Kesan pertama adalah unsur yang harus dibangun ketika memulai hal baru. Mungkin kalian sering merasakan kesan pertama yang tidak semestinya terjadi. Kesan pertama, bisa saja positif, negatif, ataupun dua-duanya.
Kesan pertama akan sangat menentukan kejadian selanjutnya, terlebih jika kalian ingin berkenalan dengan seseorang yang belum pernah kalian temui sebelumnya.
Dan, inilah aku. Namaku Aveen, aku lahir dan tinggal di Bandung. Akulah yang selalu gagal membangun kesan pertama ketika melakukan apapun. Tak heran jika orang-orang terkadang menganggapku aneh. Aku merasa kebingungan, kehabisan kata-kata, dan mati rasa ketika bertemu orang baru. Ketika umurku masih terbilang anak-anak, hal ini tak masalah untukku. Namun, saat ini, aku yang sudah beranjak remaja, merasa terganggu dengan kekuranganku ini.
Beberapa kejadian pun membuatku merasa sangat malu. Diantaranya, aku pernah bertemu dengan seseorang yang bisa dibilang tampan, dia mengajakku bicara. Dia menepuk pundakku.
Orang tampan : “Permisi Mbak, boleh nanya ga?”
Saking tampannya, aku hanya ternganga tak menjawab pertanyaannya. Aku pun mati rasa.
Orang tampan : ”Tahu Jalan Acasia di mana ga, Mbak?”
Aveen : “nsxucugr7yo8r6ger7grygydvcycbgvyibuxbo.”
Oh Tuhan, aku tidak sadar apa yang kuucapkan tadi sama sekali tidak penting. Orang tampan itu pasti tak mengerti bahasaku. Yaelah Neng, apalagi dia, aku aja yang ngomong gatau juga apa yang aku omongin tadi.
Akhirnya, orang tampan itu pun pergi dengan sangat sopan dan berkata, “Oyaudah Mbak, makasih ya, maaf mengganggu.”
Dalam hati pun aku mengumpat, “Makasih? Apa yang udah dia dapat? Maaf? Emang salah apaan dia, Veen? Mengganggu? Tuhan, aku pengen teriak dia sama sekali tidak mengganggu.”
Dari kejadian itulah aku mulai sadar, kekuranganku ini harus diobati, tak boleh dibiarkan begitu saja. Aku pun curhat kepada sahabat terbaikku sejak kecil, Mira. Dialah yang tahu dan paham akan kekuranganku ini.
Mira : “Kalau menurutku, kamu itu minder Veen, minder ketemu orang baru.”
Aveen : “Benar juga sih Mir. Tapi aku bingung, gimana cara ngobatinnya? Capek sudah aku gabisa dapat pacar selama 19 tahun gara-gara ini. Sedih tahu jomblo 19 tahun.”
Mira : “Elah dasar lu, pacar mulu yang dipikirin dah. Mendingan ya aku saranin kamu sering-sering aja ketemu orang baru, ajak mereka ngobrol duluan.”
Aveen : “Nah itu, sulit betul. Kan gini, ketemu orang baru, terus ngobrol, ngobrol apaan shay kenal aja engga.”
Mira : “Di situlah minder kamu dilatih Veen. Kamu bisa jadi orang yang supel, enjoy aja deh. Gampang kog. Aku yakin, habis itu pasti penyakit “The First” kamu bakalan hilang.”
Aveen : “Yaudah deh aku coba saran dari sahabat tercantikku. Hehehe.”
Seminggu kemudian aku mempersiapkan diri untuk jalan-jalan ke Yogyakarta, sendirian. Kenapa sendirian? Tujuannya sih melatih mandiri sama nambah teman di sana.
Awalnya, aku masih merasa ragu. Bandung-Yogyakarta jauh nian rasanya. Namun, aku selalu membantah keraguanku itu. “Kamu harus yakin bisa, Veen. Kamu ga sendirian. Di sana banyak orang baik. Ingat! Ini demi kesembuhanmu, ga mau dapat pacar? Mau jomblo terus?”
Okee.. Akhirnya, hari aku berangkat ke Jogja pun tiba. Aku di sana rencananya hanya 3-4 hari saja. Tergantung betah tidaknya. Aku menggunakan kereta api untuk sampai di Jogja. Perjalanan selama 8 jam.
