Hal membakar keretek dari bungkus baru lagi begitu habis dua botol bir. Ia menggesek pentol korek dan mendekatkan apinya pada ujung keretek. Ia mengisap ujungnya yang lain dan mengembuskan asap setelahnya. Setelah habis pula dua tiga batang, lanjut lagi membuka botol baru. Kali ini anggur merah. Sudah dibawanya sebotol penuh, masih tersegel. Bukan lagi main tuang ke gelas, Hal meminumnya langsung dari botol.
Sudah mau lewat tengah malam, jadi ia putuskan tidur di kedai kopi saja. Sambil menghabiskan beberapa botol minuman yang diambilnya dari sebuah toko di dekat kedai. Keretek di kedai kopi itu juga ada berpuluh-puluh. Sudah tentu, pasalnya di kota Maury, itulah kedai kopi paling tersohor. Ramai orang selalu datang. Bukanya dua puluh empat jam. Namun dari siang tadi tidak ada orang di dalamnya. Hal merasa tidak perlu mencari jawaban, setelah melihat tiga pohon di tengah kedai kopi, yang menghancurkan langit-langit dan ubin. Malah ia bersyukur ada tempat seperti surga yang tidak ada orang. Surga penuh keretek dan kopi.
"Pahit! Apalagi sambil lihat orang tua yang tidak punya kerjaan, cuma minum miras sambil merokok!"
"Kenapa malah ikut ke mari? Kalau di sini, jangankan air yang diminum, udara yang dihirup juga bakal pahit rasanya!"
"Seorang pemabuk tidak punya hak membalas hinaan tentang dirinya sendiri, Paman."
Dari awal Hal tidak mempermasalahkan Milly yang ikut ke mana pun ia pergi. Tidak ada yang dirugikan tentang itu. Kecuali kenyataan bahwa Milly akan mengeluarkan umpatan tanpa ada masalah yang benar-benar menimpanya.
Milly yang awalnya tidak mau ikut lagi dengan Hal pagi ini. Ketika mereka berdua baru bangun. Hal memeluk erat Milly saat tidur. Mereka berbaring miring dengan muka yang berhadap-hadapan.
"Seorang pria paruh baya memanfaatkan kelemahan seorang yang sedang tertidur, dengan melakukan hal-hal cabul." Setelah mendengar Milly mengatakan itu, Hal buru-buru bangkit dan menjauh. Untungnya Milly tidak memperpanjang masalah itu.
"Aku tidak ikut lagi. Dekat-dekat dengan orang cabul itu sama sekali tidak baik. Jangan ikuti aku!" teriak Milly padanya.
Setelah perpisahan yang agak kasar itu, Hal tidak langsung meninggalkan pohon ek itu. Ia hanya duduk di tanah sambil mengingat-ingat mimpinya malam tadi. Dan dalam diam yang tidak seberapa lama itu, ia mendengar teriakan seseorang. Awalnya seperti teriakan pria, yang meminta-minta tolong lalu diikuti jeritan perempuan. Hal tak ayal lagi jeritan perempuan itu suaranya Milly. Jadi ia segera bergegas, menyusuri jalan setapak dan keluar dari daerah pohon ek dan pinus. Hingga sampai ke ujung jalan raya, dan mendapati Milly terduduk memandang sebuah pohon. Pohon di tengah jalan beraspal! Di bawahnya, di akar-akar, beberapa pecahan jalan berserakan. Itu sama dengan mimpinya!
Hal melangkah ke dekat pohon, melangkahi sebuah sepeda yang tergeletak, dan memijak akarnya. Tidak ada yang terjadi. Lalu ia menempelkan telapak tangannya ke batang pohon. Panas! Rasanya seperti menyentuh knalpot dari motor yang habis berjalan jauh. Namun hanya sebentar, sebab lama kelamaan panas itu menghangat, dan menjadi dingin. Begitu dingin hingga seperti menyentuh es kristal.
"Kakek itu, pohon. Kakek itu berubah jadi pohon! Paman, percayalah, aku lihat sendiri dia turun dari sepeda, terus dia tiba-tiba jadi pohon!" Milly langsung bangkit begitu Hal menjauh dari pohon di tengah jalan itu.
"Ya, aku percaya. Aku percaya. Semua orang pasti bakal berubah juga. Aku mau ke kota."
Milly mengikutinya di belakang. Baru beberapa langkah, Hal langsung berbalik. Ia mengambil sepeda yang tergeletak tadi dan menaikinya. Milly langsung ikut pula duduk di batang sepeda. Tanpa bicara lagi, mereka pergi dari ujung kota Maury itu. Dan mendapati lebih banyak orang berubah menjadi pohon.
Orang-orang berlarian ke sana ke mari. Mereka berteriak San menjerit, seperti orang kebakaran jenggot. Saling memberi tahu ada yang berubah menjadi pohon. Beberapa orang tidak percaya, mereka yakin ada yang salah lihat. Bahkan ketika di tengah-tengah mereka ada yang menjadi pohon, sebagian orang itu tetap tidak percaya. Maka beradu mulutlah mereka. Saling memaki. Sampai ada yang menendang pohonnya, dan malah berakhir menjadi pohon juga.
