Pelajaran Bu Yesi berlalu dengan cepat. Pelajaran Matematika hari itu diakhiri dengan penjelasan tentang rumus pitagoras Bu Yesi. Minggu depan Clarin dan teman sekelasnya masih harus mengerjakan PR pitagoras Bu Yesi. Tepat pukul 12.15, bel istirahat berbunyi. Seperti biasa Atlas mengajak Clarin ke kantin. Tapi kali ini Clarin menolaknya. Akhirnya Atlas pergi ke kantin sendiri. Clarin mengeluarkan bekalnya dan makan di kelas. Semoga saja dadanya tidak sakit lagi. Sejak Clarin masuk kelas dua SMA, dadanya sering nyeri, ia juga sering sesak napas. Belum lagi penyakit pusingnya yang sering kambuh tanpa permisi. Sangat mengganggu aktivitasnya. Clarin menghela napas, "Asal jangan jantung aja deh," ucapnya pasrah. Atlas ingin segera kembali ke kantin dan menceritakan soal Nila ke Clarin. "Clarin!" seru Atlas dari luar kelas. Clarin menoleh keluar. Atlas, kali ini apa lagi.
"Tumben Tlas, udah balik? Belum selesai istirahatnya. Kenapa lagi ini?" tanya Clarin tanpa basa-basi.
"Eh, gini. Gue sudah punya hukuman yang menguntungkan. Enggak susah sih. Jadi ..., barusan gue daftarkan lo ke tim cheers dan selamat lo udah masuk resmi di ekstrakurikuler cheers sekolah kita."
"Haah? Cheers? Cheerleader maksud lo?!! Bo'ong ya? Ogah banget gue."
"Eits, enggak ada penolakan. Kebetulan, cheers kurang anggota. Jadi lo diterima dengan ikhlas di sana."
"Lagipula mereka butuh orang baru yang gesit, staminanya kuat. Gue lihat semua itu cocok sama lo. Di sisi lain, gue mau lihat pemandangan yang beda di cheers. Tunjukkan ke mereka kalau lo bisa jadi anak cheers. Lo bisa Cla, gue berani jamin. Terus besok ada latihan di ruang serbaguna, setelah pulang sekolah."
"Ogah. Tlas, gue males banget kalau urusan nari terus teriak-teriak di lapangan. Gue juga sudah ikut ekskul atletik, gue enggak mau nambah kerjaan di sekolah. Kenapa harus cheers? Enggak ada yang lebih konyol lagi? Cari hukuman lain ajalah!" protes Clarin tak menerima hukuman itu dengan ikhlas. Atlas diam sejenak lalu berkata, "Ada. Tapi itu enggak menguntungkan buat gue. Jadi, lo masuk cheers aja. Gue untung, lo juga untung. Lo bisa masuk cheers tanpa seleksi dulu. Kurang hoki apa, Cla?" ujar Atlas membanggakan usahanya mendaftarkan Clarin di cheerleader sekolah mereka.
"Enggak mau," tolaknya singkat. Atlas meraih tangan Clarin dan memohon, "Ayo Cla, please ..., ini bukan semata-mata buat mempermalukan lo. Enggak, ya ampun. Ini demi misi PDKT gue sama Nila. Plis, jangan bikin gagal karena lo egois enggak mau masuk cheers. Pokoknya lo harus mau." Clarin menatap Atlas heran. Ia bahkan tidak kenal dengan cewek yang bernama Nila. "Nila siapa? Dia sekolah di sini?"
"Itu, anak baru yang datang dari Bandung. Udah seminggu yang lalu dia di Surabaya. Gue ketemu dia kemarin di jalan. Masalahnya gue butuh bantuan lo untuk tanya nomor hapenya. Mau bantuin ya? Gue enggak tahu harus minta tolong ke siapa. Kebetulan karena tadi lo kalah, ini hukuman yang cocok. Simpel, tapi menguntungkan gue juga."
"Gue enggak bisa nari Tlas, mau belajar sampai berapa tahun supaya bisa nari?!! Nari-nari kayak gitu lagi, teriak-teriak gak jelas dan lompat-lompat gak beraturan. Gue bukan tipe cewek cabe-cabean. Jadi gue tolak hukuman lo."
