"Clarin, Cla, Clarin." Clarin berhenti dan menoleh ke belakang. Ada Gita yang sudah tersenyum penuh arti. "Cla, hari ini ada latihan dadakan. Di sekolah jam delapan malam. Rumah lo dekat sekolah kan? Tadi anak-anak yang lain sudah gue beri info juga."
"Kok dadakan? Bukannya tiap Selasa kita sudah latihan ya?" Gita mengeluarkan selembar brosur dan menunjukkannya, "Ini posternya anak basket. Kita kan soulmatenya basket. Jadi kalau basket ikutan ini, kita juga harus ikut ini. Kita kan, jadi supporter mereka. Datang ya, please. Banyak yang enggak datang, kalau lo enggak datang juga bakal kacau nanti waktu perform. Jadi lo harus datang. Sekalian cari gerakan baru," pinta Gita dengan wajah memelas. Clarin mengangguk mengiyakan Gita. Atlas menatap Clarin tak percaya, "Cla, lo yakin ntar' malam ke sekolah buat latihan? Udah sembuh belum? Belum sembuh bener udah ikut latihan cheers. Ntar' kalau lo makin parah gue juga yang ribet."
"Yang suruh gue ikut cheers siapa?" tanya Clarin balik ke Atlas. Atlas memalingkan pandangannya dari Clarin, "Ya gue. Cuma santai aja, enggak perlu gini juga. Toh lo ikutan cheers buat minta nomor HP Nila. Bukan buat jadi cheers beneran. Jangan terlalu capek juga," kata Atlas beri nasihat.
"Enggak apa. Gue udah mendingan sekarang. Nanti lo tetep nemenin kan? Sesuai dengan perjanjian," ujar Clarin mengingatkan Atlas. Atlas menggeleng, "Besok kan ada ulangan Bahasa Spanyol. Lo mau ikutan remidi massal?" tanya Atlas. Clarin menepuk jidatnya, "Astaga. Terus gue gimana? Haduh ... gue belum hafalin dialog yang kemarin. Mana PR gue halaman sebelas belum kelar."
"Nah itu Cla, jadi yang gue maksud gini ..., gue enggak ikut lihat lo latihan malam ini. Besok waktu ulangan, gue bantu lo kerja. Bu Pipit enggak mungkin tahu. Tenang aja serahin ke gue. Otak gue soal Bahasa Spanyol gini masih muat lah. Terus PR lo, gue kerja'in sekalian. Kan guru-guru enggak bisa beda'in tulisan lo atau tulisan gue yang hampir mirip itu. Jadi lo tetep bisa datang latihan tanpa perlu keganggu mikir PR. Semua bakal gue kerja'in malam ini. Tapi gue enggak bisa ikut. Jadi malam ini lo latihan sendiri enggak apa kan, demi Spanyol!!" ucap Atlas menyemangati Clarin. Clarin mengangguk lemah. Ia sebenernya menginginkan Atlas ikut menemaninya ke sekolah. Namun karena besok ada ujian Bahasa Spanyol, Atlas tetap tinggal di rumah dan melakukan tugasnya sebagai teman yang baik. Clarin segera bersiap-siap keluar. Ia memakai celana street hitam panjang, dengan kaos kusut warna merah serta membawa kamera LSR-nya untuk membunuh waktu di sana. Ia membawa ransel Doraemonnya. Beserta beberapa camilan ia masukkan ke ransel. "Ma, aku berangkat ya! Pagarnya langsung kunci aja. Aku udah bawa kunci sendiri."
"Mbak Clarin enggak naik sepeda, udah malam Mbak? Takut nanti kenapa-kenapa."
"Apa'an sih, Ma. Jangan parno kayak Atlas. Mulai nih, parno mode on."
"Lha sekarang itu jamannya pemerkosaan dan gendam, Mbak. Kalau Mbak Clarin ketemu mas-mas begal atau pencuri gimana Mbak, haduh bisa gawat nanti," ucap Irma khawatir. Clarin tersenyum senang melihat ada yang mengkhawatirkannya. "Enggak lah Ma, aku bolak-balik juara bela diri. Masa iya, kalah sama mas-mas begal. Lagian sekolah ke rumah kan cuma lima belas menit. Tenang aja Ma, aku bakal pulang dengan selamat."
