Cinde:
Di tengah-tengah lembah antara bentangan padang dan hutan belantara
yang sudah mulai berselimut di kegelapan malam,
ketika aku menangis - bukit lembah, gunung-gemunung tersenyum,
dan sang bumi pun ikut tertawa terbahak-bahak,
ketika kurendahkan hatiku, serendah-rendahnya!
O, bunga-bunga bergembira, ketika aku membungkuk dengan segala ketulusannya.
Semua benda berbesar hati, dan bunga-bunga menjaga ketinggian kuncupnya agar ia menjadi indah.
Malam ini merupakan malam transisi, yang kusadari
bahwa Tuhan sedang menyatukan rohku di dalam-Nya,
untuk kemudian menciptakannya menjadi satu leburan dalam pesona keindahan yang diberkatinya sebagai suatu rahmat bagiku!
Rahmat kemuliaan, kebaikan, dan kebenaran – Tuhan melengkapinya
dengan kebahagiaan bersamaNya.
Kami menjadi satu.
Dalam Dia aku tiada, dalam tiada aku ada!
Tuhan berbisik kepadaku:
“Minumlah darah dari piala ini dan kau harus kuat menghadapi segala duka cita dan duka derita!”
Kuteguk sekaligus dan aku terhenyak berubah menjadi rendah hati,
dan aku kehilangan egoku, bahkan emosiku pun lenyap tanpa sisa.”
Ketika piala darah itu kuletakkan, aku melihat cahaya cinta kasih yang gilang gemilang
menabrak diriku dan menyelubungiku.
Aku hanya bisa tengadah untuk mencari cahaya dan tak pernah melihat kepada bayangan di bawah.
Inilah hikmat yang harus dipelajari manusia.
Aku bersujud ke HadiratNya, lalu Dia menaungiku dibawah bimbinganNya.
Terima kasih – puji dan syukur bagi-Mu!
Kahlil Gibran:
Aku tak akan menukar derai tawa hatiku dengan keberuntungan banyak orang.
Tak pula aku akan puas dengan mengubah air mataku, yang muncul karena duka jiwa.
Dengan diam, hasratku yang tertinggi adalah kehidupanku di dunia ini akan menjadi air mata dan gelak tawa.
Air mata menyucikan hatiku dan mengungkapkan kedukaanku, rahasia dan misteri kehidupan.
Derai tawa mendekatkanku dengan sesamaku!
Dengan air mata, aku akrab dengan mereka yang berhati duka - gelak tawa menimbulkan kesenangan di atas kehidupanku.
Aku memilih kematian dalam kebahagiaan seribu kali lebih banyak daripada hidup dalam kesengsaraan dan penderitaan.
Rasa lapar yang abadi akan cinta dan keindahan adalah hasratku.
Sekarang, aku tahu bahwa mereka yang memiliki hanya ketabahan tidak lebih hanyalah penderitaan,
tapi bagi jiwaku, desah nafas para pencinta lebih merdu dari alunan musik orkestra.
Ketika malam tiba, bunga-bunga mengatupkan kelopaknya dan terlelap dalam cinta.
Kala fajar, ia merekahkan bibir untuk menerima kecupan matahari,
terliput di balik awan yang datang, tapi kemudian pergi.
Kehidupan bunga adalah harapan, pemenuhan dan kedamaian, serta tawa dan air mata.
Air menghilang dan naik hingga ia menjadi awan yang berkumpul dari gunung dan lembah- lembah.
Ketika ia berjumpa dengan angin,
ia berubah menjadi rintik hujan dan menyatu berlarian bersama anak-anak sungai,
menyanyikan lagu menuju lautan.
Kehidupan mendung adalah kehidupan perpisahan dan pertemuan, air mata dan derai tawa,
sehingga roh memisahkan diri dari badan dan berjalan di dunia substansi,
melintas bagaikan mendung yang mengangkasa
di atas lembah-lembah derita dan gunung-gunung kebahagiaan,
hingga ia berjumpa dengan angin kematian dan kembali ke tempat semula.
Lautan cinta dan keindahan tanpa tepi, yakni Tuhan.
Cinde:
Dengan rohku, kumasuki pori sendi-sendi hingga ke dasar batinku.
Jiwaku adalah sahabatku yang selalu menasihatkanku dalam segala kesengsaraan dan derita hidup,
di dalam tiga kemeranaan, air mata-air mata kepedihan - ayahku, ibuku, Edmundku.
