Read More >>"> Cinta (Puisi dan Semi Novel (Kitab Keempat Bagian 2) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Cinta (Puisi dan Semi Novel
MENU
About Us  

Pemuda itu mengangkat kepala; ia merasa menyesal telah berkata seperti itu dan kuatir kelembutan mereka berubah menjadi cemoohan dan mencelanya. Namun, ia melihat cahaya kasih sayang bercampur dengan kehendak untuk mengetahui di mata mereka berdua. Maka, ia lalu berkata dengan suara tercekat di kerongkongan, “Memang benar, aku telah diusir dari rumah suci, karena aku tak bisa menggali kubur dengan tanganku sendiri; karena hatiku sudah kepayahan mengikuti kebohonan dan kesombongan. Sebab jiwaku tak mau menikmati harta orang-orang fakir miskin, jiwaku melarang diriku bersenang-senang dengan kebaikan-kebaikan rakyat yang merunduk patuh pada kebodohan. Aku keluar dengan cara diusir, karena badanku tidak pernah memperoleh kedamaian di ruang-ruang mewah yang dibangun oleh para penghuni gubuk-gubuk kumuh; karena rongga-rongga badanku tak mau menerima roti yang dioles darah anak-anak yatim dan para janda; karena lidahku tak mau bergerak melakukan sembahyang seperti yang diperjualbelikan kepala pendeta dengan harta orang-orang yang beriman dan rakyat awam. Aku keluar dengan cara diusir layaknya penderita kusta yang menjijikkan, karena aku menolak mengikuti aturan yang telah menjadikan mereka sebagai pendeta.”

 

Sunyi menyelimuti, sementara Rachel dan Miriam merenungkan kata-katanya dan menatap kepada pemuda itu. Ketika mereka bertanya, “Apakah engkau masih memiliki ayah atau ibu yang masih hidup?”

 

Pemuda itu menjawab. Kata-katanya tercekat di kerongkongan membuatnya tak lancar. “Aku tak punya ayah ibu, saudara, dan tidak punya tempat kelahiran.”

 

Rachel mengalihkan pandangannya ke arah tembok untuk menyembunyikan titik-titik air matanya yang menetes karena rasa haru. Pemuda itu memandang keduanya dengan pandangan orang yang kalah terhadap penolongnya. Jiwanya terasa bangkit karena sentuhan kasih dan kelembutan kedua perempuan itu, seperti sekuntum bunga tumbuh di tengah lembah; ia jadi mekar ketika titik-titik embun pagi hari mengelusnya.

 

Sang pemuda mengangkat kepala, lalu berkata, “Ayah dan ibuku meninggal ketika umurku belum mencapai tujuh tahun. Pendeta yang membantu kelahiranku membawaku ke rumah suci Deir Kizhaya. Para pendeta amat gembira. Mereka mengangkatku sebagai penggembala. Setelah umurku menginjak lima belas tahun, mereka kenakan pakaian hitam-hitam menjijikkan ini ke badanku, lalu membawaku ke altar. Setelah itu, mereka berkata, ”Bersumpahlah atas nama Tuhan dan hamba-hamba-Nya yang suci bahwa dirimu telah sanggup untuk hidup miskin, taat, dan penuh kasih sayang.”

 

Aku mengulang ucapan mereka sebelum aku mengerti makna ucapan tersebut. Aku mengulang-ulang ucapan mereka sebelum kuketahui makna kemiskinan, taat dan kasih sayang, sebelum kuketahui lorong sempit yang harus kulalui.

 

“Namaku Kahlil. Sejak saat itu, para pendeta memanggilku Saudara Mubarak (yang diberkahi).” Namun, mereka tidak memperlakukan diriku sebagai saudara sama sekali. Mereka menikmati daging dan makanan-makanan yang lezat. Sedang, aku hanya diberi sepotong roti dan sayur-sayuran kering. Mereka menikmati arak wangi dan munuman-minuman segar. Sedang, aku hanya ditetesi dengan air yang bercampur airmata. Mereka tidur di ranjang yang mewah. Sedang, aku ditidurkan di kasur batu di ruangan kelam dan dingin di samping kandang babi. Lalu, aku berkata dalam diriku, “Kapankah aku akan menjadi pendeta sehingga aku dapat bergabung dengan kegembiraan orang-orang yang berbahagia itu? Kapankah aku menjadi makhluk segembira dan sesenang mereka?”

