Read More >>"> The Maiden from Doomsday (3) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - The Maiden from Doomsday
MENU
About Us  

Seorang gadis kecil berdiri tepat di ujung pohon. Lengannya terbentang dan menjentikkan pesawat kertas. Yang dilepaskan ke langit dan terbang menjauh. Tersenyumlah gadis itu dan mengabur dari pandangan. Seperti tubuhnya itu menjadi asap yang habis dibawa angin. Lenyap! Sedangkan pesawat kertas, yang tidak hanya satu, terus terbang berserakan. Ketika akan menabrak pohon-pohon yang juga berserakan di seluruh tempat, pesawatnya pun lenyap. Persis sama dengan tubuh gadis tadi. Milly hanya diam melihatnya. Tidak sedang bermimpi, hanya menutup mata barang sekejap. Dengan tubuhnya yang melayang di udara. Hingga bisa melihat gadis itu.

"Milly!"

Tidak ada jawaban. Seorang perempuan muda yang juga wali kelas itu menaikkan kacamata, memandang lurus ke jalan di tengah kumpulan meja. Berdiri dan melangkah ke tengah itu, sampai ke meja ujung paling belakang, lalu menghantam buku teks ke kepala seorang siswi, Milly. 

"Milly!"

Bukan maksud Milly terlelap di tengah kelas. Sama sekali tidak tidur juga kenyataannya, tapi semua dimulai dari anak-anak lain. Saat seorang siswi sekelasnya baru kembali dari toilet, siswi itu menyentil buku dan penanya dengan alih-alih tidak sengaja dan kabur begitu saja. Padahal jelas betul bagaimana siswi itu melirik ke mejanya dan menggerakkan tangan dengan sengaja. Terpaksa Milly menunduk ke bawah, mengambil pena dan bukunya. Kesal pada kelakuan siswi tadi, Milly mencoba tarik-buang napas dengan kepala yang masih menunduk dan mata yang terpejam. Hanya itu. Dan tiba-tiba bayangan tentang gadis kecil di ujung pohon berkelebat di matanya yang tertutup. 

Melihat siswi yang diajar hanya menunduk ke bawah dan tidak menjawab ketika dipanggil, wali kelasnya langsung memukul kepalanya. Milly langsung kembali berkat pukulan itu. Dan sebagai bayaran, terpaksa berdiri di depan kelas sampai jam ajar selesai. Berdiri tidak begitu melelahkan, Milly juga tidak merasa malu dihukum begitu. Wali kelas mengiranya sedang tertidur, berapa kali pun membela diri kalau dirinya tidak tidur, wali kelas itu tidak ingin alasan. Milly tidak mempermasalahkan salah paham wali kelasnya itu lagi dan hanya pasrah berdiri. Yang benar-benar mengganggunya adalah satu kelas yang menertawakan dirinya dengan nada remeh bertema gadis sundal.

"Harusnya ada tiang di depan, supaya dia bisa menari dengan bebas!" seru murid di ujung belakang.

"Sekarang dia sama persis dengan lacur di jalan yang berdiri menunggu lelaki," bisik siswi paling depan.

Wali kelasnya segera menghentikan, "Saya harap tidak ada suara lagi!" 

Maka berlanjut pula ajar-mengajar di kelas itu. Selama setengah jam lebih. Saat kakinya mulai gemetar, Milly sudah bisa duduk kembali, jam wali kelasnya selesai sudah. Namun guru yang selanjutnya belum masuk, beberapa murid laki-laki berkata bahwa guru itu akan terlambat karena beberapa urusan. Ketua kelas berkoar-koar meminta semua orang duduk diam dan membahas tugas yang diberikan guru. Dan saat itu juga, siswi yang sama, yang menjatuhkan buku dan penanya Milly, menumpahkan sebotol penuh air dingin ke dadanya. Milly tersentak, tubuhnya menggigil sebentar, dengan kemeja yang kini tembus pandang.

"Ah, maaf. Tanganku licin jadi terlepas botolnya," kata siswi itu, yang lagi-lagi beralasan tidak sengaja.

Milly dengan mulutnya yang tidak bisa dibilang baik menjawab, "Yah, basah semua. Jadi tembus pandang. Bukan kenapa-kenapa, tapi dalamanku jadi kelihatan. Malu banget. Beda sama kamu yang dada sama ratanya dengan papan, dadaku ini agak besar. Malu kalau dilihat orang tonjolan yang begini."