Aku yakini bahwa siapapun yang tidak bersahabat dengan jiwanya sendiri
adalah musuh bagi kemanusiaan.
Kehidupan tumbuh dari dalam, dari sarang cinta kasih, dan tak mengambil apa pun dari sekitarnya.
Jikalau kematian itu menghalangi pengucapannya, maka ia akan terucapkan esok hari,
karena esok tak meninggalkan rahasia apa pun juga di lembar buku putih keabadian.
Meski hari ini aku hidup dalam kehidupan nyata,
tapi sekarang aku harus hidup buat semua isi bumi ini.
Tak seorang pun akan mampu mengusirku dari tempat tinggalku ini,
karena mereka pun tahu bahwa aku akan hidup di dalam kematian.
Yang hidup adalah jiwa dan cinta kasihku buat sesama dan isi bumi ini.
Setelah ini, aku harus hidup dalam keagungan terluhur dari cinta kasihku bersama sinar keindahan.
Kucintai rumah batinku, juga kucintai negeriku – juga untuk bumi, tanah, langit, matahari, rembulan, planet-planet, di mana rohku sesekali pernah singgah disana.
Jika malam-malam di ujung pagi, aku masih menutup mataku, maka akan kuserukan dan kubisikkan kidung cinta kasih dari batinku terdalam untuk dendang keindahan ketenteraman,
dan kebahagiaan semua makhluk.
Aku menghimpun dan mengikatnya, semua kemurahan hati yang telah bersemai di relung-relung hatiku untuk kubagikan pada mereka yang membutuhkannya.
Surga menghidupkan mutu manikam cahayaku yang tanpa minyak,
dan aku menaruhnya di jendela rumah batinku agar menjadi suluh mereka yang melintasi kegelapan malam, perkara profan sebeku salju, dan badai prahara.
Dalam syair senandungku, kusampaikan tentang Sabda, Firman, dan Suara Sunyi dari Kebenaran Sang Maha Terluhur bagi bangsa-bangsa di bumi - bahkan kelestarian isi bumi ini.
Dan, jikalau aku tidak adil dalam cinta kasihku kepadamu di semua negeri-negeri,
maka aku bukanlah apa-apa.
Kecuali seorang penipu besar yang menyembunyikan kejahatan dibalik pendar pesona cinta kasih.
Biarlah cinta kasihku menghidupkan hati nurani manusia
dari luka-lara, kesengsaraan, kesusahan dan airmata-airmata,
dan kedunguan mengajarinya mencari jalan kearifan dan kebenaran yang sejati,
sebab itu menciptakan sesuatu yang tidak sia-sia di bawah asuhan ciptaan-Nya.
Biarlah benang perak yang dijatuhkan dari langit akan mengikat isi alam ini menjadi kebijaksanaan, keadilan, ketenteraman, cinta kasih, kasih sayang, dan damai sejahtera di seluruh muka bumi ini.
Apa yang kukatakan hari ini dengan satu hatiku akan juga diucapkan orang banyak
pada esok - dan esok hari kelak.
Kahlil Gibran:
Di keheningan malam, Sang Maut turun dari Hadirat Tuhan menuju bumi.
Ia terbang melayang-layang di atas kota dan menembus tempat-tempat tinggal dengan matanya.
Dia melihat jiwa-jiwa mengapung dengan sayap-sayap impian,
dan orang-orang yang menyerah pada kelelahan tidurnya.
Ketika rembulan jatuh di cakrawala dan kota itu berubah menjadi hitam,
Sang Maut berjalan dengan langkah tenang di tengah pemukiman,
berhati-hati tidak menyentuh apa pun sampai tiba di sebuah istana.
Dia masuk dan tak seorang pun yang kuasa menghalangi.
Dia tegak di sisi ranjang dan menyentuh pelupuk matanya,
dan orang yang tidur itu bangun dengan ketakutan.
Melihat bayangan Sang Maut di hadapannya, dia menjerit dengan suara ketakutan:
“Menyingkirlah dariku, mimpi yang mengerikan! Pergilah, makhluk jahat! Siapakah engkau ini? Dan bagaimana mungkin engkau masuk istana ini? Apa yang kau inginkan? Minggatlah, karena akulah empunya rumah ini. Enyahlah kamu! Kalau tidak, kupanggil budak dan para pengawal untuk mencincangmu dengan kepingan!”
