Seorang pemuda manis tampak fokus menebali sketsa yang beberapa jam yang lalu ia gambar. Menebalinya menggunakan pensil mekanik yang dipeganginya. Sesekali kepalanya bergoyang mengikuti irama musik metal yang di dengarnya melalui headseat. Dengan pelan masih fokus, terdengar suara lantang bagaikan Mandrake berteriak menangis layaknya seorang bayi, yang tumbuhan itu baru saja dicabutnya oleh Harry Potter pada pelajaran Herbalogi di siang yang panas.
"Mus!" teriak seseorang dari luar rumah.
"Mus! MUSYAFFA!" teriaknya lagi, bahkan lebih lantang.
Musyaffa masih fokus. Tidak mendengarkan teriakan dari seseorang tersebut.
"Ana apa sih, Bun?" tanya seseorang anak gadis dari luar kamar."Isuk-isuk kok uwis mbengok ora jelas ngono? Ora isin dikrungu karo tangga teparo!"
Ternyata yang berteriak lantang layaknya Mandrake yang sehabis dicabut akarnya dari potnya itu adalah sang ibu mereka.
"Iya, iki, Bun. Ora usah mbengok-mbengok ta. Sawangen, si Franky kaget tangi kuwi lho. Bocahe nangis..." sahut gadis paling sulung dari luar kamar Musyaffa.
"Celuken bocahe kene!" kata Bunda dengan logat bahasa Jawa nan kental.Akhirnya, wanita berjilbab segi empat cokelat muda dan mengenakan daster panjang bermotif kotak-kotak hitam dan putih itu tampak kesulitan membawa galon berukuran besar. Bukan membawa sih, lebih tepatnya, kesulitan menyeret galon besar masuk ke dalam rumah.
"Rewangana tah! Apa celuken abangmu mrene!" suruh Bunda kepada anak gadisnya yang paling bungsu.
"Iya, taktimbali dhisik, Bun. Paling Bang Musyaffa ora krungu nak Bunda mbengok-mbengok. Kayake dheweke isih turu." Gadis itu berbalik, melangkah menuju salah satu kamar. Mengetuknya keras hingga berulang kali sembari memanggil sang empu kamar. Sang empu sendiri tidak tidur, melainkan sedang sibuk menggambar sketsa.
"Bang Mus, Bang Mus!" panggilnya.
Pintu masih diketuk-ketuknya keras. Musyaffa yang menggambar sketsa, isian dari pensil mekaniknya langsung patah.
"Huh?"
Suara memanggil kencang masih terdengar dari luar kamar. Suara dari headseat—di kedua telinga saling beradu. Ia mematikan handpone, melepas headseat-nya.
"Bang Mus! BANG MUSYAFFA!!" pekik sang adik dari luar kamar. Tetap gigih mengetuk-ngetukkan pintu.
"Aduh, apa seh mbengok-mbengok kenceng ora jelas kayak ngono?!" Musyaffa berdiri dari kursi dorongnya, menghampiri pintu. Membukanya lebar.
"Bang Mus, BANG MUSYAFFA!!"
"Iya, iya, apa seh?!"
Adik perempuannya itu tampak sebal."Ditimbali karo Bunda kuwi lho! Abang dikongkon ngangkat galon!" katanya.
"Nanging ya ora usah gendor-gendor lawang kali, Ta."
"Abang seh nak diceluk ora krungu!" Prita menatap headseat yang tersampir di leher pemuda tinggi itu."Oh, pantes wae ora krungu. Lha wong kupinge disempilin karo headseat."
"Geneya?"
"Berarti Abang ora bubuk?"
"Aku bubuk kok. Kan, jam 05.00 aku uwis tangi ket mau. Terus salat Subuh sisan. Sampeyan wae sing ora weruh," Musyaffa melewatinya melangkah keluar menuju teras. Di teras sendiri sudah ada galon yang masih kokoh berdiri. Mengangkatnya, dengan ringan, membawanya masuk ke dalam rumah. Kakinya melangkah menuju dapur. Sang ibu yang bergantian memasak untuk menu hari ini. Mengaduk masakan yang dimasaknya. Menoleh melihat anak keduanya, masuk seraya mengangkat galon dan diletakkan di bawah dekat dispenser.
"Dengaren sampeyan ora ngebo, Le?" tanya Bunda yang melanjutkan Mengaduk-aduk masakan.
"Aku wis tangi ket subuh mau, Bun."
