Read More >>"> Cinta (Puisi dan Semi Novel (Kitab Keempat) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Cinta (Puisi dan Semi Novel
MENU
About Us  

KITAB KE EMPAT

 

 

Sebelum angin senja berembus dan bayang-bayang menghilang, segala panji-panji cinta kasih dan kasih sayang, semuanya cinta itu kuberikan, kubangkitkan dan kugerakkan - sebelum diingininya.

 

Dalam sebuah gambaran preambul dari perkumpulan yang ditulis oleh Kahlil Gibran – Sang Penyair, melukiskan sebuah gambaran menarik untuk ‘Arrabitah’ (dalam bahasa arab – ‘Ar-Rabitul Qalamyiat), menyatakan:

“Tidak semua yang muncul sebagai literatur merupakan literatur dan tidak setiap pencipta puisi adalah penyair. Literatur atau sastra yang kami anggap bernilai hanyalah yang mengambil bahan dari tanah dan cahaya dan udara kehidupan; dan sastrawan adalah orang yang diberkahi dengan kelebihan-kelebihan kepekaan dan perasaan di antara manusia lain, dan memiliki pertimbangan dan pandangan yang tajam dan bakat untuk mengekspresikan dengan jelas dan mulia semua kesan kehidupan yang menyentuh jiwanya.

Gerakan baru ini, yang bertujuan untuk menghidupkan kembali kesusastraan kita yang mengalami stagnasi, untuk menciptakan kreatif dan bukan hanya pengulangan-pengulangan, benar-benar akan merupakan gerakan pendorong, jika ingin menghindarkan terjadinya ketandusan, kerusakan, dan disintegrasi.”

 

 

“KAHLIL GIBRAN SANG PENYAIR”

 

Syeikh Abbas dikenal sebagai seorang pangeran oleh masyarakat yang hidup di sebuah desa yang terpencil di Lebanon Utara. Rumahnya yang megah bagai istana tegak berdiri di antara gubuk-gubuk orang-orang miskin, seperti raksasa perkasa yang menjulang di tengah orang-orang yang kurus kering kelaparan. Ia hidup dengan penuh kemewahan, sementara orang-orang itu bergulat dengan hidup hanya untuk sekedar mencari makan.

 

Mereka semua menghormati Syeikh Abbas dan membungkuk ketika berbicara kepadanya, seakan-akan ia memiliki kekuatan yang dapat mengendalikan. Kemarahannya membuat mereka gemetar bagaikan dedaunan di rumah kering dihempas angin.

 

Ketika hendak menampar wajah orang, maka orang tersebut akan merasa berdosa kalau harus mengelak atau menangkisnya. Jika ia tersenyum pada seseorang, maka orang tersebut akan dianggap sedang mendapatkan anugerah kehormatan. Orang-orang itu begitu tunduk kepada Syeikh Abbas, bukan karena lemah, melainkan karena kemiskinan mereka membuatnya diperlukan, dan ia dapat berbuat apa saja terhadap mereka. Bahkan gubuk-gubuk yang mereka tinggali dan sawah-sawah yang mereka kerjakan adalah milik sang Syeikh Abbas sebagai warisan dari leluhurnya. Mereka menggarap tanah dan menanaminya serta menuai hasilnya di bawah pengawasan Syeikh Abbas. Mereka tidak memperoleh hasil kepenatan dan usaha mereka kecuali hanya sebagian kecil hasil panenan yang hampir-hampir tak mampu menyelamatkan mereka dari cengkeraman kuku-kuku kelaparan.

 

Banyak di antara mereka yang membutuhkan sepotong roti sebelum hari-hari musim dingin yang panjang berlalu. Seorang demi seorang pergi kepada Syeikh Abbas, bersimpuh di depannya sambil menangis meminta belas kasihan agar ia sudi meminjaminya sekeping uang kecil dan setakar gandum.

 

Syeikh Abbas selalu mengabulkan permintaan mereka dengan perasaan gembira, karena ia tahu persis sekeping uang akan menjadi dua keping dan setakar gandum akan menjadi dua takar kalau sehari-hari panen telah tiba. Beginilah orang-orang menderita terus-terusan ditunggangi hutang-hutang Syeikh Abbas. Mereka bergantung kebutuhan kepadanya. Takut kemarahannya dan merengek-rengek meminta kerelaannya.

