“Kau akan pergi kemana setelah sampai di Jogja?,” timpal Saka.
Kasih menunduk, pikirannya jadi berat. Makanan di mulutnya jadi terasa hambar. Ia menengok ke Saka dan tersenyum. “Aku akan pulang ke rumahku di Magelang. Aku tidak sabar, sudah lama sekali aku tidak pulang.” Ada pancingan tajam seolah menyangkut di sana.
“Aku akan pergi di daerah Jogokariyan. Ada masjid terkenal di sana.” Saka mengangkat kepala ke langit-langit. “Kata temenku, aku bisa belajar sholat juga mengaji di sana.”
Kasih terbatuk karena terkejut. Ia segera minum. Ia tertahan sebentar dan termenung. Sekarang, rasa bersalahnya semakin besar. Bagaimana mungkin ia bisa menyimpulkan laki-laki di sampingnya jahat hanya gara-gara pakaian dan penampilannya yang buruk? Meskipun sebagian besar dari pengalaman menyatakan demikian. Setidaknya, pikirannya berubah.
“Saka!” seru Kasih melebarkan mulutnya. “Semangat! Kau pasti bisa. Aku akan mendukungmu.” Kasih mengepalkan kedua tangannya menyemangati.
Saka tertawa lepas. Kasih terheran dan tersinggung. “Ada sisa roti yang nyangkut di bawah bibirmu.”
Kasih langsung membersihkan mulutnya. Ia cemberut kesal melihat Saka yang menertawainya. Ia menghabiskan gigitan terakhir rotinya. Wajah cemberutnya makin lucu dengan pipi yang menggembung. Saka semakin tertawa lebar memegang perutnya.
“Diam! Berhenti!” seru Kasih semakin kesal. Memasukkan paksa plastik bekas roti ke dalam mulut Saka yang terbuka lebar. “Nih, makan ni. Makan ini.”
“Maaf. Maafkan aku,” gelak Saka sambil mengelak.
Semenit kemudian, situasi kembali tenang dari pertengkaran kecil dan tidak jelas itu. Setelah orang disampingnya berteriak memarahi mereka berisik.
Perjalanan di sekeliling kereta mulai berubah dari perkotaan ke sawah-sawah yang memenuhi sepanjang mata memandang. Sawah-sawah hijau menguning yang siap panen. Kadang juga ada perkebunan jagung yang tumbuh tinggi menjulang dipenuhi jagung yang mulai matang. Rumah-rumah semakin jarang terlihat kecuali satu atau dua saja yang muncul.
“Hei Saka, ayo kita tukeran nomor telepon!” lirih Kasih di samping telinga Saka. Saka mengangguk dan menulis nomor telepon di ponselnya. Kasih terhenti sejenak memikirkan nama yang pas buat Saka.
“Saka, kamu di Jakarta tinggal di mana?”
Beberapa detik kemudian tidak ada jawaban. Kasih bingung apa yang salah dari pertanyaannya.
“Kamu kerjanya apa?”
Deburan rel kereta terdengar sangat jelas. Menimbulkan hawa tajam dan menakutkan. Kasih jadi semakin bingung. Apa yang salah dari dua pertanyaannya tadi.
“Memangnya kau siapa? Berani bertanya begitu padaku?” Tatapan tajam dan penuh penghakiman terbit dari balik bayang kedua matanya. Rahangnya mengeras dan otot di lehernya menonjol.
Kasih terkejut setengah mati. Tangannya gemetar. Hatinya luruh ketakutan. Ia seolah melihat singa-singa buas dan rakus bangun di hadapannya. Cakar-cakar yang sering menindasnya selama ini. Dan ia hanya seekor kelinci tergeletak pasrah. Bahkan mencoba melawan pun ia tetap akan jadi korban.
Suara adzan terdengar dari ponsel Kasih. Ia punya inisiatif untuk pergi dari Saka menghilangkan takutnya yang bertumpang tindih. Kasih menggenggam ponselnya dan berdiri. “Maaf, Saka. Aku tidak tahu,” katanya dengan penuh bibir gemetar.
Saka hanya menunduk dalam tanpa jawaban.
“Aku akan pergi sholat sebentar,” katanya sebelum Kasih benar-benar pergi.
Saka mengepalkan tangan dan memukul pahanya keras. Dering panggilan masuk ke ponselnya dan segera ia angkat.