Aku duduk di dekat jendela sebelah kiri, lumayanlah bisa lihat pemandangan. Sebelah kananku adalah sepasang kekasih, entah sudah menikah entah masih pacaran. Di situlah aku mulai bête. Ya Tuhan, mendingan sebelahnya ibu-ibu deh daripada orang pacaran gini.
Tak lama kemudian, perempuan di sampingku itu mengajakku berbicara.
Perempuan asing : “Ke Jogja, Teh?”
Aveen : “Iya, Kak.”
Perempuan asing : “Emang Teteh asli mana? Jakarta?”
Aveen : “Asli Bandung, tapi gabisa Sunda. Hehehe.”
Perempuan asing : “Oh gitu. Kenalin Teh, saya Bella, ini Abang saya, Taufik.”
Aveen : “Aveen.”
Ya ampun, astaga. Abangnya ternyata. Maafkan aku Tuhan, aku salah sangka.
Beberapa menit kemudian, aku berpikir, apakah omonganku tadi terlalu cuek ya? Dan, Kakak Bella sangatlah ramah. Aku ingin sekali memulai percakapan, namun bingung mau nanya apaan. Aku pun memberanikan diri.
Aveen : “Udah berapa lama jadi kakak-adik?”
Haaaahhh. Oh no! Pertanyaan macam apa ini, Veen! “Udah berapa lama kakak-adikan?” Duh Veen, dari lahirlah yaaa. Salah nanya dah lu Veen. Pingsan aja udah!
Bella : “Dari saya lahir dong, Teh. Teteh ini ngajak bercanda ya. Hehehe.”
Aveen : “Kan banyak sekarang yang kakak-adik tapi ga sekandung, buat status mereka aja. Kalian ga mirip mukanya, kukira bukan saudara kandung.”
Bella : “Hehehe. Iya Teh, banyak yang ngira juga kita ini pacaran. Tapi sebenarnya kita beneran saudara kandung. Cuma ya itu Teh, Abang mirip sama Bapak, saya mirip Ibu.”
Alhamdulillah, untung masih bisa alasan. Udah deh udah, diam aja Veen. Nanti ngomong pas ditanya aja.
Selama di perjalanan, aku memutuskan untuk memfoto pemandangan dari jendela, walaupun kebanyakan fotonya kabur sih. Setelah 2 jam perjalanan, aku pun mengantuk, dan tertidur pulas dengan bersender di jendela.
Sampailah di Stasiun Lempuyangan, Yogyakarta. Aku turun dari kereta. Entah mau ke mana. Aku bingung bukan main. Suara gaduh di stasiun sangatlah mengganggu.
Tukang ojek 1 : “Ojek, Mbak?”
Tukang ojek 2 : “Ojek Mbak? Daripada ga ada yang jemput.”
Tukang ojek 3 : “Mbak ojek Mbak.”
Sebenarnya mau sih naik ojek, tapi mau ngojek ke mana Bang. Rumah aja ga punya.
Aku duduk di stasiun, membuka aplikasi pemesanan homestay. Aku pun mengetik di tab pencarian “Homestay Backpacker di Jogja.” Setelah lama mencari-cari dengan jari, akhirnya ketemu juga homestay yang cocok. Rp 50.000,00 per malam, share bed dan toilet bersama. Tapi gapapa sih kelihatan nyaman kog dari fotonya.
Aku menghampiri tukang ojek 1 tadi. Kenapa yang pertama? Karena aku ingin menghilangkan penyakit “The First”.
Aveen : “Ke Homestay Backpacker ya, Pak.”
Tukang ojek 1 : “Siap Boss!”
Perjalanan ditempuh selama 20 menit. Jogja macet juga ternyata, ga beda sama Bandung. Setelah sampai di Homestay Backpacker, aku langsung masuk dan memesan kamar selama 3 hari. Rp 150.000,00 habis dalam 5 menit. Okee, gapapa, daripada tidur di emperan toko ye kan.
Sekarang pukul 16:00 WIB. Aku memutuskan mandi, siap-siap untuk bertemu orang asing dan berkenalan dengan mereka. Aku ingin pergi ke Malioboro. Homestay ini dengan Malioboro jaraknya tak terlalu jauh, hanya 500 meter, bisa ditempuh dengan berjalan kaki selama 10-15 menit. Dari mana aku tahu? Google Maps dong.
