Ketiga pohon di lantai bawah berguncang, akar-akarnya yang menancap ke bawah lantai, terangkat naik. Batang dan dahannya mengecil hingga seukuran orang. Mereka, ketiga pohon itu, bergerak ke kanan kiri. Perlahan mereka melompat beberapa kali sampai akhirnya bergerak ke arah tangga. Mereka menaiki tangga dan sampai di depan Milly yang terlelap.
Salah satu pohon mendekat ke kaki Milly, lalu menggerakkan ujung dahannya ke kaki Milly, ingin menusuknya! Namun sebelum sampai di sana, di betis Milly, Hal lebih dulu terbangun dan menunjang batang salah satu pohonnya.
Hal menarik kaki Milly hingga gadis itu terjatuh ke lantai dan terbangun. Ia menggosok kaki kanannya yang menunjang pohon tadi ke lantai. Darah menetes dari goresan di kakinya. Baru kali itu ia terluka setelah beberapa hari belakangan.
"Paman ...? Apa itu? Pohonnya bergerak?" Milly hanya bisa terperangah melihat tiga pohon ada di dekat kasurnya.
"Lompat! Lompat dari jendela!"
"Apanya yang lompat? Ini lantai dua."
Jika itu orang biasa, maka Hal bisa mengalahkan mereka, atau setidaknya ia akan menjatuhkan mereka beberapa saat. Namun ini adalah pohon. Yang jauh lebih keras dan tidak merasa sakit. Hal tidak mau mengambil risiko untuk turun dari tangga. Melompat dari jendela lebih baik.
"Kenapa pohonnya menyerang kita?"
"Milly, sekarang kita harus turun! Nanti saja dipikirkan lagi. Cepat!"
Sementara Milly berlari ke arah jendela dan membukanya, Hal menghindari dan membelokkan dahan-dahan yang memanjang dengan lemari pendek di dekat dinding. Pohon-pohon itu hanya berusaha menggapai Milly. Hal yang menghindar seperti tidak ada gunanya, karena memang pohon itu tidak menyentuh Hal sedikit pun, mereka malah berusaha tidak mengenai Hal.
"Tinggi sekali! Paman bakal ikut, kan?"
"Aku di belakangmu!"
Milly menjejakkan kakinya di atas kasur yang baru dia tarik. Mengeluarkan kepalanya lebih dulu dan duduk menyempil di jendela yang panjangnya kurang dari semeter itu. Gadis itu lalu menjatuhkan tubuhnya ke depan dan menghantam atap kanopi teras lantai bawah. Lanjut lagi berdiri dan melangkah, melompat lagi sampai terguling tubuhnya ke atas aspal. Tidak ada goresan, tidak ada darah, tidak ada rasa sakit.
"Paman, turunlah! Aku baik-baik saja!"
Hal mendengar teriakan Milly dan mundur. Punggungnya menyentuh area jendela yang terbuka. Melihat pohon-pohon itu bergerak maju ke depan, ia segera melompat ke jendela dengan masih menghadap pohonnya dan menjatuhkan badannya ke belakang. Menghantam kanopi dengan punggungnya yang tidak bisa remuk. Lalu berlari dan melompat ke aspal.
"Ayo, kita lari!"
"Ke mana?"
"Ke tempat di mana pohon tidak ada."
Memangnya masih ada? Hal langsung memenuhi kepalanya dengan pertanyaan itu. Kalau pun ada daerah di mana pepohonan tidak tumbuh, bukan berarti tidak ada orang di sana. Dan bisa juga orang itu sudah menjadi pohon.
Selama mereka berlari, pepohonan di tengah jalan berguncang semua. Mencoba untuk mencabut akarnya dan berubah seukuran manusia, membentuk dua kaki dari akar yang menyatu dan bergerak mengikuti Milly. Mau itu pohon yang berubah dari manusia, ataupun pohon yang memang sudah lama ditanam di pinggiran jalan. Bahkan bunga-bunga di pot memandangi punggung Milly.
"Pohon-pohonnya bisa buat kita luka. Kakiku berdarah tadi waktu menendangnya."
