“Ka … sih …,” panggilnya lembut dan pelan. Memandang lurus ke arah Kasih.
Kasih mendadak berhenti dan memutar badannya menghadap ke arah Saka. Kedua matanya membulat dan terbuka lebar, kedua alisnya naik. Hati kecil Kasih yang daritadi pasang tiba-tiba surut. “Ada apa, Saka? Apa kau sedih?”
Saka menaikkan ujung bibirnya ke atas. Matanya yang menyalak tajam telah hilang menjadi tatapan kucing yang ketakutan. “Aku ….” Perkataanya tertahan seolah ia ingin mengucapkan sesuatu yang penting namun sangat berat. Kasih mendengarnya dengan penuh perhatian.
“Aku sudah tidak mau kehilangan orang yang kusayangi lagi,” ujarnya dengan kelopak mata yang berkaca-kaca.
Kasih mengernyitkan dahi. Mencoba memahami tapi ia tidak mengerti. “Apa maksudmu, Saka?”
Tiba-tiba, kereta berbunyi nyaring sekali terus menerus. Lalu, gerakannya yang konstan mendadak berhenti perlahan. Beberapa penumpang di gerbong terbangun heran.
“Apa yang terjadi? Memangnya kita sudah sampai?” Kasih memutar-mutar kepala mencoba mencari jawaban.
“Kasih?” Cowok itu memanggilnya lagi.
“Aku sangat bersyukur bisa bertemu denganmu di akhir hidupku.”
“Hah?” Kasih semakin tidak mengerti dengan situasi yang berputar-putar di kepalanya ini. Apalagi cowok ini terus mengatakan hal yang aneh dari tadi.
“Terimakasih atas semuanya,” katanya dengan perasaan sedalam lautan. Kasih dapat menangkap kesungguhan dari balik perkataannya membuat Kasih tidak mempertanyakan lebih lanjut lagi.
Mendadak waktu seakan berhenti. Sunyi seolah semua suara hilang terserap bumi. Sedetik kemudian, sebuah ledakan yang sangat dahsyat menggema memekakkan telinga. Mengguncang gerbong kereta, mendorong mundur kereta dengan kecepatan mematikan. Memecahkan jendela kaca secara beruntun.
Kasih terbelalak melihat pemandangan mengerikan di hadapannya. Sebuah kereta besar melesak dengan moncong besar dan berapi-api. Merobek mulut gerbong pertama menghancurkan segala yang ada di sisinya dan semakin buas tak terhentikan makin bergerak cepat masuk ke dalam.
Kasih panik setengah mati sampai ia tidak mampu bergerak. Seketika, ada yang menarik tangannya dan membawanya melompat ke luar kereta melewati pintu gerbong yang terbuka.
Kasih teriak sangat kencang dan sebuah lengan melingkar memeluknya erat-erat. Kasih memejamkan kedua mata hingga semuanya gelap hilang seketika.
* * *
“Ayo sayang, sebentar lagi nyampai!” panggil lembut seorang wanita dengan dress putih berbunga yang ujungnya menyentuh tanah basah. Wanita itu sangat cantik memiliki senyuman manis dan tatapan yang hangat.
“Aku capek,” keluh seorang gadis kecil yang tingginya hanya sepinggang orang dewasa. Pipi bulatnya membesar seperti balon, bibirnya menurun ke bawah. Mukanya penuh dengan debu sedangkan tangannya penuh dengan tanah.
Wanita itu hanya tertawa lebar melihat gadis kecil di depannya ngambek dengan cara menggemaskan. Ia memutuskan turun perlahan di jalanan berundak yang curam dengan bebatuan.
Lalu, menggendong anak kecil itu di punggungnya. Ekspresi gadis kecil yang kusut berubah jadi cerah.
Sebelum wanita itu memulai langkah naik, ia berteriak lantang, “Satu … Dua ….”
“Go …!” balas gadis itu lebih kencang.
Seolah diberi kekuatan seribu gajah, ia menaiki jalanan berundak dengan cepat dan kuat walau dengan membawa beban 20 kg. Gadis kecil itu merentangkan kedua tangan berteriak senang. Beberapa menit kemudian, mereka sampai di atas puncak bukit..
Kedua mata gadis kecil itu melebar takjub. Sebuah pemandangan menakjubkan melihat matahari terbit bersinar menyinari desa tempat tinggalnya dari atas.
Cahaya hangatnya menyebar dari ujung cakrawala menembus kabut-kabut putih yang mengambang menutupi rumah-rumah dan pohon yang rimbun.
“Sangat indah, bukan?” ujarnya sambil melirik ke arah gadis kecil yang masih bengong digendongnya. “Tidak sia-sia, Ibu membangunkanmu pagi-pagi shubuh. Naik ke puncak untuk melihat ini.”
Cahaya yang mendekat seperti tangan-tangan panjang yang hangat membelai setiap daratan yang dilewati. Mengusir udara dingin.
Memeluk kaki gunung Merapi yang masih terlelap. Membangunkannya dari tidur. Menyibak selimut putih kabut yang masih mengelilingi.
“Sayang, ingatlah semua ini! Hidup kita itu seperti cahaya. Segelap apapun malam yang kita lewati pasti akan datang pagi yang menyambut kita dengan cahayanya yang terang. Cahaya itu tidak akan pernah hilang, Sayang. Harapan itu akan selalu ada.” Wanita itu mengecup pipi gadis kecil itu.
“Terima kasih, Ibu. Aku senang melihat ini.”
* * *