Setelah selesai, aku membawa seluruh barang berhargaku. Aku meninggalkan homestay, melangkah menuju Malioboro.
Sesampainya di sana, “Ya Allah, rame banget ya. Ada kuda, apa aku harus kenalan sama kuda?”
Aku memutuskan berjalan-jalan dulu, menikmati suasana di Malioboro. Aku pun lelah, aku memutuskan duduk di kursi trotoar. Tak lama kemudian, ada laki-laki yang sebenarnya tidak asing, menghampiriku dengan senyum manisnya.
Orang senyum manis : “Lhoh, Mbak yang di Bandung itu kan? Kog sampai sini, Mbak?”
Kog dia tahu ya aku dari Bandung? Kenal juga engga.
Orang senyum manis : “Ga berubah ya, Mbak. Masih tetap diam kalau ditanya. Hehehe.”
Aku perhatikan mukanya dengan seksama. Aku memang paling payah kalau disuruh menghafal wajah orang. “Diam kalau ditanya?” Astaga, ini kan orang tampan yang nanya jalan ke aku dulu waktu di Bandung. Sontak aku pun mati rasa.
Mati rasa lagi mati rasa lagi kalau ketemu orang baru. Tapi ini bukan orang baru, kita udah ketemu dua kali ini.
Orang senyum manis : “Ga ingat saya ya, Mbak? Yaudah, permisi Mbak. Maaf mengganggu.”
Aveen : “Sama sekali ga ganggu kog.”
Orang senyum manis : “Akhirnya Mbak jawab juga. Ngapain Mbak di Jogja?”
Aveen : “Liburan aja.”
Orang senyum manis : “Mbak asli Bandung kan?”
Aveen : “Iya.”
Orang senyum manis : “Saya asli Jogja Mbak. Di sini sendirian? Saya boleh duduk sini?”
Aveen : “Iya sendiri. Boleh, duduk aja.”
Orang senyum manis : “Bahaya lho Mbak cewek jalan sendirian, jauh lagi rumahnya. Nanti kalau diculik sama orang asing gimana?”
Aveen : “Ngomong-ngomong, kamu juga orang asing lho.”
Orang senyum manis : “Oiya hehehe. Tapi saya orang baik kog Mbak. Kenalin Mbak, saya Abimanyu, panggilan aja Bayu.”
Aveen : “Aku Aveen. Kemarin di Bandung ngapain?”
Bayu : “Saya kuliah di Bandung Mbak. Sekarang pulang kampung, jadi ya di sini. Hehehe. Mbak kuliah di Jogja?”
Aveen : “Oh engga, aku kuliah juga di Bandung. Di sini jalan-jalan aja. Sambil cari teman baru.”
Bayu : “Tapi Mbak sendirian lho, ga takut? Gini aja, selama di Jogja Mbak jalan-jalan sama saya, nanti saya ajak ke tempat-tempat populer di sini. Daripada Mbak jalan sendirian kan kasihan.”
Aveen : “Duh ngrepotin, gausah aja Bay.”
Bayu : “Gapapa Mbak, katanya mau cari teman baru. Saya kan termasuk teman baru. Hehehe.”
Aveen : “Benar juga sih, tapi ga ngrepotin nih?”
Bayu : “Engga Mbak, santai aja. Hehehe.”
Aveen : “Tapi jangan panggil Mbak dong, kelihatan tua. Panggil Aveen aja.”
Malam pertama di Jogja, kita mengobrol hingga tak kenal waktu. Bayu sangatlah ramah, dia selalu menyelipkan senyum ketika selesai berbicara hingga membuatku, membuatku meleleh rasanya. Tak hanya mengobrol, kami pun menikmati suasana malam Malioboro dengan menaiki andong. Sangatlah menyenangkan.
Di akhir perjumpaanku dengan Bayu, kami bertukar nomor telepon. Tujuannya sederhana, agar tidak bingung jika hendak menghubungi satu sama lain.
Bayu mengantarkanku ke homestay, sudah jam 23:00 WIB. Dia pun langsung pulang, sudah larut katanya kalau mau mampir.
Di dalam homestay, aku dipanggil oleh petugas lobby. Ada yang menitipkan barang untukku. Lalu aku membukanya di dalam kamar. Dua batang coklat ukuran sedang, dan ada note kecil di dalamnya.