"Ya, wis. Iki masakane Bunda wis arep mateng. Wadulana Mbak karo adikmu kuwi. Mengko jam 0.700, budhal kerja ta?"
Musyaffa mengangguk sebagai jawaban.
"Ndang, adus kana. Mengko bosmu muring-muring nak sampeyan telat."
Ia menurut. Sebelum beranjak untuk membersihkan badan, keluar dan menaiki balkon. Meraih beberapa handuk yang dijemur. Meraih handuk miliknya yang bergambar karakter bocah laki-laki—Shinchan. Turun ke bawah dan masuk ke kamar mandi. Namun kakak perempuan yang buru-buru menggendong sepupu kecilnya yang sesenggukkan menangis.
"Eh, eh, sampeyan arep lapo?" tanya Tari, mencegah Musyaffa untuk masuk.
"Arep adus, Mbak."
"Sik, iki tulungana cawikna Franky. Mbak nggenthi klambi dhisik."
Musyaffa menurut saja, meraih sepupu kecilnya yang masih sesenggukan akibat menangis. Menggendong Franky masuk ke dalam kamar mandi. Sepertinya, bocah laki-laki ini ngompol di pempers-nya. Terlihat dari pempers yang dikenakannya basah bagian belakangnya karena tembus. Musyaffa menceboki pantatnya dengan air bersih, mengguyurinya hingga ke kaki. Franky memegangi punggungnya erat. Musyaffa membuang bekas pempers-nya ke tempat sampah yang ada dipojok. Selesai membersihkan pantat bocah itu, menggendongnya kembali ke luar hingga ke kamar kakaknya. Pintu kamar kakaknya terbuka sedikit, Tari sudah bergantian pakaian dinasnya.
"Uwis dicawiki si Franky?"
"Uwis, Mbak," ia memberikan Franky kepada ibunya."Aku tak adus dhisik," ujarnya keluar dari kamar.
Beranjak ke arah kamar mandi, bergantian adik perempuannya, yang hendak masuk. Handuk bergambar Hello Kitty tersampir di leher kecilnya.
"Arep lapo sampeyan?"
"Aku arep adus, Bang," Prita menerobos masuk namun dicegah olehnya.
"Aku dhisik! Aku kan uga arep adus!"
"Selak telat mengko aku, Bang," Prita berkilah.
"Aku uga! Aku dhisik pokeke!" Musyaffa ngotot.
Adik-kakak itupun saling adu urat. Tidak ada yang mau mengalah. Bunda yang mendengar dari dapur, keluar dan melihat perkelahian adu mulut kedua anaknya itu. Tangannya memegangi spatula.
"Ana apa iki? Kok malah gelut!" cetus Bunda berdiri di antara mereka.
"Iki, Bang Musyaffa menging
aku adus," adu Prita gantian.
"Ora isa. Aku dhisik sing arep adus!"
Bunda menatap mereka bergantian. Menatap Musyaffa lama. Musyaffa segera mengerti maksud akan tatapan bunda.
"Mus, sampeyan kuwi bocah lanang, sampeyan kuwi uwis dadi abang, ya mbok ngalah karo adike," peringat Bunda.
"Nanging, Bun..."
"Ngalah karo adike. Ora, ora sampeyan telat. Sing telat ya Prita, adikmu kuwi kerja kudu tepat waktu. Ngrewangi dokter karo mriksa pasien," jelas Bunda.
Mulai lagi.
Yah, bisa dibilang, Bunda termasuk membela adiknya. Karena apa? Mau tahu alasannya? Ia dan kedua saudarinya kerap kali dibeda-bedakan. Karena bukan status, melainkan soal pekerjaan. Memang dirinya seorang freelancer yang kadang kala mendapatkan pekerjaan. Kadang kala tidak sama sekali. Bahkan itu pun hanya untuk tabungan yang keadaannya jika dikatakan darurat. Bisa dikatakan, ia seorang buruh waktu. Setiap hari, sering melihat tatapan bundanya seperti itu. Itu sudah menjadi makanan sehari-hari. Bukan bunda saja, melainkan saudara-saudaranya yang lain. Namun, sering dibeda-bedakan oleh bundanya, ia tak patah semangat untuk mengasah kemampuan dalam hal menggambar. Karena ia sudah sangat menyukai dunianya. Dunia seni. Hingga kini. Bahkan puluhan sketsa gambar dan cerita-cerita berupa semacam panel komik, sudah banyak ia buat semenjak dirinya memasuki SMK Multimedia dulu. Masih sekarang cerita-cerita karangan maupun sketsa disimpannya.