"Ya ampun Cla plis, gue minta tolong ke siapa lagi? Lo sahabat deket gue dari dulu yang paling akrab, deket, dan udah kayak keluarga sendiri. Jadi, mau kan?" tanya Atlas lagi. Clarin memandang wajah Atlas. Mencoba mendapat setitik kepastian. "Ya udahlah. Tapi tiap kali gue latihan cheers, lo harus ikut. Lo harus datang waktu gue lagi latihan," tutur Clarin. Atlas mengangguk.
"Tlas, lo punya saudara kembar enggak?" tanya Clarin langsung to the point. Clarin masih penasaran dengan pria kemarin yang bertanya saat mereka dihukum di luar kelas.
"Haaah?!! Enggaklah, setahu gue. Bolak-balik lo tanya pertanyaan yang sama kayak gini. Ada gosip lagi?" tanya Atlas yang mulai bosan dengan pertanyaan Clarin.
"Enggak. Kemarin kan kita ketemu sama orang yang suaranya mirip kayak suara lo. Dia tinggi, sawo mateng, rambutnya gelombang, dan penampilannya agak berantakan."
"Ngimpi kali. Siapa sih Cla? Gue enggak merhatikan. Gue fokus mengerjakan ulangan guru. Lagian lo juga aneh, waktunya ulangan malah ngelirik cowok lewat.
"Serius. Kemarin kan lo denger juga suara dia, Tlas. Aduh ..., siapa ya namanya? Mana gue pelupa banget. Tapi suaranya mirip kayak lo, persis banget malah."
"Gue juga lupa yang mana orang yang lo maksud. Gue enggak pernah ketemu dia lagi soalnya," kata Atlas menjelaskan pada Clarin.
"Selama ini Papa dan Mama enggak pernah bahas soal kembaran. Dari dulu sampai sekarang gue anak tunggal."
"Masa sih? Lo pernah tanya emang ke mereka? Siapa tahu mereka enggak beritahu lo karena takut kehilangan lo terus mereka--" Atlas memotong kalimat Clarin, "Udah jangan mulai FTV-nya. Bising dengernya. Dari kemarin kalau ada masalah kayak gini quotenya selalu pakai itu. Emang mukanya mirip gue?" tanya Atlas lagi.
"Enggak. Tapi suaranya mirip banget sama lo. Kembar kan, enggak harus sama wajah," ujar Clarin.
"Ya udahlah gampang. Nanti gue tanya lagi ke orangtua gue." Tak lama bel istirahat selesai berbunyi. Clarin mengeluarkan pelajaran selanjutnya.
*
Sepulang sekolah, Clarin tidak ikut Atlas ke ruang serbaguna. Ia sengaja pulang lebih cepat dari Atlas. Rencananya, ia ke RS hari ini. Ia buru-buru pulang supaya nanti tidak kemalaman sampai di RS. Semoga saja Atlas tidak bingung mencarinya. Belum dekat rumah, Clarin merasa dadanya sakit, sesak kembali. Matanya buram, sekelilingnya menjadi gelap dan tak lama Clarin pingsan.
"Bi Harum, hari ini Niko pulang telat. Niko di RS sekarang. Enggak bukan aku Bi, teman kelasku masuk RS. Kalau Bi Harum mau makan malam, makan malam sama Tara aja dulu. Enggak apa bu, saya bisa makan di luar. Nanti kalau kemalaman, aku tidur di RS."
"Mas, maaf dokter Reni mau bicara dengan mas sebentar," ucap salah seorang perawat.
"Iya sus. Sudah dulu Bi Har, mau ketemu dokter dulu." Niko menutup teleponnya dan segera menuju ruang dokter. "Siang Ni ... Ni ...," kata Dokter Reni kesusahan membaca tag nama Niko. "Niko, Dok."
"Oh iya, selamat siang Niko. Kamu siapanya pasien?" tanya Dokter Reni. Niko menjawab langsung tanpa pikir panjang, "Saya saudara sepupunya, Dok."
"Pantas. Wajah kalian agak mirip. Apa Clarin sudah cerita soal penyakitnya?" tanya Dokter Reni lebih serius.
"Belum, Dok. Clarin sakit apa Dok?" tanya Niko yang juga mulai serius. Dokter mengambil gambar hasil X-Ray. Ia menunjukkannya pada Niko. Niko melihat gambar itu dengan cermat. Seperti gambar jantung. Lalu, apa hubungannya gambar ini dengan Clarin?
"Ini gambar jantung Clarin," kata dokter.