“Welcome to Jogja. Have a nice day. Aku yakin ketika kamu membukanya pasti kamu sedang kelelahan. Makanlah coklat ini, untuk pengganjal perutmu.”
Manis sekali orang ini. Semanis coklat yang diberikannya. Tak berpikir banyak, aku langsung membuka coklat itu dan memakannya. Tahu aja nih orang aku kelaparan. Tapi, aku sendirian di Jogja, siapa ya orang yang ngasih?
Hari berikutnya, aku telah membuat janji dengan Bayu untuk jalan-jalan ke pantai. Banyak sekali pantai di sini, namun hari itu kami hanya memilih tiga pantai yang akan kami kunjungi.
Kami berangkat pukul 08:00 WIB. Saat di lobby, ada seorang pria yang berwajah Sunda sedang duduk di sofa. Ia pun menghampiriku ketika melihatku.
Pria wajah Sunda : “Halo. Kamu Aveen, kan? Kenalin, aku Anggara, yang ngasih coklat ke kamu tadi malam. Gimana coklatnya, enak kan?”
Aveen : “Iya enak. Makasih.”
Anggara : “Kamu mau ke mana, Veen? Mau aku temani?”
Aveen : “Jalan-jalan. Gausah, temanku udah nunggu di luar.”
Tanpa pikir panjang, aku langsung keluar menemui Bayu yang sudah sedari tadi menunggu. Kami pun bergegas ke pantai.
Sehari penuh kami mengobrol tiada habisnya. Baru pertama kali ini aku berkenalan dengan orang asing dan cepat pula akrabnya. Terlebih Bayu sangatlah baik, tampan, dan juga manis. Hati-hati Veen, kamu sepertinya sedang jatuh cinta.
Pukul 17:00 kami puas menjelajahi tiga pantai, saatnya kembali ke homestay untuk istirahat. Dan lagi, Anggara masih menunggu di lobby. Dia menghampiriku ketika melihatku masuk lobby.
Anggara : “Sudah puas keliling Jogjanya, Veen? Mau aku ajak ke tempat asik dan indah ga?”
Aveen : “Ke mana? Kita kan belum kenal.”
Anggara : “Tadi pagi kan udah kenalan. Aku Anggara, Veen. Udah lupa? Baru tadi pagi lho.”
Aveen : “Kamu tahu namaku dari mana?”
Anggara : “Nanti aku kasih tahu kalau kamu mau jalan sama aku malam ini.”
Aveen : “Yaudah, tapi aku mandi dulu ini.”
Anggara : “Iya gapapa.”
Walaupun aku sangatlah lelah, aku mengiyakan ajakan Anggara karena aku penasaran dari mana dia tahu namaku dan terdengar sangat akrab ketika memanggilku. Setelah aku selesai mandi dan berdandan, kami pun pergi ke sebuah tempat.
Candi Prambanan tempatnya, di sana sedang ada pertunjukkan musik jazz. Suasananya pun romantis dengan tema Candle Light Dinner, sangat mewah dan menawan. Aku dan Anggara mengobrol sangat banyak. Anggara tidaklah lebih tampan dari Bayu, namun dia tahu cara memperlakukan wanita dengan baik hingga membuatku jatuh cinta hanya dengan menatap matanya. Matanya sangatlah indah.
Keesokan harinya, Anggara mengajakku jalan-jalan. Di mana Bayu? Ia sedang sibuk dengan acara keluarganya. Aku pun tak masalah.
Aku dan Anggara berkeliling Jogja hingga sampai Candi Borobudur. Di sana sangatlah indah, kami menghabiskan waktu seharian hingga pulang larut malam. Tapi tak masalah, kami berada dalam satu homestay.
Keesokan harinya, aku dan Anggara pulang ke Bandung. Kalian tahu? Anggara satu kampus denganku. Kami pun memutuskan untuk pulang bersama.
Ketika di Bandung, aku menceritakan semua pengalamanku dengan Anggara kepada Mira, sahabat terbaikku. Betapa aku sangat berbunga-bunga ketika bertemu Anggara. Aku merasa aku mencintainya. Namun, di balik itu semua, Mira meminta maaf kepadaku.
Mira : “Veen, maaf ya. Anggara itu gebetan aku dari dulu.”