Mereka pulang dengan perasaan kecewa. Sinetra membelokkan ke jalan, tampak beberapa sepeda melayang yang dinaiki siswa sekolah menengah atas dengan
ugal-ugalan menyalip mereka bahkan menekan klason kencang. Mereka tak memerdulikannya karena selain perasaan, pikiran mereka melayang ke mana-mana—untung, Sinetra masih bisa mengendalikan laju sekuter melayang-nya dengan kecepatan sedang. Setengah jam, mereka sudah memasuki Kota Pan. Ia melihat sebuah kafe korea tak jauh dari dalam jalan toko roti bernuansa eropa, Europa Beard Shop.
"Mampir enggak?" tanyanya ke Eka di belakangnya.
"Mampir ke mana?"
"Ke restoran korea. Ayo, mampir dulu. Perutku sudah lapar banget."
Eka mengangguk.
Sinetra membelokkan sekuter melayang-nya ke jalan dalam toko roti itu. Jalan dalam itu terdapat toko-toko maupun warnet kecil yang buka dan dipenuhi anak-anak kecil yang berteriak heboh memegang mouse, memainkan game tembak-tembakkan yang sedang booming selain PugG, hingga ada yang menyumpah-nyumpah. Mereka melesat terus ke dalam tepat di sebelah toko menjual air minum. Di depan kafe, ada pagar kayu kecil di sisinya ada tempat parkir. Mereka berhenti di tempat parkir, di samping sekuter melayang berwarna pink. Mereka turun, melepas helm
masing-masing.
Eka meletakkan helm hijau berlambang Slytherin di atas jok sekuter. Mendongak,"Ini tempatnya?"
"Iya," kata Sinetra, menggantung helm di setir sekuter.
Pintu bergeser terbuka. Mereka masuk disambut hawa dingin AC yang terpajang di atas dinding dan alunan salah lagu "Boys Love" yang dinyanyikan oleh BTS. Mereka duduk di salah satu bangku di dekat jendela. Kafe itu dihiasi kumpulan novel yang dipajang di dinding bercatkan pink di samping kiri tak jauh dari meja kasir, ada sebuah lemari kecil berisi kumpulan novel-novel di atasnya ada bunga mekar plastik berbentuk lucu di sampingnya, ada pigura kumpulan foto berbagai macam boyband korea. Eka meraih buku menu di rak buku di meja, membukanya. Ada robot kecil menghampiri mereka.
"Kamu pesan apa, Sine?" matanya menyusuri daftar makanan.
Sinetra ikut melihat. Ia membacanya lalu menunjuk nasi ayam saus sambal extra jumbo. Eka masih menyusuri, memilih kikimbab extra jumbo juga. Robot itu mencatatnya melalui hologram di dadanya.
"Ada lagi Tuan?"
"Minumannya..."
Eka menunjuk daftar minuman. Tangannya menunjuk ke arah gambar Ice Lemon Tea. Robot itu mengerti mencatatnya, melayang menuju dapur.
"Kamu tahu, Ka? Waktu kita di Aliansi tadi?"
"Ketua menyesal, kan? Kelihatan dari mukanya."
"Iya." Sinetra muram."Setelah ini apa yang kita lakukan?"
"Yah, seperti biasa, kembali kehidupan dengan normal sampai seterusnya... Enggak terjadi apa-apa..."
"Kayak begini kita jadi terbebas, ya? Mau gimana lagi? Kalau kita masih ikut di Aliansi Garuda, pasti kita lakukan gagal terus... aku masih mikirin yang kemarin itu saat aku melawan Pahlawan Aruna... Aku enggak kepikiran merebut kartunya..."
"Enggak usah dipikirin," kata Eka, meraih sendok dan garpu di rak kecil yang tersedia.
"Bagaimana sama Yudha dan Aksa? Mereka bekerja sendiri dong?"
"Biarin. Asal kamu tahu ya, Sine, dari awal kita bergabung, merekalah yang bisa mendapatkan kartu-kartu itu. Aku akui sih mereka hebat... Karena mereka di Aliansi Garuda sudah lama."
"Kamu kok tahu?"
"Aku cuma menebak saja."
"Tapi kalau dilihat selama kita bergabung, aku melihat mereka memiliki sihir hebat. Aku kadang iri, enggak punya sihir seperti mereka. Aku enggak mungkin seperti mereka..."