Niko berusaha memperjelas maksud dokter Reni, "Lalu ...?" tanya Niko masih bingung. Dokter Reni mengambil spidol. Ia menunjuk ke gambar jantung itu. "Di bagian ini jantung Clarin mengalami penebalan. Sehingga katupnya menyempit dan menghambat perjalanan pertukaran darah. Lama-kelamaan akan menjadi bocor."
"Kalau begitu ditambal saja, Dok," ucap Niko.
"Bisa sebetulnya. Cuman kalau ditambal sekarang, rasanya sudah terlambat. Jantung Clarin sudah sangat parah. Tambalan yang ada dapat menambah kebocoran saja. Kalau ini dibiarkan maka saudaramu akan meninggal," jelas dokter lama.
"Lalu bagaimana, Dok?" tanya Niko.
"Jantungnya harus diganti dengan yang baru, transplatasi jantung. Kalau tidak ya, semakin parah."
"Lakukan saja, Dok," timpal Niko mantap. Dokter Reni tersenyum melihat antusias Niko. "Ini harus melalui pengawasan orang tua. Saya akan memberikan surat pernyataan. Surat ini harus dibaca oleh orang tua Clarin," ucap dokter sambil memberikan surat itu ke Niko. "Lalu apa sekarang Clarin boleh dijenguk?" tanya Niko yang ingin melihat kondisi Clarin. "Tentu. Clarin masih koma. Kalau nanti ada apa-apa, kamu bisa langsung panggil saya di sini."
"Terimakasih, Dok," ucap Niko lalu keluar dari ruang dokter. Niko kembali ke kamar ICU. Ia melihat Clarin yang terbaring lemah di ranjang RS. Baru tadi pagi Clarin menyapanya. Niko mengambil kursi dan duduk di samping ranjang Clarin. Ia ingat akan sapaannya yang pertama kali 'Kamu saudara kembarnya Atlas'. Ia bahkan belum bertemu dengan Atlas. Tapi cewek ini terlihat begitu mengenal Atlas. Bagaimana bisa ia kenal dengan Atlas? batinnya.
*
Infus, sofa, televisi, dan bau obat yang menyengat. Ini di rumah sakit. Clarin melirik ke sampingnya. Ada cowok tidur pulas di kursi itu. Ia mirip dengan cowok yang tadi pagi ia temui. Ia mencari jam dinding ke kanan kiri dan tidak menemukannya. Jam berapa sekarang? Sudah berapa lama ia ada di sini? Ia meraih ponselnya yang berada di samping ranjang. 10 miss called dari Atlas. Ia belum memberitahu Atlas sampai saat ini. Clarin mengirim SMS ke Atlas, bila Clarin berada di rumah Dian teman SMP-nya waktu itu. Tak lama HP Clarin berbunyi. Atlas menelepon. "Hai," sapa Clarin lebih dulu.
"Astaga Cla, lo ke mana aja dari tadi? Gue sama Irma sudah panik banget," omel Atlas khawatir. "Hehe, maaf. Gue lagi main ke rumahnya Dian. Tadi lupa telepon lo," jawab Clarin asal.
"Lain kali jangan bikin bingung. Kok enggak bilang mau ke rumahnya Dian? Dian enggak jadi pindah ke Jogya?" tanya Atlas yang baru ingat bila Dian seharusnya di Jogya.
"Enggak jadi. Ini gue lagi di rumahnya. Dian juga titip salam buat lo."
"Kalau gitu gue mau ngobrol sebentar sama Dian. Kasih teleponnya ke Dian," pinta Atlas memohon pada Clarin. "Dian ..., Dian lagi, lagi tidur. Dia tidur duluan. Lagian ini udah malem banget Tlas. Udah ya, gue juga mau tidur. Besok gue cerita'in. Daah!"
"Jangan ditutup dulu. Sunnya kan belum, muach ...! Ya udah met tidur!"
Clarin menutup telepon. Ia berharap Atlas tidak meneleponnya lagi. Clarin ingin pulang. Ia merasa tak nyaman berada di sini. Mana tangannya diinfus. Ribet banget jadi pasien. Clarin haus. Ia coba mengambil gelas air putih di atas rak samping ranjangnya itu. Hanya saja tangannya belum terlalu kuat untuk mengambil gelas. Clarin berusaha menggeser gelas itu ke bibir rak meja. Pelan-pelan Clarin menggeser gelas itu. Tiba-tiba Niko bangun dan melihat Clarin kesusahan mengambil gelas. Ia langsung berdiri dan memberikan gelas itu pada Clarin.
