CINTA JASMANIAH
“Cinta tidak terdiri dari saling menatap satu dengan yang lain, melainkan bersama-sama melihat keluar ke arah yang sama.” (Antoine De Saint-Exupery – Michael de Molinos, ‘The Spiritual Guide’)
Menurut kata-kata bijak Persia:
Cinta adalah penyakit yang tak seorang pun ingin bebas darinya. Mereka yang tertular tak ingin sembuh, dan mereka yang menderita tak ingin diobati.
Yang berwujud keinginan untuk memiliki dan mencari suatu obyek keindahan atau kebajikan demi kesenangan, atau kepuasan.
Istilah-istilah yang dipakai untuk menyebut cinta dalam kaitan ini antara lain:
Ø Eros (Yunani):
Plato sebagai idealisme menyatakan bahwa cinta adalah kerinduan (epos) setiap orang untuk sampai kepada dunia ide.
‘The Symposium’ memakai Socrates sebagai juru bicara dialog-dialog di dalamnya. Socrates menjelaskan bahwa cinta adalah perjuangan penuh nafsu untuk memaksimalkan perwujudan potensi-potensi hidup manusia. Cinta adalah satu pencarian untuk menjaga eksistensi diri, kesehatan fisik - dan puncaknya adalah keabadian melalui pengetahuan pribadi tentang kebajikan. Cinta menghasilkan sesuatu yang abadi, bahkan sampai setelah kematian, di mana cinta tersebut tetap muncul sebagai keinginan untuk mencapai puncak pengejawantahannya sebagai kebaikan, kebenaran, dan keindahan. Cinta adalah pencarian untuk mencapai kebaikan bagi diri seseorang demi keabadian.
Ø Amor (Latin):
Seorang penggagas psiko-analisa bernama Sigmund Freud mengatakan bahwa cinta dan hal-hal lain yang sama sifatnya dengan cinta tidak lebih dari salah satu kemampuan psikis manusia. Sumber pusat pendorong yang paling utama dalam cinta dan hal-hal lain tersebut adalah libido seksual.
Berbagai pandangan yang muluk-muluk tentang cinta sebenarnya bermuara kepada cinta seksual dan bertujuan kepada penyatuan seksual. Jika energi yang berpusat pada libido seksual itu diproyeksikan kepada hal atau aktivitas lain, energi tersebut akan mengalami perubahan dari kehendak mewujudkan tujuan seksual menjadi bentuk lain yang kreatif.
Ø Kama (Sansekerta)
Cinta kasih ada dua jenis. Cinta yang pertama bersifat duniawi dan merupakan buatan manusia, sedangkan yang lainnya bersifat rohani atau suci. Cinta duniawi adalah cinta orang-orang duniawi yang selalu terikat kepada dunia dan benda-bendanya. Cinta rohani, adalah cinta para pengasih Tuhan yang membina hubungan yang kekal dengan Tuhan.
Cinta duniawi ada dua jenis. Yang pertama adalah cinta yang timbul karena suatu perbuatan, sifat, atau keadaan tertentu yang berhubungan dengan sesuatu benda atau orang. Misalnya, seorang berjiwa seniman atau pandai melukis. Seorang lain mungkin mencintai dia karena ia dapat menarik keuntungan dari seninya itu, yaitu memperoleh lukisan yang indah atau gambar yang artistik. Cintanya hanya dilandaskan atas satu tujuan dan setelah itu terpenuhi, karena tujuannya telah tercapai, maka cintanya kepada seniman itu akan hilang. Itu menunjukkan bahwa cintanya hanya bersifat mementingkan diri sendiri dan tidak demi si pelukis atau seniman itu sendiri. Seseorang mungkin mengasihi isterinya untuk sekedar memenuhi keinginan hawa nafsunya. Begitu keinginannya telah terpenuhi atau bila wanita itu tidak sesuai lagi untuk itu, maka cintanya kepada wanita itu akan luntur dan ia mulai menjalin hubungan dengan orang lain. Itu berarti bahwa kasihnya timbul dari nafsu-nafsu yang rendah dan sama sekali bukan karena ia mengasihi isterinya. Begitu pula bila seorang pelayan bekerja dengan baik dan patuh, kita menyayanginya. Namun, bila ia sudah menjadi tua atau malas, kita akan memecatnya, dan selanjutnya, dan seterusnya.
Pada umumnya, begitulah cinta duniawi. Orang mencintai suatu keindahan yang bersifat lahiriah dan yang tampak di luar; itu bukan kasih yang sejati.