"Iya, Mbak Clarin hati-hati ya!! Bawa payung atau jas hujan Mbak, siapa tahu kayak kemarin. Nanti Mas Atlas khawatir lagi."
"Iya beres, jas hujan sama payung sudah di tas. Ya udah aku berangkat ya. Atlas jangan lupa suruh belajar. Kalau misalkan kelamaan nunggu, Atlas suruh tidur duluan aja," katanya cepat. Clarin segera keluar dari rumah dan berjalan setapak demi setapak.
*
Tak lama, Clarin sampai di sekolah. Ia langsung berjalan ke lapangan indoor, menengok ke kanan-kiri namun tak menemukan sekumpulan anak cheers. Ia orang pertama yang sampai. Clarin cepat-cepat mengeluarkan kameranya dan memfoto Niko dari jauh. Tidak buruk batinnya. Niko yang mengenakan kaos hitam polos dan celana pendek warna cokelat tampak serasi dengan sepatu kets putihnya. Ia terlihat bersemangat latihan dengan anak basket lainnya.
"Nik, istirahat bentar dong. Capek banget, laper juga. Tadi belum sempat makan malam. Duduk-duduk bentar ya, kaki gue beneran enggak kuat." Niko mengangguk mengiyakan usul Boni. Mereka memang sudah latihan dari tadi. Selama 30 menit penuh mereka tidak istirahat sama sekali. Wajar bila Boni kewalahan.
"Teman-teman kita istirahat bentar. 15 menit makan dan minum. Kalau udah jam setengah delapan, kita kumpul di lapangan langsung bentuk formasi dua kelompok. Kita tanding per kelompok. Jangan ada yang telat!" pinta Niko pada teman basket lainnya. Mereka mengangguk lalu beristirahat sejenak. Boni yang sudah kelaparan mengajak Niko makan malam di luar. Niko menolak dan tetap tinggal di lapangan indoor. Ia mengeluarkan botol mineralnya dan mengambil cemilan di tasnya. Niko melihat ke sekeliling, 'Clarin, buat apa dia ke sekolah jam segini', batin Niko. Tak ingin lebih penasaran lagi Niko menghampiri Clarin yang duduk termenung mengutak-atik kameranya.
"Cla, ngapain ke sekolah malam-malam?" tanya Niko mengawali pembicaraan. Clarin masih senyum-senyum sendiri melihat hasil gambar kamera tadi, "Bentar lagi ada latihan cheers," jawabnya singkat.
"Oh, terus teman yang ngikut lo ke mana-mana enggak ikut?" tanya Niko. Clarin melirik tak suka pada Niko lalu menjawab, "Di rumah. Dia belajar Bahasa Spanyol besok ulangan."
"Terus lo ngapain di sini? Enggak belajar gitu?" tanya Niko lagi.
"Enggak. Ya ampun Nik, bawel banget sih. Yang ulangan Spanyol kan gue, bukan lo. Toh ada Atlas jadi sedikit banyak gue bisa kerja. Gue aja yang ulangan selow-selow aja."
Niko mendekat ke arah Clarin yang dari tadi sibuk dengan kameranya. Ia ingin tahu siapa saja orang yang dipotret Clarin tadi. Ketika Niko hendak melihat, Nila memanggilnya, "Niko! Kamu di sini juga? Kebetulan banget ya. Udah berapa kali kita ketemu enggak sengaja begini." Clarin kaget melihat Niko dan Nila telah berdiri bersebelahan. Ia segera mematikan kamera dan memasukkannya ke dalam ransel. Clarin menatap Niko dan Nila dengan serius.
"Kebetulan Nik, gue bawa bekal. Lo belum makan malam kan? Nih, udah gue bawakan. Kita makan bareng ya." Niko menolaknya, "Enggak usah. Gue belum lapar. Itu juga jatah bekal lo. Habiskan aja, nanti kalau gue ikut makan, jatah lo berkurang."
