman keras membuat bagian depan mobil itu masuk ke dalam. Sopir mobil itu tertahan antara kursi dan stir. Dari tanganya yang melambai di jendela kulihat darah berceceran jatuh ke aspal. Dua penumpang perempuan di sampingnya pun meraung-raung tidak bisa membuka pintu. Penumpang di barisan kedua dan ketiga sudah keluar mobil dan lesu di pinggir jalan.
“Apa yang terjadi?” tanyaku dalam gemetar pada seorang ibu yang duduk lemas di pinggir jalan. Kuberikan air mineral pada ibu itu.
“Saya tidak tahu jelas, Nak! Tiba-tiba saja kami menabrak benda hitam, lalu kami jadi seperti ini!” ibu itu kembali terisak. Niatnya sama denganku, ingin segera sampai ke rumah dan bertemu keluarga. Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi. Benda hitam apa yang membuat mobil ini jadi ringsek dan berlumur darah. Kuyakin ini akan jadi teka-teki tanpa jawaban, di depan kami tidak terdapat suatu benda pun. Hanya jalan lurus menanjak.
Beberapa mobil penumpang yang lain ikut berhenti, orang-orang berhamburan keluar dan melihat situasi. Beberapa dari mereka mencoba menghubungi pihak berwajib terdekat. Satu dua penumpang mobil yang sudah hancur bagian depan itu diselip-selipkan pada mobil lain yang masih bisa menampung penumpang. Selebihnya langsung berangkat lagi karena tidak bisa memberi pertolongan, termasuk kami.
Aku belum bisa menenangkan diri, segenap ingatanku masih tertinggal di kecelakaan serta mobil jenazah yang masih tertinggal di tepi jalan sana. Mobil kami terus melaju, sudah menuruni pengunungan dan tikungan tajam. Aku kembali harap-harap cemas. Tikungan tajam di tengah malam, jalanan licin, membuat bulu kuduknya berdiri tegak. Semoga kami tidak menabrak sesuatu yang hitam – entah apa pun itu.
“Coba lihat! Itu bekas cat mobil penumpang tadi!” lagi-lagi laki-laki tua itu membuat detak jantungku seakan berhenti. Kuperhatikan lebih teliti, benar saja. Di depan kami sebuah truk besar berjalan bagai siput dengan batu besar di dalamnya. Aku mengerti, mobil penumpang tadi pasti menabrak truk ini. Kubuka memoriku ke beberapa waktu ke belakang. Aku pernah melihat truk itu. Tapi di mana?
“Truk itu melewati kita saat Anda ke kamar mandi di masjid sebelum Geurute,” ujar laki-laki di sampingku seakan mengerti tanyaku pada memori yang belum juga kudapati jawabannya. Aku mengutuk ingatanku yang lambat membuka folder akan keberadaan truk itu. “Truk itu sangat berat, pantas saja tak kelihatan saat mendaki. Coba lihat asap yang dikeluarkan truk itu, kalau jalan mulus dan menurun saja bisa segitu bagaimana dengan mendaki? Saya tidak bisa bayangkan asap yang muncul, pantas saja sopir mobil tadi tidak bisa melihat dengan jelas dan langsung menabrak truk itu!”
Aku sangat ngeri mendengar penjelasan laki-laki itu. “Kita pelan saja di belakang truk itu, Bang!” ujarku sedikit gemetar.
“Iya, Bang!” ibu di depanku menyetujui. Kelihatannya dia sama denganku.
“Saya akan pelankan, cepat atau lambat kita juga sampai ke rumah!” mendengar ucapan sopir aku menjadi lebih tenang. Aku bisa merebahkan pundakku ke kursi yang tidak empuk. Kucoba pejamkan mataku, dengan begitu aku bisa tertidur dan saat terbangun sudah di depan rumah.
***