 

Musim dingin datang membawa butir-butir salju dan prahara; ladang dan lembah jadi kosong kecuali burung-burung gagak dan pohon-pohon yang gundul. Penduduk desa itu hanya bisa mendekam di dalam gubuk setelah mereka memberi makan ternak-ternak Syeikh Abbas dan memenuhi keranjangnya dengan kurma. Sesudah itu, mereka menganggur tak ada kerja.

 

Kehidupan mereka kosong melompong di samping api pendiangan sambil mengingat-ingat hari-hari yang telah lewat dan mengulang-ulang kisah hari-hari dan malam-malam kepada orang lain. Tahun yang lama baru saja menghembuskan nafas terakhirnya ke angkasa. Malam kelam datang meletakkan mahkota waktu di kepalan awal tahun dan mendudukkannya di singgasana alam.

 

Gelap yang kelam panjang membentang. Butir-butir salju mulai tercurah dengan deras. Prahara mendesis dengan cepat meliuk-liuk dari puncak gunung, gurun, turun ke daratan rendah sambil membawa butir-butir salju untuk ditimbun di jurang. Pepohonan bergetar hebat oleh hantaman badai, dan kebun-kebun, permukaan tanah, dan jalan-jalan menjadi satu lembaran kertas putih. Sang Maut menulis garis samar-samar lalu dihapus lagi.

 

Kabut-kabut tipis yang bertebaran di setiap desa bertengger di pundak lembah. Cahaya remang-remang bersinar lemah di jendela-jendela rumah dan gubuk-gubuk kumuh. Ketakutan mencengkeram setiap jiwa petani. Hewan-hewan ternak melompat ke dekat tempat makanannya. Anjing-anjing bersembunyi di gang-gang rumah. Tidak ada yang tersisa selain angin yang mendesis hiruk-pikuk di telinga gua dan hujan.

 

Kadang-kadang, suara lembah. Lalu, pelan-pelan menyebar dari puncak-puncak gunung. Seakan-akan alam marah dengan kematian akhir tahun yang rapuh. Kemudian, ia bangkit dari kehidupan yang tersembunyi di gubuk-gubuk kumuh dan memeranginya dengan hawa dingin yang menggigit tulang.

 

Di malam yang menakutkan dan di bawah hembusan angin seperti itu, ada seorang pemuda berumur dua puluh tahun sedang berjalan pelan-pelan menyusuri jalan menanjak yang menghubungkan Deir Kizhaya dengan desa Syeikh Abbas. Udara dingin mengeringkan sendi-sendinya. Lapar dan rasa takut melucuti kekuatannya.

 

Butir-butir salju menutupi bajunya yang berwarna hitam. Seakan-akan salju itu hendak mengkafaninya sebelum ia mati. Ia terus melangkah ke depan, sedang angin berhembus mengembalikan langkah-langkah mereka surut ke belakang. Seakan-akan, ia tak suka memandang dirinya berada di rumah orang yang masih hidup. Namun, ia pantang menyerah menyusuri jalan-jalan kasar dengan kakinya.

 

Pemuda itu jatuh tergelincir dan segera bangkit lagi sambil berteriak-teriak sekuat-kuatnya meminta pertolongan. Udara dingin membungkam suaranya. Ia berdiri membisu. Badannya menggigil. Pemuda itu terus merayap, sedang kematian terus mengikutinya, sehingga kekuatannya hampir lenyap. Hasratnya melayang. Darahnya menggelepar diatas salju.

 

Pemuda itu berteriak dengan suara bergetar sebagai sisa kehidupan dalam jasadnya. Suaranya seperti orang ketakutan karena melihat bayang-bayang kematian di depan matanya. Suaranya memberontak putus-asa. Namun, kegelapan malam merusak suaranya dan prahara mencengkeram untuk melemparkannya ke angkasa.

 

Di sebelah Utara desa tersebut, di tengah ladang yang berantakan oleh badai, berdiri sebuah rumah terpencil milik seorang perempuan bernama Rachel dan seorang anak perempuannya bernama Miriam yang hampir berusia delapan belas tahun. Rachel adalah janda Samaan Ramy, yang didapatinya mati di tengah-tengah sahara lima tahun yang lampau dan tidak diketahui siapa pembunuhnya. Seperti layaknya janda yang miskin, Rachel hidup dengan susah payah takut dikejar maut.

