Setelah selesai dengan pekerjaannya di toko, sorenya Rasi pergi ke konveksi untuk mengecek barang pesanan yang akan dikirim esok. Persiapannya sudah seratus persen, ia puas dengan pengemasan rapi yang dilakukan karyawannya. Sebelum ke kafe, Rasi pulang terlebih dahulu. Ia membeli tiramisu kesukaan Yeti dan menyempatkan diri mengobrol bersama wanita itu.
Yeti kini sering menghabiskan waktunya dengan memasak dan membagi-bagi makanannya pada pengepul sampah, tukang becak langganannya, serta satpam perumahan. Selain itu, Yeti juga jadi lebih sering ke panti, meski sekadar menemui Raras dan membantu anak-anak mengerjakan tugas sekolah mereka.
"Kamu jadi pergi ke kafe itu lagi?" tanya Yeti setelah menghabiskan tiramisunya. Ia dan Rasi, tengah berada di ruang makan.
"Jadi, Ma. Udah janji enggak enak kalau dibatalin." Rasi menumpuk piring bekas Dita dengan piring miliknya.
"Jadi kapan?" Yeti bicara sambil meletakan kedua tangan di atas meja.
"Malam ini perginya." Rasi bicara setelah menghabiskan air putihnya.
"Bukan itu." Yeti menyandarkan punggung pada kursi, ia lipat kedua tangannya di dada.
"Terus apa, Ma?" Rasi menaruh kembali gelas yang masih dipegangnya ke atas meja.
Yeti mengulum bibir, ia lalu sengaja batuk agar suaranya lebih jelas saat bicara lagi. "Kapan mau kenalin Mama sama cewek itu."
Rasi mengernyit, ia kemudian menggeleng. "Cewek mana, sih? Enggak ada yang mau aku kenalin ke Mama, kok."
"Pemilik kafe itu, yang ngasih kamu kopi. Kayaknya tidak mungkin kalau tidak ada maksud lain," kata Yeti mengira-ngira tentang maksud Shaline memberi Rasi kopi.
"Jangan kejauhan mikirnya, Ma. Dia emang baik sama semua orang. Enggak ke aku doang," ucap Rasi membuat harapan Yeti akan putranya yang segera dapat memiliki istri menjadi pupus.
"Mama pikir kamu jadi yang istimewa, atau bisa kamu duluan saja yang maju."
Rasi tertawa-tawa mendengar ucapan Yeti, ia tak mungkin melakukan hal itu. Lagipula, kabarnya Shaline sudah mempunyai tunangan. Rasi akui, Shaline memang menyenangkan, tetapi ia tak sedikit pun berniat mendekati perempuan itu.
"Ya, udah. Aku siap-siap buat pergi sekarang, ya, Ma." Rasi pamit dari hadapan Yeti. Ia mengecup sekilas pipi sang Mama lalu melesat ke kamarnya.
Pukul 19.00, Rasi pergi menuju kafe. Ia mengenakan jins biru yang dipadu dengan hoodie hitam. Rasi membawa tas selempang kecil berisi rokok dan ponsel. Ia pun membawa gitar kesayangannya yang sudah lama tak dimainkan. Selama perjalanan, pria itu asyik sendiri melantunkan lagu yang ia putar. Hingga tidak terasa, 30 menit kemudian Rasi sampai di tempat yang dituju.
Seorang pemuda kurus bernama Juna menyambut kedatangan Rasi. Keduanya duduk di kursi paling dalam. Juna adalah pekerja paruh waktu di kafe Shaline, ia datang hanya untuk mengisi acara musik di tempat tersebut.
"Wuih, ini, sih, gitar mahal, Mas!" Juna memekik keras sambil meneliti gitar Rasi. Ia tahu, benda tersebut memiliki harga selangit. Sebagai seorang anak penjual nasi uduk, Juna bahkan tidak berani bermimpi untuk membeli benda dengan harga mahal itu.
"Elu pake, deh, kalau memang mau dan cocok di elu," ucap Rasi sambil menyodorkan gitar pada Juna.
"Gile, enggak sayang, Mas, ngasih minjem gitar ini ke gue?" Pemuda beralis tebal itu mengambil gitar dari Rasi dengan tangan bergetar. "MasyaAllah, tabarakallah." Selanjutnya Juna mulai memetik senar benda tersebut.
"Man, suaranya jernih banget. Demen, dah, gue!" Lagi-lagi Juna memekik.
"Boleh, dong, gue request lagunya?" tanya Rasi.
"Boleh, Mas. Mau lagu apa?" Juna siap menerima permintaan Rasi.
"Joji." Rasi bicara dengan suara pelan.
"Glimpse of us?" tanya Juna.
Rasi mengangguk, membuat Juna menepuk jidatnya. Nih orang udah cakep, tajir, tapi gagal move on. Kayak apa, sih cewek yang jadi mantannya. Mengingat lagu yang Rasi request, memiliki arti seseorang yang belum bisa melupakan masa lalu dengan pujaan hati.
