Read More >>"> The Maiden from Doomsday (4) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - The Maiden from Doomsday
MENU
About Us  

Begitu Hal selesai membaca surat cinta untuknya yang entah dari siapa itu, ia melihat Milly juga selesai membaca. Mereka tidak mengatakan apa-apa, lalu Milly berlari pulang setelah melempar pandang jijik, yang entah apa pula sebabnya. Dan sudah dua hari waktu ribuan pesawat kertas menyerang seluruh kota. Belum juga Hal bisa menjawab tanya dari Milly dan melempar tanya pada Milly. Sudah ada sesuatu yang ingin dikata, tapi kesempatan tidak datang. Apalagi tulisan di pesawat kertas kemarin dulu. Sampai saat ini, hanya satu orang yang memanggil Hal dengan sebutan paman. 

Sekolah Milly saat ini sedang direnovasi sebagian. Yang dikerjakan oleh Hal sebagai kuli proyek. Berkali-kali ia berpapasan dengan Milly. Berkali-kali pula Milly membuang muka darinya. Hingga tidak bisa Hal mengajak bicara. Padahal Milly yang lebih dulu bicara hari itu. 

Pagi ini juga awalnya begitu. Sebelum Hal pergi bekerja. Ia tinggal di pinggir sungai saat ini. Karena ingin menghilang dari sekitaran orang tuanya. Sebuah tenda dikembangkan olehnya, hasil meminjam dari teman, si A. Ketika Hal duduk di kursi dari batang pohon kayu yang dibelah setengah—yang dipernis hingga mengilap cokelat—ia melihat seorang gadis sekolahan membawa sekantung plastik besar. Gadis itu tidak lain ialah Milly, dengan jaket putihnya yang lebih cerah ketimbang malam pertama mereka bertemu. Hal awalnya diam saja. Karena seharian sebelumnya, di sekolah, Milly terus saja membuang muka. Namun begitu melihat Milly ingin membuang plastik itu, Hal langsung berdiri dari duduknya, berlari ke arah Milly.

Ia berteriak, "Tunggu, jangan buang sampah di sungai!" Yang mengejutkan Milly hingga plastik tadi meluncur turun ke tanah. Hal melanjutkan, "Kalau ikannya mati semua, entah apa yang bakal kumakan."

Milly mengatur napas sejenak. Sembari membuka ritsleting tasnya dan mengeluarkan sebuah jaket, milik Hal. Jaket yang dipinjamkan kemarin. Baru saja dicuci, padahal kemarin jaket itu lebih dekil ketimbang jaket putih Milly. Milly menyodorkannya pada Hal, dengan wajah yang menghadap ke sungai. Mencoba untuk mengabaikan.

Setelah meraih kembali jaketnya, Hal mengirup aroma harum dari jaket. Seperti baru keluar dari penatu. "Oh, baunya harum!" seru Hal yang baru kali pertama jaketnya seharum itu.

Milly agak jengkel mendengar kalimat Hal, "Jangan campurkan kata bau dengan harum, jadi kelihatan nilai bahasanya di bawah standar." Dan tanpa sadar mengatakannya. Milly seketika langsung berlari, pergi dari sana meninggalkan Hal yang tengah berpikir apa salahnya mencampur kata-kata itu, toh bau itu yang dapat ditangkap oleh hidung.

Ketika jam pulang sekolah, Hal mencoba bicara lagi pada Milly. Ia setengah berlari di koridor sekolah. Memanfaatkan jam makan siangnya. Dicarinya Milly ke kelas, tapi tidak ada. Awalnya Hal ingin bertanya pada teman sekelas Milly. Yang akhirnya tidak jadi, mengingat bagaimana para murid sekolah ini memandang Milly. Di jalan ketika Hal celingak-celinguk mencari Milly, temannya si D menghampirinya.

"Hal, kamu cari siapa?" tanya D.

"Ah, bukan siapa-siapa. Nasi siangnya sudah diambil?" Hal menjawab.

"Sudah. Omong-omong, kamu sudah punya pacar, ya! Aku tahu tentang surat-surat kamu, yang lain juga. Jangan lama-lama sendiri, aku saja sudah mau menikah, nih!" seru D berjalan meninggalkan Hal. Surat yang dibilang oleh D, tidak lain pesawat kertas kemarin.

