20 menit sudah tim cheers istirahat. Mereka kembali latihan dan bersiap di tempat masing-masing. Nila dan Clarin diminta memperhatikan gerakannya dulu. Gita dan anak cheers lain, membuat formasi. Setelah musik diputar, mereka mulai menari dengan lincah. Clarin melongo melihatnya. Ia tak tahu harus menghafal bagian mana saja. Benar-benar merepotkan, pikirnya. Setelah Gita selesai giliran Nila yang mempraktekkan gerakan Gita sebelumnya. Nila hanya menghafal beberapa gerakan dan semuanya sesuai dengan apa yang Gita ajarkan. Nila menari penuh semangat. Gita memberi tepuk tangan untuk Nila, "Keren banget! Enggak ada part-part yang kelupa'an. Gerakannya sudah bagus dan udah semangat. Cuma tinggal ekspresinya aja, sekarang Clarin."
"Haah, gue??! Sekarang!?" tanyanya kaget. Gita mengangguk. Di saat seperti itu justru anak-anak basket sedang istirahat. Clarin bertanya lagi, "Ini gue sendiri yang nari? Enggak bareng-bareng gitu?" tanya Clarin. "Tadi Nila juga nari sendiri. Ini sekaligus latihan percaya diri, Cla. Siap-siap ya!" kata Gita. "Bentar, gue nari pakai gerakan apa ini? Kalau gue lupa gerakan lo yang tadi gimana? Gita, temenin nari dong. Belum siap batin nih. Gue dilihatin banyak orang, tuh anak-anak basket istirahat loh mereka," protes Clarin ke Gita. Sewaktu Nila menari tadi anak basket belum istirahat, tetapi tiba waktunya Clarin yang menari, club basket sekolah mereka istirahat latihan. Clarin semakin tidak ingin menari karena terlalu banyak mata yang memperhatikannya.
"Kenapa sih, Cla? Udahlah santai aja. Enggak bakalan lama, cuma tiga menit. Kalau lupa gerakan, bikin gerakan lo sendiri," ucap Gita. Gita lalu memutar lagunya. Clarin masih diam. Sedangkan lagu dance terus mengalun. Atlas memandangi Clarin dengan raut serius. Gita akhirnya mematikan radio. Ia memarahi Clarin, "Gerak Cla, nari. Jangan berdiri jadi patung di tengah. Ini panggung lo. Coba lagi ya," Gita kembali mengulang lagunya. Clarin menoleh ke arah Atlas dan Atlas memberikan semangat untuk sahabatnya itu, "Ayo Cla, lo pasti bisa!! Ayo Clarin, semangat!" teriak Atlas dari bangku penonton.
"Sejak kapan Clarin di situ?" celoteh Boni ke Niko.
"Dari tadi," jawab Niko pendek. Boni justru terkejut jika Clarin tiba-tiba berada bersama dengan club cheerleader. Pemandangan yang langka. Niko justru melihat Clarin dengan serius. Ia pun sama terkejutnya dengan Boni karena Clarin tiba-tiba ada di barisan cheerleader. Boni memberikan botol mineral ke Niko, "Emang dia bisa nari? Orang kayak dia bisa nari? Ngapain coba ikutan beginian?" protes Boni masih tak terima. Niko mendengar celetukan Boni tidak tertarik untuk menanggaponya. Ia memilih fokus memandangi Clarin. Ia mengumpat lagi dalam hati, 'Bodoh. Ngapain masuk cheers kalau enggak bisa nari. Useless banget, memalukan diri sendiri.' Tak lama, Clarin mulai menari. Ia berusaha mengingat gerakan Gita. Semua yang diingatnya ia keluarkan kembali. Ketika ia lupa, Clarin menambahkan beberapa gerakan untuk menutupi kesalahannya.
"Widih canggih dia. Sejak kapan Clarin masuk cheers? Dia bukan tipe cewek yang suka nari-nari di lapangan, pakai rok mini, terus loncat-loncat. Kalau dilihat-lihat sih, cantik juga. Enggak kalah sama Gita dan Nila, sepadanlah," celetuk Boni setelah melihat gerakan tari Clarin. Akhirnya Clarin selesai menari. Ia mengakhiri dancenya itu dengan split. Atlas segera memberi tepuk tangan yang meriah untuk Clarin pertama kali. Lalu diikuti Gita, Nila, Boni, juga anak-anak yang ada di lapangan, termasuk Niko.
"Git, gue minum bentar boleh ya?" tanya Clarin terengah-engah. Gita mengangguk memberi izin pada Clarin. "Boleh. Tadi keren Cla, hebat banget!" puji Gita semangat. Clarin langsung berlari menuju ruang ganti. Ia masih shock karena tubuhnya bisa bergerak leluasa seperti tadi. Dadanya tiba-tiba sesak. Clarin membuka loker mencari obatnya. Tidak ada sama sekali. Ia mencari di dalam tasnya, namun juga tidak dapat menemukan. Ia mengeluarkan buku pelajaran hari itu, lalu mencarinya lagi di tas. Namun, obat jantungnya tidak ditemukan. Clarin membungkukkan badan, mungkin saja obatnya terjatuh di lantai. Tak lama, Gita dan anak cheers lainnya masuk ke ruang ganti.