"Aku sekarang ini enggak memikirkan itu lagi. Yang aku pikirkan sekarang, aku bisa hidup normal. Salah-salah aku pikirin, bikin pusing kepala atau terbebani." Eka menatap ke arah jendela.
"Aku juga begitu."
Eka mengalihkan pandangan, teringat sesuatu. Ia merogoh saku di celana jeans-nya, memperlihatkan gantungan kunci sapu Nimbus 2000 yang pernah dibelinya waktu di Asia Festival Cosplay.
"Nih, sesuai janjiku." memberikannya kepada Sinetra.
Sinetra menerimanya.
"Terima kasih," ucapnya, melihat gantungan sapu di ujungnya ada tulisan berwarna emas, Nimbus 2000.
"Oh, namanya Nimbus Dua Ribu?"
"Iya. Itu sapu pertama Harry," kata Eka.
"Sihir itu menganggumkan, ya?"
Beberapa menit kemudian, robot pelayan tadi melayang menghampiri meja mereka membawa pesanan. Dia meletakkan pesanannya di meja. Eka mengucapkan terima kasih, robot itu melayang pergi kembali ke dapur. Pelanggan di seberang mereka selesai makan, membayar pesanan mereka, beranjak meninggalkan kafe dengan terkikik saat di antara mereka menceritakan temannya yang lucu waktu kuliah dulu.
"Enggak ada yang lucu waktu sekolah dulu buatku," kata Sinetra tak suka.
"Seperti ceritamu waktu itu kan?"
Sinetra mengangguk seraya mengaduk nasi ayamnya dengan saus tomat.
Eka menatapnya sebentar.
"Aku mengerti perasaanmu."
"Aku pikir, kalau aku bergabung di Aliansi Garuda, hidupku bisa berubah total. Tapi kayaknya sama saja." Sinetra melahap makanannya dengan perasaan sedih.
"Kamu menyesal, ya?"
"Bukan cuma menyesal, aku menyerah."
Eka akan melahap Kikimbab tak jadi. Ia menatap pemuda di depannya ini iba sekaligus ikut merasakan apa yang dirasakannya.
Sinetra mengunyah pelan makanannya.
"Aku bodoh ya, Ka?"
"Kamu enggak bodoh. Kata siapa kamu bodoh? Mama, Ayah, Kakak atau orang lain? Jangan ngomong gitu! Kamu tuh enggak bodoh. Aku juga berpikir, sama kayak kamu, apakah aku hidup bisa berubah total? Malah ini sebaliknya."
Sinetra tak menjawab, menyantap makanannya.
"Kayak beban saja."
Eka menyantap Kikimbab-nya.
"Makanya aku ada sekarang," kata Eka.
Sinetra menatapnya.
"Jika kamu merasakan hal itu berat, atau pun hal lainnya, maka aku juga ikut merasakannya. Ibarat baju dan kancing," jelasnya,"bagaimana sama cewek itu?" Eka mengganti topik pembicaraan.
"Siapa?"
"Cewek itu lho, dokter."
"Linea?"
"Nama cewek itu Linea? Gimana? Ada pesan dari dia?"
"Enggak ada. Aku enggak mengirimkan pesan kepadanya. Aku tahu, kita baik-baik saja."
Mereka melanjutkan makan sampai habis lalu membayar sejam kemudian mereka melesat meninggalkan kafe itu keluar menuju jalan raya dengan perut kenyang.
Berpindah di rumah bercatkan pink, berlantai keramik cokelat. Di kamar, Mirna berbaring memeluk guling. Sepulang dari Aliansi Garuda, dengan perasaan sedih hingga sekarang dia memikirkan Sinetra dan Eka yang memutuskan untuk berhenti dari Aliansi Garuda. Dia menyingkirkan gulingnya bangun, beranjak turun dari ranjang keluar kamar menuju pintu lalu mengunci pintu. Dia berjalan ke arah rumah di jalan menuju kost putra. Di samping rumah Margana, dia masuk ke teras yang pagarnya terbuka sedikit, bejalan masuk ke rumah itu. Dia membuka pintu, ternyata tak terkunci. Mengendap-endap pelan mengawasi sekeliling ruang tamu dan ruang tengah yang kosong. Televisi layar lebar tampak menyala menampilkan berita. Di karpet bermotik kotak-kotak cokelat, bantal berbentuk beruang Grizzly dan beberapa camilan di toples kaca.
Ke mana dia? Batinnya.