Kemudian, Maut berkata dengan pelan, tapi menggemuruh:
“Akulah kematian, berdiri dan membungkuklah.”
Orang kaya berkuasa itu bertanya:
“Apa yang kau inginkan dariku? Kenapa kau datang ketika pekerjaanku belum selesai? Apa yang kau inginkan dari orang kuat seperti aku? Pergilah sana! Cari orang-orang yang lemah dan ambil dia!”
“Aku ngeri oleh taring-taringmu yang berdarah dan wajahmu yang bengis, dan mataku bergetar menatap sayap-sayapnya yang menjijikkan dan tubuhmu yang memuakkan.”
Setelah diam beberapa saat dan tersadar dari ketakutannya, ia menambahkan:
“Tidak, tidak. Maut yang pengampun, jangan pedulikan apa yang telah kukatakan, karena rasa takut membuat diriku mengucapkan kata-kata yang sesungguhnya terlarang. Ambillah emasku seperlunya atau nyawa salah seorang budak, tapi tinggalkan diriku. Aku masih memperhitungkan kehidupan yang masih belum terpenuhi. Aku punya hak pada orang-orang kebanyakan emas, namun kapalku belum mencapai Pelabuhan, dan pada hasil bumi yang belum tersimpan. Ambillah apapun yang kau inginkan, tapi kecuali hidupku. Karena aku punya selir, cantik bagai pagi hari untuk kau pilih. Kematian? Aku juga punya seorang putera tunggal yang kusayangi, dialah biji mataku. Ambillah dia juga, tapi tinggalkan diriku sendirian.”
Sang Maut menggeram:
“Engkau tidak kaya, tapi orang miskin yang memuaskan.”
Kemudian, maut mengambil tangan orang itu, memindahkan realisasinya,
dan memberikan kepada para malaikat di langit untuk memeriksanya.
Dan Maut berjalan perlahan di antara orang-orang miskin
hingga ia mencapai rumah paling kumuh yang dapat ia temukan.
Ia masuk dan mendekati ranjang, di mana di situ tidur seorang pemuda
dengan kelelapan yang damai.
Maut menyentuh matanya, anak muda itu terjaga,
ia berkata dengan suara penuh cinta dan harapan:
“Aku di sini, wahai Sang Maut yang cantik. Sambutlah rohku, impianku yang mengejawantah dan hakikat harapanku. Peluklah diriku, kekasih jiwaku, karena kau sangat penyayang dan tak akan meninggalkan diriku di sini. Kaulah utusan Ilahi, kaulah tangan kanan kebenaran.
Jangan tinggalkan daku.”
“Aku telah memanggilmu berulang kali, tapi tak mendengarkan! Namun, kini, kau telah mendengarku. Karena itu, jangan kecewakan cintaku dengan pengelakan diri.
Peluklah rohku, Sang Maut terkasih.”
Sang Maut meletakkan jari-jari lembutnya ke atas bibir yang gemetar itu, mencabut nyawanya dan menaruhnya di bawah sayap-sayapnya. Ketika naik ke langit, Maut menoleh ke belakang ke dunia dan dalam bisikan ia berkata:
“Hanya mereka yang sampai ke keabadian yang di dunia mencari keabadian.”
Cinde:
Orang yang terbatas oleh ruang lingkup hati pikirannya, cenderung mengintai apa yang terbatas pula dalam kehidupan, dan yang lemah dalam wawasan.
Tidak semua di antara kita mampu melihat dengan mata batin akan makna kehidupan,
dan sungguh kejam menuntut orang yang lemah wawasan agar melihat yang buram dan jauh.
Kita hanya perlu tegak dengan penuh kesungguhan hati di depan pintu dunia impiannya.
Jika pintu itu terbuka, kita akan mencapai tujuan, kota tiang agung dalam kota emas, memahami lebih banyak peri-keadaan manusia, ketimbang apa yang kita ketahui tentang diri kita sendiri.
Kemudian,
mengerti, menangkap, dan menghayati segala sesuatu yang tersembunyi dalam kalbu kita.
Ia akan membimbing, membawa kita ke jalan yang benar,
menuju cahaya pencerahan, cinta kasih dan kasih sayang.
Dan apabila tidak terbuka, maka kesalahan terletak pada diri kita sendiri.
Ia akan berpaling dari kita – seolah-olah bukan apa-apa.