 

Pada saat-saat panen, ia keluar untuk memunguti biji-biji yang tertinggal di kebun. Pada musim rontok, ia mengumpulkan sisa-sisa buah yang lupa tak dipetik di kebun; dan di musim dingin, ia memintal bulu domba dan menjahit pakaian dengan menerima imbalan beberapa dirham atau beberapa ikat jagung. Semua itu ia kerjakan dengan tabah, sabar, dan penuh kesungguhan. Sedang anak puterinya, Miriam, adalah seorang gadis cantik menawan dan lembut. Ibunya membagi keletihan berdua dengannya, begitu pula semua pekerjaan-pekerjaan di rumah, mereka kerjakan berdua.

 

Pada malam yang mengerikan itu, kedua perempuan tersebut duduk di dekat perapian yang panasnya tenggelam ditindih udara dingin dan abunya sudah menumpuk menutupi baranya. Di atas kepala mereka ada sebuah lentera kecil. Cahayanya yang lemah berwarna kuning berpijar menyinari kegelapan.

 

Malam semakin larut dan mereka mendengar desau angin di luar rumah. Sesekali, Miriam berdiri, membuka lubang kecil di dinding, memandang langit hitam, lalu kembali ke tempatnya dengan gemetar, takut oleh kemarahan bencana.

 

Pada saat itu, tiba-tiba Miriam bergerak seakan-akan bangun dari tidurnya yang dalam. Lalu menoleh ketakutan ke arah ibunya seraya berkata dengan cepat, “Apakah Ibu mendengar? Apakah Ibu mendengar suara jeritan minta tolong?”

 

Sang ibu mengangkat kepalanya, menyimak sesaat, lalu menjawab, “Tidak. Aku tidak mendengar apa-apa selain desau angin, Anakku.”

 

“Aku mendengar suara yang lebih dalam dari desau angin dan lebih pahit dari jeritan prahara,” kata gadis itu; dan sehabis berkata begitu, ia bangkit membuka lubang dinding, mendengarkan beberapa saat, lalu berkata lagi, “Aku mendengar jeritan itu sekali lagi.”

 

Sang ibu beranjak ke pintu sambil menjawab, “Aku juga mendengarnya. Ke sinilah. Mari kita buka pintu dan kita lihat. Tutup daun jendelanya agar hembusan angin tidak memadamkan lentera.”

 

Dengan membawa selendang panjang, sang ibu memandang puterinya, beranjak membuka pintu, lalu keluar rumah dengan langkah-langkah tegar. Sedang Miriam hanya berdiri mematung di pintu. Hembusan angin memainkan ujung-ujung rambutnya. Rachel berjalan hingga beberapa langkah menapaki salju.

 

“Siapa yang berteriak di situ; dimana engkau?”

 

Tak seorang pun yang menjawab. Kata-kata itu ia ulangi kedua kali, ketiga kali. Tetap tak terdengar selain desau pusaran angin puyuh. Rachel terus maju dengan berani, menengok ke setiap arah sambil menutup wajahnya dari hembusan angin yang bertiup dengan kencang. Belum lewat beberapa jauh, ia melihat bekas-bekas pijakan kaki tenggelam di salju. Hampir saja hembusan angin menghapus bekas-bekas telapak itu.

 

Dengan mengendap-endap cemas, ia mengikuti bekas-bekas telapak kaki, dan tak seberapa lama, ia melihat seonggok badan terlentang di atas salju putih bersih. Rachel mendekat, mengibaskan butir-butir salju dari badannya dan menyandarkan kepalanya; dan ketika ia rasakan detak-detak jantungnya yang lemah, ia menengok ke arah gubuk lalu berteriak, “Miriam, kemarilah! Bantulah aku. Aku telah mendapatkannya.”

 

Miriam keluar dari rumah mengikuti jejak langkah-langkah ibunya dengan badan menggigil kedinginan dan ketakutan. Ketika Miriam sudah sampai ke tempat ibunya dan melihat sosok pemuda terlentang tanpa bergerak di atas salju, ia mengeluarkan pekikan takut dan sedih. Sang ibu meletakkan kedua tangannya di bawah ketiak sang pemuda seraya berkata, “Jangan takut, ia masih hidup. Kamu pegang ujung-ujung bajunya dan ayo, kita bawa ia ke rumah!”