 

Hatiku tak pernah merasakan selain bau makanan mereka. Jantungku tak pernah mencicipi wangi arak mereka. Jiwaku tak pernah bergetar mendengar kata-kata kepala pendeta. Sia-sia aku berharap dan bermimpi; karena kenyataannya, aku tetap menggembala sapi di lembah, mengangkati batu-batu besar di pundakku, dan menggali tanah dengan tanganku. Aku tetap melakukan semua itu dengan imbalan sepotong roti yang hina dan bilik yang sempit. Aku tak pernah tahu sebenarnya di sana ada tempat lain selain di rumah suci yang layak kutempati; karena mereka mengajariku untuk mengingkari apa-apa selain corak kehidupan mereka. Mereka meracuni jiwaku dengan bisa keputus-asaan dan kepatuhan; sehingga aku mengira dunia ini merupakan lautan penderitaan dan duka nestapa; sedang rumah suci adalah pelabuhan penyelamat.”

 

Kahlil meluruskan letak duduknya, memandang sekitarnya seakan melihat sesuatu yang mempesona di gubuk itu. Sedang Rachel dan Miriam diam membisu sambil tak lepas memandang Kahlil. Setelah beberapa saat, kembali ia berkata, “Tuhan yang telah berkenan mengambil orang tuaku dan meninggalkan diriku sebagai anak yatim piatu di rumah peribadatan, ternyata tidak berkenan membiarkan diriku menempuh sisa-sisa hidup ini layaknya orang buta yang menyusuri jalan-jalan setapak penuh bahaya. Ia tidak rela diriku menjadi hamba yang menderita dan disucikan sampai akhir hayat nanti. Kukuak kelopak mataku dan telingaku. Cahaya yang berpendar di mana-mana telah membuka pendengaranku.”

 

Rachel berpikir keras dan berkata, “Apakah di sana ada cahaya selain cahaya matahari yang diterbitkan matahari pada semua manusia? Dapatkah manusia mengetahui hakikat?”

 

Kahlil menjawab, “Cahaya yang sebenarnya adalah sesuatu yang memancar dari diri manusia dan dapat menerangkan rahasia jiwa kepada jiwa yang lain. Ia dapat membuatnya gembira dalam kehidupan ini dan berdendang atas nama roh. Sedang hakikat kebenaran bagaikan bintang gemintang yang berpijar dari balik kegelapan malam. Hakikat adalah nilai segala sesuatu yang baik di permukaan alam, yang pengaruh-pengaruhnya tidak nampak kecuali bagi orang yang dapat merasakan gurat-gurat kebatilan yang keras. Hakikat adalah perasaan kasih yang tersembunyi, yang kita pelajari agar kita senang menghadapi hari-hari yang kita lalui, dan membuat kita bisa mengepak cita-cita kesenangan itu bagi orang lain.”

 

Rachel menyambung, “Banyak orang yang hidup hanya berdasarkan rasa kasih tersembunyi yang tercipta di kalbu mereka; dan ada pula sekelompok manusia yang percaya bahwa perasaan kasih hanyalah sepotong wahyu yang ditetapkan bagi manusia. Namun, kenyataannya mereka sama sekali tidak dapat bergembira dengan hari-hari yang dilaluinya. Mereka tetap menderita sampai ajal menjemputnya.”

 

Kahlil menjawab, “Kebathilan adalah kepercayaan dan ajaran agama para pendeta. Ajaran yang justru membuat manusia menderita dalam hidupnya; dan kebohongan adalah perasaan yang sengaja diarahkan kepada keputusasaan, kesusahan, dan penderitaan. Sudah selayaknya manusia menjadi bahagia di atas dunia dan mengetahui jalan kebahagiaan serta dibimbing ke arah kebahagiaan itu di mana pun berada. Barangsiapa yang tidak mengetahui benda-benda langit di dalam kehidupan ini, ia tidak akan dapat menyaksikannya dalam kehidupan mendatang; karena kita datang ke alam ini bukan layaknya orang-orang buangan yang hina; tapi datang sebagai bayi bodoh agar kita mempelajari kebaikan-kebaikan dan rahasia-rahasia hidup, menghormati jiwa yang abadi, dan menyimpan bilik-bilik tersembunyi di dalam jiwa kita.”