Dia duduk, mengambil salah satu camilan di toples, membuka dan memakannya.
"Enak," gumamnya.
"Ngapain kamu?" sahut suara di belakangnya, diiringi pintu terbuka.
Dia berhenti mengunyah, menoleh.Maya berdiri di ambang pintu kamar. Dia mengunyah lagi, menoleh kembali ke arah televisi.
"Aku cuma main," katanya.
"Main atau ada sesuatu?" tanya Maya.
"Dibilangin aku cuma main."
Maya mencibir,"Bohong, Na."
Mirna tak menjawab. Pandangannya fokus ke arah televisi namun pikirannya sama sekali tidak.
"Jangan bohong kamu," kata
Maya,"apa masalahmu?"
Mirna menelan makanannya.
"Ya, masalah ini besar... Aku enggak tahu apa yang harus aku lakukan... Menyakinkan mereka berdua kembali..."
"Apa maksudmu?"
"Mereka enggak akan kembali lagi... Sinetra dan Eka... "
"Sinetra dan Eka? Siapa mereka?"
"Anggota di Aliansi Garuda..."
"Keluar kenapa?"
"Aku enggak tahu. Kenapa mereka keluar..."
"Kapan mereka keluar?"
"Sekarang."
"Terus, kalau mereka keluar, kamu sudah kepikiran mencari pengganti mereka?"
"Belum sama sekali. Hatiku sudah cocok sama mereka. Awal bertemu mereka, aku melihat mereka, mereka mempunyai perasaan yang tulus ingin bergabung, mereka berbeda dengan Aksa dan Yudha, memang mereka hebat... tapi sejak melihat mereka, aku tahu bahwa mereka juga punya potensi yang enggak kalah dari Aksa dan Yudha... "
Maya menutup pintu, menghampirinya duduk di sampingnya.
"Kenapa kamu enggak mencegah mereka?"
"Aku enggak kepikiran. Kalau Kakak enggak percaya, dua Evolution Entity dan dua kartu Gapuran mereka ada di rumah." dia menoleh lagi. "Kenapa kalau aku bicara, kamu seperti enggak percaya! Aku tahu kamu masih dendam gara-gara kamu enggak bisa membuktikan dirimu ke almarhum mama dan papa! Aku tahu kamu juga tersiksa dibeda-bedain sama keluarga sendiri... Aku yang sebenarnya yang salah, gara-gara aku Kakak enggak pernah bisa menunjukkan kemampuan dirimu... Seharusnya kemampuan bermain drum yang Kakak dulu sukai menjadi menghilang!"
Maya terdiam, terbelalak mendengar perkataan adiknya sendiri. Dia tertawa.
"Hahaha!"
"Kenapa tertawa?"
"Hahaha! Na, Na... Bisa-bisanya kamu ngomong gitu... Kamu kan juga bisa bermain musik yang lebih hebat daripada aku."
"A-aku..."
"Na, aku itu aslinya enggak marah sama kamu."
"Ha?"
"Aku marah karena masih sebal, dulu waktu mama dan papa sudah enggak ada, rumah yah bukan rumah ini
sih... Rumah milik papa dan juga bisnisnya direbut dari tangan yang seharusnya menjadi milik kita. Dan direbut oleh salah satu keluarga papa."
Dulu sewaktu almarhum keluarga mereka-papa mereka, mempunyai bisnis dan rumah tapi sejak ada perebutan hak waris yang sebenarnya milik mereka direnggut paksa oleh salah satu pihak keluarga mereka. Akhirnya, mereka kalah, dan Maya memutuskan untuk berpisah dan mencari pelampiasan. Kurun dua tahun lamanya, tiba-tiba di antara mereka bertemu dengan seseorang yang mengaku dari pihak Pemerintah Cyborc dengan alasan sedang mencari anggota baru di tempat kerja mereka. Waktu itu, mereka bekerja sebagai pegawai kantor hingga sekarang dan mencari kost
kecil-kecilan untuk tinggal. Hingga akhirnya, bisa memiliki rumah dan membangun tempat kost untuk pekerjaan tambahan. Mereka pun sudah tak berhubungan lagi dengan keluarga mereka.
"Jadi itu masalahnya?"
"Iya."
"Kakak enggak marah sama aku?"
"Siapa yang marah?"
"Awal kita bertemu di taman itu?"
"Itu cuma bohongan."
"Apa?"