Pagi tadi, sebuah kantong plastik besar, ditinggal oleh Milly begitu saja. Tidak jadi dibuangnya ke sungai. Hal yang penasaran bagaimana perempuan seperti Milly yang agak kurus, bisa membawa kantong sebesar itu. Jadi ia membukanya, dan menemukan banyak kertas. Pantas saja ringan. Namun ada yang mengganggunya, sebab semua kertas itu adalah bekas lipatan. Sama dengan pesawat kertas kemarin dulu. Yang ditulisi beberapa kalimat seperti surat jadinya.

Dibaca surat itu oleh Hal, yang berbunyi, "Tiga puluh tahun aku hidup. Tidak pernah sekali saja ada perempuan yang dekat denganku, kecuali ibu sendiri. Dan sekarang, ada Milly. Bukan lagi dekat, aku mencintainya." Hal sampai geli sendiri membaca surat macam itu. Belum lagi semua isinya sama. Tulisannya mungkin beda, tapi selalu tentang bagaimana seorang Hal yang sudah tiga puluhan, mencintai Milly yang jauh lebih muda. Itu yang mau ditanyakan Hal pada Milly. Sekaligus mengaku kalau itu bukan bikinan dirinya. Kecuali fakta kalau tulisan-tulisan itu mirip betul dengan tulisannya.

Hal turun ke lantai bawah, masih celingukan mencari Milly. Mungkin sudah pulang, pikirnya. Setelah membuang napas panjang, Han kembali naik. Di tangga ia berpapasan pula dengan temannya, si C. Yang cekikikan melihat Hal.

"Awalnya aku senang dengar kabar tentang kamu pacaran. Eh, malah sama anak sekolah. Jatuhnya kamu itu cabul, lah!" ujar C.

"Anak sekolah? Maksudnya?" Hal masih heran bagaimana C tahu Milly itu masih sekolah.

C menghentikan tawanya yang ditahan-tahan dan menjawab, "Bukannya dia sekolah di sini? Temannya ramai-ramai bertanya di atap sana."

Milly tidak punya teman. Hal yakin itu. Karena itu, ia segera berlari menaiki tangga. Naik ke lantai teratas, kemudian mendapati pintu menuju atap dari besi yang dicat merah, terbuka lebar dan menunjukkan banyak murid berkumpul di sana. Milly juga ada, berdiri di dekat pagar kawat.

"Kalau sama paruh baya, bukannya lebih bagus cari om senang? Kok malah sama kuli?" tanya seorang siswi, yang dipukul oleh Milly beberapa hari lalu.

Yang lain menjawab pula, "Mungkin punya kuli itu lebih besar."

"Apanya yang besar? Tekadnya?" kata yang lain pula, mengundang gelak tawa semua murid di sana.

Milly acuh tak acuh mendengar kata-kata mereka. Tidak dengan Hal, ia naik ke tangga dan ikut masuk ke tengah-tengah mereka. Melihat ia datang, semua orang diam sejenak, lalu berbisik-bisik, "Itu dia, kan? Tua banget."

"Kami tidak punya hubungan apa-apa. Jadi, jangan ganggu dia!" kata Hal meninggikan suaranya.

"Mukanya seram! Pergi, yuk!" ajak salah seorang murid pada yang lain. Mereka mulai berhamburan turun ke bawah. Tinggal beberapa murid yang masih di sana, termasuk siswi yang pernah dipukul Milly.

Siswi itu tertawa, "Beruntung banget paman, ya. Punya pacar anak sekolahan yang cantik." Berjalan siswi itu melewati Hal, ikut turun ke bawah bersama yang lain.

Hal mendekat pada Milly. Ia mau mengaku bukan dirinya yang menulis surat-surat itu. Namun belum sempat ia bicara, Milly mencampakkan beberapa pesawat kertas yang sudah kusut ke wajah Hal. Milly berteriak sejadi-jadinya dengan wajah memerah. 

"Siapa yang tulis? Suratnya!" teriak Milly.

"Bukan aku! Sumpah, bukan aku. Ah, tulisannya memang mirip, tapi bukan aku!"

