Pertanyaan Sea diabaikan oleh Rasi. Pria itu malah balik bertanya ada apa Sea menemui dirinya dan Yeti. Sea bilang sudah membuat sup kacang merah kesukaan Yeti, wanita itu juga membujuk agar Yeti segera makan.
"Sedikit juga enggak apa-apa, Ma. Yang penting ada asupan untuk tubuh Mama." Sea terus-menerus merayu ibu mertuanya itu, hingga akhirnya usahanya berhasil. Yeti
mau makan, meski hanya beberapa suap dan kembali lagi ke kamar tanpa menghabiskan makanannya.
Keberadaan Sea dan Nolan di rumah tersebut, membuat Rasi bingung melakukan apa. Ia tak mungkin terus-menerus berdiam di kamar, tetapi juga tak mau melihat kebersamaan Sea dan Nolan. Pada akhirnya, Rasi memilih pergi. Ketika Nolan bertanya dirinya hendak ke mana, Rasi jawab hendak bertemu teman-teman.
Perkataan Rasi tak sepenuhnya keliru, ia pergi ke kafe milik kerabat Aro. Tiba di tempat tujuan, Rasi bertemu adik Aro yang tengah berkumpul bersama teman-temannya.
"Gimana, Mas rasa kopinya?" tanya adiknya Aro yang bernama Attar, pria jangkung dengan suara berat itu terlihat sangat menunggu jawaban Rasi.
"Enak, jujur aja, sebagai penikmat kopi hitam, ini kopi terenak yang pernah gue minum. Beda aja rasanya," jawab Rasi lalu kembali menyeruput kopinya.
"Yang bikinin kopi namanya Shaline, pemilik kedai ini. Dia asli dari Aceh, terbiasa meracik kopi sejak dini." Pemaparan Attar membuat Rasi mengangguk paham. Kemudian, perhatian pria itu beralih pada seorang perempuan yang tengah bernyanyi di depan sana. Lagu "Runtuh" yang dipopulerkan oleh Fiersa Besari dan Febby Putri berhasil membuat Rasi ikut menyanyikan lirik tersebut dengan suara pelan.
Permainan gitar seorang pria yang mengiringi si perempuan bernyanyi pun mampu menarik perhatian Rasi. Hingga tak sadar jemarinya ikut bergerak seolah-olah tengah memetik gitar.
"Mas Rasi suka main gitar juga?" tanya Attar yang juga senang bermain gitar.
"Iya, cuma udah lama, nih, gak main gitar. Sampe bulukan, deh, tuh si Cantika di gudang."
"Cantika?"
Rasi tertawa, ia lupa bahwa Attar tak mungkin tahu siapa Cantika. Belum juga Rasi menjelaskan siapa Cantika, Attar sudah menebak bahwa Cantika adalah nama kekasih Rasi.
"Cantika itu, gitar akustik kesayangan gue. Udah lama gue taro di gudang sejak ngelola usaha milik orang tua," kata Rasi membuat penasaran Attar terjawab.
Lagu berikutnya yang dibawakan perempuan di depan sana adalah "Happier" milik Olivia Rodrigo. Rasi kembali hanyut dalam alunan musik tersebut. Sesekali ia pun melihat ke arah Attar yang tampak serius menatap perempuan yang tengah bernyanyi.
"Yang dari tadi nyanyi, tuh, cewek elu?" tanya Rasi pada Attar.
"Bukan, kok." Jawaban singkat Attar membuat Rasi mengangguk, tetapi tak merasa puas. Hingga ia memperhatikan gerak-gerik Attar yang tak melepaskan pandangan dari si perempuan tadi. Ekor mata Attar mengikuti ke mana langkah perempuan tersebut bergerak. Rasi jadi menyimpulkan sendiri apa yang tengah dialami Attar, mungkin sedang jatuh cinta.
'Tau apa, lu, Ras tentang cinta. Elu aja enggak bisa memaknainya dengan baik, bukan? Lama-lama elu kayak penjahat yang lagi ngincer emas di toko orang.'
Setelah menghabiskan waktu satu jam di kafe tersebut, Rasi pamit pulang. Sebelum naik ke mobil, seorang perempuan berhijab hijau botol memanggil Rasi. Perempuan itu berlari menuju Rasi dengan jinjingan kecil di tangan sebelah kanan.
"Kata A Attar, Mas suka kopi yang tadi saya buatkan. Ini, saya kasih buat Mas sebagai ucapan terima kasih sebab udah mau nyumbang lagu di acara musik tadi," ucap perempuan itu sambil mengulurkan jinjingan kecil ke hadapan Rasi.
"Suara Mas bagus, permainan gitarnya juga Ok. Udah banyak pengalaman di dunia musik, ya?"
"Enggak juga, kok," sahut Rasi sambil mengambil jinjingan itu dari tangan perempuan di hadapannya. "Makasih, ya. Nanti gue coba bikin di rumah."
"Saya sarankan kalau mau buat campur pakai susu kental manis, Mas. Atau pakai susu murni juga bisa."