"Abis gagal move on dari siapa, Mas? Kirain cowok keren dan tajir kagak bakal kenal sama yang namanya patah hati." Juna jadi penasaran dengan apa yang tengah Rasi alami.
Belum sampai Rasi menimpali ucapan Juna, Attar dan dua kawannya yang lain datang. Attar mengenalkan mereka pada Rasi. Seorang pria berambut ikal namanya Kale. Satu lagi pria berwajah manis bernama Emran.
"Ngobrolin apa, sih, kayaknya seru banget?" tanya Kale.
"Ngomongin gagal move on, nih," jawab Juna.
"Gaya lu, Tong. Masih kecil aja udah segala bahas gagal move on." Kale memukul tengkuk Juna hingga pemuda itu meringis kesakitan.
Kehebohan para pria itu terpangkas oleh kedatangan seorang pelayan bernama Orin. Ia datang membawa beberapa gelas minuman yang sebelumnya sudah dipesan oleh si empunya. Saat menghidangkan kopi hitam ke hadapan Rasi, Orin sejenak menatap pria itu secara intens.
"Mas Rasi, kan?" tanya gadis berambut panjang yang diikat menyerupai ekor kuda itu.
"Iya, masa lupa?" Rasi menimpali pertanyaan Orin dengan ketus.
"Kata Kak Shaline, kopi Mas Rasi gula pasirnya di ganti gula aren, kalau kurang suka bilang aja. Biar nanti bisa diganti." Orin bicara dengan suara riang gembira.
"Iya, gue juga enggak mau rugi kalau kopinya enggak enak, pasti gue minta ganti," ucap Rasi membuat Orin mengangguk-angguk kemudian pamit dari hadapan para pria itu.
Setelah beberapa saat mengobrol, Juna pun pamit untuk memulai aksinya. Kali ini, pemuda itu mengiringi Orin bernyanyi. Selain menjadi pelayan, Orin yang memiliki suara merdu sering juga menghibur para pengunjung dengan membawakan satu hingga dua lagu.
Di tempatnya duduk, Rasi saksama mendengarkan lagu yang dibawakan Orin. Juna ternyata benar-benar mengabulkan permintaan Rasi untuk membawakan lagu "Glimpse Of Us" Sambil sesekali menyesap kopinya, Rasi ikut melantunkan nyanyian tersebut.
Bukan mengingat Sea yang membuat Rasi melamun. Pria itu justru sedang memosisikan diri seandainya suatu hari ia menikah, tetapi hatinya masih terpaut pada Sea, bukankah akan sangat menyakitkan bagi pasangannya.
'Nyokap lo juga cewek, Ras. Tega gitu, nikahin cewek tapi hati masih nyimpen nama lain?'
Beberapa waktu ini, Rasi pun memikirkan permintaan Yeti yang ingin Rasi segera menikah. Yeti bilang, kalau Rasi tidak berusaha melihat dunia dengan mata terbuka, sampai kapan dirinya dapat menemukan wanita yang mampu menggetarkan hatinya.
"Mas Rasi, ayo, ikut nyanyi lagi!" Sebuah seruan dari arah depan membuat lamunan Rasi buyar. Pria itu mengusap wajahnya, lalu menatap ke sumber suara.
"Ayo, Mas. Kita duet!" Orin melambai pada Rasi. Kawan Rasi yang menempati meja yang sama dengannya pun menyuruh Rasi agar maju untuk bernyanyi.
Rasi mengangguk, ia menyesap kopinya yang tinggal tersisa sedikit, lalu berjalan menuju depan sambil menyugar rambut. Rasi tersenyum-senyum kecil saat tiba di depan, ia bingung mau membawakan lagu apa.
"Mau nyanyi lagu apa, Mas?" tanya Juna yang siap mengiringi penampilan Rasi dan Orin secara akustik.
Mereka kemudian berunding akan menyanyikan lagu apa. Setelah sepakat, Rasi mengambil mik yang diulurkan oleh Orin. Rasi dan Orin mulai menghayati petikan gitar Juna, lalu dengan gerakan mata, Orin memberi kode agar Rasi masuk lebih dulu untuk menyanyikan bait pertama dari lagu tersebut.
Penuh penghayatan kedua anak manusia itu membawakan lagu, hingga di detik-detik terakhir jelang selesai, pandangan Rasi tertuju pada Shaline yang menempati kursinya. Di tempatnya duduk, Shaline nampak menggerakkan bibir seperti sedang ikut bernyanyi. Hingga akhirnya, pandangan Rasi dan perempuan itu bertemu. Shaline tersenyum pada Rasi sambil melambai, membuat Rasi melakukan hal sama meski dengan gerakan canggung.
Selesai bernyanyi, Rasi kembali ke mejanya. Ia pikir Shaline akan pergi, tetapi perempuan itu malah ikut berkumpul di sana. Dua bulan mengenal Shaline, baru hari ini Rasi merasakan hatinya berdebar aneh saat menatap wanita itu.
