Scane 1: Pra-UTS (Ujian Tengah Semester).
Ceritanya ini adalah kenangan saat aku masih berada di bangku yang sama di sekolah bersama "Dia".
Sore itu aku masih berdiam diri di rumah, tapi aku sudah menyusun rencana dengan matang, ya bisa dibilang begitulah…, karena semua pekerjaan rumah sudah beres, dan tak perlu lagi aku merepotkan diri untuk mengurus ini dan itu, maka aku putuskan untuk melepaskan kepenatan dengan cara yang mungkin semua orang pikir ini adalah hal yang konyol. Bagaimana tidak? Aku harus naik ke atas genteng, well meski ini bukan untuk yang pertama kalinya aku nongkrong di atas genteng. Ya, buat apalagi aku di atas sana, kalau bukan untuk nongkrong, walaupun hanya seorang diri.
Aku suka sekali suasana langit yang polos tapi menawan itu, apalagi kalau sore hari saat senja itu datang, suasana hatiku sangat tenang menatapnya.
“Hmm, bosan juga sih, kalau cuman ditemani terpaan angin,” kataku lirih. “Apa ya?” gerutuku, sambil berpikir. “Nah, bener!” kataku sedikit berteriak. Seketika aku langsung melototi ponsel yang sedari tadi aku genggam.
“Waduh, besokkan sudah mulai ujian … “ Batinku, mencoba mengingatkan. Merasa acuh, jari-jari jemariku dengan cepat menekan tombol-tombol manis yang bertengger di sana. *555# Cek Pulsa Indosat.
Loh!
“Wah… lumayan nih pulsa masih cukup kan buat daftar paket internet sore ini sampai nanti malam …” bisikku, dalam hati. Senyum licik.
Tanpa disuruh, jari-jari jemariku kembali menjajaki tombol-tombol itu. *123*1000*5#
Sip. Senyum simpul.
Yuhuuu.
Mau apa lagi kalau bukan log in akun facebook. Maklumlah namanya juga HP-jelek, syukur-syukurlah masih bisa terhubung dengan internet.
“Lala, besok hari pertama waktunya Fisika. Ini kok malah asyik facebookan sih … “ Teriak suara hatiku, lagi. Aku masih acuh, aku tetap serius memandangi beranda facebookku.
Zzzzzz …
Pemberitahuan 43
Pesan 1
“Nah, loh dia online,” kataku dalam hati.
Iseng. Aku mengirimkan pesan pada dia.
//Heh, belajar jangan online mulu …//
Wah … kebangetan si Lala, dia sendiri gak belajar malah main perintah orang sekenanya. Ah, tak apalah aku kan memerintahkan hal yang baik. Hihihi . Beberapa menit kemudian. Drrrttt … Bunyi getar ponselku.
//Lu, juga sama –-//
//Lu, juga sama –-//
Dua pesan singkat dari dia sejak sore itu selalu terngiang-ngiang dalam telingaku, seakan membuatku tersadar akan sesuatu. Seperti ada sinar gamma yang memancariku seketika itu juga, entah kenapa … Energi itu terlalu besar dan mampu merubahku menjadi robot yang terlalu peka dengan semua perkataannya. Malamnya dia kembali mengirim pesan, via sms.
// Selamat Belajar //
Siapa sangka dia akan mengirimiku pesan via sms, mungkin bisa dibilang ini pertama kalinya dia mengirim pesan via sms, karena selama ini obrolan kami hanya sebatas pada media sosial Facebook.
Ah, entahlah ... Dua kata darinya. Dalam waktu sekejap itu mampu membiusku dan aku benar-benar terpengaruh dengan dua kata itu. Dengan penuh semangat aku mengambil buku pelajaran materi ujian untuk besok. Sungguh, aku benar-benar belajar di malam hari pertama ujian, serius. Dan ini baru pertama kalinya.
Aku pun masih tak mengerti, aku yang selalu malas belajar, tak peduli waktu ujian sekalipun, aku tak menghiraukannya. Semenjak kehadiran dia dalam hidupku, ya aku belum bisa mengakui kalau ini cinta. Tapi dia benar-benar menghipnotisku.
Scane 2: UTS –Hari Pertama–.
