Hari ulang tahun An pun tiba. Siang ini, Sea mendandani An dengan sangat antusias, meski Nolan tak kunjung memberi kabar akan pulang atau tidak. Wanita yang tengah memakai pakaian rumahan tersebut, tetap harus terlihat bahagia di hari lahir sang putri.
An yang sudah mulai bisa melangkah, membuat Sea kesulitan memakaikan baju pada buah hatinya itu. Namun, Sea tak mengeluh sedikit pun. Ia malah mengejar-ngejar An sambil tertawa-tawa.
"Anak Mommy jangan jalan-jalan dulu, kan, belum selesai pakai bajunya," ucap Sea dengan suara lembut sambil meraih tubuh An yang baru saja akan kembali melangkah. Bayi itu, melakukan kegiatannya sambil berpegangan pada dinding.
"Dadada," ucap An menunjuk ke arah pintu.
"Iya, nanti kita keluar. An pakai baju dulu, ya." Sea membujuk An, seraya mengusap peluh di dahi putrinya itu.
Setelah itu, Sea segera memakaikan gaun berbahan katun ke badan An. Selanjutnya, wanita itu juga memakaikan jas putih lengan pendek sebagai pelengkap.
"Nah, cantik, kan," ujar Sea, setelah An selesai mengenakan pakaiannya.
Sea kemudian menggendong An, lalu melangkah hendak keluar kamar. Baru saja membuka pintu kamar, Rasi sudah tampak di hadapan Sea.
"Udah selesai dandanin An-nya?" tanya Rasi yang hari itu mengenakan kemeja navy. Rambutnya disisir rapi, pria itu terlihat lain dari hari biasanya.
"Udah, walau harus kerja keras," jawab Sea.
"Ya udah, biar aku yang bawa An ke depan. Kamu ganti baju, siap-siap!" Rasi kemudian mengambil alih menggendong An.
"Makasih, Ras," ucap Sea, pelan.
"Sama-sama, dandan yang cantik! Mas Nolan barusan kirim pesan, katanya lagi dalam perjalanan." Ucapan Rasi membuat dada Sea seketika berdebar. Wajahnya tiba-tiba memanas. Sedangkan Rasi segera pergi dari hadapan Sea.
Sea pun gegas kembali ke kamar. Ia lalu merias wajah sambil tersenyum-senyum. Rasanya seperti remaja yang hendak bertemu dengan orang yang disukai. Selesai memoles wajah, Sea mengenakan mini dress berkerah sabrina yang menampakkan bahu putihnya.
"Cepatlah datang, Mas," kata Sea, pelan. Ia kemudian meninggalkan kamar menuju ruang tengah yang disulap menjadi tempat pesta ulang tahun An.
Tamu undangan sudah datang seluruhnya. Yeti mendekat ke arah Sea, memberi tahu bahwa pembawa acara bertanya, apakah acara sudah boleh dimulai.
"Mas Nolan belum sampai, Ma?" tanya Sea sambil memandangi satu persatu orang-orang yang ada di ruang tamu. Berharap ada Nolan di sana. Ia bahkan mengabaikan pertanyaan mamanya.
"Kata Mama Yeti, Mas Nolan masih di jalan," sahut Dita.
"Sea, mau dimulai aja acaranya? Kasian tamu takut kelamaan nunggu. Anak-anak juga dikhawatirkan malah bosan kalau kelamaan," kata Yeti yang datang menghampiri Sea dan Dita.
"Tapi, Mas Nolan belum datang, kan?" Sea melempar pandang ke arah pintu, berharap Nolan tiba-tiba masuk ke rumah.
"Nolan sebentar lagi sampai, sambil nunggu kita mulai dulu, ya?" Yeti membujuk Sea.
Sea akhirnya setuju, An yang sedang digendong Rasi terus saja tertawa. Sang buah hati sepertinya tak mau diam, terbukti dari keringat yang menghiasi dahi.
"Nggak mau diem banget ini princess," kata Rasi saat Sea mengelap keringat An dengan telapak tangannya.
"Apalagi kalau gaul sama kamu, makin nggak mau diem," sahut Sea sambil tertawa.
"Mbak Sea, sudah boleh dimulai acaranya?" Seorang perempuan cantik yang memakai pakaian perawat datang menghampiri Sea. Di leher perempuan itu pun menggantung stetoskop mainan warna hijau.
"Ya ampun, Kak. Maaf, ya, kelamaan menunggu," sahut Sea sambil memposisikan diri ke hadapan perempuan itu. "Silakan dimulai, Kak!"
