Mbak Zarin
[Belum ada bab baru lagi, Kak Sea?]
Pesan dari Zarin hanya Sea pandangi selama setengah jam. Sungguh, waktu seakan cepat berlalu ketika melakukan hal tidak berguna. Padahal bisa saja Sea kembali mengetik misalnya. Mata Sea sudah perih memandangi layar laptop sedari pukul 20.00 setelah An tidur. Namun, hingga pukul 23.00 tak ada satu kalimat pun yang berhasil ia ketik. Selalu seperti itu. Hingga lagi-lagi Sea malah tertidur di atas meja, kemudian dini hari bangun karena An menangis. Badan Sea terasa pegal semua.
Sambil meng-ASIhi An, Sea kembali ketiduran. Bahkan paginya ia kesiangan, An sudah mengoceh sendiri sambil menjambak rambut Sea yang baru bisa membuka mata dan kaget ketika melihat waktu sudah menunjukkan pukul 07.00.
“Sea, sarapan, yuk! Ada Mama Yeti, loh!” teriak Dita sambil mengetuk pintu kamar.
Sea meraih tubuh An untuk digendong, ia kemudian berjalan ke arah pintu dan membuka benda itu.
“Baru bangun?” tebak Dita sambil mengajak An senyum, An jelas membalas hal yang sama sambil tangannya tak mau diam menjambak rambut Sea.
“Kesiangan, Ma. Titip An dulu. Aku cuci muka bentar.” Sea menyerahkan tubuh putrinya pada sang mama kemudian ia pergi ke kamar mandi.
Dita membawa An yang masih belum mandi ke ruang tamu, bayi menggemaskan itu langsung di sambut oleh Yeti yang sudah sangat rindu dengan An. Dita sendiri memilih melanjutkan kegiatannya menyiapkan sarapan.
“Daddy-nya bentar lagi mau pulang ya, Nak. Bilang, Dad, An minta oleh-oleh. Yuk, telepon Daddy, yuk!”
Yeti lekas melakukan panggilan video pada Nolan. Tak lama pria itu menjawab, senyumnya lebar melihat buah hati yang sedang Yeti gendong.
“Hai, Daddy!” Yeti melambai, sedangkan An hanya senyum-senyum saja.
“Hai, cantiknya Daddy!” balas Nolan di seberang sana. “Ih, masih pake piyama. Belum mandi, ya?”
“Aku baru bangun, Dad.” Yeti menirukan suara anak kecil. An menunjuk-nunjuk kamera. “Iya, itu Daddy, An. Daddy An ganteng, kan?” bisik Yeti tepat di telinga An.
An tertawa, kembali menunjuk kamera. Nolan dalam layar melambai lagi, ia membentuk finger heart dan bilang “Daddy sayang An.”
“An juga sayang dong sama Daddy!” seru Yeti kemudian An bertepuk tangan dan kembali tertawa.
Di saat seperti itu, Sea datang menyapa sang mama mertua. Ia tak tahu bahwa mertuanya itu sedang melakukan panggilan video dengan Nolan.
“Nih, Daddy, sama mommy-nya An pasti kangen juga, kan?” Yeti mengarahkan ponsel pada Sea.
Sea yang kaget, menerima begitu saja ponsel yang disodorkan Yeti. Ia jelas tak siap, baru pertama kalinya melakukan panggilan video dengan pria itu.
“Baru bangun?” Hilang sudah senyum ceria di wajah Nolan saat bicara dengan Sea.
“Diurus dulu An-nya, kamu juga makan biar ASI-nya lancar!” Tak ada nada lemah lembut pada suara yang dilontarkan Nolan. Hingga akhirnya pria itu memutus terlebih dulu panggilannya.
"Iya, Mas sudah sarapan belum? Kantung matanya keliatan banget itu, usahakan istirahat yang cukup, Mas." Sea tulus mengucapkan hal itu. Segurat sedih mencoreng hatinya, Nolan terlihat tak terawat.
"Tuntutan pekerjaan, Sea. Mandikan An," sahut Nolan membuat Sea mengangguk.
Sea mengembuskan napas, kemudian menyerahkan ponsel ke tangan sang mertua. Ia berusaha memasang raut bahagia, selayaknya seorang istri yang senang habis melakukan video call bersama suami.
“Nolan tuh gitu, ya. Cool tapi sebenernya sayang banget ke kamu,” bisik Yeti. “Tiap hari dia ingetin Mama untuk pantau kamu sama An. Oh, iya, apa perlu kamu ganti hape?” tanya Yeti selanjutnya.
“Hapeku masih bagus kok, Mam,” sanggah Sea.
“Kata Nolan suka susah dihubungi, Mama kira hape kamu sudah nge-drop,” tebak Yeti lagi.
“Ya, sebenarnya bukan susah dihubungi. Mas Nolan sendiri yang nggak__”
“Morning semuanya. Orang ganteng datang!”
Kalimat Sea terpangkas oleh kedatangan Rasi. Ia langsung menghampiri Yeti dan meraih An lalu mengangkat tubuh gadis kecil itu tinggi-tinggi. An sampai terpingkal-pingkal ketika Rasi menciumi perutnya. An, jelas terlihat bahagia. Andai yang melakukan hal itu Nolan, pasti Sea juga bahagia. Begitu pikir Sea.
“Eh, tadi kamu mau ngomong apa?” tanya Yeti kembali fokus pada Sea.
Sea menggeleng. “Nggak Mam. Lain kali Sea lebih gercep deh angkat telpon dari Mas Nolan.”
