Di gerbong paling depan, ruang di mana masinis berada ditemani kondektur dan teknisi kereta api. Mereka saling berbincang mencurahkan kegelisahan yang anehnya menghantui mereka sejak pagi.
Mengisi waktu mengingat perjalanan yang masih panjang. Ladang-ladang dan kebun kosong yang tidak terawat dan pepohonan yang mulai rapat memenuhi di sepanjang alur rel kereta.
“Aku merasa pagi ini sial banget,” kata si teknisi sembari melihat ke arah jendela lebar di samping. “Aku menumpahkan kopi panas dan gelasnya jatuh berserakan di lantai.”
“Itu mah mending, Pak. Lha aku dimarahin bos terlambat gara-gara ban motorku meletus di tengah jalan. Sudah bengkel tidak ada yang buka,” jelas si kondektur yang paling muda di antara ketiganya. “Capeklah aku, Pak. Dorong motor jalan kaki sampai stasiun sini.” Si kondektur menyilangkan lengannya. “Sial banget aku hari ini. Mana gak ada yang bantuin.”
“Tidak apa-apa lah. Syukurnya kan kamu masih muda. Kalau itu aku sudah encoklah punggungku,” kata si teknisi menunjukkan punggungnya. Si kondektur memutar bola matanya.
“Kalau saya hari ini mimpi buruk sekali. Seolah mendapat firasat aneh.” Dua orang itu terdiam seketika.
“Mimpi apa pak, emang?” tanya si kondektur.
Keheningan mendadak menelan mereka dalam-dalam. Angin seolah berisik bernyanyi menyeramkan. Dan perkataan selanjutnya si masinis membuat suasana semakin mencekam.
“Aku melihat kereta yang aku jalankan bertabrakan dengan kereta yang lain.”
Semua orang terdiam. Hanya ada suara mesin yang terus beradu.
“Pak?”
Dari ujung kejauhan terlihat sebuah kereta yang melaju cepat berlawanan arah.
“Apa mataku tidak salah lihat? Kereta itu satu jalur dengan kita?”
Dengan cepat, masinis menarik tuas rem kereta untuk menurunkan kecepatan. Membunyikan klakson kereta berulang-kali dengan nyaring untuk memberikan peringatan. Sisanya hanya bisa berdoa dan memasrahkan diri pada takdir.
* * *
Kasih mengeringkan air yang membasahi wajahnya dengan tisu. Memandangi sebentar ekspresi campur aduk yang ditampilkan kaca toilet di depannya.
Seharusnya perjalanan pulang kali ini menjadi perjalanan terakhir yang menyenangkan mengingat ia tidak akan kembali ke Jakarta. Tapi, mengapa kenyataannya malah begini. Bertemu orang asing yang aneh dengan tampilan menyeramkan dan suasana hati yang berubah-ubah tidak jelas. Ia mengembuskan napas kesal.
“Kenapa sih cowok itu? Tiba-tiba marah tidak jelas. Padahal aku tanya asal usulnya kan biar bisa menulis namanya yang jelas di kontak hp.”
Kasih mengangkat ponselnya, terlihat jelas nama Saka dengan nomor teleponnya yang belum tersimpan. Tentu saja ada banyak nomor di kontak seseorang, memberikan nama dan identitas jelas siapa orang itu akan mempermudah dalam mencarinya.
Supaya juga tidak tertukar dengan nomor lain jika namanya sama. Sekarang, Kasih tertunduk bingung. Kemudian, ia terbesit ide aneh di kepalanya.
“Biarin aku tulis ini saja di namanya,” ketus Kasih. Sebuah tambahan beberapa kata tertampil di sana, Saka Aneh Galak. Kasih bergumam sebentar menimbang-nimbang. “Tapi, kayak ada yang kurang.” Akhirnya, Kasih memutuskan memberi nama, Saka Cowok Aneh Galak di Kereta. Kasih mengangguk puas. Ia menarik napas panjang sebelum membuka pintu toilet untuk pergi ke gerbong ke lima yang ada mushola kecil. Tidak mungkin juga ia akan sholat di samping cowok itu.
Kasih melangkahkan kakinya keluar. Baru beberapa langkah, ia melihat cowok yang mengusik pikirannya dari tadi berdiri, memandang keluar pintu gerbong bagian samping yang terbuka.
Ia menggenggam ponsel di tangan kirinya, sepertinya ia tengah mengobrol dengan seseorang. Tanpa ingin mengganggu, ia memelankan jalannya ke gerbong selanjutnya. Belum sempat membuka pintu, Saka membalikkan badannya dan mendapati Kasih di belakangnya.