"Aku enggak mau ingat itu lagi. Sebagai pelampiasan, aku ikut menjadi Pahlawan Aruna sejak itu," kata Maya."Nah, gimana soal mereka?" Maya kembali ke topik semula.
"Oh, mereka. Aku menyerah saja."
"Kamu bilang, Evolution Entity sama kartu Gapuran mereka ada di rumah?" Maya merogoh saku bajunya."Bisa memanggil mereka dengan ini." memperlihatkan kartu Blumbangan.
"Memangnya bisa?"
Maya tertawa.
"Kamu masa lupa? Kartu Gapuran maupun kartu ini bukan cuma bisa memindahkan orang saja, melainkan barang pun bisa ke tempat yang dituju," jelasnya.
"Ah, benar juga!" seru Mirna teringat. "Kakak bermaksud menggunakan kartu itu untuk memanggil mereka?" seakan mengerti maksud Maya.
"Tepat sekali!"
"Enggak apa-apa nih pakai kartu itu?"
"Enggak."
"Tapi, Kak, mereka sudah keluar dari Ali—"
Di meja dekat televisi, Evolution Entity milik Maya menyala terang.
"Sudah waktunya," katanya.
"Sudah waktunya?" Mirna menoleh ke arah meja.
"Dipanggil atau enggak?"
"Eh?"
"Putuskan."
"Tapi—"
Tanpa menunggu ucapan adiknya, Maya mengaktifkan kartu di tangannya dan langsung menyala memanggil mereka.
"Kak!"
Bukan Evolution Entity milik Maya, tetapi milik semua Pahlawan menyala. Di studio Alzaki, seperti biasa di dapur, mereka semua makan siang sehabis menyelesaikan pekerjaan. Sena menyantap bekalnya memandang mereka. Hari ini mereka tampak penuh emosi karena saat melayani pelanggan yang super cerewet melebihi mama mereka karena pelanggan cerewet itu menjelek-jelekkan pelayanan studio bahkan menjelekkan sang
pemilik—Erza sendiri. Erza, tak mengambil pusing. Sekarang pria itu mendekam di Ruang Foto, memperbaiki kamera yang dibanting pelanggan tadi.
"Sudah, Bang, buat pelajaran kita besok-besok," kata Sena.
"Tahu! Tapi lihat dong, Sen! Kamera studio ini dibanting sama pelanggan tadi!"
"Mana cerewetnya enggak ketulungan!"
"Lain kali kalau ada pelanggan kayak gitu lagi, aku enggak mau melayaninya," ujar Samudra menyantap cepat bekalnya diiringi anggukan Angkasa.
"Cuma gara-gara fotoin dia doang, alasannya enggak cocoklah ini-itu." Aji menirukan gaya pelanggan tadi dengan mulut maju.
"Tapi kasihan Oom Erza. Dia sampai kena semprot tadi."
"Dia enggak apa-apa kan?" kata Margana khawatir.
Sena berdiri.
"Coba aku lihat orangnya," katanya, menutup bekal, sudah menghabiskan bekalnya beranjak dari ruang makan menuju Ruang Foto.
Dia berjalan pelan di depan ruangan itu. Pintu terbuka sedikit. Angkasa menyusul di belakangnya. Menempel di pundaknya. Mereka mengintip di balik pintu yang di atasnya terpasang kaca. Di balik pintu, pria itu masih berkutat memperbaiki kameranya. Wajah datarnya berubah sedih setelah melihat sendiri benda pertama dibelinya waktu kuliah dulu dengan bekerja sambilan sekaligus membiayai kuliahnya. Saking cintanya dengan dunia fotografi, dia bertekad ingin memiliki studio sendiri hingga tekadnya itu membuahkan hasil. Tak cuma itu, dia bahkan berkenalan dan sekarang memiliki teman make up artis dan fotografer. Sayang, tekadnya itu tak sampai diperlihatkan oleh keluarganya. Karena dia sudah lama ditinggal keluarganya akibat kecelakaan menewaskan mama, papa dan adik laki-lakinya. Dia juga dimusuhi oleh keluarganya yang lain dan tak menganggapnya sebagai keluarga. Dia pun memutuskan hubungan dan hidup sendirian sekarang.
Angkasa melayang terbang masuk namun dicegah Sena dengan kedua tangannya.
"Tunggu, Ang! Kamu mau ngapain?" bisiknya.
