CINTA DAN PENYUCIAN
Kulihat orang tua berjalan tenang dengan punggung bungkuk, bertumpu pada tongkat dan memandang tanah, seolah mencari di antara celah-celah batu permata mereka yang hilang. Lalu, aku berdiri di jendelaku dan melihat serta merenungkan citra dan bayangan ini dalam perjalanan diamnya melintasi jalan dan gang kota. Kemudian, aku memandang ke seberang kota dan menyaksikan hutan belantara dalam keindahannya yang dahsyat dan kebisuan yang bersuara, serta bukit kecil yang menjulang dan lembah ngarai yang sempit. Pepohonan tegak dan rerumputan bergoyang lembut dan bunga semerbak, sungai berdendang dan kawanan burung berkicau.
Manusia mencengkeram harta dunia yang beku bagai salju. Namun, cahaya cinta yang kucari selalu akan kutambatkan pada kalbu hingga menyucikan hatiku dan menghanguskan durhakaku. Karena sering kutemui ternyata harta membunuh manusia tanpa terasa. Sedang cinta dengan pedih perihnya membangkitkannya. Aku memandang ke seberang hutan belantara, kulihat samudera dengan kedalaman yang sungguh menakjubkan dan mengagumkan, rahasia dan benda terpendamnya. Gelombangnya yang berbuih dalam kemarahan dan cemoohannya, percikan dan busanya, naik dan turunnya. Semua ini telah kusaksikan.
Aku telah mencintai kebebasan dan cintaku tumbuh bersama dengan tumbuhnya pengetahuan tentang perbudakan, demi kebodohan dan penipuan, dan dia telah menjalar bersama pemahamanku tentang ketundukan mereka terhadap berhala yang diciptakan oleh abad-abad kegelapan dan diasuh oleh kebodohan serta dipelitur oleh sentuhan bibir yang memujanya. Semua ini telah kusaksikan juga.
Bila kita jatuh cinta kepada seseorang, kita secara otomatis akan mengejar-ngejar orang itu. Namun, siapakah yang menjadikan kita jatuh cinta? Kita mengatakan: “Aku tidak tahu, aku langsung jatuh cinta”. Kita tidak pernah berniat untuk jatuh cinta. Setelah jatuh cinta, mengejar-ngejar sang kekasih menjadi biasa. Kita tidak perlu melakukan usaha untuk mengejar-ngejar sang kekasih; kita juga tidak mengerahkan usaha untuk jatuh cinta. Ada sesuatu dalam diri kita yang menjadikan kita mengejar-ngejarnya. Apakah yang kita lakukan? Jika kita ingin mengaku bahwa kita mengejar-ngejar sang kekasih, kita keliru sama sekali.
Tanpa adanya kasih itu, kita tidak akan pernah mengejar-ngejar sang kekasih. Bila kasih muncul, ia muncul begitu saja dari dalam. Dialah yang menarik kita dari dalam. Ia memberi kita fasilitas, kesempatan, suasana yang sesuai, dan begitu banyak lingkungan baik yang lain, hanya agar kita mau datang kepada-Nya. Kasih adalah karunia-Nya.
Pada akhirnya, cinta adalah sebuah penyucian dan aku telah mendapatkannya. Penyucian di sini berarti terwujudnya jiwa-jiwa yang murni dan pribadi-pribadi yang manusiawi dalam cinta. Dengan hidup dalam cinta berarti manusia berada di jalur yang benar dari kehidupan ini karena memang di sanalah letak keberadaannya. Menjalani tindakan cinta, berarti merealisasikan eksistensi kemanusiaannya, sekaligus mengikuti fitrah dirinya. Cinta membuat jiwa manusia terlepas dari kekeruhan.
Seperti dikatakan oleh Mike Bickle dalam ‘The True Prophetic Spirit’ di Kansas City: “Kita tidak akan bisa menularkan apa-apa yang kita miliki. Kita bisa mengulang doktrin pada tingkat intelektual tanpa menularkan kehidupan. Kita masing-masing memainkan peranan yang penting untuk menentukan tingkat keintiman yang kita alami di dalam-Nya. Jika kita puas dengan sedikit ukuran keintiman, maka itulah semua yang akan kita alami. Jika kita bersedia membayar nilainya untuk mengalami keintiman yang lebih dalam, kita akan mengalami hal itu”.
Dengan cinta yang diberikan atau diterima secara tulus dan merdeka, serta didasarkan kepada keindahan, baik lahir maupun batinnya - maka akan tercapai satu harmoni yang damai, baik dalam diri para pribadi yang menjalani cinta maupun dalam lingkup lebih luas di sekitar mereka.