 

“Inilah agama yang harus dianut semua pengikut sebagaimana Tuhan menghendaki dan sebagaimana yang diajarkan Yesus. Itulah hakikat yang kuketahui ketika kubaca ajaran-ajaran sang nabi penolong. Itulah cahaya yang memancar dari dalam diriku ketika aku berada di bilik-bilik kusam di rumah peribadatan. Bilik-bilik yang mengirim bayang-bayang menakutkan seakan hendak membantaiku. Itulah rahasia-rahasia tersembunyi yang didengungkan benda-benda alam yang mempesona ke dalam jiwaku ketika aku duduk bersimpuh kelaparan, menangis dan merintih di bawah pohon. Pada suatu hari, pernah jiwaku mabuk oleh arak yang datang dari langit itu. Kuberanikan diri berdiri tegar di tengah-tengah para pendeta di saat mereka sedang duduk-duduk di taman rumah peribadatan. Mereka bercengkerama seperti hewan-hewan yang sedang memamah makanannya. Aku mulai menerangkan jalan pikiranku, kubacakan ayat-ayat Al-Kitab yang menjelaskan kesesatan dan kekufuran mereka. Kukatakan kepada mereka, ‘Mengapa kita menempuh hari ke hari dalam kelezatan menikmati kebaikan para fakir miskin? Mengapa kita enak-enak menikmati roti bercampur keringat kening mereka dan air mata mereka? Mengapa kita menikmati kelezatan hasil bumi? Mengapa kita rampas dari tangan mereka? Mengapa kita hidup di bawah atas kemalasan, jauh dari rakyat yang butuh makrifat, tidak mau tahu masalah negeri dengan kekuatan jiwa dan tangan kita? Yesus mengutus kalian sebagai domba di antara serigala-serigala, tapi mengapa kalian menjadi serigala diantara kawanan domba? Mengapa kalian menjauh dari manusia, padahal Tuhan telah menciptakan dirimu dalam wujud manusia? Apakah kalian lebih mulia dari orang-orang yang berlalu lalang di dalam prosesi kehidupan hingga kalian wajib mendatangi dan juga mengajari mereka? Apabila mereka lebih mulia dari kalian, maka kalian harus belajar dan bergaul dengan mereka. Bagaimana bisa kalian memperingatkan diri kalian untuk miskin, tapi kenyataannya kalian memberontak isi Al-Kitab? Kalian memerintahkan jiwa kalian untuk menjauhi kesenangan dunia, tapi kenyataannya hati kalian berlumuran nafsu-nafsu syahwat. Kalian memperlihatkan sebagai orang-orang yang tidak mengindahkan keadaan badan, tapi kalian justru tidak jiwa kalian. Kalian tampak sebagai orang-orang yang tidak peduli dengan hal-hal duniawi, tapi justru kalianlah manusia-manusia yang paling tamak. Kalian tampak sebagai pemeluk agama yang taat, padahal kalian tak ubahnya binatang-binatang yang hanya tahu rumput yang luas ini kepada rakyat yang membutuhkannya. Marilah kita kembalikan ke kantong mereka harta benda yang pernah kita ambil. Marilah kita menyebar ke setiap tempat seperti sekumpulan burung. Marilah kita membaktikan diri kepada rakyat yang telah menjadikan kita sebagai orang kuat. Mari kita membangun negara yang telah membuka mata, melihat umat yang sedang menderita ini agar dapat tersenyum melihat sinar mentari, bergembira dengan pemberian langit, kehidupan, dan kebebasan.”

 

“Rasa kasih sayang yang kita eluskan ke hati orang yang kesulitan justru lebih tinggi dari kebaikan yang tersembunyi di bilik-bilik rumah peribadatan. Ucapan-ucapan belasungkawa dan untuk bersabar yang kita dengungkan kepada orang-orang yang lemah, orang bersalah, dan orang yang menderita justru lebih mulia; dan orang yang menderita justru lebih mulia dari berlama-lama melakukan sembahyang yang selalu kita ulang-ulang di rumah peribadatan.”