Angkasa meronta. Berhasil melepaskan diri melesat terbang masuk tanpa memperdulikan Sena. Dia melayang turun di meja. Melihat Erza memperbaiki kameranya.
"Apa?" dia melirik, mengetahui robot itu ada di situ.
Angkasa menatapnya. Wajahnya ikut sedih.
"Aku enggak apa-apa." dia melanjutkan memperbaiki kamera lagi."Nah, beres."
Dia menatap Angkasa.
"Kameranya sudah enggak apa-apa." mencoba menyetelnya mengarahkannya ke Angkasa mencoba memotretnya."Ang, jangan pasang wajah seperti itu! Ayo, senyum!"
Angksa menoleh.
Dia memotretnya.
Jepret!
Erza akan memotretnya lagi, Angkasa terbang ke arahnya, menubruk pipinya.
Bruuk!
"Eh, eh, kamu kenapa?"
Angkasa bergelanyut mengelus pipinya sayang, bermaksud menghiburnya.
Erza berhenti memotret, mematikan kamera, meletakkannya di meja. Dia tahu, robot mungil itu mencoba menghiburnya. Mengelus kepalanya pelan.
Sena di balik pintu ikut merasa lega. Margana, Aji dan Samudra selesai makan beranjak mengecek keadaan si bos mereka. Mereka melihat Sena di depan pintu. Mereka ikut melihat di belakangnya.
"Gimana, Sen?" bisik Margana, menepuk pundak adiknya.
Sena terhenyak.
"Abang!" serunya.
"Gimana?"
"Orangnya sudah baikan, tuh," katanya.
"Kenapa malah Angkasa di situ?"
"Dia menghiburnya," kata Sena.
"Aku kira Oom Erza masih marah."
Erza berhenti mengelus."Kalau begitu, kita keluar. Aku mau makan," ajaknya kepada Angkasa yang berhenti mengelus pipinya. Dia mengangguk. Mereka keluar dari ruangan. Erza menggeser pintu lebih lebar. Sena dan lainnya berdiri di depan pintu terhenyak.
"Ngapain kalian di situ?"
Mereka salah tingkah.
"I-itu..."
"Kami hanya mencari Angkasa," kata Margana beralasan."Iya, kan, Sen?" menyikut lengannya seraya meringis.
"Iya, Oom! Sekalinya dia ada di ruangan ini."
"Memang dia di ruangan sama aku."
Erza keluar berbelok menuju ruang makan. Duduk, membuka nasi uduk yang tadi sepulang dari rumah Maria mengembalikan kostum yang dipakainya di acara kemarin lalu menyantapnya. Angkasa terbang ke arah kulkas, membukanya meraih sisa oreo, menutupnya kembali terbang ke meja dan memakannya.
Sena dan yang lain masih di depan pintu, bubar menuju depan studio. Pelanggan datang, ingin meminta memfotokopikan berkas yang dibawa diberikannya kepada Margana. Dia mengangguk, menghampiri mesin fotokopi mulai memfotokopi. Aji, Samudra dan Sena duduk di sofa ruang depan. Samudra melengok di balik sofa, memastikan di ruang sebelah, pelanggan cerewet tadi kembali atau tidak.
Dia menghela napas.
"Untung bukan pelanggan tadi," katanya.
Sena merogoh saku di celananya, mengambil handpone membuka Whatsapp. Ada satu pesan masuk, membukannya. Isi pesan itu ternyata dari Wanda, adik Aji, mengajaknya akhir Minggu pergi ke kafe baru yang di buka di kotanya. Wajahnya berubah merona.
"Kamu sakit, Sen?" tanya Samudra khawatir.
"Enggak, Bang..."
"Mukamu merah lho. Kalau begitu, pulang saja kamu... Izin saja ke Oom Erza."
"Aku... Aku... Enggak sakit!" tolak Sena cepat-cepat.
"Kalau enggak sakit, kenapa mukamu merah?"
"Eh itu... Karena... " dia melirik ke Aji di sampingnya."Temanku bilang, mau mengajakku akhir Minggu ke kafe baru buka di sini..."
"Kenapa kamu enggak mengajak Wanda saja?" kata Samudra, meraih camilan sisa kemarin di meja.
"Wanda? Ngapain ngajak dia?" Aji mendengarnya tak suka.
"Sekali-kali, Ji, biarlah mereka berdua berjalan bersama yah ngapel gitu."