Tiap kali ada yang akan berubah, kaki mereka akan memanjang, terbelah-belah menjadi bagian-bagian kecil. Lalu kedua tangan mereka tertarik ke atas, memanjang dan bercabang. Kulit mereka menggelap lalu mengeras hingga membentuk beberapa lapis kulit baru. Pakaian mereka terkoyak dan lepas. Badan mereka membengkak dan memanjang. Leher, kepala, dan badan menyatu. Lengan mereka yang bercabang ditumbuhi dedaunan. Kaki mereka yang terbelah-belah menusuk ke tanah. Bahkan jika di aspal, semuanya menerobos hingga aspalnya hancur. Mereka menjadi pohon utuh!
Beberapa orang lebih memilih lari entah ke mana. Begitu juga dengan yang tadi tidak percaya. Keluarga mereka yang menjadi pohon menangis-nangis dan memeluk pohonnya. Hingga akhirnya mereka ikut berubah.
Hal dan Milly lanjut bergerak ke tengah kota. Di tengah kota Maury, situasinya jauh lebih kacau. Kecelakaan tejadi di mana-mana. Pohon-pohon yang muncul di tengah jalan, ditabrak oleh sebuah truk dan terguling ke bangunan sekitar. Beberapa orang mati bukan karena pohon, tapi karena mobil dan bangunan yang hancur. Tidak ada yang berani mendekat, jadi semua mayat itu dibiarkan saja. Orang-orang sibuk menghubungi polisi dan ambulans. Namun setelah lama menunggu pun, tidak ada yang berani mendekat juga. Mau itu petugas kesehatan atau polisi sekali pun.
"Jangan sentuh pohonnya!"
"Jika kalian menyentuh pohon, kalian akan berubah menjadi pohon."
"Apa maksudmu? Dia ayahku! Ayahku berubah menjadi pohon."
"Kalau kalian mau ikut jadi pohon, silakan dekati! Mereka yang jadi pohon sudah pasti mati!"
Tidak masuk akal. Hal pasti berpikir begitu juga sama seperti orang-orang, jika ia tidak bertemu anak itu. Dan jika ia tidak memimpikan sesuatu malam tadi. Hal menarik Milly dari tengah-tengah kerumunan.
"Paman, kita mau ke mana?"
"Cari makanan dan minuman. Cari tempat tidur juga. Sampai sekarang, kita masih belum bisa mati."
Jika memang bisa, maka Hal akan menjadi pohon juga setelah menyentuh pohon tadi. Dan sampailah mereka di kedai kopinya.
"Kita cuma cari keretek dan bir saja. Mananya yang makanan?"
Hal menaruh anggurnya ke atas meja kayu yang dicat hitam. Lalu menutup semua jendela dan pintu kedai kopi. "Tidur dan taruh keretek itu!"
"Kenapa? Karena aku masih enam belas? Kenapa juga harus tidur?" Milly membakar ujung keretek yang diambilnya dan mengisapnya. Gadis itu terbatuk-batuk di isapan pertama, tapi dia tidak berhenti. Dan terus mengisap meski batuknya makin parah.
Hal tidak lagi melarangnya. Ia malah menunjukkan bagaimana mengisap keretek yang benar. Dan menyuruh Milly untuk mengikuti caranya. Meski tampak tak sanggup menghabiskan satu batang saja, Milly tetap memaksakan tenggorokannya. Sampai habis pula satu batang itu. Segera Hal memberinya air putih hangat untuk diminum.
"Kupikir enak," kesal Milly.
"Tapi habis juga."
Milly mendekatkan kursi tempatnya duduk persis di sebelah kursi Hal. "Paman tahu, malam kemarin aku mimpi paman meninggal."
"Aku mimpi kau menangis waktu aku mau mati."
"Hah, siapa yang peduli hidup matinya paman. Itu cuma mimpi."
"Aku juga belum tentu mati, cuma karena anak perempuan bau kencur yang coba-coba merokok mimpi aku mati."
Mereka hening sejenak. Tidak ada satu pun dari mereka yang membuka mulut.
"Tapi kita mau mati awalnya, kan?"
"Ya."
"Jadi, paman jangan mati sendirian. Kita sudah janji bakal mati bareng."
"Yah, entah kenapa kita tidak bisa mati. Dunia yang malah diserbu kematian. Kalau begini, bukannya tinggal kita nanti yang ada di dunia ini? Orang yang tidak bisa mati dan orang yang tidak bisa berubah jadi ...."
"Itu permintaan kita, kan?"
Mereka saling menoleh, dan memandangi diri sendiri. Milly melengkungkan bibirnya yang merah tipis, "Paman, boleh minta setengah dunia ini?"
"Boleh, dunia ini terlalu luas sebenarnya untuk kita berdua."
Mereka naik ke lantai atas setelah itu. Di atas ada beberapa kasur. Mereka berbaring di masing-masing kasur.
Sedangkan di lantai bawah, dari sela-sela ketiga pohon, ada sesuatu yang mencuat keluar. Sesuatu yang agak bercahaya dan membentuk tubuh manusia. "Kalau begini sama saja."