"Astaga Nik, enggak kok. Gue cuma makan dikit ini. Lo ambil tahu gorengnya aja tuh. Kan banyak tahunya. Ambil gih, ntar' kalau lo pingsan tiba-tiba bakal repot. Kayak dulu lagi bisa-bisa," ucap Nila menyodorkan tahu goreng pada Niko. Niko mengambilnya dan membawanya pergi. Ia duduk di tepi lapangan menghabiskan tahu dari Nila. Tak lama Boni dan gerombolan anak basket lainnya datang. "Udah Nik, buruan mulai latihan. Gue sama anak-anak udah pada makan." Niko segera berdiri. Ia cepat-cepat mengunyah, "Kita bagi jadi dua tim. Tim Boni dan tim gue. Tim yang paling banyak masukkan poinnya itu yang menang."
Permainan basket mereka pun dimulai. Clarin memerhatikan Niko dengan cermat. Niko menjadi lebih semangat ketika ia bermain basket, batin Clarin. ekspresi seperti itu belum pernah ia lihat di wajah Niko. Clarin mengambil kameranya lagi. Kali ini fokus kamera benar-benar ditujukan untuk Niko. Nila yang awalnya duduk lalu berdiri memberi Niko semangat, "Go Niko, go Niko, go!! Ayo Nik, masukkan ke ringnya!! Niko, Niko, Niko, Niko! Semangat Nik!!!" teriak Nila di samping Clarin keras. Clarin memotret Nila juga. "Kalau mau foto gue, lain kali bilang. Biar gue ngaca dulu baru foto." Nila berteriak lagi, "Ayo Nik, lo pasti bisa!" Belum lama bermain, Niko mencetak satu angka untuk timnya. Nila lalu berteriak paling keras. Semua anak basket memperhatikannya. "Kayaknya dia masih suka lo Nik," imbuh Boni ke Niko. "Lo beruntung banget pernah dekat sama Nila. Cewek energik kayak Nila susah dapetinnya." Niko tak menggubris ocehan Boni, ia hanya menatap satu orang saat itu, Clarin.
"Teman-teman. Sorry ya, gue telat," ucap Gita ke seluruh anak cheers yang sudah berkumpul.
"Kita mulai saja latihannya. Tapi sebelum itu, gue punya kabar gembira buat tim cheers kita. Tadi gue udah ambil nomor undian tampil. Kita dapat nomor pertama. Itu artinya kita jadi opening ...!" kata Gita berkoar-koar. Clarin menatap Gita terbelalak, "Lo serius Git?" tanya Clarin setengah shock. Gita mengangguk tenang. Nila berkata, "Enggak lebih bagus kalau kita ditaruh di penutupnya? Lagian, kalau buat opening kita kurang latihan. Takutnya malah bikin kecewa. Mending kita tampil di closing aja."
"Enggak bisa Nila, undian itu enggak bisa diganti. Kecuali kita tukar dengan undian sekolah lain dan bilang ke panitianya tiga hari sebelum lomba diadakan. Soalnya sudah didaftar sama mereka. Kalau udah didaftar ya mau gimana lagi? Gue yakin kok, kali ini kita pasti bisa. Kita harus juara dan kasih penampilan terbaik. Oke, kalau gitu kita langsung latihan ya. Gerakannya sama kayak kemarin. Ada yang ingat gerakannya gimana?" tanya Gita memastikan.
"Kalau pada lupa, kita langsung coba ya," ujar Gita ke anak cheers lainnya. Mereka pun memulai latihannya. Clarin dan anak-anak lain juga mulai mengikuti gerakan Gita. Mereka berusaha menyamakan gerakan satu dengan yang lain. Clarin mulai terbiasa dengan latihan cheers. Kini ia sedikit menyukai hobi sampingannya itu, menari. Selama sejam latihan cheers itu berlangsung . Pukul 9 malam, akhirnya latihan hari itu usai.
"Yeah!! Akhirnya selesai juga. Makasih sudah datang. Kalau ada yang ingin pulang silakan. Besok enggak ada latihan. Tolong gerakannya dihafalkan di rumah. Temponya, tempat masing-masing, juga mimik wajahnya. Soalnya kita bukan sekedar nari, tapi di lagu ini ada pesan yang ingin disampaikan ke penonton dan untuk anak basket sekolah kita. Lombanya sebentar lagi. Karena itu aku minta kita jaga kesehatan, jangan nanti tiba-tiba ngabarin bilang sakit."
*