"Bukan itu!" sanggah Milly. Bukan surat cinta dari seorang Hal untuk Milly, melainkan surat lainnya. Ketika Hal mengutip tiap kertas yang dicampakkan padanya tadi, Milly lanjut bicara, "Waktu anak itu tiba-tiba datang, pesawat kertas yang aku baca, semuanya ditujukan untukku. Kemarin, pesawat kertas yang aku jumpai, malah dari aku."

Milly masih kacau. Hal ditinggalkan begitu saja olehnya. Berlari Milly menuruni tangga, ingin pulang segera. Di jam terakhir tadi, Milly sengaja bolos ke atap sekolah. Desas-desus tentangnya dan om-om kuli bangunan menyebar seperti api yang menyambar minyak di sekolah. Orang-orang berpikir bahwa dirinya menjual tubuh pada Hal.

Begitu Milly menapakkan kaki di halaman depan sekolah, menuju gerbang, orang ramai heboh melihatnya. Mereka membawa kamera dan mikrofon, tampak seperti wartawan. Semalam di berita televisi, Milly memang menonton tentang pencarian nama-nama di pesawat kertas yang menyerang langit kota. Segera saja para wartawan itu mengerubungi Milly. 

Sedangkan di atap sekolah, Hal masih berdiri. Menatap lurus ke depan. Sampai saat ini ia masih percaya semua pesawat kertas itu hanya keisengan orang-orang. Namun namanya ada di sana, tertulis dengan jelas. Dan di kertas yang baru dicampakkan tadi, juga ada nama Milly. Anak yang tiba-tiba datang dan pergi itu juga. Rasanya semua hal aneh hanya berkutat di sekitar mereka berdua. Hal sadar akan satu hal, "Kami berdua sedang terjebak dalam perkara yang tidak masuk di akal."

***

"Kau ditunggu semua orang! Jadi penyebab semua pesawat itu kau dan anak sekolah itu, ya! Kasihan dia dikerubungi wartawan," seru si B, teman Hal.

B menarik Hal turun ke bawah, ke dekat gerbang sekolah yang sesak dengan para wartawan. Apa yang ditangkap oleh mata Hal kali pertama bukanlah kamera dan lampu jepretnya. Bukan pula muncung-muncung yang mencerocos sampai mendarat liur-liur. Namun seorang gadis sekolahan yang hanya diam terpaku, yang punggung dan bahunya gemetar. Yang menarik-narik ujung bawah jaket putihnya. 

Tanya dari wartawan tidak Hal indahkan. Begitu pula dengan seruan temannya, si B. Di telinganya hanya ada satu kata, ayah. Bukan dari mulutnya sendiri, tapi dari bisik yang bergetar, dari Milly. Ada seorang anak yang berkelebat di pikiran Hal. Anak perempuan yang gemetar di hadapan para wartawan sepuluh tahun lalu. Persis seperti yang ia lihat saat kini. Jika ada yang berbeda, maka hanya anak perempuan itu yang sudah besar. 

Orang-orang yang melihatnya datang langsung mengejarnya. Hal berlari, melesat di tengah kerumunan orang, melepas tarikan tangan B, menepis tiap kepala yang menghalanginya. Didorongnya semua orang yang tengah berdiri depannya. Baru ketika ia sampai di belakang Milly, ia berhenti. Masih tersengal-sengal, Hal memeluk Milly dari belakang.

Milly merasakan punggung kecilnya menghangat. Dipagut oleh tubuh bidang yang besar. Apa yang pertama kali keluar dari mulutnya setelah lama diam adalah, "Ayah?" 

Hal berbisik di telinga Milly, "Ayo, kita pulang!"

Seperti dikejutkan listrik, Milly sadar dan kembali seperti biasa. Meski masih belum mengatakan apa-apa, Milly ikut saja ketika Hal menarik lengannya. Mereka setengah berlari melewati gerbang sekolah yang di belakang. D melihat mereka mencoba kabur dari para wartawan, jadi beberapa pekerja renovasi sekolah memblokir jalan, menghentikan para wartawan.  