"Makasih," kata Clarin sambil meneguk air perlahan. Niko duduk kembali di kursinya. "Sama-sama. Seharusnya gue yang berterimakasih, karena lo memberi kesempatan gue menginap gratis di RS," omel Niko yang berusaha membuat Clarin bicara. Clarin yang merasa tak enak, segera minta maaf, "Maaf," ucapnya singkat. Niko mendekatkan kursi ke ranjang. "Lo ..., kenapa belum operasi sampai sekarang? Kata dokter, jantung lo udah parah." Clarin terdiam lama. Ia paling malas membahas hal-hal seperti ini. "Kenapa enggak operasi? Enggak ada uang?" tanya Niko sedikit menyindir. "Kalau lo enggak ada uang, lo bisa cari donatur atau apapun yang bisa bantu dana operasi. Lain lagi kalau dari awal lo mau mati dengan cara kayak gini. Ini surat pernyataan sama biaya perobatan buat orang tua lo," ujar Niko menyodorkan selembar kertas surat itu. Clarin mengambilnya dengan malas.
"Nama lo siapa?" tanya Clarin ke Niko.
"Niko."
"Lo kembarannya Atlas bukan? Muka kalian beda. Tapi suara kalian mirip banget," ucap Clarin masih keras kepala pada kesimpulannya tadi.
"Gue anak tunggal. Mungkin kebetulan aja." Clarin mengernyitkan alisnya, "Oh, gue kira kembar. Habis suara kalian mirip. Kalau gue tutup mata, gue pasti enggak bisa bedakan mana yang Niko mana yang Atlas. Lucu banget, ada kebetulan yang kayak gitu. Tapi, sekali lagi makasih."
Niko berdiri hendak pergi dari kamar rawat Clarin. "Gue pulang ya. Obatnya udah gue bayar tadi." Clarin menarik tangan Niko, "Jangan, temenin bentar aja. Krik, krik banget kalau tidur di sini sendirian gini. Ntar' aku ganti obat yang lo bayar tadi. Tapi jangan pulang. RS jadi angker kalau udah malem. Jadi ...., jangan pulang. Tunggu sini, atau paling enggak tunggu sampai aku tidur sejam dua jam-an lah," kata Clarin cepat.
"Lo bisa telepon Atlas atau temenmu yang lain," usul Niko yang berusaha pergi dari ruang itu.
"Gue enggak mau merepotkan Atlas. Dia pasti panik banget kalau tahu gue masuk RS," jawab Clarin beralibi.
"Lo enggak mau Atlas repot, tapi merepotkan orang lain."
"Lo kan orang asing, maksud gue, gue enggak perlu sungkan minta lo temani. Kita juga baru ketemu, jadi kalau sungkan-sungkanan belum ada buat gue. Gue janji sebelum dua jam udah tidur." Karena Clarin memintanya seperti itu, Niko terpaksa menemani Clarin lagi. Clarin cepat-cepat memejamkan matanya kembali. Ia harus tidur sebelum Niko pergi.
"Lo pindahan dari mana Nik?" Pertanyaan itu membuka percakapan mereka berdua. Niko kemudian bercerita tentang dirinya, "Gue dari Jakarta. Lo sendiri dari mana?"
"Dari Surabaya. Cuma gue SD kelas 1 sampai SD kelas 6 di Jakarta dan agak susah buang logatnya. Orangtua Lo kerja di sini?"
"Papa kerja di Surabaya. Mama udah meninggal. Lo sendiri gimana?"
"Orangtuaku masih lengkap. Tapi mereka sibuk di luar kota. Mereka juga jarang pulang. Mungkin pulangnya sekitar 6 bulan atau 3 bulan 2 kali. Dua jam kemudian Clarin sudah tertidur. Niko memerhatikan wajah Clarin dari dekat. Ia menyingkirkan rambut Clarin yang menutupi wajah. Clarin masih terlihat manis meski sedang tidur. "Huft ...," Niko menghembuskan napas kasar, "Satu orang lagi yang harus gue jauhi. Harusnya lo enggak di lingkaran gue , Cla. Siapapun yang deket sama Atlas harus gue jauhi." Perlahan Niko membuka pintu lalu beranjak dari sana. Ia pulang ke rumah malam ini. "Bi Harum aku pulang kerumah malam ini. Kunci pagarnya taruh di tempat biasa aja. Iya ...!" Niko segera pergi dari parkiran RS, ia pulang ke rumah.
-tbc-