"ENGGAK BOLEH!" seru Aji,"Wanda enggak boleh ikut! Aku akan melarangnya jika dia pulang bekerja nanti."
Sena tak berani berkata.
"Sudahlah!" Margana selesai melayani pelanggan masuk ke ruangan. "Mumpung besok hari libur. Aku tahu, kamu boleh melarang adikmu tapi biarkan dia liburan, setidaknya bersama teman-temannya atau Sena."
Dari dulu Aji sangat propektif terhadap adiknya, karena adiknya dulu pernah dilecehkan oleh mantan pacarnya kala kuliah dulu hingga adiknya menjadi trauma. Mendengar berita yang menimpa adiknya, keluarganya memutuskan untuk melaporkannya ke pihak berwajib dan Wanda memutuskan untuk putus, tak berhubungan lagi dengan mantan pacarnya. Keluarga mantan pacarnya meminta maaf kepada mereka terutama Wanda.
"Aku tahu, kamu seperti itu. Setidaknya, ada Sena yang bisa menjaganya," Margana menatap Sena.
Aji ikut menatapnya. Matanya menampakkan emosi.
"Nanti dilihat dulu," kata Aji, bergantian tangannya meraih tas, membukanya dan terkejut melihat benda menyala di dalamnya.
"Sejak kapan benda ini menyala?"
Margana, Samudra, dan Sena menatap benda itu.
"Mungkin waktu kita makan siang tadi," jawab Samudra yang ikut merogoh tasnya. Evolution Entity-nya menyala."Punyaku juga."
"Sen, bilang sama Oom, kita pergi ada urusan," kata Margana pada adiknya. Dia merogoh tas, meraih Evolution Entity-nya.
"Iya, Bang. Hati-hati."
Mereka beranjak dari ruang depan menuju pintu, berlari keluar seraya mengucapkan kata kunci—berubah lalu terisap lingkaran sihir kartu Blumbangan sementara mobil melayang Pranaja melesat keluar Perumnas Cyborc. Mereka mampir ke rumah Yamamoto Bersaudari mengembalikan kostum yang dipinjam. Sesudah pergi ke Aliansi Garuda, dia menyempatkan mengembalikan kostumnya. Mendengar dua temannya keluar, dia memutuskan untuk meminta Pranaja menjemputnya. Kebetulan abangnya libur bekerja. Mobil melayang Pranaja melesat ke jalan raya.
Pranaja melihat Aksa dan Bumi muram di kaca spion dalam.
"Kalian kenapa?"
"Enggak apa-apa, Brot," kata Aksa diiringi gelengan Bumi.
"Kalau ada masalah, ngomong. Memangnya apa masalahnya?"
Aksa menghela napas, kepalanya terbenam bantal. Bumi melayang turun dari sandaran kursi ke kepalanya, menundukkan kepala.
"Mereka keluar."
"Keluar?"
"Keluar dari Aliansi Garuda."
"Siapa?"
"Temanku."
"Sinetra sama Eka?"
"Yeah," kepalanya miring ke kiri, menempelkannya ke jendela.
"Kok bisa?"
"Enggak tahu."
"Kalau mereka keluar, enggak apa-apa kan? Itu hak mereka, Sa," kata Pranaja.
"Aku tahu itu hak mereka! Tapi, kenapa mereka keluar secepat itu? Padahal, mereka berdua baik..."
"Terus Ketuamu bagaimana?"
"Dia sangat sedih."
"Aku mengerti, kamu enggak mau kehilangan teman. Aku yakin, mereka berdua bakal kembali lagi," kata Pranaja yakin.
"Masa?"
"Iya."
"Kalau kamu sama Yudha kesulitan, pasti mereka datang menolong. Pahlawan Garuda kan harus kompak."
"Aku enggak yakin, aku kompak sama Yudha apalagi mereka..."
"Hahaha. Kamu kan, sudah lama ikut Aliansi Garuda selama tiga tahun? Makanya aku memperbolehkanmu ikut di situ. Dulu waktu kamu ikut di Aliansi Garuda, aku sempat kaget.Yah, kamu ceritanya mendadak."
Aksa membenamkan wajah ke bantal lagi.
"Tapi aku bangga, punya adik yang bisa diandalkan."
"Enggak sejenius dirimu, Brot," timpal Aksa, suaranya terbenam bantal.