Setelah mendapat persetujuan dari Sea, acara dibuka. Kemudian, perempuan itu mengajak tamu bernyanyi potong bebek angsa terlebih dahulu. An ikut menggerakkan kepala dan bertepuk tangan meski belum bisa ikut bernyanyi. Anak itu terlihat bahagia.
Di depan meja besar yang di atasnya terdapat kue dengan lilin angka satu, An digendong Rasi. Yeti dan Dita berdiri mengapit Rasi. Sedangkan Sea berada di samping Yeti. Hati Sea masih waswas, ia takut hingga acara potong kue berlangsung, Nolan tak kunjung tiba.
Namun, ketakutan Sea tak menjadi nyata. Saat hampir saja pembawa acara hendak mengajak tamu menyanyikan lagu selamat ulang tahun, Nolan datang dengan wajah dihias senyum tipis. Pria itu memakai jas putih sesuai arahan Rasi. Sea merasakan debaran jantungnya makin tak berirama. Wajahnya kembali memanas melihat sosok yang dirindukan, kini ada di hadapan.
Nolan berjalan dengan langkah perlahan menuju keluarganya. Pria itu menyapa satu persatu mereka, seperti biasa Sea akan menjadi yang terakhir.
Jika biasanya saat Nolan sekilas mengecup dahi, Sea akan diam saja. Kali ini, wanita itu malah gegas memeluk Nolan. Ia bahkan merapatkan tubuhnya pada Nolan. Kedua tangannya mengelus punggung Nolan dengan gerakan lembut. Nolan awalnya seperti hendak melerai pelukan itu, tetapi Sea sengaja mengeratkannya lagi. Ia letakkan telinga ke dada kiri Nolan. Sea bisa mendengar degup jantung Nolan di sana. Bibir wanita itu mengulas senyum dengan mata yang tiba-tiba memanas.
"Mam mam mam." An yang memanggil-manggil Sea, membuat wanita itu perlahan melepaskan pelukannya terhadap Nolan.
Namun, ia tak lekas menjauh dari sang suami. Sea dengan mata berkaca-kaca mengulas senyum memandangi wajah Nolan.
"Apa kabar, Mas?" Sea menyentuh dada kiri Nolan. Ia tak kuasa untuk menyembunyikan perasaan bahagianya bisa melihat rupa sang suami.
"Mam mam mam ...." Lagi, suara An yang memanggil Sea membuat wanita itu akhirnya menoleh ke arah sang putri sebelum Nolan menjawab tanyanya.
Nolan sendiri merasa aneh dengan sikap Sea, terasa lain kali ini. Apa yang membuat wanita itu sangat hangat. Terlebih ketika acara dilanjut pada tiup lilin dan pemotongan kue, Sea tak sekejap pun melepaskan genggaman pada tangan Nolan. Saat pemberian potongan kue pertama, wanita itu bahkan tak segan mengecup bibir Nolan sampai membuat keluarga juga tamu yang lain riuh menyoraki.
Setelah acara ulang tahun An selesai dan tamu undangan pulang. Sea menyiapkan makanan untuk Nolan. Nolan kembali dibuat heran saat melihat makanannya kali ini. Menu sehat untuk jantung yang rasanya sama dengan yang ia konsumsi beberapa hari ini.
Namun, Nolan tak mampu mengeluarkan banyak kata, meski ia merasa, Sea biasanya tak seperti ini. Wanita itu akan menjauh dari Nolan dengan wajah sendu. Kali ini, Sea tampak bahagia.
"Mas nasinya mau nambah?" tanya Sea saat melihat Nasi merah pada piring Nolan sudah habis.
Nolan menggeleng, ia malah berdiri membawa piring kosong dan berjalan ke arah dapur. Sea tak diam, ia yang juga sudah menghabiskan makanannya mengikuti langkah Nolan.
Nolan mencuci piring sambil pikirannya menerka perubahan sikap Sea. Ia tak sadar bahwa di belakangnya, Sea sedang memperhatikan kegiatannya. Ketika pria itu selesai membilas piring, ia kebingungan meletakan benda itu di mana.
Sea tersenyum, mengerti kesulitan yang dialami sang suami. Ia lalu maju mendekati Nolan, piring kotor ia taruh ke bak cuci. Kedatangan Sea membuat Nolan menoleh, pria itu memasang wajah kaget. Lebih kaget lagi saat Sea malah melingkarkan tangannya di pinggang Nolan.