Semua orang di kelas itu hening. Mereka tidak tahu mau menjawab apa. Selama ini Milly hanya diam saja, sikapnya yang begitu saat ini benar-benar membuatnya seperti lacur, pikir orang-orang. Namun lebih dari itu bagi siswi yang menumpahkan minuman tadi. Bagi beberapa perempuan, penampilan adalah segalanya. Saat dikatai berdada rata, sebagian orang mungkin hanya tertawa. Bila dikatai rata oleh perempuan yang dadanya memang agak besar, akan muncul rasa tidak enak yang macam-macam bentuknya.

Siswi itu mencampakkan botol minuman ke wajah Milly, yang langsung ditangkis dan tercampak ke arah lain. Berkata Milly padanya, "Kalau ada lelaki yang melihatku begini, mereka bisa jadi birahi, bukan? Perlukah aku mendatangi kakak kelas yang menggerayangi kakimu kemarin? Aku yakin dia lebih suka perempuan berisi daripada yang rata."

Satu hal yang diketahui semua murid di sekolah. Mau dibilang lacur atau apa pun itu, Milly tetap disukai banyak lelaki. Tentu dalam arah yang buruk. Yang membuat semua siswi tidak senang dengannya, sebab molek dan cantiknya Milly. Standar lacur sebenarnya terlalu rendah untuknya dari penampilan (kecuali dari pandangan orang terhadap ibunya). Meski begitu melabeli dirinya dengan embel-embel lacur akan membuatnya tidak disenangi orang. Kakak kelas yang menggerayangi siswi itu, salah satu lelaki yang tergoda dengan desas-desus lacur Milly. Itu juga yang membuat siswi itu merundung Milly dengan alasan ketidaksengajaan. Di kepalanya, jika Milly menggoda pacarnya itu, sudah pasti perempuan dengan dada rata dan wajah standar seperti siswi itu akan dicampakkan. Kelewat cinta, jadi cemburu, tapi jika seperti yang dikatakan Milly, semua akan hancur begitu saja.

Milly menyunggingkan senyum, berkata dengan sedikit terkekeh, "Kenapa tidak berlutut supaya tidak ada masalah ke depan. Cepatlah, aku kan seorang lacur yang cantik. Lelaki mana yang akan menolak?"

Milly sebenarnya enggan begini, tapi harus dilakukan. Bukan hanya sebab nafsu sesaat untuk melawan. Lebih dari setahun diperlakukan seperti ini tentu membuatnya muak bukan kepalang. Dan Milly sadar betul jika bersikap begini, orang-orang memang masih akan mencemoohnya, tapi setidaknya tidak akan ada lagi perundungan terang-terangan seperti tadi. Hanya perempuan yang melakukan itu padanya. Seperti siswi di depannya saat ini, yang langsung menamparnya. Lalu Milly akan punya alibi, untuk memukuli siswi itu. Dan habislah siswi itu. Sebab tak sanggup melawan Milly, yang ternyata sedikit bisa bertarung. Mereka tidak saling memaki dan menjambak, Milly memukul tepat ke hidung siswi itu. 

Saat itu juga, di mana seluruh isi kelas yang hanya diam seolah tidak peduli, pintu dibuka oleh seorang guru. Yang membawa seorang lelaki dengan wajah penuh parut, Hal. Guru itu tidak melihat ke para murid dan hanya menunjuk-nunjuk ke jendela yang sudah lepas. Lalu menjelaskan macam-macam pada Hal untuk renovasi sekolah. Dan langsung dikejutkan oleh muridnya. Guru itu melihat siswi yang terjerembab ke lantai dengan hidung mimisan dan Milly yang hanya diam dengan tangan terkepal.

"Kalian berdua ikut saya ke kantor konseling! Segera hubungi orang tua atau kalian akan diskors. Kita bahas masalahnya kalau orang tua kalian sudah datang," kata guru itu pada Milly dan siswi yang mimisan. Tanpa bertanya, langsung mengerti apa yang tengah terjadi. Hal kagum melihat orang berpendidikan seperti guru yang di depannya.

Beberapa saat berlalu. Sementara siswi tadi sudah mendatangkan ibunya yang mengomel ke semua orang bagaimana anaknya bisa terluka, Milly hanya mematung dengan telepon yang tak buru diangkat. Di kantor konseling itu, yang luasnya sedikit lebih kecil dibanding ruang kelas, Milly masih mencoba menelepon ibunya. Sudah puluhan kali agaknya. Tidak sedikit pun Milly menyangka siswi itu lemah. Sudah jadi berlebihan, apalagi guru masuk saat itu dan masalah jadi tambah besar. Belum lagi ibunya yang tidak mengangkat telepon, Milly yakin ibunya tengah pergi entah ke mana dengan lelaki itu. Meski punya alibi, tapi Milly benar-benar membuat siswi itu berdarah. Tidak akan mudah membela diri tanpa orang tua yang datang.