 

Saat itu, Kahlil menarik nafas dalam-dalam, lalu mengangkat kepalanya memandang Rachel dan Miriam seraya berkata dengan suara tenang, “Aku telah mengatakan hal ini kepada para pendeta. Mereka mendengarnya, sedang gurat-gurat keanehan muncul di wajah mereka; seakan mereka tak percaya bahwa pemuda semacam aku mampu berdiri di depan mereka, dengan berani mengucapkan kata-kata seperti ini. Sehingga setelah kata-kata sudah berhenti, salah seorang di antara mereka mendekatiku lalu berkata sambil menggertakkan gigi-giginya, “Hai orang yang lemah! Berani-beraninya kau mengucapkan kata-kata itu di depan kita?”

 

Yang lain lagi mendekat seraya berkata dengan senyum mengejek, “Apakah kata-kata ini kau pelajari dari setiap hari ?”

 

Yang lain lagi mendekat seraya berkata dengan mengancam, “Kamu akan tahu sendiri apa yang bakal menimpamu wahai si kufur yang menjijikkan.’

 

Kemudian, mereka meninggalkan diriku seperti orang-orang sehat yang menjauh pergi melaporkan diriku kepada kepala pendeta. Tepat saat matahari terbenam, kepala pendeta itu memanggilku. Setelah ia mencaci maki diriku dengan keras dan didengar semua pendeta yang tertawa-tawa senang, kepala pendeta menyuruh mereka untuk mencambukku. Setelah itu, aku dijebloskan ke penjara sebulan penuh. Mereka menyeretku ke sel penjara yang kelam dan kusam sambil tertawa kesenangan. Genap sebulan aku teronggok di liang kuburan. Aku tidak melihat seberkas sinar dan tidak dapat kurasakan selain binatang-binatang serangga yang sedang merayap. Aku tidak menyentuh sesuatu selain tanah. Tidak kuketahui ujung malam dan permulaan siang. Tidak dapat kudengar selain derak-derak langkah seorang pendeta yang meletakkan sepotong roti kering di dekatku dan secangkir air yang bercampur cuka.”

 

“Setelah aku keluar dari sel penjara dan para pendeta melihat badanku yang kurus dan wajahku yang pucat pasi, mereka mengira jiwaku telah mati. Mereka mengira bahwa dengan rasa lapar dan haus, serta siksaan selama di penjara itu, mereka mampu membunuh perasaan yang telah dihidupkan Allah dalam kalbuku. Siang dan malam terus berlalu, dengan semampu jiwaku aku berusaha berpikir tentang sesuatu yang membuat para pendeta itu dapat melihat cahaya dan mendengar simfoni kehidupan. Namun, sia-sia aku berpikir dan berpikir; karena layar tebal yang diceritakan generasi ke generasi tidak dapat disobek oleh hari-hari yang pendek, dan tanah liat yang menutup telinga mereka telah membatu, yang tidak dapat diambil oleh sentuhan jari-jari yang lentik.”

 

Diam beberapa saat. Miriam mengangkat kepalanya dan memandang ibunya seakan meminta ijin untuk berbicara. Kemudian, ia memandang sendu kepada Kahlil seraya berkata, “Apakah kau kembali mengucapkan kata-kata itu kepada para pendeta, lalu mereka mengusirmu dari rumah peribadatan di malam yang menakutkan ini, yang dapat mengajari manusia agar menjadi seorang penyayang meski kepada musuh sekalipun?”

 

Kahlil menjawab, “Tadi sore, di saat prahara yang menakutkan secara menggila, di saat petaka sedang berperang di angkasa, aku duduk menyendiri dari para pendeta yang sedang menghangatkan badan di sekitar perapian dan sibuk mengurai cerita dan hikayat yang lucu-lucu. Kubuka Al-Kitab dengan berharap kutemukan ayat-ayat yang dapat menghibur jiwa dan dapat melupakan kemarahan alam dan kekerasan prahara. Ketika para pendeta melihatku jauh dari mereka, maka mereka mempergunakan kesendirianku sebagai sarana untuk mengejekku. Sebagian di antara mereka mendatangi tempatku dan berdiri tak jauh dariku, lalu mereka mulai mengedipkan mata untuk mengejek, menertawakan, dan menunjuk-nunjuk diriku sambil terus mengolok-olok. Aku tidak mengindahkan mereka. Kututup Al-Kitab dan aku hanya diam memandang keluar jendela. Mereka semakin marah dan memandangku dengan berang. Karena diamku justru menyulut perasaan mereka. Kemudian mereka berkata mengejek, “Apa yang sedang kau baca, hai pembaharu yang agung?”