 

Di bawah tiupan angin kencang, kedua perempuan itu menggotong tubuh sang pemuda. Setelah sampai di dalam gubuk, mereka membaringkannya di dekat perapian. Sang ibu mulai menggosok anggota badannya yang membeku, sedang anak puterinya mengeringkan rambutnya yang basah kuyup dengan ujung-ujung pakaiannya. Belum seberapa saat berlalu, timbullah tanda-tanda kehidupan merambah tubuh sang pemuda. Ia bergerak-gerak sedikit. Kelopak matanya tampak bergetar. Ia menarik nafas panjang dan dalam, membangkitkan harapan kehidupan di relung hati kedua perempuan yang penuh kasih itu. Setelah melepas sepatunya yang sudah terkoyak dan mantelnya yang basah, Miriam berkata, “Lihatlah pakaiannya ibu! Ini pakaian pendeta.”

 

Rachel menoleh. Beberapa potong kayu kering telah ia letakkan di perapian. Ia berkata tak kalah herannya, “Mana ada pendeta yang sudi keluar di saat malam-malam yang menakutkan seperti ini. Bagaimana pendapatmu tentang orang malang yang telah berbuat sesuatu yang membahayakan dirinya ini?”

 

Miriam berkata, “Tapi aneh, ia tak berjenggot tebal.”

 

Sang ibu memandang wajah pemuda itu. Pancaran matanya mengalirkan kasih sayang seorang ibu. Lalu, ia berkata, “Tidak ada bedanya, apakah ia pendeta atau penjahat. Keringkan kedua kakinya sampai benar-benar kering!” Rachel bangkit, membuka lemari kayu, lalu mengeluarkan sebuah guci kecil yang berisi arak dan menuangkan sebagian isinya ke sebuah bejana yang terbuat dari tanah liat.

 

“Sandarkan kepalanya Miriam! Kita minumi arak barang seteguk agar badannya menjadi hangat.” Rachel mendekatkan bejana di tangannya di bibir pemuda dan menuangkan sedikit isinya. Tak seberapa lama sang pemuda membuka matanya lebar-lebar, lalu memandang kepada kedua perempuan penolongnya untuk pertama kalinya dengan pandangan lembut menyimpan sejuta duka yang bangkit bersama airmata terima kasih dan pengangkutan adanya pesona keindahan. Pandangan orang yang merasakan sentuhan-sentuhan kehidupan setelah dicengkeram putus-asa.

 

Ia mengeliatkan lehernya dan dari bibirnya yang bergetar, keluarlah kata-kata ini, “Semoga Tuhan memberkahi kalian berdua.”

 

Rachel berkata sambil meletakkan tangannya di pundak pemuda, “Jangan kau merepotkan dirimu dengan banyak berkata saudara! Lebih baik kamu diam dulu agar kekuatanmu pulih kembali.”

 

Miriam berkata pula, “Duduklah pada sandaran ini, Saudara! Dan mendekatlah sedikit ke perapian!” Sang pemuda duduk bersandar sambil menarik nafas panjang. Rachel menuangkan arak ke bejana dan meminumi sang pemuda sekali lagi. Ia menoleh ke arah puterinya seraya berkata, “Letakkan jubahnya di dekat api biar kering!”

 

Miriam melaksanakan perintah ibunya. Sambil duduk, ia memandang sang pemuda dengan lembut dan curahan kasih sayang. Seakan-akan dengan pemandangannya itu, ia curahkan kasih sayang. Seakan-akan dengan pandangannya itu, ia hendak menebarkan kehangatan dan kekuatan di dadanya yang lemah lunglai.

 

Rachel membawa dua potong roti dan semangkok berisi madu, serta piring yang berisi buah-buahan yang sudah dikeringkan. Kemudian, ia duduk disamping sang pemuda, menyuapinya sekerat roti dengan tangannya, tak ubahnya tindakan seorang ibu kepada bayinya. Setelah makanan yang masuk ke perutnya sudah dirasa cukup, sang pemuda merasa ada sedikit kekuatan; ia duduk tegak di atas lantai.