"Kebetulan gue lebih suka pahit, jadi cukup pake gula aja kayaknya."
Rasi kemudian pamit, ia masuk ke mobil dan segera tancap gas. Tiba di rumah, Rasi mendapati Dita sedang duduk di ruang tamu pada kursi roda yang sering Saphan gunakan selama ini.
"Ma, kok, belum tidur?" Rasi berjongkok di hadapan Yeti, kemudian mengusap punggung tangan wanita itu.
"Papa sekarang lagi apa, ya, Ras?"
Rasi menghela napas, ia takut Yeti kembali terpuruk karena kehilangan. Rasi rasanya tidak sanggup melihat Yeti hidup tanpa semangat seperti saat ini.
"Papa pasti udah tenang. Udah enggak sakit lagi, kan? Udah enggak perlu lagi minum obat. Mama enggak boleh kayak gini terus."
Yeti memejamkan mata, kemudian menghirup udara agar dadanya yang sesak bisa sedikit lega. Wanita itu kembali membuka mata, dan langsung menatap Rasi.
"Ada Aku, Ma. Aku butuh Mama buat bersandar. Cuma Mama yang bisa ngertiin keadaan aku." Rasi balas menatap Yeti, membuat wanita itu menitikkan air mata.
"Jujur aja, liat Mama kayak gini aku ikut hancur. Mama salah satu sumber kekuatanku, jangan nyerah, Ma!"
Yeti meresapi kata-kata Rasi, ia berpikir dirinya terlalu egois. Merawat duka dalam diri, tetapi tidak memikirkan keadaan putranya.
"Jangan terlalu lama sedihnya, Ma," ucap Rasi lagi membuat Yeti merentangkan tangan. Rasi segera beranjak dan memeluk wanita yang telah melahirkannya itu.
Sejak itulah, Yeti berpikir untuk tidak membuat kesalahan yang sama seperti dulu. Nolan saja dibuat takut dengan kegilaan Yeti yang hampir bunuh diri. Kini, ia tak mau membuat Rasi merasakan yang sama.
Pagi ini, dua bulan setelah meninggalnya Saphan, Yeti dan Rasi pergi ke panti mengunjungi anak-anak. Di sana, mereka bertemu Bellin yang hari itu datang untuk memberikan salam perpisahan sebab lusa dirinya akan pergi ke Jepang.
"Gue kira elu omong doang soal pergi ke Jepang," ujar Rasi pada Bellin saat keduanya duduk di teras.
"Aku serius, Ras. Bisa-bisanya kamu berpikir yang buruk kayak gitu!" Bellin sedikit menyentak pria yang duduk bersebelahan dengannya itu.
"Moga pulang dari sana, kamu udah punya istri, ya, Ras."
"Elu dulu yang punya laki, gue masih dede-dede gemes."
"Kamu mau bilang aku udah tua?"
Rasi diam, ia sama sekali tidak berniat menyinggung Bellin, meski kenyataannya Bellin memang lebih tua darinya. Bellin mengulum bibirnya, menahan tawa melihat tampang Rasi yang sepertinya sedang kebingungan.
"Bukan gitu, Bell. Ya, ampun sensitif amat, sih!"
Melihat Rasi yang garuk-garuk kepala, Bellin tak kuasa lagi menahan tawa. Ia akhirnya terbahak-bahak sampai mengeluarkan air mata.
"Sialan, lu! Gue udah takut elu marah." Rasi menggerutu dan membuat Bellin menghentikan tawa. Di saat seperti itu, Dita datang mengajak Rasi pulang.
Sebelum pulang, Rasi sempat mengucap salam perpisahan pada Bellin. Ia juga minta maaf selama ini sudah sering berburuk sangka pada Bellin, meski nyatanya wanita itu memang menyukai Nolan, tetapi ia bisa berbesar hati tidak memaksakan kehendak.
Selama perjalanan pulang, Rasi dan Yeti mengobrol banyak hal tentang toko dan konveksi, pun tentang stoples berisi kopi hitam yang Yeti temukan di dapur. Padahal benda tersebut sudah ada sedari dua bulan lalu, Yeti baru mengetahuinya tadi pagi.
"Memang siapa yang kasih kamu kopi itu?" tanya Dita jadi penasaran setelah Rasi bilang, kopi itu adalah pemberian seseorang.
"Seorang perempuan pemilik kafe yang sering aku datengin, Ma. Tapi, aku belum sempat bikinnya," ujar Rasi
"Sudah sedari dua bulan yang lalu dan masih belum kamu cicip?"
"Gimana aku mau cicip kalau kopi buatan dia di kafenya lebih enak, Ma. Kalau aku bikin sendiri takut enggak pas rasanya."
Yeti diam, perkataan Rasi memancing rasa ingin tahunya tentang siapa perempuan pemilik kafe itu. Yet ingin bertanya banyak hal pada Rasi, tetapi mereka lebih dulu sampai rumah dan Rasi segera pamit untuk ke kamarnya.