 

Sama sekali aku tidak memandang kepada orang yang mengucapkan kata-kata itu. Tapi kubuka Al-Kitab, lalu kubaca salah satu ayat yang ada di situ dengan suara keras, “Barangsiapa yang mempunyai dua baju, maka berikanlah yang satu lagi kepada orang yang tidak memilikinya; dan barangsiapa yang mempunyai makanan, maka berikanlah yang satu lagi kepada orang yang tidak memilikinya.”

 

“Ketika kuucapkan kata-kata dari Yohannes Pembaptis ini, para pendeta diam beberapa saat; seakan-akan tangan-tangan ghaib mencengkeram jiwa mereka; tapi kembali mereka tertawa terbahak-bahak dengan nada mengejek. Lalu, salah seorang di antara mereka berkata, “Kata-kata semacam itu sudah sering kami baca. Kita tidak butuh seorang penggembala sapi untuk mengulang membacanya bagi kami.”

 

“Aku menyanggah, ‘Kalau memang kalian sudah membaca dan memahami maknanya, bagaimana bisa penduduk desa ini tenggelam dalam kubangan salju, menggigil kedinginan dan menggelepar kelaparan, sedang kalian enak-enak menikmati kebaikan mereka, meminum perahan kurma mereka dan memakan daging ternak mereka?”

 

Belum habis kata-kataku ini meluncur dari bibirku, tiba-tiba salah seorang pendeta memukul wajahku seakan aku ini orang dungu; yang lain menendangku dengan kakinya; yang lain lagi merenggut Al-Kitab dari tanganku; dan yang lain lagi memanggil sang kepala yang terus datang dengan segera. Ketika semua kejadian ini mereka sampaikan, badannya bergetar karena marah, lalu berteriak dengan lantang, ‘Tangkap pemberontak ini dan singkirkan jauh-jauh dari rumah peribadatan! Biarkan badai yang sedang marah agar mengajarinya bagaimana cara untuk taat. Keluarkan ke tengah malam pekat yang dingin. Biar alam berbuat menurut kehendak Tuhan terhadap dirinya. Cuci tangan-tangan kalian agar tidak tertular racun kekufuran yang melekat di bajunya. Kalau ia balik lagi untuk merengek-rengek memperlihatkan penyesalan, jangan buka pintu baginya. Karena seekor ular yang dikurung di kerangkeng tidak akan berubah jadi burung dara. Pohon-pohon kurma tidak akan menghasilkan buah tin.”

 

“Sesuai dengan perintah tersebut, para pendeta mencengkeram badanku dan menyeretku dengan kasar keluar dari rumah peribadatan, lalu mereka masuk kembali sambil mengumbar ketawa. Sebelum mereka menutup daun pintu, sempat kudengar salah seorang di antara mereka mengejek, ‘Kemarin kamu masih bisa disebut raja; dan rakyatmu adalah sapi dan babi-babi. Sekarang, kamu sudah kami lepas karena mengeruhkan siasat kami. Sekarang, pergilah dari sini dan jadilah raja serigala-serigala yang kelaparan dan burung-burung gagak yang beterbangan. Ajarilah mereka bagaimana harus hidup di gua-gua.’”

 

Kahlil menarik nafas panjang dan dalam. Ia memandang api yang sedang menyala di perapian. Dengan nada orang terluka ia berkata, “Begitulah ceritanya aku terusir dari rumah peribadatan suci. Begitulah para pendeta itu menyerahkan diriku ke cengkeraman tangan-tangan maut. Aku terus berjalan. Kabut selalu menutupi mataku untuk memandang jalan. Angin berhembus kencang mencabik-cabik bajuku. Butiran-butiran salju yang bergulung-gulung mencengkeram lututku sehingga kekuatanku habis. Aku jatuh sambil berteriak meminta tolong dengan teriakan orang yang putus-asa karena ia merasa tidak seorang pun yang dapat mendengarkan kecuali tangan maut yang menakutkan dan lembah-lembah yang kelam; tapi di balik salju dan angin, di balik kegelapan dan awan, dari balik planet dan bintang, dari balik sesuatu, ada kekuatan yang berupa makrifat dan kasih sayang. Kekuatan itu telah mengutus kalian berdua kepadaku untuk mengambilku dari relung-relung jurang dan kematian.”