"Kalau orang tua tidak bisa, keluarga yang lain atau siapa saja," kata guru itu yang juga sudah tak dapat menunggu lagi. "Ikut saya sebentar!"

Guru itu membawa Milly keluar dari ruangan. Terus berjalan melewati lorong, dan berhenti di depan lab komputer. Di sana sepi, tidak ada jam kunjungan, jadi tidak ada juga yang berlalu-lalang. Guru itu menggosok-gosok telapak tangan tangannya, "Saya bisa selesaikan masalah ini. Kamu jangan khawatir kalau tidak ada yang bisa datang." Sambil tangannya menjelajahi lengan Milly dan matanya menerawang dada Milly yang tembus pandang, "Jangan khawatir, jadi ...."

Milly terkekeh dalam hati. Sempat berpikir gurunya akan sedikit baik dan membantu, ternyata malah lebih busuk dari siswi itu. Bukan yang kali pertamanya seperti ini, beberapa guru lelaki yang lain juga begitu. Mau dari ucapan, mata yang melalang-buana atau tangan yang meraba, Milly sudah sering dilecehkan. Apa yang ada di kepalanya saat ini adalah kata-kata untuk mengancam dan mencemooh gurunya, seperti yang dilakukannya sebelum-sebelum ini. Tidak sempat bisa diucapkan, Milly dan gurunya tersentak dengan seseorang yang hadir di di depan mereka berdua. Orang itu tetangganya, yang beberapa malam lalu dipanggilnya paman, yang juga masuk ke kelasnya tadi.

Guru itu bertanya, "Kamu sedang apa di sini? Nanti temui saya kalau masalah bahannya."

"Saya mau memberi struk, Pak. Sudah dibeli semua bahannya. Juga saya ini keluarganya Milly. Jadi, karena orang tuanya lagi sibuk, saya saja yang menggantikan."

Hal mengaku sebagai keluarga Milly. Setelah melihat bagaimana gatalnya orang berpendidikan yang dikaguminya tadi. Rada kecewa dan jijik, Hal tidak bisa menutup mata pada seorang gadis seperti Milly. Dan tidak juga pada seorang guru yang ternyata binatang. 

Maka duduklah Hal dan Milly bersebelahan. Milly tidak mengatakan apa pun, karena cukup terkejut juga melihat Hal yang mau membantunya. Bermacam kemungkinan muncul di kepalanya. Mungkin saja Hal itu seorang penguntit, atau orang cabul yang mau memanfaatkan dirinya. Semua itu berkecamuk di kepalanya. Apalagi mereka berdua tidak benar-benar saling mengenal, hanya beberapa kali berselisih saat di apartemen. Meski kejadian beberapa malam lalu tidak bisa dijelaskan. 

Setelah saling menjelaskan, Hal terkejut mendengar pengakuan siswi di sebelahnya, yang dipukul oleh Milly. Orang-orang di sekolah menyebutnya lacur, dan sikapnya sebelum memukulinya si siswi benar-benar seperti lacur yang hendak mengambil pasangan orang. Milly juga tidak memberi penjelasan apa pun. Namun pada akhirnya masalah diselesaikan dengan saling maaf. Apalagi yang memulai main fisik lebih dulu adalah siswi itu. Semuanya mudah selesai berkat si guru. Untuk ukuran orang cabul yang nafsu dengan murid sendiri, dia punya kualitas dalam menangani masalah. Meski begitu Hal tidak menganggapnya mengagumkan lagi.

Milly jadi pulang lebih awal dari yang lain, setelah konseling. Hal juga selesai membereskan bahan bangunan untuk renovasi sekolah. Hanya tinggal pekerjaan di esok hari. Beruntung, dua hari lalu mandor memanggilnya untuk renovasi sekolah. Jadi ia berhasil mendapat pekerjaan dan sedikit bersemangat, karena ia tinggal sendirian saat ini. Tidak akan ada orang yang menghabiskan uangnya hanya untuk judi.