Hingga keesokan harinya, Yeti tak leluasa mengobrol dengan Rasi sebab pria itu pagi-pagi sudah pergi ke toko. Sebelum ke tempat tujuan, Rasi lebih dulu mampir ke rumah Sea yang kini tengah sibuk menyiapkan proses penerbitan buku pertamanya.
"Ada apa, Sea? Enggak biasanya kamu nyuruh aku mampir? Biasanya kalau aku datang malah diusir." Begitu tiba di rumah sang kakak, Rasi disambut oleh Sea di ruang tamu.
"Jadi kamu yang mengenalkan naskah aku ke Zarin?" tanya Sea. Ia baru tahu kemarin sore tentang kebenaran ini dari Zarin.
Rasi mengangguk. "Maaf kalau aku lancang."
Sea menggeleng. "Bukan masalah lancang atau enggak, aku cuma ngerasa lagi ditipu aja."
"Ditipu gimana, Sea? Aku memang enggak jujur ke kamu, tapi aku cuma pengen bantu wujudin impian kamu, itu aja!"
"Aku merasa kalau tulisanku memang bagus, makanya Zarin tertarik. Tapi, ternyata?" Sea melirik Rasi, memberi tatapan tajam pada pria itu.
Rasi menghela napas, kemudian berdiri. "Memang aku yang kenalin cerita kamu ke Zarin. Tapi, selanjutnya, urusan Zarin yang menilai menarik enggaknya cerita itu!"
Sea ikut berdiri, ia pukul bahu Rasi beberapa kali sambil menggerutu tak jelas. Rasi diam saja, mungkin cara tersebut bisa melebur rasa kesal Sea pada Rasi.
"Aku udah pede aja, berpikir kalau Zarin memang beneran suka sama naskahku," ucap Sea dengan kepala menunduk dan tangan yang masih memukul bahu Rasi.
"Bahkan aku baru sadar kalau Zarin satu angkatan dengan kita saat SMA, kenapa aku bodoh banget, sih?" Tangan Sea menggantung di udara, tak lagi memukul bahu Rasi.
Untuk beberapa saat suasana menjadi hening, Rasi pun bingung harus menimpali dengan kalimat apa ucapan Sea. Padahal apa yang dia lakukan, hanya ingin membuat Sea bahagia.
"Maaf, Sea. Kalau ulahku menyinggung kamu," ucap Rasi beberapa menit kemudian.
"Tapi, kalau Zarin enggak tertarik sama naskahmu, dia bakal nolak saat aku meminta dia bantu kamu, Sea," kata Rasi lagi membuat Sea mengangguk.
"Jangan minta maaf, Ras. Harusnya aku yang minta maaf selama ini udah sering kasar ke kamu."
Sea menaikkan kepalanya, pandangan kedua orang itu bertemu. Perlahan bibir Sea tertarik ke atas, hingga akhirnya melengkung sempurna.
"Terima kasih, Ras. Semua berkat kamu, sampai akhirnya aku bisa wujudin keinginan bikin novel cetak." Sea maju selangkah, ia bersiap hendak memeluk Rasi, tetapi Rasi menghindar dengan memundurkan badannya.
"Mas Nolan ke mana?" Rasi mengalihkan pembicaraan sambil celingukan.
"Mas Nolan lagi mandi, sebentar lagi kami mau sarapan. Kamu udah sarapan?" tanya Sea, wanita itu merasa sedikit heran dengan perubahan sikap Rasi dua bulan terakhir ini. Rasi jarang datang ke rumah Sea sekadar untuk menemui An.
"Aku langsung ke toko kalau enggak ada lagi yang mau kamu omongin." Rasi menolak ajakan Sea, ia bersorak dalam hati. Memuji dirinya yang mampu mengendalikan perasaan terhadap wanita di hadapannya itu.
Sea mengangguk, sebelum Rasi pergi wanita itu kembali meminta maaf atas sikapnya selama ini. Ia juga mengucap terima kasih sudah membantu mengenalkan naskah novelnya pada Zarin.
"Aku cuma perantara, selebihnya memang karena naskahmu menarik aja." Rasi kemudian pamit, ia menitip salam pada Nolan dan An. Perasaan Rasi kali ini lebih lega, dua bulan tidak bertemu Sea secara intens, sepertinya membuat Rasi berhasil mengikis perasaannya pada Sea.
Sebelum melajukan kendaraan, Rasi lebih dulu memeriksa ponselnya yang bergetar tanda ada pesan masuk. Perlahan Rasi membuka layar benda pipih itu, dan tersenyum membaca pesan dari seseorang.
Attar
[Mas Rasi, nanti malam datang, ya, ke kafe Shaline. Kita nyanyi bareng lagi]
Rasi membalas ok, lalu segera meninggalkan halaman rumah Sea. Benar kata Dita, Rasi harus bisa berdamai dengan diri dan tidak larut mendalami perasaannya pada Sea.
Namanya Rasi bagus ya ...
Comment on chapter TAMAT