 

Rachel dan Miriam memandangnya dengan iba, aneh, dan penuh kasih saying; seakan keduanya sudah memahami bilik-bilik tersembunyi di dalam jiwanya dan menyatu dengan jiwa itu dalam rasa. Setelah beberapa saat, Rachel mengulurkan tangannya dan memegang Kahlil. Ia berkata, sedang butir-butir airmata berkilauan di kedua matanya, “Orang yang telah dipilih langit untuk menjadi penolong kebenaran, tidak dapat direnggut oleh salju dan prahara.”

 

Miriam juga berkata dengan lirih, “Salju dan prahara memusnahkan bunga-bunga, tapi akan merenggut biji-bijinya.”

 

Wajah Kahlil menjadi cerah oleh kata-kata yang membesarkan hati itu, dan berkata, “Kalian berdua tidak menganggapku seorang pemberontak dan kufur sebagaimana yang dianggap oleh para pendeta. Penyiksaan yang kualami di rumah peribadatan suci merupakan simbol dari kekerasan yang dialami umat sebelum mereka tahu kebenaran. Malam yang hampir merenggut nyawaku kali ini tak ubahnya revolusi yang disertai dengan kebebasan dan persamaan hak manusia. Dari perasaan di dalam jiwanya yang mulai melahirkan kasih jiwa mereka.”

 

Setelah berkata begitu, Kahlil merebahkan badannya di tikar. Kedua perempuan itu tak hendak mengusiknya lagi dengan perkataannya. Karena dari pandangan matanya, kedua perempuan itu tahu bahwa garis-garis rasa mengantuk memcumbu kedua matanya yang kelelahan menempuh perjalanan berat. Tidak beberapa lama, Kahlil sudah mengatupkan kelopak matanya dan tidur bagaikan bayi yang terlindung di rengkuhan lengan ibunya.

 

Rachel dan Miriam bangkit dengan perlahan-lahan, lalu keduanya duduk di ranjangnya sambil memandang Kahlil. Seakan-akan di wajahnya yang lemah lusuh itu ada pesona menyusup ke dalam jiwa kedua perempuan itu dan memagar hati mereka. Sang ibu berbisik lirih, seakan ia berkata kepada dirinya sendiri, “Di matanya yang terkatup itu ada kekuatan aneh yang berbicara alam sepi dan mengingatkan pesona-pesona.”

 

Sang anak ikut berkata, “Ibu, tangannya seperti tangan Yesus di rumah ibadah”.

 

Sang ibu berbisik lagi, “Di wajahnya yang muram ada kasih seorang perempuan dan kekuatan seorang laki-laki.”

 

Sayup-sayup, kantuk membawa kedua perempuan itu menyusuri alam mimpi. Api perapian sudah padam. Baranya sudah beku jadi abu. Minyak pelita sudah kering. Sinarnya meredup perlahan-lahan, lalu padam. Prahara sedang marah di luar rumah, terus menderu-deru. Udara yang kelam menebar butir-butir salju. Angin berhembus kencang membawa butir-butir salju itu berhamburan ke sana kemari.

 

