“Anila Kamaishtara Décca”
Rasi bicara dengan mulut penuh mengunyah croissant yang tadi dibeli Yeti saat perjalanan pulang dari rumah sakit. Si tukang kunyah itu memang ahlinya melahap makanan.
“Yang berarti angin sejuk pembawa cinta setinggi bintang.” Setelah menelan croissant-nya kini pria itu menyesap teh yang diberi campuran madu sebagai pemanis. “Gimana?” tanyanya kemudian, sambil menatap Dita, Yeti dan Sang ayah bergantian.
“Ay- ah, se- tuju,” kata Saphan meski dengan nada tak jelas tetapi seluruh keluarga memahami artinya.
Satu tahun sudah kondisi Saphan memburuk, stroke yang dialaminya membuat beliau kini tak bisa jalan dan bahkan kesulitan bicara. Mengandalkan kursi roda untuk sekadar berjemur ke teras rumah, atau terkadang Rasi sendiri yang menggendongnya.
“Selama itu artinya baik, Mama juga setuju. Gimana, Mama Sea?” Yeti mengusap lengan besannya.
“Sama sih, saya juga setuju saja. Sea, gimana?” Dita mengalihkan pandangan pada Sea yang sedang menggendong putrinya.
“Iya, aku setuju aja,” jawabnya pendek tak memalingkan pandangan dari wajah sang putri yang sedang terlelap habis minum ASI.
Sea kemudian pamit hendak istirahat ke kamar, tetapi Yeti sempat menahannya karena memberi tahu bahwa sore ini dirinya dan sang suami hendak pulang dulu. Kemungkinan seminggu kemudian baru kembali lagi.
“Iya, Ma. Nggak apa, ada Mama kok yang nemenin Sea,” papar Sea seraya berdiri.
“Nanti Rasi sering mampir ke sini, kok.” Yeti memandang ke arah Rasi dengan penuh intimidasi. Sementara itu yang dipandang hanya menaik turunkan alisnya bergantian.
“Iya, aku bakal sering ke sini. Buat mastiin ponakan aku nggak dipakein taplak meja sebagai baju sama mommy-nya,” ujar Rasi diakhiri gelak tawa.
Sea tak menimpali, ia hanya sempat memandang sebentar ke arah Rasi. Pria itu menggerakkan kedua alis hitamnya, lagi. Lalu tersenyum simpul membuat Sea makin kesal.
Untuk meredam kesal pada Rasi, Sea memilih pergi. Ia tak keluar kamar lagi hingga malam, memilih dunianya sendiri. Sea menatap nanar layar laptopnya, tiga bulan sudah novel on going-nya tak menambah bab. Sulit sekali bagi Sea kembali menyelam ke dalam cerita. Outline sudah tersedia, tetapi tetap saja Sea tak menemukan satu kata pun untuk membuatnya kembali memulai bab baru.
An kini sudah berusia satu bulan, bobotnya makin naik. Pipi bulat kemerahan bayi itu yang selalu membuat Sea melupakan segala kegamangan hati atas sikap Nolan. Dua hari lalu pria itu menghubunginya lewat panggilan video, tak banyak kata yang diucap. Nolan hanya minta melihat wajah An yang kian hari kian mirip dengannya. Lalu pria itu berpesan agar Sea fokus saja mengurusi An.
Rasi sering berkunjung walau sebentar, mengajak An main dan terkadang melakukan panggilan video pula dengan Nolan. Nolan dan Rasi meski lahir dari rahim yang sama jelas memiliki sikap yang berbeda.
Sea mengenal keduanya sedari kecil, Nolan serius dan ambisius, sedangkan Rasi justru santai. Terbukti dari keputusan Rasi yang menerima saat orang tua menyuruhnya menjalankan usaha mereka saja, ia tak menyangkal. Padahal setahu Sea, Rasi itu sangat suka seni. Lukis dan musik adalah bidang yang ia gemari sedari SMP hingga SMA.
Kegiatan Sea menatap laptop tak kunjung membuatnya mampu mengetik rangkaian kalimat. Hingga pada akhirnya wanita itu memilih tidur, lalu kembali bangun saat pagi menyapa dan menghabiskan hari bersama An.