Mereka melewati jalan sempit yang sepi, menghindari tiap orang. Selama beberapa belas menit tanpa henti. Sampai melewati taman, dan lapangan kosong bekas pasar malam. Ketika terlihat bangunan tinggi yang reyot, apartemen tua mereka, barulah mereka berhenti. Hal sebisa mungkin tak ingin dilihat oleh orang tuanya, jadi hanya hanya sampai parkiran ia menemani Milly. 

"Beberapa hari ini, jangan sampai keluar rumah dulu. Nanti wartawannya pasti berkumpul di sini, tapi jangan dipedulikan! Seminggu atau lebih pasti sudah sepi," jelas Han.

Milly hanya mendengus, "Paman terlalu bersikap baik untuk seseorang di tiga puluhan yang memeluk anak sekolah tanpa izin. Atau mungkin juga ini cara paman, untuk dapat keuntungan berkelanjutan?" balas Milly sebelum meludah ke tanah dan lanjut lagi bicara, "tapi aku betul-betul berterima kasih. Dah!"

Hal pergi dari muka apartemen itu setelah mengamati punggung kecil Milly. Yang sudah naik ke lantai atas menaiki tangga. Kakinya terasa berat. Napasnya masih juga tersengal-sengal. Di tengah jalan, dengan langkah kaki yang gontai, ia kembali mengingat seorang anak perempuan. 

Sudah sepuluh tahun, Hal berpikir ia tidak akan melihat anak itu lagi. Seorang anak perempuan yang mungkin usianya sekitar enam atau tujuh tahun dulu, gemetar ketika kumpulan para wartawan menanyai kematian ayahnya. Ayahnya yang juga mandor dari tempat Hal menguli, jatuh dari lantai empat sebuah bangunan yang belum rampung. Kematian itu menjadi halaman pertama di tiap media yang keluar. Bukan sesuatu yang biasa kejadian seperti itu terjadi di kota kecil mereka. Istri mandor tampak tidak terlalu memusingkan kematian suaminya, jadi anaknya yang menjadi tempat orang-orang yang ingin tahu. Tidak ada satu pun pertanyaan yang dijawab anak itu. Setelahnya anak itu bersama ibunya yang juga senior Hal di sekolah dulu, pindah entah ke mana. Lalu entah sejak kapan pula mereka pindah ke apartemen itu, Hal juga tidak tahu.

"Jadi namanya Milly, ya. Mandor tidak sempat menjawab hari itu, aku juga lupa bertanya kembali," ucap Hal di jalan tepi sungai, dekat tempatnya bermalam. Ia yakin sekali Milly adalah anak mandornya dulu, meski hanya dari gemetar di punggung.

Dan begitu sampai di depan tenda yang dipinjamnya, Hal membelalakkan mata. Ia tidak suka melihat apa yang tengah berada di depannya kini. Seorang pria tua pemabuk yang paling dibencinya, tapi juga dihormatinya. Ayahnya sendiri. Yang memukul-mukul botol kaca bekas bir. 

"Di berita, namamu terkenal dalam semalam. Kau anak sialan, kau pikir bagaimana caraku makan? Dari mana aku dapat uang kalau bukan dari kau? Berani kau kabur dari rumah?" serang ayahnya yang langsung melempar botol bir. Hal menghindarinya dan sontak ayahnya menamparnya begitu keras hingga meninggalkan bekas lima jari yang merah.

"Kau menghindar? Kau menghindar? Sejak kapan kau berani melawan?" sambung ayahnya lagi. 

Hal seperti tertimpa batu mendengar ayahnya mengatakan ia melawan. Moralnya dari kecil merantainya lagi. Sudah cukup lama hari-hari belakangan ini ia melepas peduli pada orang tuanya dengan kabur dari rumah. Mendengar dirinya tidak jadi "anak baik" dari mulut ayahnya, membuatnya pasrah dipukuli saat itu. Dan membiarkan ayahnya pergi dengan seluruh uang simpanannya, bahkan beberapa barang juga. Tenda milik si A juga diambil ayahnya. Dan ia hanya meringkuk di tanah, ditimpa hujan. Langit makin gelap dan menurunkan rintik-rintik yang kian lama kian lebat.

Berbeda dari Hal, Milly tengah berada di dalam ruangan hangat. Rumahnya sendiri. Yang mana ibunya tengah keluar dan hanya ada pacar ibunya di rumah itu. Awalnya Milly ingin pergi keluar, tapi mengingat perkataan Hal, dia urungkan niatnya. Dan berjalan saja tanpa mengindahkan pacar ibunya, berjalan masuk ke kamar.