Mereka berdua, Hal dan Milly, jalan berdua keluar dari sekolah. Melihat kemeja yang tembus pandang, Hal membuka jaketnya dan menyodorkannya pada Milly.

"Siapa yang mau memakai jaket bau dari orang tua? Ini supaya bau badanku membekas di jaketmu, kan?"

Hal tidak jadi menyodorkan jaketnya. Begitu hendak dipakai lagi, Milly merampasnya dan memakainya. Dingin dan tembus pandang, itu hanya akan membuatnya makin malu di jalan. Dari tadi Milly sudah berusaha tidak terlihat malu dengan kemejanya. 

"Kau, kenapa tahu namaku?" tanya Milly menahan bau jaket Hal.

Hal membakar ujung rokok keretek miliknya dan menghisapnya sambil melangkah, "Aku terlalu tua dipanggil 'kau' oleh anak 16 tahun."

"Hah," menghela napas sebentar Milly pun melanjutkan, "Paman kenapa bisa tahu namaku? Paman penguntit, ya? Tidak heran kenapa belum menikah di umur 30 tahun."

Mereka terdiam. Dua-duanya! Apa yang saling mereka ucapkan tadi lagi-lagi jadi pertanyaan. Beberapa malam sebelumnya, mereka tiba-tiba tahu nama masing-masing. Dan sekarang, entah kenapa mereka yakin sekali dengan umur masing-masing, terperanjat mendengar umur mereka sendiri dari orang yang tidak akrab dengan mereka. Milly terlambat satu tahun dari kebanyakan teman seangkatannya, jadi orang-orang pasti mengira dirinya masih 15 tahun. Sedangkan Hal terlalu tua dalam penampilannya, semua orang mengira ia seorang duda 40 tahun.

Mereka berdua berhenti melangkah dan saling melirik. Bukannya mendapat jawaban, mereka malah mendapat pertanyaan lain. Di saat keduanya ingin bicara, seorang gadis kecil berdiri di tengah-tengah mereka. Ketika mereka berdua saling hadap-hadapan. Entah datang dari mana. Asap muncul dan gadis itu ada begitu saja. Gadis yang tidak asing rasanya, yang juga melihat Hal pergi dari apartemen beberapa malam lalu dari balkon rumah Milly.

"Yang tadi menerbangkan pesawat kertas?" ujar Hal bingung melihat gadis itu muncul.

Dan Milly lebih bingung lagi, sebab Hal juga mengetahui siapa gadis di tengah mereka. Gadis yang mungkin sekitar usia dua belas atau tiga belas tahun itu, yang sedikit tampak lebih muda dari Milly, melompat bertepuk tangan dan berkata, "Selesai juga! Permintaan kalian terkabul! Butuh empat tahun lebih untuk sampai ke saat ini, aku harap dia senang. Dan kuharap kalian bisa bersama sedikit lebih lama. Karena itu aku bawakan hadiah, supaya kalian ingat."

Dan selesai. Begitu saja. Setelah panjang lebarnya yang tidak jelas, anak gadis itu kembali menjadi asap dan mengabur lagi, lenyap. Mereka berdua yang masih belum bisa menerima apa yang mereka lihat masih terdiam saling menatap. 

Tengah hari yang terik, berubah menjadi mendung gelap. Bukan karena awan yang hendak menurunkan hujan. Karena pesawat. Ratusan atau ribuan atau mungkin jutaan pesawat kertas. Berputar-putar di langit dan terbang ke seluruh tempat. Semua pesawat kertas itu keluar dari pohon, menembus kulit-kulit batang pohon di seluruh kota dari dalam. Dan menyebar ke seluruh kota kecil tempat mereka tinggal. Sebagian pesawat kertas sampai mengelilingi mereka berdua dan menutupi seluruh tubuh mereka. Itu bukan sekadar pesawat kertas. Ada tulisan di setiap kertas, yang tampak seperti tulisan tangan. Dengan pena yang tintanya basah sehingga tebal-tebal hurufnya. 

Hal mengambil sebuah pesawat kertas. Lalu membalikkan semua lipatan yang ada, membentuknya kembali menjadi selembar kertas, dan menggosok-gosok permukaan kertas itu agar tidak terlipat lagi. Dingin. Telapak tangannya seperti memegang es batu tapi tidak mencair. Sebuah balok es yang tidak keras, tapi juga tidak meleleh. Di sana, di kertas itu, terpampang jelas huruf-huruf besar dan tebal menghitam. Yang bertuliskan, "Aku mencintaimu, Paman Hal."