"Bukannya kita abadi? Kemarin kita tetap hidup, walau pun bunuh diri berkali-kali. Tadi juga pas lompat dari lantai dua, luka goresnya nihil."
"Mungkin cuma pohon. Cuma pohon yang bisa buat kita luka."
"Karena yang buat kita abadi juga pohon?"
"Yah, lebih cocok disebut hantu penunggu pohon."
Pohon-pohon itu memang masih mengejar, tapi setelah agak jauh jaraknya, mereka berhenti. Yang lanjut mengejar adalah pohon-pohon yang baru mereka berdua lewati. Hal segera membelokkan arahnya berlari ke kiri, melewati jalan-jalan kosong dan masuk ke jalan-jalan sempit. Ia dan Milly sampai ke blok ruko yang tidak berpenghuni. Beberapa ratus meter tanpa ada orang. Tanpa pohon juga. Sebuah tempat bernaung yang sempurna.
"Kita tinggal di sini dulu. Ruko yang paling tengah," katanya pada Milly.
"Tapi di sini gelap."
"Sementara, pagi nanti biar kubeli yang perlu-perlu. Untuk sekarang, kita masuk ke dalam dulu."
Mereka langsung mendatangi sebuah ruko. Hal sengaja memilih yang paling tengah di antara deretan ruko-ruko. Sebuah ruko dengan empat lantai dan atap datar yang terbuka, sebuah rooftop. Satu di antara beberapa ruko yang tidak ada kaca jendelanya yang pecah. Pintunya juga tertutup rapat, dikunci juga. Hal berkeliling ke sekitar sebentar, dan melipat-lipat kawat yang ditemukannya di ruko seberang. Lalu memasukkan kawatnya ke dalam lobang kunci.
"Memangnya bisa kunci ruko begini pakai kawat?"
"Apa yang buat jadi tidak bisa?"
Dan terbukalah kuncinya. Sebuah kemampuan yang tidak ingin digunakan oleh Hal sejak lama. Mau bagaimana pun bentuk dan harga kunci pintunya, kawat selalu jadi solusi. Mereka langsung naik ke lantai empat setelah menutup kembali pintunya.
"Kenapa pohonnya jadi hidup? Paman tahu sesuatu?"
Hal duduk di lantai sambil menempelkan punggungnya ke dinding yang sama dinginnya dengan lantai. Ia menjawab, "Entahlah. Yang pasti cuma kamu yang dikejar oleh pohon itu."
"Jadi, kenapa paman ikut lari juga?"
"Memangnya kamu bisa apa kalau sendiri?" Hal terkekeh sebentar. "Kita juga sudah janji jadi pemilik dunia berdua, kan?"
"Bodoh, siapa yang mau jadi pemilik dunia. Aku cuma bercanda."
"Aku memang buruh kasar, tapi aku tidak bodoh."
"Ah, maaf."
Begitu hari telah pagi, Hal langsung bersiap keluar. "Milly, tinggal di sini. Jangan keluar dan jangan biarkan siapa pun masuk ke sini. Aku yakin bakal ada orang yang ke sini."
"Aku mau ikut!"
"Jangan jadi anak kecil. Tinggal!"
Milly tidak memperpanjang apa pun lagi dan hanya pergi ke pojok ruangan, duduk memeluk betisnya. "Cepat pulang, Paman Bodoh!"
***
Puluhan mobil melintasi jalan raya di dekat komplek ruko. Mereka mengarah ke luar kota. Salah satu mobil berhenti di dekat Hal yang tengah berdiri melihat mobil-mobil lainnya.
"Hal! Ikut kami! Kita harus keluar dari sini!" Itu teman Hal, D. "Orang-orang mau berubah jadi pohon makin menggila, cepatlah! Sebelum mereka mengejarmu."
"Kalian dikejar pohon?"
"Bukan! Orang-orang yang terkena pohon itu, semuanya jadi gila, mereka tidak langsung jadi pohon lagi sekarang, mereka jadi mayat hidup bertubuh pohon. Kita keluar kota saja, cari tempat aman."
Mau keluar kota pun, belum tentu di luar sana tidak sama dengan di sini. Hal yakin sekali tentang itu. "Apa kata berita? Ada yang bisa jelaskan soal ini?"