"Mas cari apa?" Sea berbisik. "Piring bersihnya taro ke rak atas," ucap Sea lagi dengan mata melirik ke rak yang berada tepat di atas bak cuci.
Kerongkongan Nolan tiba-tiba terasa kering, ia kesulitan menelan ludah. Dengan gerakan perlahan ia menarik tutup rak dan menaruh piring bersih di sana. Sebelum kembali menutup benda itu, mata Nolan menangkap kotak bekal makan yang beberapa waktu ini sering ia lihat.
Apa jangan-jangan selama ini yang mengirim makanan adalah Sea?
Belum penasarannya hilang, Nolan dibuat kalang kabut saat Sea melepaskan tangan dari pinggangnya dan malah menyusupkan tubuh rampingnya ke hadapan Nolan yang masih berdiri di depan bak cuci. Tubuh mereka sangat dekat, rapat, tanpa sekat. Sea seolah sengaja melakukan hal itu.
"Mas, aku rindu sama kamu," ucap Sea sangat pelan sambil mengalungkan tangan ke leher Nolan.
"Pasti nanti An juga punya tubuh tinggi sepertimu, Mas. Pandangi An, wajahnya mirip banget sama kamu." Sea harus mendongak agar dapat menatap wajah suaminya.
Nolan menelan ludah, lekumnya yang bergerak naik turun membuat Sea tertawa. Sepertinya aksi Sea sudah membuat Nolan ketakutan. Baru saja Sea akan melakukan hal lebih jauh, suara An yang menangis mengalihkan atensinya.
"Pasti An minta mimi," kata Sea sambil perlahan melepaskan tangan dari leher Nolan. "Mas mau aku buatkan apa?" tanya Sea sebelum dirinya pergi.
Nolan hanya menggeleng, kemudian mundur memberi Sea ruang untuk bergerak. Sea segera melangkah, setelah sebelumnya sempat sekilas mencium pipi Nolan dan berkata yang membuat Nolan rasanya melayang.
"Kalau mau apa-apa panggil aku, ya, Sayang."
Nolan kembali ke ruang makan, ia duduk di salah satu kursi. Pria itu, memijat pangkal hidungnya beberapa kali. Kepalanya mulai kembali dipenuhi banyak tanya, kenapa Sea tiba-tiba berubah.
"Rasi, dia pasti tahu," ucap Nolan lalu mengambil ponsel dari saku jas putihnya dan melakukan panggilan pada Rasi. Di dering pertama sang adik langsung menjawab teleponnya.
"Kenapa, Mas? Gue masih di jalan." Memang terdengar suara kendaraan di seberang sana.
"Ke sini lagi, ya. Saya mau bicara," sahut Nolan lalu memutus panggilan.
Baru Nolan hendak beranjak, Yeti lebih dulu datang ke hadapan Nolan. Wanita itu duduk di salah satu kursi di samping Nolan.
"Apa kabar kamu, Mas?" tanya Yeti.
"Saya baik, Ma. Gimana keadaan papa?"
"Masih harus bolak-balik rumah sakit."
"Sekarang papa di rumah?"
"Iya, sengaja tidak diajak sebab suka merasa tidak nyaman kalau banyak orang."
Untuk sementara, keadaan hening sejenak. Nolan tiba-tiba rindu papanya, meski bukan orang tua kandung, pria itu sangat baik padanya.
"Mama bahagia?" tanya Nolan, memulai kembali pembicaraan. "Mama ikhlas, kan, merawat papa?" Nolan takut mamanya kembali terpuruk andai nanti papa pergi.
"Mas bahagia dengan pernikahan ini, kan?" Yeti malah balik bertanya. Wanita itu, menatap Nolan dengan mata berkaca-kaca.
"Saya mau Sea dan An bahagia, Ma. Tapi, saya terlalu pengecut."
"Hadapi, Mas ... Hadapi. Sea wanita yang kuat, hatinya baik. Apalagi yang Mas ragukan?"
"Saya takut, Ma. Takut membuat Sea nantinya sendirian. Takut membuat Sea terpuruk, takut jadi penyebab menghilangnya senyuman Sea."
Yeti tak bisa lagi berkata-kata, Nolan pasti trauma dengan masa lalu ketika melihat dirinya yang terpuruk saat bapaknya Nolan meninggal. Padahal, Yeti sering katakan, Nolan bisa bertahan dengan berbagai pengobatan terbaik. Yeti jadi merasa bersalah, harusnya dulu ia tak memperlihatkan keterpurukan ketika bapak meninggal.
Semangat sea
Comment on chapter Bab 1