How do you feel about this chapter?

0 1 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
The Hidden Kindness
349      236     2     
Fan Fiction
Baru beberapa hari menjadi pustakawan di sebuah sekolah terkenal di pusat kota, Jungyeon sudah mendapat teror dari 'makhluk asing'. Banyak sekali misteri berbuntut panjang yang meneror sekolah itu ternyata sejak ada siswi yang meninggal secara serius. Bagaimana cara Jungyeon harus menghadapi semua hal yang mengganggu kerja di tempat barunya? Apakah ia harus resign atau bertahan?
Golden Cage
441      244     6     
Romance
Kim Yoora, seorang gadis cantik yang merupakan anak bungsu dari pemilik restaurant terkenal di negeri ginseng Korea, baru saja lolos dari kematian yang mengancamnya. Entah keberuntungan atau justru kesialan yang menimpa Yoora setelah di selamatkan oleh seseorang yang menurutnya adalah Psycopath bermulut manis dengan nama Kafa Almi Xavier. Pria itu memang cocok untuk di panggil sebagai Psychopath...
Katanya Buku Baru, tapi kok???
435      289     0     
Short Story
Ibu Mengajariku Tersenyum
972      490     0     
Inspirational
Jaya Amanah Putra adalah seorang psikolog berbakat yang bekerja di RSIA Purnama. Dia direkomendasikan oleh Bayu, dokter spesialis genetika medis sekaligus sahabatnya sejak SMA. Lingkungan kerjanya pun sangat ramah, termasuk Pak Atma sang petugas lab yang begitu perhatian. Sesungguhnya, Jaya mempelajari psikologi untuk mendapatkan kembali suara ibunya, Puspa, yang senantiasa diam sejak hamil Jay...
Until The Last Second Before Your Death
431      308     4     
Short Story
“Nia, meskipun kau tidak mengatakannya, aku tetap tidak akan meninggalkanmu. Karena bagiku, meninggalkanmu hanya akan membuatku menyesal nantinya, dan aku tidak ingin membawa penyesalan itu hingga sepuluh tahun mendatang, bahkan hingga detik terakhir sebelum kematianku tiba.”
Asmara Mahawira (Volume 1): Putri yang Terbuang
5363      986     1     
Romance
A novel from Momoy Tuanku Mahawira, orang yang sangat dingin dan cuek. Padahal, aku ini pelayannya yang sangat setia. Tuanku itu orang yang sangat gemar memanah, termasuk juga memanah hatiku. Di suatu malam, Tuan Mahawira datang ke kamarku ketika mataku sedikit lagi terpejam. "Temani aku tidur malam ini," bisiknya di telingaku. Aku terkejut bukan main. Kenapa Tuan Mahawira meng...
Gareng si Kucing Jalanan
6536      2772     0     
Fantasy
Bagaimana perasaanmu ketika kalian melihat banyak kucing jalanan yang sedang tertidur sembarangan berharap ketika bangun nanti akan menemukan makanan Kisah perjalanan hidup tentang kucing jalanan yang tidak banyak orang yang mau peduli Itulah yang terjadi pada Gareng seekor kucing loreng yang sejak kecil sudah bernasib menjadi kucing jalanan Perjuangan untuk tetap hidup demi anakanaknya di tengah...
SERENA (Terbit)
16579      2829     14     
Inspirational
Lahir dalam sebuah keluarga kaya raya tidak menjamin kebahagiaan. Hidup dalam lika-liku perebutan kekuasaan tidak selalu menyenangkan. Tuntutan untuk menjadi sosok sempurna luar dalam adalah suatu keharusan. Namun, ketika kau tak diinginkan. Segala kemewahan akan menghilang. Yang menunggu hanyalah penderitaan yang datang menghadang. Akankah serena bisa memutar roda kehidupan untuk beranjak keatas...
Sherwin
342      224     2     
Romance
Aku mencintaimu kemarin, hari ini, besok, dan selamanya
Bittersweet My Betty La Fea
2841      1018     0     
Romance
Erin merupakan anak kelas Bahasa di suatu SMA negeri. Ia sering dirundung teman laki-lakinya karena penampilannya yang cupu mirip tokoh kutu buku, Betty La Fea. Terinspirasi dari buku perlawanan pada penjajah, membuat Erin mulai berani untuk melawan. Padahal, tanpa disadari Erin sendiri juga sering kali merundung orang-orang di sekitarnya karena tak bisa menahan emosi. Di satu sisi, Erin j...