Yang lebih luhur daripada itu adalah cinta duniawi yang kedua, yaitu bisa disebut sebagai cinta kasih – yaitu kasih yang tidak tergantung atau tidak timbul karena kondisi lahiriah, perbuatan, atau sifat apa pun, sehingga itu tidak akan hilang bersamaan dengan hilangnya sifat-sifat itu. Cinta seperti itu dapat dikenali dari satu ciri. Cinta itu datangnya secara spontan, tanpa sebab musabab. Cinta itu datang dari lubuk hati dengan menggelora dan ia tidak punya maksud untuk mencari keuntungan atau mementingkan diri sendiri. Itu disebut sebagai kasih alami dan begitu kita menghayatinya, ia tidak akan hilang. Cinta kasih sejati itu tetap konstan. Cinta seperti ini adalah lebih unggul karena ia tidak tergantung kepada sifat dan tingkah laku obyek yang dikasihi maupun kefanaannya. Tidak hanya itu. Setelah kematian sekali pun, ia tidak berubah, karena cinta itu berurat akar dalam jiwanya. Taraf cinta seperti itu tidak dapat kita temukan pada cinta yang pertama tadi. Bila kita mengasihi orang lain tanpa ada maksud untuk menarik keuntungan bagi diri sendiri, maka ia tidak akan menghiraukan sifat-sifat orang yang dikasihinya, dan ia selalu bersedia untuk mengabaikan sifat itu demi cinta, karena sifat-sifat itu sendiri, tanpa adanya sang kekasih, baginya tidak ada gunanya atau tidak ada artinya. Hati orang seperti itu akan diterangi oleh cahaya kasih dan orang yang dikasihi seolah-olah menjadi sumber segala sifat dan daya tarik baginya. Ia mengasihi demi cinta kasih semata-mata dan tidak tergantung kepada sifat-sifatnya yang ia anggap tidak penting.
Jenis cinta yang kedua adalah cinta kasih rohani. Cinta kasih rohani juga ada dua jenis. Cinta kasih rohani tidak tercampur dengan ilusi, dan di alam-alam rohani, ia selalu murni, tetapi di alam-alam bawah, kasih itu tercampur dengan benda jasmani dan nafsu kebinatangan.
Pada umumnya, orang mengasihi Tuhan karena ia terikat kepada ciptaan-Nya. Ia merupakan pemelihara alam semesta dan Ia memelihara orang yang berdosa maupun suci. Ia mengaruniakan harta, anak, dan, berbagai pemberian dan kesenangan. Ia adalah Pengampun semua perbuatan jahat. Tetapi bila seseorang mengasihi Tuhan – tidak semata-mata demi pemberian-Nya melainkan demi cinta kasih itu sendiri – maka cinta kasih semacam itu sangatlah luhur.
Cinta kasih sejati dan benar adalah cinta kasih yang menyebabkan hati merasa tertarik kepada-Nya, tanpa ada maksud untuk mementingkan diri sendiri. Cinta kasih seperti itu timbul pada pikiran seseorang yang tidak mempunyai keinginan apa pun. Tanpa sebab musabab, ia merasa tertarik. Keadaan itu tidak dapat digambarkan dan walaupun kita berusaha untuk menggambarkannya, itu tidak akan sempurna.
Sebenarnya, kita tidak mungkin melukiskan cinta kasih yang luhur itu dengan kata-kata atau pemikiran duniawi. Bila kita bertanya apakah cinta kasih sejati kepada Tuhan itu dan bagaimana caranya agar kita dapat tertarik kepada-Nya, itu akan sulit dijawab dengan bahasa duniawi. Air mata yang berderai belum tentu mencerminkan kedalaman kasihnya. Perasaan gelisah yang melanda seorang pengasih, belum tentu menunjukkan kemesraan kasihnya. Namun, bila seseorang mengikuti jalan kasih, barulah jiwa akan mencicipi sepercik dari cinta kasih itu. Namun, pengaruh yang dihasilkan oleh cinta kasih itu tidak dapat digambarkan dengan intelek.
Semua orang suci mengasihi Tuhan demi Tuhan sendiri. Cinta kasih mereka berbeda sekali dari cinta kasih orang duniawi. Bila segala sesuatu berjalan lancar dan hidupnya tidak kekurangan, orang dapat mengasihi Tuhan dengan mudah. Namun, cinta kasih para suci kepada Tuhan sama sekali tidak goyah, walaupun keadaannya tidak menyenangkan. Mereka mengorbankan tubuh, pikiran, harta, dan bahkan nyawa mereka demi kasih Tuhan. Sesungguhnya, cinta bukanlah cinta kasih sejati bila ia berubah-ubah menurut keadaan, atau bila ia memudar pada saat menghadapi pencobaan.
Cinta kasih sejati bersifat kekal. Ia tidak musnah oleh badai maupun rintangan. Cinta kasih seperti itu merupakan mercu suar bagi dunia maupun penghuninya. Ia tidak dapat dinilai dengan uang. Namun demikian, kita dapat melihat keagungan dan keunggulannya atas kasih duniawi.