Setelah memberi An ASI, Sea malah ikut tertidur hingga pukul 20.00. Ia bangun ketika An sudah berganti pakaian. Putrinya itu, sedang terlelap di samping Sea sambil memeluk guling panda.
"Kamu pulas banget tidurnya, sampai enggak dengar An nangis. Tadi dia mimi susu formula jadinya." Suara Dita mengalihkan perhatian Sea yang baru bangun tidur.
"Iya, ya. Biasanya aku enggak pulas seperti itu kalau cuma ketiduran." Sea beranjak pelan dari tempat tidur, lalu mendekat ke arah Dita yang tengah berdiri.
"Efek kangennya sudah terobati, mungkin." Dita kemudian merangkul bahu putrinya. Satu-satunya buah hati yang ia miliki.
"Mas Nolan di mana, Ma?" tanya Sea, ia khawatir Nolan pergi lagi.
"Di ruangannya. Oh, ya, Mama pamit sekarang, ya. Udah ditunggu tuh sama sopir," kata Dita sambil melepaskan bahu Sea.
Tiap Nolan datang, Dita memang selalu pulang ke rumahnya. Wanita itu membiarkan Sea menghabiskan waktu dengan Nolan.
"Besok Mama ke sini lagi untuk ambil An," kata Dita lagi sebelum pergi.
"Nggak usah, besok aku sama An yang ke sana, sambil nengok papa Mas Nolan." Sea kemudian mengantar Dita hingga teras. Setelah itu, ia kembali ke kamar untuk segera membersihkan badan.
Selesai mandi dan berganti baju tidur, Sea membuka laptop dan kembali mengetik lanjutan bab baru novelnya. Banyak kalimat yang berkecamuk di kepala Sea. Ia semangat merangkai kata hingga larut malam. Setelah merasa puas dengan tulisannya, Sea memutuskan menutup laptop.
Sea segera naik ke tempat tidur. Namun, baru hendak merebahkan tubuh, wanita itu mendengar deru mobil, menyusul suara orang mengobrol. Sea kembali meninggalkan tempat tidur, lalu mengintip ke arah ruang tamu dari balik pintu. Ternyata, ada Rasi yang sedang mengobrol dengan Nolan.
"Kamu ngasih tahu Sea tentang keadaan saya?"
Sea dapat mendengar ucapan Nolan pada Rasi. Perempuan itu makin menajamkan pendengaran agar tak melewatkan satu kalimat pun percakapan suaminya dan sang adik ipar.
"Nggak, Mas. Gue udah melakukan semua yang Mas minta. Pura-pura jadi orang yang kasih nama buat An, padahal itu nama Mas sendiri yang siapkan."
"Tapi, sikap Sea tiba-tiba berubah. Dia jadi hangat terhadap Saya."
"Sea bukan perempuan bodoh, Mas. Ia pasti cari tahu apa yang ingin ia tahu!"
Obrolan dua pria itu jelas terdengar oleh Sea, membuat wanita itu menjatuhkan diri ke atas lantai. Tubuh Sea tiba-tiba terasa lemas dengan air mata yang tak mampu lagi ia tahan.
"Mas, caramu mencintaiku itu sungguh menyakitiku, Mas," ucap Sea sambil menepuk dada bagian tengah yang terasa sesak.
Sea tak lagi dapat mendengar dengan jelas obrolan Nolan dan Rasi. Tubuhnya pun meringkuk di lantai dengan kedua lutut ia peluk erat. Cukup lama Sea dalam posisi seperti itu, hingga tangisan An membuatnya kembali ke tempat tidur. Sea segera menenangkan sang putri, memberinya ASI sambil menepuk pelan bahu gadis kecil itu. Tak lama An tidur kembali, Sea pun ikut terlelap hingga ia bangun lebih siang dari hari-hari sebelumnya. An bahkan sudah duduk sambil memukul-mukul guling kesayangannya.
"Sayang, udah bangun?" Sea bicara pada An, ia lalu duduk, kemudian menghujani wajah An dengan kecupan.
"Mam mam mam, tah tah tah." Entah apa maksud An, gadis itu lalu menarik ujung rambut Sea.
"Lucu banget sih Princess Mommy." Sea meraih tubuh An ke dalam gendongan. "Kita mandi, ya? Soalnya hari ini mau nengok kakek!" Sea berseru membuat An tertawa. Kemudian, ia membawa An ke kamar mandi.
Setelah An rapi, Sea membawa gadis kecil itu ke kamar yang ditempati Nolan. Sebelum masuk, ia ketuk pintu terlebih dahulu. Tak lama, Nolan membuka benda bercat putih tersebut. Sea langsung tersenyum, meski Nolan tak membalasnya.
"Dad, jaga An sebentar, ya. Mommy mau mandi," ucap Sea menirukan suara anak kecil.