Acara pagi itu berjalan seperti biasa, Sea memandikan An lalu sarapan setelahnya. Hingga beberapa hari kemudian Nolan pulang. Sea kira kepulangan Nolan hanya akan menjadi kabar burung, ternyata pria itu benar-benar kembali. Sore ini, saat seluruh keluarga sedang berkumpul di rumah Sea, Nolan tiba. Ia ramah menyapa seluruh keluarga, bahkan berani mengecup dahi Sea. Sea rasa itu hanya akting, keterpaksaan yang Nolan lakukan sebab ingin terlihat baik di mata keluarga. Namun, meski begitu darah Sea mampu berdesir hebat. Apalagi ketika napas Nolan terasa hangat di kulit pipi Sea.
Dita pun membuktikan ucapannya, wanita itu membawa An untuk sementara tinggal bersama di rumahnya. Yeti Beralasan memberi waktu berdua pada Sea dan Nolan yang pasti ingin melepas rindu.
Sea awalnya mencegah, ia tak mau hanya tinggal berdua dengan Nolan dalam kecanggungan. Namun, Yeti juga ikut mendukung keputusan sang besan. Pun dengan Nolan, ia enteng saja bicara memang butuh waktu hanya berdua dengan Sea.
Sea tak bisa lagi mengelak, satu lawan tiga jelas kalah. Ia pasrah, mendapati rumah mendadak mencekam. Setelah kepergian Dita, Yeti, Saphan , Rasi dan An, Nolan melesat masuk ke kamarnya. Ya, kamar pribadi yang hanya boleh Rasi saja yang memasukinya. Semalaman itu, Sea dan Nolan tak bertemu meski berada di bawah atap yang sama. Pria itu seolah-olah sengaja menghindari Sea.
Hingga pagi hari, mereka terpaksa bertemu di meja makan. Sea sudah siapkan kopi serta roti bakar. Namun, Nolan enggan menyentuhnya. Ia memilih mengambil sendiri minuman dan buah saja. Sea hanya bisa menggeleng saja, ia berusaha berpikir positif, mungkin karena Nolan dokter jadi makanannya harus sehat. Begitu bujuk Sea pada diri sendiri untuk memangkas perasaan kesal pada Nolan.
“Aku mau ke rumah mama liat An, ya, Mas.” Sea memberanikan diri membuka suara begitu ia siap pergi dan melihat Nolan juga sudah berpakaian rapi. Wanita itu mengenakan kemeja putih over size dengan hotpants sebagai bawahan. Kaki mungil dengan jari lentiknya dibalut sandal flat merek ternama. Warnanya kuning menyala. Nolan melirik sekilas istrinya itu, ia menelan ludah sembari mengepalkan tangan.
“Pergi saja. Tapi, saya nggak bisa nganterin kamu.” Tanpa menatap lawan bicaranya, Nolan berkata pelan sekali. Malah sibuk dengan ponsel yang terus memperdengarkan nada notifikasi pesan masuk.
“Aku bisa pergi sendiri, Mas mau ke mana hari ini?” Mendadak Sea memikirkan sesuatu, ia berencana mengikuti kegiatan Nolan hari ini secara diam-diam. Maafin aku, Mas.
“Saya mau ke rumah sakit Husada.” Nolan menyebutkan rumah sakit tempat Sea bersalin tempo hari.
“Mau ngapain ke sana?” Sea iseng bertanya, tetapi Nolan tak menjawab malah beranjak dari duduk karena menerima panggilan telepon dari seseorang.
Sea sendiri lekas memesan taksi online lewat ponselnya, ia tak bisa diam saja dan pasrah pada keadaan begini. Wanita itu diam-diam mengintip langkah Nolan yang sedang menuju carport dan masuk ke mobilnya. Tak lama, Nolan melajukan kendaraan meninggalkan rumah. Sea juga gegas pergi setelah taksi pesanannya tiba.
Sampai di rumah sakit, Sea beruntung sebab sang suami baru saja masuk ke dalam gedung bangunan tinggi itu. Nolan tampak disapa ramah oleh para perawat, bahkan dokter lain yang berpapasan dengannya. Sea terus mengikuti pria itu hingga langkahnya terhenti ketika Nolan masuk ke ruang dokter gigi yang namanya tak asing bagi Sea.
“Dokter Bellin,” gumam Sea. “Temen kuliahnya Mas Nolan, kan?” lanjut Sea bertanya pada diri sendiri.
Sea ingat seperti apa sosok wanita bernama Bellin itu. Cantik sudah jelas, pintar tentu saja. Sea sempat berkenalan dengan dokter itu ketika resepsi pernikahan. Saat itu, Rasi yang mengenalkannya pada Bellin.
Sea berniat menunggu di depan ruangan dokter Bellin hingga sang suami keluar dari sana. Biar saja pria itu kaget dengan kelakuan Sea, Nolan harus mulai digertak.
Namun, usapan lembut di pundak Sea menyusul suara ramah seseorang mengalihkan perhatiannya.
“Mbak Sea!” Suara seorang wanita menyapa Sea Dia adalah dokter Ivon, dokter obgyn yang membantu kelahiran An beberapa waktu lalu.
“Dokter Ivon, senang bertemu lagi.” Sea balas menyapa ramah.
“Ada apa nih kemari? Mau konsultasi dengan saya?” tebak dokter Ivon. Sea kehilangan kata, hingga hanya mampu celingukan.
“Pasti lupa buat janji dengan saya, tapi sebenarnya mau konsultasi dengan saya, kan?" desak dokter Ivon membuat Sea terpaksa mengangguk.
“Khusus untuk Mbak Sea, tak perlu buat janji dulu. Mari kita ke ruangan saya!” ajak dokter Ivon dan Sea tak bisa lagi menolak.
Namanya Rasi bagus ya ...
Comment on chapter TAMAT