Dari dulu sampai sekarang, Aksa mengakui pemuda di sampingnya itu amat jenius. Kadang dirinya iri akan kepintaran abangnya yang menyamai Robert Einstein itu. Tak seperti dirinya yang hanya mempunyai otak biasa-biasa saja. Buktinya, Pranaja membuat dua robot mungil. Contohnya, Bumi dan Angkasa.
"Enggak sejenius itu sih," kata Pranaja tak enak."Kamu itu juga pintar kok. Apalagi main musik."
"Itu hanya hobi."
"Biarpun hobi sekalipun. Lihat aku, aku saja pegang gitar, drum, piano dan sejenis apalah alat musik, aku enggak bisa. Aku masih ingat, aku pernah memintamu ngajarin aku main gitar. Hasilnya, aku enggak bisa dan tanganku lecet. Setiap orang itu punya kemampuan, Sa, kalau mau diasah terus," jelasnya.
Aksa diam saja.
Mobil melayang Pranaja berbelok ke salah satu supermaket terdekat, memakirkannya di supermaket "Serba Ada".
Aksa mendongak. Menatap bangunan kokoh itu di balik jendela.
"Ngapain kita ke sini?"
"Kita belanja dulu. Bahan buat makanan sudah habis," kata Pranaja, melepas sabuk pengaman."Kalau kamu enggak mau ikut, kamu bisa menunggu di sini." dia keluar saat pintu bergeser, mengajak Bumi.
Aksa melempar bantal di bangku belakang. Pintu bergeser, dia ikut keluar buru-buru memakai kacamata hitam bulat, masker hitam, dan topi kerucut hitam untuk menyamar. Berlari mengejar mereka saat pintu bergeser terbuka.
"Kita beli apa dulu?"
Mereka menyusuri setiap rak-rak di situ. Mereka berbelok ke satu rak berisi gula, tepung, garam, lada dan lainnya. Pranaja mengambil tiga di antaranya di rak ketiga. Mereka beranjak lagi menyusuri rak lainnya.
"Apalagi, ya?"
"Nanti masak apa buat makan malam?" tanya Aksa.
"Bikin lalapan. Mau?"
"Mau." mata cokelat Aksa melihat pajangan yang di luar rak."Aku mau ke sana dulu ya, Brot," katanya.
Pranaja mengangguk.
"Nanti kalau mau mencari aku sama Bumi ada di rak-rak daging." Pranaja mendorong keranjangnya dorong di atasnya ada Bumi. Mereka menuju rak-rak berisi daging di seberang rak menjual sayuran.
"Iya."
Aksa berjalan keluar di antara
rak-rak. Dia memandangi tempat yang berisi pigura dan cermin berbagai macam bentuk dan ukuran. Pigura dan cermin itu ada yang menampilkan gambar bergerak wayang Pandawa berjalan berjejer rapi dengan sendirinya, gambar potrait seorang cewek rambut dikuncir kuda memperlihatkan pupil cokelatnya berubah bentuk menyerupai pupil kristal salju, Stellar Dendrite. Sebuah pigura kosong, jika melihatnya akan muncul gambaran yang diperlihatkan di pikiran seseorang, kacamata dapat melihat jejak, cermin bulat berganti wajah. Jika memandang cermin itu, wajahnya akan berubah menjadi wajah anime, kartun Disney, game dan film live action. Aksa memandangi cermin itu wajahnya berubah menjadi wajah karakter Naruto Uzumaki lalu berubah lagi menjadi Ronald Weasley, teman Harry sesama penyihir di Hogwarts.
"Woow," katanya takjub.
Dia beranjak dari situ, menghampiri rak di sebelah yang ada berbagai aksesoris seperti kacamata melihat jejak orang juga ada pajangan terbuat dari kaca berbentuk segitiga di dalamnya ada miniatur bangunan kastil kristal salju di sekeliling ada taman yang luas yang semuanya seputih salju. Dia meraihnya, melihat dalamnya. Di balik kaca, perlahan turun salju tiba-tiba dua tangannya terasa dingin.
"Eh?"
Benda yang dipegangnya itu malah amat dingin-terasa mirip seperti bongkahan es. Buru-buru meletakkannya kembali ke rak. Dua tangannya memutih. Dia melihat rak di atasnya ada banyak jam weker bulat di tengahnya ada semacam tombol. Meraihnya, mencoba menyalakannya waktu dan jam itu berbunyi memperlihatkan dua tangannya muncul, mencubit dua pipinya keras seraya berseru, "Ayo, bangun! Banguuun!"