Clarin lalu mencari kembali obatnya. Ia menunduk ke bawah bangku panjang, menengok ke kanan dan kiri, Clarin menyapu pandangannya sekali lagi ke ruang ganti itu. Nila yang dari tadi memperhatikan Clarin sibuk sendiri, ia penasaran dan bertanya, "Ngapain Cla, lo cari apa'an?" tanya Nila. Clarin menoleh ke Nila, "Cari, lagi cari itu ... apa, botol kecil." Nila mengernyitkan alisnya, "Botol minum kecil?" tanya Nila kembali. "Bukan, botol vitamin. Tadi gue taruh tas, terus kayaknya jatuh di sini." Nila lalu mengangguk, "Mau gue bantu? Kayak apa bentuknya?" Nila kembali bertanya pada Clarin. "Enggak usah. Bentar lagi juga ketemu." Nila mengangguk paham.
"Teman-teman duluan ya! Thanks, udah mau datang. Nila, Clarin makasih ya udah mau ikut latihan tadi!" kata Gita semangat seraya berjalan keluar dari ruang ganti. Dan satu persatu anak cheers mulai keluar dari ruang ganti kecuali Clarin. Clarin memanggil Nila bermaksud minta tolong padanya, "Nila, tolong bilangin ke Atlas buat pulang duluan. Tadi dia duduk di baris satu kursi penonton. Bilangin kalau gue masih harus cari vitamin dulu." Nila mengangguk. Ia segera keluar dan memberitahu Atlas.
Clarin memeriksa loker teman-temannya yang belum dikunci. Namun, ia tidak menemukan obatnya. Ia mulai panik. Ia tak tahu harus mencari ke mana lagi. Terakhir kali ia membawa tasnya di ruang ganti. Setelah itu ia tidak pergi keluar dari lapangan. Clarin kembali mengitari ruang ganti cheers. Berharap ia dapat menemukan obatnya.
Niko telah sampai di parkiran sepeda motor. Ia merogoh saku celananya, mengambil kunci motor. Namun, kunci motornya tidak ada di saku. Niko kembali ke ruang ganti basket. Ia segera membuka lokernya lagi. Ia menemukan kunci motornya di situ. Seusai dari situ, ia kembali ke parkiran, dan terhenti di ruang ganti cheers karena lampunya masih nyala. Niko bermaksud mematikan lampu, namun ia melihat Clarin sedang sibuk dengan dirinya sendiri. Seperti sibuk mencari sesuatu.
"Cla, kenapa belum pulang?" tanya Niko dari jauh. 'Gawat, Atlas ngapain lagi di sini?' batin Clarin. "Cla, lo ngapain di sini?" tanya Niko. Clarin menoleh, "Ya ampun. Gue kira Atlas. Suara kalian enggak bisa dibedakan. Lo sendiri ngapaian masuk ke sini? Mau ngintip gue ganti apa?" tanya Clarin berusaha menutupi kegusarannya. Niko tidak menjawab Clarin. Ia sibuk memperhatikan Clarin yang terus-menerus menengok ke kanan-kiri mencari sesuatu. "Lo cari apa'an, Cla?" tanya Niko lagi.
"Aduh, lo kepo banget sih!" protes Clarin. Ia masih sibuk merogoh loker-loker cheers bagian atas barangkali ia menaruhnya di situ dan lupa.
"Gue bantuin ya, biar cepet ketemu. Lagipula lo cari apa sih?" tanya Niko lagi. "Ini sudah mulai malam dan kalau lo ngotot cari barang lo sendirian, mungkin lo besok masih di sekolah sampai pagi."
"Iya deh, jadi gini, obat gue jatuh, enggak tahu di mana. Dari tadi gue cari belum ketemu. Perasaan tadi aman-aman aja gue taruh di tas. Tapi begitu mau gue ambil udah enggak ada di tas. Dari tadi gue bingung cari sana-sini enggak ketemu."
Niko menggelengkan kepala. Lagi-lagi dia harus terlibat dengan Clarin. Tanpa basa-basi Niko mencari ke segala sudut ruangan. Ia menunduk, mencari di bawah kursi, di balik pintu cheers, namun belum juga menemukannya. Niko mulai kesal, "Lo yakin bawa masuk ke sini? Enggak jatuh di kelas?" tanya Niko memastikan.
"Iya. Di kelas enggak gue keluarin sama sekali." Clarin duduk di kursi ruang ganti. Ia mulai kelelahan. Niko melihat Clarin yang lemas duduk di kursi. Kalau sampai Clarin pingsan di sini ia akan kerepotan. "Awas lo, jangan pingsan dulu. Obatnya pasti ketemu. Jangan nyusahin gue lagi," omel Niko.