“Memuaskan. Jadi begini ya rasanya bisa mengerjakan soal dengan jawaban hasil pikiranku sendiri, tanpa mencontek jawaban dari teman lain,” kataku dalam hati, “beruntung tadi malam aku benar-benar belajar. Tentu juga karena dia. Ah, kenapa tidak sedari dulu saja,“ kataku tetap dalam hati, sementara senyum manis di bibirku tak berhenti merekah. Mungkin mereka yang melihatku saat ini mengira ada sesuatu yang aneh dalam diriku, karena tak biasanya aku tersenyum riang gembira seperti saat ini.
Jadi begini ceritanya … Biasalah, kalau ujian pastinya adat ‘contoh-mencontoh’ pasti berlaku bagi orang yang menggelutinya, termasuk aku. Tapi itu dulu, ya … dulu aku selalu mentaati adat itu … Maklum aku kan malas kalau disuruh untuk belajar. Tapi … Sekarang lain lagi, dan tetap saja, terkadang kalau aku tidak bisa, aku akan tanya ke dia, dan kalau dia gak bisa giliran aku yang ngasih tau.
Masalahnya adalah …
Apa?
Yang jadi masalah adalah jarak yang memisahkan kita -sewaktu ujian. Masih untung sih, dalam satu ruangan yang sama.
Ya, padahal hanya terpisah dua meja, tapi karena ruang kelas kami yang begitu luas, maka jarak pun semakin jauh. Komunikasi susah . Bapak dan Ibu guru memang pintar untuk menyetting ruang ujian sedemikian rupa. Seiring berjalannya waktu, selama ujian UTS ini aku benar-benar siap menghadapi soal-soal yang ada di depan mata, meski banyak hambatannya juga sih …
Perubahan 180 derajat itu benar menimpaku. Seakan tak percaya teman grup contekanku dulu pun masih mempertanyakan perubahan ini.
“Ini benar, kamu pakek aji-aji apa La?” tanya Edo.
“Hah? Aji-aji? Kamu pikir aku anaknya Mbah Dukun! Ya gak lah …”
“Terus, kenapa ujian kali ini, nilai kamu meningkat drastis,” sahut Rara.
“Belajar,” jawabku singkat.
“Belajar? Aku gak salah dengar? Kamu belajar La?”
“Seorang Lala, belajar?” sahut Edo, lagi.
“Ya, and well … Sebenarnya aku juga belum mempercayainya, kenapa akhir-akhir ini aku rajin banget belajar … Mungkin inilah pertama kalinya aku belajar dengan sungguh-sungguh,”
“Aku pikir, setiap kali kamu mengumpuklkan lembar jawaban lebih dulu Karena seperti biasanya kamu menjawab soal-soal itu dengan jawaban konyolmu, tapi dugaanku kali ini salah besar,” Kata Edo.
“Pasti ada sesuatu … “ tebak Ani.
“Iya, gak mungkin La … Tiba-tiba saja kamu rajin belajar, pasti ada factor yang …” kata Rara, terhenti.
“Apa karena kamu diomelin terus sama Ayah dan Ibumu kalau di rumah, karena selalu dapat nilai merah?”
“Gak,”
“Kamu mau mengalahkan Sinta, peraih peringkat pertama bertahan yang selalu meraih juara kelas?”
“Gak,”
“Atau kamu mau seperti Sari, si kutu buku tapi banyak cowok-cowok yang naksir?”
“Gak,”
“Terus?”
“Gak, gak ada faktor lain … Ini kemauanku sendiri, oke?” Kataku tegas, pada mereka, “sebenarnya karena dia juga sih … “ bisikku dalam hati.
Perubahan itu memang benar adanya. Terima kasih untuk percikan-percikan semangatnya. Aku janji, mulai dari ujian ini dan seterusnya … Aku akan belajar. Kini, pisau tumpul itu akan aku asah sebaik mungkin, sehingga pisau itu akan semakin tajam, tapi tidak membahayakan. Cinta memang merubah segalanya, aku bersyukur cinta itu merubahku dalam kebaikan. Berkat “DIA”, percikan semangat yang menyadarkan aku.
GANBATTE!