“Sea, An kayaknya haus. Kamu sibuk, nggak?” Rasi yang sore ini berkunjung sedang asyik bermain dengan An, tetapi Sang ponakan terus-menerus merengek tak seperti biasanya, jadi tak nyaman.
Tanpa menjawab, Sea yang awalnya tengah mengetik langsung meraih tubuh An dari Rasi. Ada hal aneh yang ia rasakan tentang tubuh An. “Kok kayak panas, sih?” gumam Sea.
“Kenapa?” Rasi ikut cemas, tetapi Sea tak menjawab dan memilih meninggalkan Rasi lalu berteriak memanggil sang mama.
Rasi hanya tersenyum, kemudian matanya tertuju pada laptop yang sedang menyala. Iseng Rasi memperhatikan layar dan membaca sebuah kalimat yang sepertinya baru dibuat oleh Sea.
“Jika tahu menjatuhkan hati padamu sesakit ini, maka hari itu aku lebih baik jadi anak durhaka saja.”
Sambil meletakan ponsel pada telinga, Rasi berpikir keras tentang maksud kata-kata yang Sea tulis. Rasi sedang menelepon seseorang. Rekannya yang seorang bidan.
"Ok, sip. Iya, aku bilangin ntar." Rasi menutup panggilan teleponnya kemudian menghampiri Mama Yeti yang sedang mengompres An.
"Jangan dikasih obat, ya," ujar Rasi membuat Sea yang baru saja tiba dengan membawa botol Syrup ibuprofen jadi tercengang.
"Jangan dikasih itu, Sea. Dikompres aja, atau ...." Rasi menggantung kalimatnya.
"Diapain?" bentak Sea yang siap mendengar kalimat Rasi berikutnya.
"Coba skin to skin, kamu ngerti?" Rasi malu untuk menjelaskan perihal perkataannya barusan.
"Ok, aku coba, deh." Sea gegas menggendong An dan membawanya ke kamar.
Malam itu, Rasi menginap di rumah Dita. QBeberapa kali tidurnya terusik sebab mendengar rengekan An. Ia tak berani masuk kamar Sea, hanya meneriaki wanita itu dari luar. Bertanya apakah An dalam keadaan ok? Setelah yakin bahwa ponakannya baik-baik saja barulah ia bisa kembali tidur nyenyak menjelang pagi.
Demam An berangsur turun ketika sudah pagi, bayi itu juga bisa tidur nyenyak setelah Sea mengganti pakaiannya. Sea semalaman tak bisa memejamkan mata meski sebenarnya An hanya merengek tak mengamuk.
Sea keluar kamar begitu mendengar suara orang-orang mengobrol, mertuanya ternyata sudah datang. Ditambah Rasi yang sepertinya baru bangun dan sang mama yang sedang menyiapkan sarapan.
"Dede masih bobo?" tanya Yeti.
Sea mengangguk, "demamnya makin turun kok, udah nyenyak bobonya."
"Mama mau foto An, boleh? Untuk Nolan," pinta Yeti.
Sea hanya mengiakan, padahal mulutnya ingin sekali bersumpah serapah tentang pria itu. Di mana nuraninya ketika Sea mengirim pesan bilang An sakit? Tak ada balasan apa-apa.
"Ponsel kamu katanya susah dihubungi, Sea. Makanya Nolan minta tolong Mama untuk tau keadaan An," jelas Yeti setelah mengambil potret An yang tidur tenang.
"Makasih ya, udah jagain cucu Mama. Sea lebih baik sarapan, terus istirahat. Pasti semalam tidurnya nggak nyenyak," tebak Yeti.
Sea lagi-lagi hanya mengangguk, bila saja keluarga Nolan tak baik, ingin rasanya ia lepas dari jerat pernikahan penuh dusta ini. Setiap detik berlalu hanya kepedihan yang Nolan beri. Sakit menggerogoti hati, melukai di setiap sisi.
Rasi sendiri pamit hendak mengurus pekerjaan setelah sarapan, ia pun sempat masuk kamar Sea untuk melihat keadaan An. Perempuan yang selalu menjadi lawan adu mulutnya itu berbaring menghadap An yang terlelap tenang. Rasi mengulas senyum, diam-diam ia mengambil potret Sea dan An. Harusnya ini menjadi pemandangan indah untuk Nolan nikmati.
Semangat sea
Comment on chapter Bab 1