Perempuan berkulit coklat dengan hidung mancung, dan mata bulat yang memiliki sorot kuat itu, memang tak membuat jemu saat dilihat. Rasi bahkan sempat beberapa kali mencuri pandang pada Shaline yang selalu menutup mulutnya dengan lima jari saat tertawa.
"Eh, ada yang mau bantuin aku angkat lemari dari kamarku ke kamar karyawan, enggak?" ucap Shaline setelah beberapa saat mereka semua saling melempar candaan.
Shaline memang tinggal di kafe, ia menempati kamar yang ada di lantai dua bersama tiga karyawan lainnya. Bisnisnya tersebut baru Shaline jalani sekitar enam bulan lalu, tetapi pengunjungnya sudah ramai bahkan memiliki banyak pelanggan tetap.
"Kenapa dipindahin?" tanya Emran yang masih memiliki hubungan kekerabatan dengan Shaline.
"Buat dipake sama karyawanku, soalnya lemari di kamar dia rusak dimakan rayap." Penjelasan Shaline membuat mereka semua mengangguk kecuali Rasi.
"Tapi aku sama Kale sekarang udah janji mau pergi ke rumah pelanggan bengkelku. Mau lihat vespa yang mau dia jual. Kamu dibantu Attar aja, ya?" ucap Emran sambil melirik ke arah Attar.
"Iya, gue bantu," ujar Attar.
"Tapi, lemarinya berat. Harus digotong, deh, kayaknya," timpal Shaline membuat hati Rasi tergugah untuk membantu perempuan itu.
"Nanti gue bantu juga." Rasi cepat-cepat bicara, dan Shaline segera melihat ke arah pria tersebut.
"Enggak apa-apa, nih, Mas?" Shaline tak enak hati bila minta tolong pada Rasi, meski dua bulan terkahir, pria itu sering berkunjung ke kafenya.
"Enggak apa-apa, tapi enggak ada yang gratis, loh." Rasi berusaha melempar candaan. Ia ingin membunuh perasaan aneh yang ada dalam diri. Kenapa hatinya jadi berdebar tak keruan hanya karena tak sengaja bertatapan dengan Shaline.
"Aku gratisin kopi lagi, mau?" tawar Shaline membuat Rasi berpikir sejenak, seolah-olah sedang menimbang sesuatu. Pria itu bahkan mengetuk-ngetuk dagu dengan jemari.
Di saat seperti itu, Emran dan Kale pamit. Mereka berdua sudah ditunggu oleh kawan Emran untuk segera datang.
"Rasi doang, nih, yang digratisin? Gue enggak?" Attar menyindir Shaline, membuat wanita itu tertawa pelan.
"Iya, deh, kalian berdua aku kasih kopi gratis," ujar Shaline dengan suara riang gembira dan mengajak Attar serta Rasi untuk segera naik ke lantai atas.
Tiba di tempat tujuan, Shaline langsung menunjuk lemari kayu yang memiliki dua pintu. Dia pun menjelaskan bahwa benda itu ingin diangkut ke kamar yang bersebelahan dengan ruangan Shaline.
Tak butuh waktu lama, Attar dan Rasi berhasil memindahkan lemari tersebut ke kamar yang ditunjukkan Shaline. Setelah itu, sesuai janji, Shaline membuatkan dua cangkir kopi untuk Rasi dan Attar. Namun, baru saja Shaline hendak meracik kopi, Attar datang ke pantry melarang perempuan itu membuatkan kopi untuknya, sebab Attar mendadak harus pulang.
"Anak gue demam, jadi gue harus pulang." Begitu kata Attar sebelum pergi.
Shaline akhirnya hanya membuatkan kopi untuk Rasi, perempuan itu pun menemani Rasi menikmati minumannya.
"Mas Rasi produksi pakaian wanita juga, enggak? Siapa tahu aku bisa jadi reseller, Mas," ucap Shaline setelah beberapa menit mereka berada dalam kebisuan.
"Enggak, Shal. Konveksi gue cuma menerima pesanan pakaian olahraga dan seragam buat intansi juga sekolah-sekolah," sahut Rasi.
"Nanti kalau aku mau bikin kaos seragam buat anak-anak sini, bisa ke Mas, kan?" tanya Shaline lagi, matanya berbinar-binar membuat Rasi betah melihatnya.
"Bi-bisa banget, dong," jawab Rasi dengan terbata di awal kalimatnya.
Tak ada lagi pembicaraan antara Rasi dan Shaline, keduanya fokus menikmati sajian lagu yang kembali dimainkan di depan sana. Hingga akhirnya, Rasi pamit setelah mendapat pesan dari Sea.
Sea
[Rasi, bisa tolong ke rumah sakit sekarang? Mas Nolan kondisinya menurun dan masuk IGD]
Namanya Rasi bagus ya ...
Comment on chapter TAMAT