Clarin menatap Niko kesal, "Kalau enggak ikhlas enggak usah bantu. Pulang gih, sana," ucap Clarin agak kesal. Clarin kembali mencari obatnya lagi. Baru setelah itu mereka sibuk mencari obat. Mereka tidak berbicara satu sama lain. Niko terpaku pada celah loker cheers. Ia mengeluarkan HP-nya mencoba menyenteri belakang loker cheers. Dan benar saja di situ terdapat botol kecil. Niko buru-buru mengambil sapu ijuk yang terdekat. Ia berusaha mengambilnya dengan sapu ijuk. Sedikit susah payah mengeluarkan obat itu.
"Cla, ini obatnya. Jatuh di belakang loker," kata Niko melaporkan ke Clarin. Niko menghampiri Clarin yang duduk di kursi. Ia memberikan obat itu pada Clarin. "Astaga, makasih banyak Nik," ujar Clarin. Clarin segera membuka obat itu dan mengeluarkan botol minumnya, dengan cepat Clarin meminum tiga biji obat. Lalu meneguk air sebanyak mungkin.
"Maaf gue merepotkan lagi. Tapi makasih udah bantu cari obat ini."
"Gue antar pulang ya," tawar Niko pada Clarin. Ia melihat wajah Clarin yang masih pucat. Dan tidak mungkin Clarin pulang sendirian. Kalau Clarin pingsan di jalan, akan lebih menyusahkannya nanti. "Gue antar aja. Daripada nanti enggak sampai." Niko lalu menggandeng tangan Clarin keluar dari ruang ganti. Mereka segera menuju ke tempat parkir. Jadilah Clarin dibonceng Niko pulang.
Selama dibonceng Niko, Clarin tak bersuara. Kecuali bila Niko tanya soal jalan menuju rumahnya. Selebihnya Clarin diam dan tidak ingin bicara maupun memulai percakapan. Niko tiba-tiba teringat surat pernyataan orang tua waktu itu. Ia menanyakannya pada Clarin, "Cla, surat pernyataan buat orang tua, udah lo kasih belum?" tanya Niko menyinggung pengobatan jantung Clarin kemarin.
"Belum," jawab Clarin singkat.
"Kenapa belum? Kalau enggak lo kasih, dokter enggak mau mengoperasi."
"Mama masih di luar kota. Dia susah dihubungi," katanya bohong. Clarin lalu melamun lama mengingat Mamanya.
"Cla, Clarin, Cla," tegur Niko. Tegurannya itu membuat Clarin tersentak kaget. Tapi tak lama Niko berkomentar, "Lo kayak enggak peduli gitu kenapa?" tanya Niko ke Clarin. Clarin masih diam. Ia bingung harus bercerita bagaimana pada Niko. Biar bagaimanapun Niko dan dirinya belum terlalu dekat. Tidak mungkin bila harus bercerita soal ibunya ke Niko.
"Lo kalau diberitahu keras kepala banget. Udah divonis sakit jantung masih ikut cheers. Buat apa sih? Gini, kalau kenapa-kenapa gue juga yang dapat telepon pertama dari dokter. Teman lo Atlas, enggak tahu soal ini. Kalau lo masih ngotot ikut cheers, gue juga kena ribetnya."
Clarin mendiamkan Niko sesaat. Ia membalas Niko dingin, "Kalau enggak mau bantu bilang dari tadi. Enggak perlu ngomel gini," kata Clarin kesal. "Gue turun di sini aja," ujarnya ke Niko. Niko menghentikan motornya di pinggir trotoar. Clarin segera turun, "Makasih." Clarin lalu pergi. Ia mempercepat langkahnya. Ia ingin lebih cepat sampai di rumah, apalagi cuaca mendung dan gelap. Ia juga tidak membawa payung atau jas hujan.
Petir mulai menggelegar. Clarin masih belum sampai di rumah. Atlas berulangkali melirik ke jam dinding rumah Clarin. Sudah pukul lima sore, namun Clarin belum pulang. Atlas mulai khawatir. Harusnya ia tadi tidak perlu meninggalkan Clarin. Kalau sampai Clarin kehujanan, ia bisa sakit.
"Ma ..., Clarin kenapa belum pulang ya?" ucap Atlas ke Irma.
"Enggak tahu Mas Atlas. Mbak Clarin kan, satu sekolah sama mas Atlas. Tadi kenapa enggak pulang bareng aja mas? Biasanya juga pulang bareng," tanya Irma ke Atlas.
"Tadi Clarin lagi mencari vitaminnya yang jatuh di ruang cheers. Tapi lama banget ya, dari tadi belum ketemu juga. Ini kalau dia kehujanan di jalan, bisa sakit."
"Mungkin Clarin ada kerja kelompok. Jadi pulangnya langsung ke rumah temen mas."
"Enggak ada Ma, Clarin satu kelas sama saya. Seingat gue di kelas enggak ada kerja kelompok lagi. HP Clarin dibawa enggak?" tanya Atlas cemas. Ia menyeduh teh hangat yang disuguhkan untuknya.
"Coba dulu aja. Siapa tahu HP-nya dibawa, Mas." Atlas menuruti usul Irma. Ia menelepon Clarin. Nada dering tunggu masih berbunyi, Clarin belum mengangkat teleponnya. Atlas menjadi lebih khawatir. Lo di mana Cla, sekarang, batin Atlas.
*