KITAB KEDUA
Dengan Rohku - kumasuki pori sendi-sendi hingga ke dasar batinku.
Jiwaku adalah sahabatku yang selalu menasihatiku dalam segala kesengsaraan dan derita hidup.
Di dalam tiga kemeranaan, airmata-airmata kepedihan - ayahku, ibuku.
Aku yakini bahwa siapa pun yang tidak bersahabat dengan jiwanya sendiri adalah musuh bagi kemanusiaan dan cinta kasih.
Biarlah cinta kasihku menghidupkan hati nurani manusia dari luka-lara, kesengsaraan, kesusahan dan airmata-airmata,
dan kedunguan mengajarinya mencari jalan kearifan dan kebenaran yang sejati,
sebab itu menciptakan sesuatu yang tidak sia-sia di bawah asuhan ciptaanNya.
Biarlah benang perak yang dijatuhkan dari langit akan mengikat isi alam ini menjadi kebijaksanaan, keadilan, ketenteraman, cinta kasih, kasih sayang, dan damai sejahtera di seluruh muka bumi ini.
Apa yang kukatakan hari ini dengan satu hatiku akan juga diucapkan orang banyak pada esok dan esok hari kelak.
Cinde:
Di manakah musim semiku, di manakah?
Dari manakah keharuman yang semula akan kunikmati?
Di ladang manakah aku akan menuai dan ke langit manakah akan kutengadahkan kepalaku untuk berbicara kepada batinmu?
Tak ada orang dari Utara, Selatan, Barat, dan Timur yang akan datang kemari.
Tak ada kemah yang meneduhiku, juga tumbuh-tumbuhan serta rerumputan yang berteriak gersang, tandus, dan kami telah mati?
Seluruh lembah dan gunung-gemunung mengucapkan teriakan yang sama di bawah teriknya sang matahari!
Di manakah musim bunga dari musim-musimku bertumbuh, di manakah gerangan?
Tidakkah kekasihku itu akan kembali lagi ataukah diam dalam tidurnya yang panjang?
Aku tak tahu apakah nafasku akan mampu membawaku sampai ke ujung langit.
Akankah cintamu mengunjungi ratapku, harapanku, mimpi-mimpi malamku?
Aku, Rebecca, masih memanggilmu, sayangku,
dan dari dalam batinku terdalam, aku terus memanggilmu.
Di dalam pikiran dan khayalku, aku akan selalu mengenangmu,
hingga kisah-kisahku habis sudah.
Kahlil Gibran:
Diamlah, jantung hatiku, sebab ruang angkasa tiada mendengarmu.
Karena suasana sarat jeritan dan keluhan berat juga banyak di sini.
Tiada suara kidungmu masih termuat.
Tiada senandung yang tak mati terlantun.
Tiada puisi yang terurai sampai ke langitku.
Diamlah, kekasih hatiku, sebab bayang-bayang malam tiada sudi mengindahkan bisikan rahasiamu. Tiada iring-iringan kegelapan sudi berhenti di hadapan mimpi-mimpi di sini.
Diamlah, bunga hatiku, tunggu hingga fajar tiba esokmu.
Aku sabar menanti kedatangan pagi yang bakal menjumpai dengan pasti dan kau yang mencintai sinar surya, bakal dicintainya, karena terik matahari tak akan mampu membunuhmu.
Diamlah, hatiku, dan dengarkanlah kisahku di sini dalam terbangku yang kenal henti.
Dalam mimpiku, terlihat seekor burung pungguk menyenandungkan kidung di tepi ganasnya kawah mengepul sebuah gunung berapi dan kulihat sekuntum bunga mawar putih mengangkat kepala di atas timbunan kedukaan sarat.
Lalu, seorang wanita mistik tanpa busana menari-nari ditengah kuburan,
sedangkan seorang bayi tertawa riang gembira, bermain-main dengan tengkorak manusia.
Semua bayangan ini telah kulihat dalam mimpiku ini dan ketika kubuka mata,
memandang sekitar diri,
gunung berapi itu masih juga tampak menggelegak.
Tiada pula kulihat apapun yang terbang kian kemari.
Kulihat langit menurunkan hujan batu, meluruhi ladang-ladang terhampar dan lembah ngarai,
menyembunyikan di bawah selimut kafannya, batang-batang mawar putih yang kemudian jatuh terlena, terhimpit bebatuan laknat.
Kulihat sederetan makam di depan abad-abad bungkam, tapi tiada insan menari atau memuja di tengahnya dengan gema riuh sorak teriakannya.
Kulihat tengkorak setumpuk tapi tiada seorang pun yang tertawa, kecuali angin.