“Bila pribadi diperkuat dengan cinta, bila semua umat manusia memiliki cinta, tenaganya menguasai angkasa dengan bintang-bintangnya, bulan akan pecah oleh jari-jemarinya, matahari akan bercahaya menyinari ke sekeliling. Dialah pelerai dalam semua sengketa dunia dan kebenaran, kebijaksanaan, serta kasih sayang meliputi isi bumi ini. Maka, sang kedamaian, ketenteraman, serta damai sejahtera akan bertakhta di mana-mana.”
Filsuf penyair Muslim dari Pakistan berkata bahwa cinta manusia mampu menjalankan fungsinya dengan khalifah Tuhan yang sesungguhnya di bumi. Dengan cinta, seseorang akan menjadi juru damai terhadap segala silang sengketa dunia.
Dalam gambaran Kahlil Gibran tentang penyucian yang dilakukan cinta terhadap jiwa manusia:
“Laksana butir-butir gandum kau diraihnya ke dalam dirinya,
ditumbuk-tumbuk kau sampai polos telanjang,
diketamnya dirimu sampai terbebas dari kulitmu,
digosoknya tubuhnya sampai putih bersih,
diremas-remasnya dirimu sehingga mudah dibentuk,
dan akhirnya diantarkannya dirimu kepada api suci,
laksana roti yang dipersembahkan pada pesta kudus Tuhan.
Pelepasan yang sejati bukan sekedar melarikan diri dari dunia dan meninggalkan semuanya. Sebaliknya, pelepasan merupakan suatu tingkat kesadaran di mana semua keinginan terbakar habis dengan jalan mengatasi semua godaan duniawi. Namun, tanpa wiweka, pelepasan tidak mungkin diperoleh.
Bila keadaan seperti itu ditambah dengan kerinduan untuk selalu bertemu dengan Tuhan, itu disebut kasih, cinta kasih, dan kasih sayang. Karena itu, kasih dan pelepasan bukan merupakan dua sifat yang berbeda. Mereka mempunyai dua nama yang berbeda untuk satu tingkat kesadaran yang sama. Sebanding dengan taraf pelepasan seseorang, kita dapat menyebutnya sebagai pengasih. Orang yang tidak mengasihi Tuhan, tidak mempunyai pelepasan sedikit pun. Sejauh mana pikiran sudah bebas dari keinginan, sejauh itulah ia akan dipenuhi dengan kasih. Orang yang tenggelam dalam keterikatan duniawi tidak dapat menjadi seorang pengasih. Kita harus bersembah sujud di hadapan Tuhan dengan mengucapkan selamat tinggal kepada keinginan duniawi. Bila tidak, doa yang diucapkan tidaklah lulus. Pelepasan dan kasih sejati, atau penyucian adalah sama.
Selama pikiran tidak menolak keinginan duniawi, maka ia tidak dapat mengundang kasih. Tentu saja, pada mulanya, para pengasih kadang-kadang masih menginginkan benda-benda yang mereka perlukan, walaupun mereka telah memperoleh pelepasan. Itu tidak ada salahnya, asalkan kita mengikuti jalan rohani dengan tanggapan yang benar dan bukan dimaksudkan untuk memenuhi keinginan inderawi.
Aku tak lagi menginginkan apa-apa selain membaktikan diri kepada-Mu
dengan segala kerendahan hati yang setulus-tulusnya;
aku tidak menginginkan apa-apa selain nama-Mu saja.
Sesungguhnya seorang pengasih yang sudah bebas dari keterikatan tidak pernah memohon apa pun dari Tuhan. Ia hanya menginginkan Dia karena semua yang lain bersifat sementara serta tidak abadi dan menjadi penyebab dari segala penderitaan, air mata, maupun kesusahan. Seorang pengasih, tidak menginginkan apapun dari Tuhan, karena baginya itu tidak perlu. Inilah yang dikatakan sebagai ‘diam di dalam keheningan batin’. Semua penderitaan, kegelisahan, dan prasangka telah dimusnahkan, lenyap dan musnah. Barangsiapa telah mencicipi madu kasih, ia tidak akan mengejar apa pun yang lain dan segala sesuatu yang ia ucapkan akan diterima di Hadirat Tuhan. Ini merupakan bekal dari berkat dan hikmat yang tak ternilai tingginya. Itu berarti bahwa seorang pengasih semacam itu tidak akan menghiraukan hal-hal duniawi dan telah melepaskan semua egonya.