 

Pantulan cahaya api membias di wajahnya yang pucat dan menyinari matanya yang menyimpan duka. Dengan sedikit menggerak-gerakkan kepalanya, ia berkata, “Kasih sayang dan kekerasan selalu berperang di hati manusia seperti malapetaka yang berperang di langit malam yang pekat ini. Namun, kasih sayang selalu dapat mengalahkan kekerasan karena ia anugerah Tuhan; dan ketakutan-ketakutan malam ini akan berlalu dengan datangnya siang.”

 

Sang pemuda diam beberapa saat. Lalu, ia melanjutkan dengan suara lirih hampir tak terdengar, “Tangan manusia telah mendorongku kepada kehinaan dan tangan manusia pulalah yang menyelamatkan diriku. Betapa kerasnya manusia dan betapa banyak kasih sayangnya ia.”

 

Rachel berkata dengan lembut dan suara tenang, ”Saudaraku, bagaimana kamu sampai melakukan tindakan berani ini dan kamu meninggalkan rumah di malam-malam seperti ini, di mana binatang buas pun tidak meninggalkan sarangnya?”

 

Pemuda itu memejamkan mata, seakan ia hendak memasukkan air matanya ke relung hatinya. Lalu, ia berkata, “Semua serigala mempunyai sarang. Burung-burung langit juga mempunyai sarang. Sedang anak manusia tidak memiliki apa-apa untuk menyandarkan kepalanya.”

 

Rachel diam sebentar, lalu menyahut, “Itu adalah apa yang dikatakan Yesus tentang dirinya.”

 

Pemuda itu menjawab, “Dan begitu juga jawaban bagi setiap Roh dan Kebenaran di tengah-tengah generasi yang dilumuri kebohongan, kesombongan dan kerusakan.”

 

Setelah terdiam beberapa saat, Rachel berkata, “Tapi bukankah di rumah suci banyak terdapat ruang-ruang yang luas, almari-almari yang penuh berisi emas dan perak, gudang-gudang yang penuh dengan hasil panenan dan arak, kandang-kandang ternak yang berisi anak-anak sapi dan kambing yang gemuk-gemuk. Lalu, masalah apa yang membuatmu meninggalkan semua itu dan keluar malam-malam seperti ini?”

 

Pemuda itu menarik nafas panjang dan menjawab, “Memang aku telah meninggalkan semua itu dan aku keluar dari rumah suci dengan perasaan benci.”

 

Rachel berkata, “Seorang pendeta di rumah suci adalah seperti tentara di medan perang. Apabila kepala pendeta membentak, maka tentara itu akan menunduk diam; dan apabila ia mengeluarkan perintah, tentara itu akan segera mematuhinya. Kudengar bahwa seseorang tidak akan dapat menjadi pendeta kecuali setelah ia mampu meninggalkan kemauan, pikiran segala hasrat, dan kehendak jiwanya. Namun, pemimpin yang baik tidak akan meminta dari orang-orang yang dipimpinnya sesuatu yang melebihi kemampuannya. Lalu, bagaimanakah pemimpin rumah suci Deir Kizhaya memintamu untuk menyerahkan hidupmu kepada prahara dan salju?”

 

Ia menjawab, “Menurut penglihatan pemimpin rumah suci, seseorang tidak akan dapat menjadi pendeta kecuali ia dapat seperti alat yang buta, hilang perasaan dan hilang kekuatannya. Sedangkan aku keluar rumah suci karena aku bukan mata yang buta. Namun, aku manusia yang dapat melihat dan mendengar.”

 

Miriam dan Rachel memandang pemuda itu seakan mereka berdua hendak mengetahui rahasia tersembunyi di wajahnya yang hendak ditutupinya. Setelah beberapa saat, sang ibu berkata dengan nada keheranan, “Akankah orang yang dapat melihat dan mendengar, keluar di malam yang dapat membutakan mata dan menulikan telinga?”

 

Pemuda itu menarik nafas dalam-dalam. Ia menelungkupkan kepala ke dada. Lalu, ia berkata dengan suara yang dalam, “Aku keluar dari rumah suci karena diusir.”

 

Dengan terkejut, Rachel berkata, “Diusir?” Miriam juga mengulangi kata-kata ibunya dengan suara mendesah.