Namun langkah Milly terhenti ketika dirasakannya ada tangan yang memegang pundaknya. Itu pacar ibunya. Yang telanjang dada, hanya mengenakan celana pendek saja.

"Aku sudah dengar. Kau menjual diri, ya?" tanya pacar ibunya yang tak henti menjilati bibir sendiri.

Milly melepaskan pundaknya dari tangan lelaki itu, "Bukan urusanmu! Enyahlah!"

Begitu ingin berbalik, Milly didorong oleh lelaki itu hingga punggungnya membentur dinding kamarnya. Milly merasakan pahanya diraba-raba dari balik roknya. Berusaha sekeras mungkin untuk melawan, tapi itu percuma. 

"Padahal ada lelaki di rumah ini, kenapa pilih yang di luar? Ayo, main samaku!"

Milly meludahi wajah lelaki itu. Dan sontak saja tubuhnya dicampakkan ke lantai dengan sekali dorongan. Dia terlalu lemah melawan lelaki ibunya itu. "Jangan sentuh aku!"

Lelaki itu menyeringai, "Kau, seperti ibumu. Dia juga pura-pura melawan dulu."

Ditindih tubuh Milly oleh lelaki itu. Berat sekali rasanya, sesak. Satu per satu kancing kemejanya dibuka setelah lelaki itu melepas jaket putihnya. Tak ayal lagi, sudah pasti Milly akan dinodai. Ketika sudah setengah telanjang, pintu rumahnya terbuka. Ibunya pulang dengan baju yang basah terkena hujan.

"Ibu, tolong aku! Orang ini sudah gila!" teriak Milly.

Lelaki ibunya langsung berdiri dan memeluk-meluk ibunya. Namun ibu Milly mengenyahkan lelaki itu, "Jangan sentuh aku!"

"Itu bukan salahku! Anak itu yang menggodaku tadi!"

"Diam! Kau, Milly, kau anak sundal! Apa setelah tidur dengan banyak lelaki lain di luar sana, kau mau tidur dengannya?" bentak ibunya pada Milly.

Mendengar itu Milly membelalakkan mata. Ibunya juga sudah tahu tentang pesawat kertas itu. Tentang rumor mengenai Milly yang menjual diri. Dan tentang hubungannya dengan seorang kuli proyek. Dengan keadaan yang masih setengah telanjang itu, Milly diseret keluar oleh ibunya sendiri. 

"Jangan kembali ke sini!"

"Semuanya tidak benar. Rumor itu bohong!"

"Bahkan jika itu salah, bukan berarti kau tidak akan begitu."

Milly hanya diam mendengarnya. Hanya diam melihat ibunya menutup pintu rumahnya sambil mencampakkan jaket putihnya. Padahal semua rumor itu karena tingkah ibunya sendiri. Malah ibunya pula yang mengusirnya dari rumah.

Setelah berdiam hampir setengah jam, Milly mengenakan jaketnya. Turun ke lantai bawah. Dia berjalan di bawah hujan, tak tahu ke mana tujuannya. Tidak ada wartawan di sekitar apartemen. Mungkin karena hujan. Tanpa disadarinya, kakinya membawanya melangkah ke taman. 

Di sana ada seseorang yang duduk di ayunan. Mata Milly tidak bisa memandang jelas orang itu. Semuanya tampak putih dan kabur di bawah hujan. Milly berjalan mendekati ayunan, sedekat mungkin dengan orang itu. Dan orang itu tidak lain ialah Hal. Yang pipinya berbekas tangan. Dan kepalanya masih mengucur darah. Milly tidak memedulikan itu. 

"Paman, bawa aku pergi ke tempat yang jauh!" pinta Milly pada Hal yang sedari tadi hanya diam menatapnya.