Ya, kecuali angin yang suaranya gemuruh, lalu diam tanpa kelisik.
Dalam terjaga, kusaksikan penderitaan dan kesedihan, prahara, malapetaka dan bencana.
Apa yang terjadi dengan sukacita dan kemanisan mimpi-mimpi saratku?
Ke mana perginya keindahan impian,
secara bagaimana bayangan mereka lenyap dan hilang musnah?
Bagaimana mungkin jiwa bersabar sebelum lena ketiduran memulihkan bayangan bahagia, harapan, dan gairah kehidupan?
Dengarkanlah lagi tuturku.
Kemarin, jiwaku laksana pohon tua perkasa, berakar dalam menghujam ke jantung bumi.
Berdahan dan ranting yang menggapai keabadian.
Di musim semi berkembang dia berseri-seri, di musim panas berbuah berlimpah ruah.
Ketika musim gugur tiba, kususun buah-buah pada nampan ukiran dari perak murni,
dan kuletakkan di pinggir jalan bagi pejalan rohani.
Mereka suka mengambilnya, untuk kemudian berjalan lagi.
Ketika musim gugur dan menimbuni sukacitanya di bawah ratapan dan keluhan,
kupandang nampanku dan hanya kudapati sisa sebutir buah yang kupungut,
kemudian kumakan, tapi terasa sepahit empedu dan masam bagai anggur mengkal hijau.
Maka, aku berkata dalam hati,
‘Celakalah aku’, yang telah mengundang umpatan seru dari bibir sesamaku dan menyebabkan penyakit belaka.
Apa yang telah kau lakukan, jiwaku?
Apa yang telah kau perbuat dengan sari manis yang kau hisap dari bumi, dengan harum wangi yang telah kau tarik dari langit tinggi?
Dalam kegusaran telah kurenggut pohon perkasa tua
sampai akar-akarnya melawan dari kedalaman bumi.
Kucabut pohon itu dari masa lalu dan bersamanya terenggut pula seribu kenangan,
musim semi, seribu bayangan musim gugur.
Lalu, kutanam pohon jiwaku di tempat lain yang kutahu pasti subur.
Sekarang, dia tegak di atas ladang, jauh dari detak-detak perjalanan waktu.
Siang malam dia kupupuk dan kusirami sambil berkata dalam hati,
‘Kewaspadaan, pemusnahaan ego, kemenangan atas pikiran - semakin lebih mendekatkan kita pada bintang di angkasa.’
Kuperciki dia dengan darah dan air mata, sambil berkata:
“Ada cita rasa sedap wangi pada darah ini,
dan kemanisan dalam air mata dan tulusnya sujud dalam doa.”
Ketika musim gugur tiba, kukumpulkan semua buah ranum
di atas nampan kencana yang kusajikan di jalanan umum.
Namun, mengapakah banyak orang-orang yang melewatinya tanpa ada yang sudi menyentuhnya?
Kupungut sebuah, lalu kucicipi.
Ternyata, amat manis bagai madu sari, dan menggelorakan semangat bagaikan anggur Babilonia, harum wangi laksana bunga mawar merah dan bunga mawar putih.
Aku pun berseru:
“Orang-orang tak menghendaki rahmat menyentuh bibirnya atau kebenaran menyinggahi hati, sebab rahmat itu puteri air mata dan kebenaran adalah putera darah.”
Kutinggalkan kebisingan langitku yang sekarang dan mencari tempat teduh
di bawah pohon tunggal jiwaku,
dalam sebuah padang yang jauh dari jalan kehidupan.
Diamlah, diamlah di dasar batinmu sampai fajar tiba.
Tetap diamlah dan dengarkan ceritaku ini.
Kemarin, pikiranku seperti kapal yang berlayar, mengarungi ombak samudera, melaju bersama angin dari negara yang satu ke negara yang lain.
Kapalku hampa, kecuali tujuh buah piala berisi warna-warni pelangi,
dan saat pun tiba ketika aku jemu melayari wajah samudera.
Lalu, kukatakan pada diriku sendiri,
‘Aku akan kembali dengan kapal pikiran ke pelabuhan pulau kelahiran.’
Kulakukan persiapan dengan mengecat perahuku berwarna kuning seperti matahari tenggelam,
dan hijau menyerupai jantung musim semi, biru laksana langit, dan merah bagaikan bunga mawar kita.
Lalu, tiang dan buritan kapal kugambari bentuk-bentuk ganjil yang menarik perhatian dan menyilaukan pemandangan.