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Premium
Bertemu Jodoh di Thailand
2019      1067     0     
Romance
Tiba saat nya Handphone Putry berdering alarm adzan dan Putry meminta Phonapong untuk mencari mesjid terdekat karena Putry mau shalat DzuhurMeskipun negara gajah putih ini mayoritas beragama buddha tapi ada sebagian kecil umat muslimnya Sudah yang Sholatnya Sudah selesai yang Sekarang giliran aku yaaku juga mau ibadah ke wiharakamu mau ikut yang Iya yangtapi aku tunggu di luar saja ya Baikl...
Behind The Scene
1116      450     6     
Romance
Hidup dengan kecantikan dan popularitas tak membuat Han Bora bahagia begitu saja. Bagaimana pun juga dia tetap harus menghadapi kejamnya dunia hiburan. Gosip tidak sedap mengalir deras bagai hujan, membuatnya tebal mata dan telinga. Belum lagi, permasalahannya selama hampir 6 tahun belum juga terselesaikan hingga kini dan terus menghantui malamnya.
ORIGAMI MIMPI
26140      2997     55     
Romance
Barangkali, mimpi adalah dasar adanya nyata. Barangkali, dewa mimpi memang benar-benar ada yang kemudian menyulap mimpi itu benar-benar nyata. Begitulah yang diyakini Arga, remaja berusia tujuh belas tahun yang menjalani kehidupannya dengan banyak mimpi. HIngga mimpi itu pula mengantarkannya pada yang namanya jatuh cinta dan patah hati. Mimpi itu pula yang kemudian menjadikan luka serta obatnya d...
Ketos in Love
751      454     0     
Romance
Mila tidak pernah menyangka jika kisah cintanya akan serumit ini. Ia terjebak dalam cinta segitiga dengan 2 Ketua OSIS super keren yang menjadi idola setiap cewek di sekolah. Semua berawal saat Mila dan 39 pengurus OSIS sekolahnya menghadiri acara seminar di sebuah universitas. Mila bertemu Alfa yang menyelamatkan dirinya dari keterlambatan. Dan karena Alfa pula, untuk pertama kalinya ia berani m...
The Eternal Love
18368      2651     18     
Romance
Hazel Star, perempuan pilihan yang pergi ke masa depan lewat perantara novel fiksi "The Eternal Love". Dia terkejut setelah tiba-tiba bangun disebuat tempat asing dan juga mendapatkan suprise anniversary dari tokoh novel yang dibacanya didunia nyata, Zaidan Abriana. Hazel juga terkejut setelah tahu bahwa saat itu dia tengah berada ditahun 2022. Tak hanya itu, disana juga Hazel memili...
Asmara Mahawira (Volume 1): Putri yang Terbuang
5055      938     1     
Romance
A novel from Momoy Tuanku Mahawira, orang yang sangat dingin dan cuek. Padahal, aku ini pelayannya yang sangat setia. Tuanku itu orang yang sangat gemar memanah, termasuk juga memanah hatiku. Di suatu malam, Tuan Mahawira datang ke kamarku ketika mataku sedikit lagi terpejam. "Temani aku tidur malam ini," bisiknya di telingaku. Aku terkejut bukan main. Kenapa Tuan Mahawira meng...
Gue Mau Hidup Lagi
340      212     2     
Short Story
Bukan kisah pilu Diandra yang dua kali gagal bercinta. Bukan kisah manisnya setelah bangkit dari patah hati. Lirik kesamping, ada sosok bernama Rima yang sibuk mencari sesosok lain. Bisakah ia hidup lagi?
HAMPA
360      245     1     
Short Story
Terkadang, cinta bisa membuat seseorang menjadi sekejam itu...
The Reason
8408      1617     3     
Romance
"Maafkan aku yang tak akan pernah bisa memaafkanmu. Tapi dia benar, yang lalu biarlah berlalu dan dirimu yang pernah hadir dalam hidupku akan menjadi kenangan.." Masa lalu yang bertalian dengan kehidupannya kini, membuat seorang Sean mengalami rasa takut yang ia anggap mustahil. Ketika ketakutannya hilang karena seorang gadis, masa lalu kembali menjerat. Membuatnya nyaris kehilan...
The Past or The Future
385      303     1     
Romance
Semuanya karena takdir. Begitu juga dengan Tia. Takdirnya untuk bertemu seorang laki-laki yang akan merubah semua kehidupannya. Dan siapa tahu kalau ternyata takdir benang merahnya bukan hanya sampai di situ. Ia harus dipertemukan oleh seseorang yang membuatnya bimbang. Yang manakah takdir yang telah Tuhan tuliskan untuknya?