"Apa maksudmu? Di mana kau bermalam? Seluruh komunikasi putus dari kemarin. Tidak ada sinyal. Listrik juga mati tadi pagi. Kota ini sudah gila."
"Aku tetap di sini sementara."
"Begitu, ya. Jangan terlibat masalah besar! Jaga pacarmu baik-baik dan ambil kapak ini."
D menyodorkan sebuah kapak sepanjang lengan pada Hal. "Itu makan tempat. Kamu juga tahu untuk apa itu digunakan. Berhati-hatilah! Nanti kita ketemu lagi kalau selamat."
D adalah salah satu yang paling dekat dengan Hal. Selama bertahun-tahun mereka sudah akrab dan saling kenal. Namun Hal tidak bisa apa-apa saat ini untuk menjaganya tetap hidup. D juga bukan orang yang benar-benar baik, untuk beberapa alasan. Maka Hal tidak perlu berpikir dalam-dalam untuk orang itu.
"Tapi terima kasih untuk kapaknya."
Masih ada sebagian penduduk yang memilih tinggal. Yang tidak punya mobil adalah salah satunya. Sebelum mereka berebut barang-barang di kota, lebih baik diambil lebih dulu.
Salah seorang di pinggir jalan menyita perhatian Hal. Langsung saja Hal melayangkan bilah kapaknya ke leher seorang pria tua berjanggut. Darah mencuat dan pria itu terkapar. Lagi, Hal membelah lehernya.
"Apa yang kau lakukan?"
"Menyelamatkan kalian. Dia sudah jadi pohon. Lihat janggutnya!"
Beberapa orang yang mungkin anggota keluarga pria itu menangis sejadi-jadinya. Dan mencoba membalas perbuatan Hal. Mereka tidak melihat bagaimana janggut pria tua itu, bukannya bulu, melainkan lumut. Matanya tadi juga hijau. Sekarang Hal mengerti apa yang dikatakan D. Bagaimana seseorang yang akan berubah menjadi pohon tidak langsung menjadi pohon. Hari-hari sebelumnya, orang yang berkontak langsung dengan pohon langsung berubah menjadi pohon. Namun baru beberapa jam lalu, bukan hanya yang berkontak dengan pohon, seseorang yang memakan dan memegang tanaman, perlahan-lahan menjadi pohon. Hal mendengar semuanya di tengah jalan. Dari mulut ke mulut.
"Bukan berarti dia harus dibunuh. Memangnya kenapa kalau dia jadi pohon?"
"Dia pasti berkeliaran dan itu membuatku merasa tak nyaman."
Hal juga baru mengetahui tidak ada pohon yang bergerak di pagi hari ini. Ada dua kemungkinan yang ia simpulkan, antara mereka hanya bergerak di malam hari, atau mereka hanya bergerak di sekitar Milly. Tentang mereka yang terjangkit pohon, mereka masih bisa bergerak saat siang. Mereka jadi ancaman.
"Jangan sedih begitu, kalian juga akan jadi pohon. Aku tidak akan menebas kalian, tapi aku tidak tahu bagaimana dengan yang lain."
Hal meninggalkan keluarga pria tua itu. Sedangkan beberapa orang yang menonton di dekat sana mendekat dan melenyapkan keluarga yang tersisa. Karena keluarga itu, baru saja menyentuh mayat si pria tua.
Hal memanfaatkan perhatian orang-orang dan mencuri sebuah mobil bak terbuka. Ia lalu mengemudikan mobil itu ke sebuah minimarket. Mengambil banyak makanan instan, mie, ikan kaleng, bahkan buah kalengan dan mengangkatnya ke atas bak mobil. Ia juga singgah sehabis itu ke depot air minum untuk mengambil beberapa galon air mineral, sempat dihentikan oleh seseorang, tapi Hal memukuli orang itu dan membuatnya tak mampu melawan lagi.
Ia membawa tisu, beberapa gelas, jam dinding, termos air dan kompor gas. Dan yang paling penting, ia mengambil beberapa potong pakaian ganti, selimut, dan kasur lipat. Semuanya dari beberapa toko di pusat perbelanjaan kota Maury.