Setelah kuakhiri tugasku, kapal pikiranku tampak bagaikan bayangan nujum yang berlayar antara kedua unsur keabadian, yaitu langit dan lautan.
Kumasuki pelabuhan pulau kelahiranku,
penduduknya berdesak-desakan menyambutku sambil bernyanyi dan bersuka ria,
dan kerumunan itu mengajakku memasuki kota.
Mereka pun memetik dawai-dawai alat musiknya dan menabuh gendangnya.
Bunyi sangkakala.
Lonceng didentangkan.
Demikian sambutan yang diterima, sebab kapalku terhias indah.
Namun, tetap tak seorang pun masuk hendak melihat bagian dalam kapal pikiranku.
Tiada pula menanyakan apakah buah tangan yang kubawa dari seberang lautan.
Tiada pula mereka dapat mengamati bahwa kapalku telah kubawa dalam keadaan hampa,
sebab kegemilangan telah membuat mereka alpa.
Kemudian, kukatakan kepada diri:
‘Telah kubawa sesatkah orang-orang ini dan dengan tujuh piala zat pewarna telah ku-kelabui pandangan mereka?’
Sesudah itu, kunaiki kapal layar pikiranku,
untuk pergi berlayar lagi, dan kusinggahi Kepulauan Timur.
Kukumpulkan di sana, setanggi, dupa dan cendana.
Lalu, kumasukkan dalam perahuku.
Kujelajahi Kepulauan Barat, serta membawa serta gading dan batu mirah, zambrud dan intan, permata langka, dan semua mutu manikam.
Aku kunjungi Kepulauan Selatan, dan mengangkat barang,
busana perang serba gemilang, tombak pedang gemerlapan, serta senjata ampuh aneka ragam.
Kapal pikiran pun kupenuhi dengan benda-benda paling berharga serba pilihan.
Kembali aku ke pelabuhan tempat kelahiran sambil bergumam:
“Orang-orang akan menyanjungku lagi. Namun, kini, dengan tulus hati, dan kembali mereka akan mengundangku memasuki kotanya, tetapi kini, dengan maksud mulia.”
Ketika aku sampai di pelabuhan, tiada seorang yang datang menyongsongku.
Aku menapaki jalan-jalan masa laluku yang megah, tapi tak seorang pun sudi menengok kepadaku.
Kuberdiri di tengah pasar dan mereka mengolok-olok daku, bersikap tak acuh pada diriku.
Aku kembali ke pelabuhan berhati kosong, patah semangat penuh kekecewaan dan kebingungan.
Ketika kupandang perahuku, terlihat olehku sesuatu yang belum pernah kulihat selama perjalanan.
Aku pun berteriak:
“Ombak lautan telah menghancurkan segala warna perahu dan gambar-gambarnya! Membuatnya kini kelihatan bagai kerangka mengerikan.”
Angin dan semburan bersama terik sinar surya telah memudarkan cemerlang warna,
dan kapalku kini hanya tinggal laksana seonggok jubah usang kelabu
dari tengah timbunan harta-bendaku.
Perubahan ini luput dari pengamatan, sebab mataku telah dibutakan.
Telah kukumpulkan harta kekayaan paling mahal di dunia dan menyimpannya
dalam wadah kapal samudera,
dibawa mengambang di atas airnya.
Aku kembali kepada orang-orangku, tetapi mereka mengusirku.
Tak dapat melihatku lagi?
Penglihatan mereka telah tergoda oleh pikiran gemerlapnya harpa hampa yang kosong kerontang.
Pada saat itu, kutinggalkan kapal gagasanku untuk menuju kota kematian dan aku duduk termangu di tengah tanah pekuburan bisu,
merenungkan rahasia yang di kandungnya.
Kini, diamlah, hatiku, sabar, sampai fajar mekar.
Diam, sebab badai yang mengamuk menenggelamkan bisikan hati,
dan gua-gua di lembah ngarai tak kuasa memantulkan getaran tali kecapi
yang kau bunyikan dari bumi.
Diamlah, hatiku, tunggu sampai pagi baru,
sebab mereka yang sabar bisa menunggu hingga terbit fajar,
yang bakal disambut ombak pagi dengan rindu.
Berjalanlah bersama fajar pagi, sebab malam telah lewat dan ketakutan akan kelam telah hilang bersama mimpi-mimpi buruk yang hitam,
pikiran-pikiran yang mengerikan dan perjalanan tanpa tujuan.
Bangkitlah, hatiku, dan lantangkan suaramu dengan lagu, sebab manusia yang tiada menyertakan fajar dalam nyanyiannya adalah seorang putera kegelapan selamanya.