Dia terpekik kesakitan.
"Aduh! Aduh!"
Buru-buru dimatikannya, mengembalikkan ke rak semula. Dia mengusap pipinya. Dia melihat di sebuah banyaknya mikrofon meraihnya satu, membawanya menuju rak daging. Di rak daging, Pranaja dan Bumi sedang memilih ayam yang terbungkus plastik rapi khusus daging.
"Sudah Brot?"
Pranaja meletakkan ayam di keranjang, menoleh,"Sudah ayamnya. Tinggal beli sayur sama lainnya." Menatap mikrofon di tangan Aksa.
"Kamu beli itu?"
"Iya, buat latihan nyanyi di rumah."
Mereka pun menuju rak-rak berisi sayur. Pranaja memilih kacang panjang, gubis dan sayur lain serta bahan-bahan lainnya. Setelah semua belanjaan lengkap, mereka menuju meja kasir. Robot pelayan mengecek harga belanjaan.
"Maaf, Tuan, mikrofon ini bukan mikrofon seperti biasa," ucap robot pelayan.
"Maksudnya?"
"Mikrofon ini adalah mikrofon untuk merekam suara," ucapnya lagi memberitahu.
"Bagaimana cara berfungsinya?"
Robot pelayan menjelaskan bagaimana menyalakan, menggunakannya dengan cara mendekatkan mikrofon itu ke orang yang berbicara, otomatis alat itu merekam suara orang. Suaranya akan tersimpan. Orang yang memakainya seolah meniru suara orang. Setelah menotal, Pranaja membayar belanjaan. Mereka keluar merenteng belanjaan ke arah parkir kembali ke mobil melayang Pranaja. Pranaja Memasukkannya ke bagasi, masuk ke mobil. Mobil melayang-nya melesat ke jalan raya.
Aksa mencoba menyalakannya sesuai penjelasan robot pelayan tadi. Muncul sinar kuning di tengahnya.
"Brot, coba kamu ngomong." Aksa mendekatkan mikrofon ke Pranaja.
"Buat apa?"
"Sebentar saja. Aku mau mencoba benda ini."
Pranaja melirik lalu berbicara. Setiap kata terekam di mikrofon. Selesai, Aksa mematikannya, menyetelnya di tombol "Setel" di bawah.
Ngiing!
Dia mencoba berbicara bukan suaranya melainkan suara Pranaja di sela bicaranya lalu mencoba bernyanyi.
Mata Bumi membulat takjub mendengarnya. Selesai bernyanyi, dimatikannya.
"Hebat!" Aksa menatap mikrofon dipegangannya.
Pranaja meringis.
"Aslinya lho aku enggak bisa nyanyi," kata Pranaja tak mengalihkan pandangan ke depan.
"Kalau ketemu sama Yudha coba ah pakai suaranya. Hehehe."
"Kamu mau pakai suaranya buat nyanyi seperti tadi?"
"Tahu saja Brot!"
"Tahulah."
Aksa meletakkannya di atas dasbord. Dia meraih bantal lagi di belakang, membenamkan wajahnya. Mendadak saku celana jeans-nya menyala.
Pranaja melirik lagi. Dia sudah hafal benda yang selalu dibawa adiknya selain handpone.
"Sakumu menyala, tuh."
"Biarin saja."
"Aku tahu kamu pasti malas karena soal dua temanmu itu. Kamu harus segera pergi..."
"Aku malas!" sela Aksa mendengus.
"Tapi, Sa. Kalau enggak—"
"Aku malas!"
Pranaja mengerti. Jika adiknya mulai susah dibilangin, dia terpaksa memanggil nama aslinya.
"Daniel Grissham," panggilnya.
Wajahnya yang ramah berubah seram di balik kacamata bulat yang terpantul cahaya dari jendela di belakang adiknya. Aksa dan Bumi menatapnya gemetar takut. Aksa tahu, pria di sebelahnya ini ternyata bisa menampakkan wajah seram. Dia pun menurut, merogoh saku celana jeans-nya, memperlihatkan benda di tangannya menyala.
Wajah Pranaja berubah lagi seperti sebelumnya. Dia tersenyum.
"Nah, begitu..."
Tanpa sepatah kata, Aksa langsung berubah kemudian terisap di lingkaran sihir kartu Gapuran-nya meninggalkan mereka berdua.