"Aku juga mau pergi. Ke tempat yang jauh," jawab Hal.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 1
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
The Hidden Kindness
349      236     2     
Fan Fiction
Baru beberapa hari menjadi pustakawan di sebuah sekolah terkenal di pusat kota, Jungyeon sudah mendapat teror dari 'makhluk asing'. Banyak sekali misteri berbuntut panjang yang meneror sekolah itu ternyata sejak ada siswi yang meninggal secara serius. Bagaimana cara Jungyeon harus menghadapi semua hal yang mengganggu kerja di tempat barunya? Apakah ia harus resign atau bertahan?
Golden Cage
441      244     6     
Romance
Kim Yoora, seorang gadis cantik yang merupakan anak bungsu dari pemilik restaurant terkenal di negeri ginseng Korea, baru saja lolos dari kematian yang mengancamnya. Entah keberuntungan atau justru kesialan yang menimpa Yoora setelah di selamatkan oleh seseorang yang menurutnya adalah Psycopath bermulut manis dengan nama Kafa Almi Xavier. Pria itu memang cocok untuk di panggil sebagai Psychopath...
Katanya Buku Baru, tapi kok???
435      289     0     
Short Story
Ibu Mengajariku Tersenyum
972      490     0     
Inspirational
Jaya Amanah Putra adalah seorang psikolog berbakat yang bekerja di RSIA Purnama. Dia direkomendasikan oleh Bayu, dokter spesialis genetika medis sekaligus sahabatnya sejak SMA. Lingkungan kerjanya pun sangat ramah, termasuk Pak Atma sang petugas lab yang begitu perhatian. Sesungguhnya, Jaya mempelajari psikologi untuk mendapatkan kembali suara ibunya, Puspa, yang senantiasa diam sejak hamil Jay...
Until The Last Second Before Your Death
431      308     4     
Short Story
“Nia, meskipun kau tidak mengatakannya, aku tetap tidak akan meninggalkanmu. Karena bagiku, meninggalkanmu hanya akan membuatku menyesal nantinya, dan aku tidak ingin membawa penyesalan itu hingga sepuluh tahun mendatang, bahkan hingga detik terakhir sebelum kematianku tiba.”
Asmara Mahawira (Volume 1): Putri yang Terbuang
5363      986     1     
Romance
A novel from Momoy Tuanku Mahawira, orang yang sangat dingin dan cuek. Padahal, aku ini pelayannya yang sangat setia. Tuanku itu orang yang sangat gemar memanah, termasuk juga memanah hatiku. Di suatu malam, Tuan Mahawira datang ke kamarku ketika mataku sedikit lagi terpejam. "Temani aku tidur malam ini," bisiknya di telingaku. Aku terkejut bukan main. Kenapa Tuan Mahawira meng...
Gareng si Kucing Jalanan
6536      2772     0     
Fantasy
Bagaimana perasaanmu ketika kalian melihat banyak kucing jalanan yang sedang tertidur sembarangan berharap ketika bangun nanti akan menemukan makanan Kisah perjalanan hidup tentang kucing jalanan yang tidak banyak orang yang mau peduli Itulah yang terjadi pada Gareng seekor kucing loreng yang sejak kecil sudah bernasib menjadi kucing jalanan Perjuangan untuk tetap hidup demi anakanaknya di tengah...
SERENA (Terbit)
16577      2827     14     
Inspirational
Lahir dalam sebuah keluarga kaya raya tidak menjamin kebahagiaan. Hidup dalam lika-liku perebutan kekuasaan tidak selalu menyenangkan. Tuntutan untuk menjadi sosok sempurna luar dalam adalah suatu keharusan. Namun, ketika kau tak diinginkan. Segala kemewahan akan menghilang. Yang menunggu hanyalah penderitaan yang datang menghadang. Akankah serena bisa memutar roda kehidupan untuk beranjak keatas...
Sherwin
342      224     2     
Romance
Aku mencintaimu kemarin, hari ini, besok, dan selamanya
Bittersweet My Betty La Fea
2838      1015     0     
Romance
Erin merupakan anak kelas Bahasa di suatu SMA negeri. Ia sering dirundung teman laki-lakinya karena penampilannya yang cupu mirip tokoh kutu buku, Betty La Fea. Terinspirasi dari buku perlawanan pada penjajah, membuat Erin mulai berani untuk melawan. Padahal, tanpa disadari Erin sendiri juga sering kali merundung orang-orang di sekitarnya karena tak bisa menahan emosi. Di satu sisi, Erin j...