Seolah tahu Nolan itu siapa, An menatap pria itu dengan mata berbinar kemudian tersenyum. Hati Nolan terenyuh, tak dapat menolak pesona An. Ia lekas meraih tubuh gempal An yang sangat harum minyak telon. An tertawa ketika Nolan mencium pucuk kepalanya. Sea terharu, sungguh pemandangan yang indah.
"Titip bentar ya, Mas. Aku mau mandi dan buatin Mas sarapan, nanti aku balik lagi kalau udah selesai."
Nolan tak menjawab, malah masuk ke kamar dan menutup pintu. Sea tak merisaukan hal itu, perasaan bahagia lebih kuat menyelimuti hatinya.
Wanita itu gegas mandi, lalu menyiapkan sarapan untuk Nolan juga untuk dirinya. Setelah selesai, Sea memanggil Nolan. Pria itu keluar dari kamar sambil menempelkan telunjuk di bibirnya.
"Jangan teriak-teriak, An lagi tidur!"
Nolan berlalu menuju ruang makan, Sea pun mengekor di belakangnya. Keduanya duduk menghadap meja makan yang sama, tetapi tanpa patahan kata. Sea berkali-kali ingin berucap, sedangkan Nolan malah bersikap seolah tak ada siapa-siapa di hadapannya.
Hingga sarapan selesai, Nolan lebih dulu membawa piring kotor ke bak cuci. Sea bahkan belum separuh menghabiskan roti bakarnya. Ia hanya menghancurkan makanan itu dengan garpu tanpa memasukan ke mulut.
Selesai mencuci piring dan menaruh benda tersebut ke dalam rak, Nolan pergi dari dapur. Sea yang melihat kelakuan suaminya lekas beranjak. Ia perlu bicara saat ini juga dengan Nolan. Wanita dengan rambut panjang itu menahan gerakan tangan Nolan yang hendak membuka pintu.
"Mas, aku mau bicara!" Sea bicara sambil memegang erat lengan suaminya.
Nolan tak menoleh pada Sea, ia pun tak memberi jawaban. Malah hendak kembali memutar kenop pintu.
"Mas kenapa naif sekali, sih?" tanya Sea tanpa melepaskan pegangannya pada lengan Nolan.
"Ada tempat terang untung bernaung, kenapa Mas malah sembunyi di tempat gelap sendirian?" Sea mulai bergeser mendekati Nolan.
"Manusia wajib mengusahakan untuk hidup bahagia meski skenario seutuhnya milik Tuhan," kata Sea lagi dengan suara bergetar.
"Aku udah tahu semuanya, Mas. Aku mau Mas membagi setiap sakit dan luka itu denganku. Aku mau merawat kamu," ucap Sea penuh penekanan di setiap katanya.
Hati Nolan tersentuh, ia menoleh pada Sea. Mata pria itu mulai berkaca-kaca, tak bisa dipungkiri ia bisa merasakan ketulusan Sea. Sea menundukkan kepala, lengan Nolan ia lepaskan dan tangannya beralih meremas kaus yang dipakai.
"Jangan berpikiran sempit, Mas. Kematian itu milik semua makhluk yang bernyawa. Tak berfokus pada dia yang sakit saja. Kalau Tuhan mampu menciptakan dunia dan isinya, kenapa kamu ragu meminta pada-Nya untuk membuat dirimu baik-baik saja." Sea kemudian menutup wajah yang sudah basah oleh air mata dengan kedua tangannya.
Tangan Nolan perlahan bergerak. Ia ingin meraih Sea ke dalam pelukannya, tetapi rasanya sungguh berat.
"Bukan Tuhan yang tak adil, imanmu yang terlalu kerdil, Mas. Sampai tak percaya bahwa Tuhan itu ada!"
Nolan tak kuasa lagi menahan keinginannya sedari dulu. Ia robohkan benteng ego yang selama ini berdiri kokoh. Pria itu menarik pelan kedua bahu Sea, dan memeluk tubuhnya sangat erat.
"Maaf, Sea." Nolan berbisik lirih dengan air mata yang mulai berderai.
Sea bahagia bukan main, Nolan memeluknya lebih dulu. Pria itu pun mencium pucuk kepala Sea berkali-kali. Nolan makin merengkuh tubuh Sea, membuat wanita itu membalas pelukannya. Tak ada kata, tak ada dialog. Namun, debaran dalam diri keduanya seolah mewakilkan bicara. Sea tahu ini bahkan hanya awal, kisahnya dan Nolan baru dimulai. Sea tak mau memikirkan akhirnya akan bagaimana, ia hanya tahu bahwa mencintai Nolan bukanlah sebuah kesia-siaan.
Namanya Rasi bagus ya ...
Comment on chapter TAMAT