Ketika ia mengemudikan mobil kembali ke rukonya, seseorang menghentikan jalannya. Ada seorang wanita di sana. Di tengah jalan komplek yang sekitar empat atau lima ruko jaraknya dari ruko tempatnya dan Milly. Hal memencet klakson berkali-kali, meneriaki wanita itu untuk minggir. Namun tidak ada jawaban apa pun, tidak mau minggir juga. Hal turun dari mobil dan berjalan sampai berdiri persis di depannya.
"Kenapa kau tidak mau minggir? Ada masalah apa dengan kepalamu?"
Wanita itu awalnya menunduk. Setelah mendengar suara Hal di depannya, dia lantas menaikkan mukanya menghadap Hal. Dia tersenyum, bibirnya yang merah tipis melengkung. Matanya yang cokelat tidak berkedip sekali pun. Tangannya putih mulus ditumbuhi rambut-rambut halus, yang segera memegang kedua belah pipi Hal. Lalu memeluk Hal, lengannya melingkari bahu dan leher Hal.
Semakin lama semakin erat pelukan itu. Hal bisa merasakan betapa hangatnya tubuh wanita. Dan tanpa sengaja, lengannya pun ikut membalas, ikut memeluk tubuh ramping wanita itu. Betapa rapuhnya, kata Hal dalam hati. Tubuh wanita itu hangat, tapi juga kecil, lembut saat kulit menyentuhnya.
"Aku rindu, Paman," bisik wanita itu yang menjinjit untuk berdekatan mulutnya dengan telinga Hal.
Hanya satu orang. Sampai saat ini hanya satu orang yang memanggil Hal dengan sebutan "paman" dan ia hafal betul suaranya. Suara yang lembut itu, tidak lain suara yang selalu didengarnya belakangan ini. Hal berusaha sedikit melonggarkan pelukan. Ia menarik wajah wanita itu perlahan ke atas. Tak ayal lagi. Wanita itu adalah Milly!
Kenapa Milly ada di luar? Kenapa dia memelukku? Hal melontarkan pertanyaan-pertanyaan itu pada dirinya sendiri. Terkadang untuk beberapa kali, Milly bisa bersikap lembut. Namun tidak begitu intens seperti ini. Hal tahu betul tentang itu. Ia juga tahu betul, bahwa saat ini, wanita yang memakai gaun hitam terusan sederhana di depannya, bukanlah Milly yang ia kenali. Milly yang ia tahu tidak akan memeluknya langsung begini, dan sedikit lebih muda dari wanita itu. Ya, wanita itu mungkin berusia awal dua puluhan.
"Siapa kau?" Hal bertanya tanpa melepas tubuh wanita itu.
Pikiran seperti kakak atau ibu Milly tidak ada, Hal membuangnya. Sudah pasti Hal mengenal ayahnya Milly. Ia tahu bahwa Milly adalah anak tunggal dan ia tahu bagaimana rupa ibunya.
"Paman jahat sekali. Yah, tidak heran melihat orang yang hampir empat puluhan sudah mulai pikun. Tapi kalau lupa sama aku itu keterlaluan namanya."
Hal sempat berpikir liar, "Milly?"
"Bodoh, kenapa pakai nada bertanya begitu. Paman Bodoh!"
Hal melepaskan pelukannya. Mundur beberapa langkah ke belakang sampai punggungnya menabrak mobil. Wanita itu masih juga tersenyum. Namun matanya kini mulai berair, dia menangis, air matanya tidak berhenti menetes ke pipinya. Sesekali dia pun sesenggukan.
"Paman, dunia di mana hanya ada kita berdua. Sebentar lagi, aku bakal buat dunia itu jadi nyata. Sementara itu, jangan merokok dan minum lagi, ya. Aku tidak mau paman dapat penyakit yang merepotkan. Siapa nanti yang kesusahan? Karena itu, tunggulah aku!"
Tidak sampai sedetik setelah wanita itu selesai bicara, dia langsung hilang. Seperti asap terbawa angin kencang. Lenyap!