Lima hari telah berlalu, sementara langit yang kusut karena awan kadang-kadang tenang dan lain saat bangkit bergulung-gulung membanjiri tanah dan hamparan salju. Sudah tiga kali Kahlil hendak menuruti langkah-langkah kakinya menuju pantai, tapi Rachel selalu mencegahku dengan lembut dan penuh kasih sayang, katanya, “Jangan aku menyerahkan hidupmu kepada petaka yang buta sekali lagi. Tetaplah disini, Saudara! Roti yang dapat mengenyangkan dua orang masih cukup untuk tiga orang. Api di tungku itu masih tetap menyala sebelum atau pun sesudah kedatanganmu. Kami memang orang miskin, Saudara; tapi kami hidup di hadapan wajah mentari seperti halnya orang-orang lain. Tuhan telah memberi kami roti yang mencukupi setiap hari.”
 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Premium
Bertemu Jodoh di Thailand
2019      1067     0     
Romance
Tiba saat nya Handphone Putry berdering alarm adzan dan Putry meminta Phonapong untuk mencari mesjid terdekat karena Putry mau shalat DzuhurMeskipun negara gajah putih ini mayoritas beragama buddha tapi ada sebagian kecil umat muslimnya Sudah yang Sholatnya Sudah selesai yang Sekarang giliran aku yaaku juga mau ibadah ke wiharakamu mau ikut yang Iya yangtapi aku tunggu di luar saja ya Baikl...
Behind The Scene
1116      450     6     
Romance
Hidup dengan kecantikan dan popularitas tak membuat Han Bora bahagia begitu saja. Bagaimana pun juga dia tetap harus menghadapi kejamnya dunia hiburan. Gosip tidak sedap mengalir deras bagai hujan, membuatnya tebal mata dan telinga. Belum lagi, permasalahannya selama hampir 6 tahun belum juga terselesaikan hingga kini dan terus menghantui malamnya.
ORIGAMI MIMPI
26140      2997     55     
Romance
Barangkali, mimpi adalah dasar adanya nyata. Barangkali, dewa mimpi memang benar-benar ada yang kemudian menyulap mimpi itu benar-benar nyata. Begitulah yang diyakini Arga, remaja berusia tujuh belas tahun yang menjalani kehidupannya dengan banyak mimpi. HIngga mimpi itu pula mengantarkannya pada yang namanya jatuh cinta dan patah hati. Mimpi itu pula yang kemudian menjadikan luka serta obatnya d...
Ketos in Love
751      454     0     
Romance
Mila tidak pernah menyangka jika kisah cintanya akan serumit ini. Ia terjebak dalam cinta segitiga dengan 2 Ketua OSIS super keren yang menjadi idola setiap cewek di sekolah. Semua berawal saat Mila dan 39 pengurus OSIS sekolahnya menghadiri acara seminar di sebuah universitas. Mila bertemu Alfa yang menyelamatkan dirinya dari keterlambatan. Dan karena Alfa pula, untuk pertama kalinya ia berani m...
The Eternal Love
18368      2651     18     
Romance
Hazel Star, perempuan pilihan yang pergi ke masa depan lewat perantara novel fiksi "The Eternal Love". Dia terkejut setelah tiba-tiba bangun disebuat tempat asing dan juga mendapatkan suprise anniversary dari tokoh novel yang dibacanya didunia nyata, Zaidan Abriana. Hazel juga terkejut setelah tahu bahwa saat itu dia tengah berada ditahun 2022. Tak hanya itu, disana juga Hazel memili...
Asmara Mahawira (Volume 1): Putri yang Terbuang
5055      938     1     
Romance
A novel from Momoy Tuanku Mahawira, orang yang sangat dingin dan cuek. Padahal, aku ini pelayannya yang sangat setia. Tuanku itu orang yang sangat gemar memanah, termasuk juga memanah hatiku. Di suatu malam, Tuan Mahawira datang ke kamarku ketika mataku sedikit lagi terpejam. "Temani aku tidur malam ini," bisiknya di telingaku. Aku terkejut bukan main. Kenapa Tuan Mahawira meng...
Gue Mau Hidup Lagi
340      212     2     
Short Story
Bukan kisah pilu Diandra yang dua kali gagal bercinta. Bukan kisah manisnya setelah bangkit dari patah hati. Lirik kesamping, ada sosok bernama Rima yang sibuk mencari sesosok lain. Bisakah ia hidup lagi?
HAMPA
360      245     1     
Short Story
Terkadang, cinta bisa membuat seseorang menjadi sekejam itu...
The Reason
8408      1617     3     
Romance
"Maafkan aku yang tak akan pernah bisa memaafkanmu. Tapi dia benar, yang lalu biarlah berlalu dan dirimu yang pernah hadir dalam hidupku akan menjadi kenangan.." Masa lalu yang bertalian dengan kehidupannya kini, membuat seorang Sean mengalami rasa takut yang ia anggap mustahil. Ketika ketakutannya hilang karena seorang gadis, masa lalu kembali menjerat. Membuatnya nyaris kehilan...
The Past or The Future
385      303     1     
Romance
Semuanya karena takdir. Begitu juga dengan Tia. Takdirnya untuk bertemu seorang laki-laki yang akan merubah semua kehidupannya. Dan siapa tahu kalau ternyata takdir benang merahnya bukan hanya sampai di situ. Ia harus dipertemukan oleh seseorang yang membuatnya bimbang. Yang manakah takdir yang telah Tuhan tuliskan untuknya?