Pintu terbuka, Sinetra dengan rambut basah, keluar berbelok ke kamar. Masuk, melihat Eka sedang membaca novel. Menutup pintu, melanjutkan perkataannya tadi.
"Kayaknya aku sudah enggak sanggup lagi di Aliansi Garuda."
Eka tak mendengarkan omongannya. Masih asyik dengan novel dibacanya.
"Eka," panggilnya.
Eka tersadar, kalau pemuda di depannya memanggilnya.
"Hmm, ya? Barusan kamu ngomong apa?"
Sinetra menjadi sebal. "Dengar, aku sudah enggak sanggup lagi di Aliansi Garuda," ulangnya.
Eka terdiam.
"Sesuai apa yang aku tulis di laptop itu." ia memandang ke laptop.
"Kamu yakin, Sine, pengin keluar dari sana?"
"Menurutmu?"
Eka tertawa namun tawanya terhenti berganti dengan raut wajah suram.
"Aku... Aku... Sama ingin keluar..."
"Kalau begitu, kita keluar bersama-sama saja. Itu lebih baik kan? Aku akan melanjutkan menulis," kata Sinetra mulai duduk.
"Heh, kamu enggak ganti baju dulu?"
Sinetra menepuk jidat.
"Ah, iya, lupa!"
"Masa mau menulis, bertelanjang dada gitu? Haha, dasar enggak malu!"
Sinetra meringis, mulai berganti baju, mengambil kaos polos biru bergambar tengkorak di lemari. Memakainya dengan celana warna senada pendek selutut. Ia duduk kembali tanpa menyisir rambutnya, menulis kembali.
Eka menutup bacaannya, meletakkannya di kasur menghampiri Sinetra. Ia menatap kalimat yang ditulis Sinetra.
"Aku buatkan juga."
"Iya, ini masih ditulis. Sebentar, lemot nih." menatap kalimat yang tulisnya berhenti lalu bergerak lagi. Ia melanjutkan menulis. Selesai menulis, menelitinya lagi jika ada tulisan yang tertinggal. Mouse digerakan ke arah tanda ikon save, memberikan nama file itu, menyimpannya ke flash disk. Semua dikembalikan seperti semula, meng-eject benda itu lalu mencabutnya.
"Sudah jadi. Gantian kamu yang mencetakannya." memberikan flash disk itu kepada Eka.
Eka menerimanya.
"Di mana mencetakkannya?"
"Tanya saja sama kakak. Dia tahu tempatnya, kok. Tapi kamu makan dulu cumi-cuminya nanti keburu mereka datang, dan kamu enggak jadi makan..."
"Iya, aku makan sekarang. Siapa yang kamu maksud 'mereka' itu?"
"Dua keponakanku," kata Sinetra.
Eka bergegas keluar dari kamar menuju dapur. Flash disk di tangannya. Sinetra menyambungkan wifi di pengaturan laptop, setelah tersambung ia membuka internet. Eka beranjak menemui kakaknya di kamar, seperti biasa kakaknya sedang menyisir rambutnya.
"Kakak nganggur?"
"Iya, kenapa?"
Eka memperlihatkan flash disk di tangannya.
"Mau mencetak file di sini. Kakak tahu di mana tempatnya?"
"Tahu, di warnet langganan Sinetra," jawab Shinta, rambutnya sudah rapi sekarang.
"Anterin, dong," pinta Eka.
"Enggak mau. Sama Sinetra saja, kan bisa... "
"Dia lagi di depan laptop. Sebentar saja, Kak."
Shinta menghela napas. Dia meletakkannya sisir di meja rias.
"Kamu itu mau nyetak file apa sih?" dia menatap adiknya.
"Ada pokoknya. Sebentar, sebentar saja, Kak!"
Shinta terpaksa menuruti kemauan adiknya keluar dari kamar. Eka meringis, mengikutinya di belakang.
Shinta berbelok meraih kunci di gantungan dinding, berjalan menuju dapur, menghampiri sekuter melayang Sinetra.
Beberapa menit mereka keluar dari rumah dengan menaiki sekuter melayang melaju pelan melewati jalan terabasan yang beraspalkan paving yang di keliling rumah-rumah dan SD terhubung sebuah musholla kecil. Di depannya ada pagar lebar bercatkan hijau muda, dipinggir kanannya berwarna merah muda. Di sebelah kiri, sebagiannya dilukis beberapa karakter anak perempuan dan laki-laki bermain yang berlatar belakang taman bermain bertuliskan nama "DARUSSALAM JATI" berwarna merah maron. Di sebelahnya ada gerbang cokelat kusam yang terhubung pekarangan. Jalan itu juga bersebelahan dengan rel kereta-terdapat SMP DARUSSALAM. Ada pula pondok pesantren di belakang rumah pemilik sekolah, sisinya ada sungai. Shinta membelokkan sekuter melayang ke kanan, melaju pelan lagi. Sampai di warnet langganan Sinetra yang bernama 'Ram net' itu. Memakirkannya di tempat parkir yang bertuliskan "PARKIR MOTOR MUJUR MRONO." Warnet itu memiliki dua bangunan berwarna krem dan putih. Mereka turun, berjalan masuk ke salah satu bangunan yang berwarna krem dan putih di ujung kiri. Mereka turun lalu berjalan masuk ke bangunan krem itu. Di dalam terpasang kamera CCTV serta kipas mungil yang menggantung. Terdapat tiga etalase kaca yang menjual berbagai barang yang berhubungan dengan komputer maupun laptop. Di sisi belakang tembok ada berbagai macam produk chasing handpone yang dijual dan lain-lainnya.
"Kak, tolong print-kan file di flash disk ini ya," pinta Eka meletakkan flash disk milik Sinetra di etalase kaca. Penjaga wanita yang memakai jilbab abu-abu, berpakaian biru, bediri dari kursi, meninggalkan tugas yang diketiknya. Meraih flash disk bertanya,"Yang mau di-print berapa file, Bang?" memerhatikan dan memastikan seperti mengenal sosok di depannya.
Kok, kayak pernah lihat ya? Tapi di mana? Batinnya.
"Dua lembar saja," jawab Eka.
Pria bertubuh jangkung, berwajah tampan, memakai kacamata berbingkai kotak, berbaju berlengan panjang hitam, bercelana panjang sama hitamnya, berambut rapi dan tinggi sekitar 173 centimeter masuk ke ruangan menyapa Eka,"Lho, Sinetra. Tumben enggak internetan?" mengira Eka adalah Sinetra.
"Maaf, Bang, dia bukan Sinetra," kata Shinta membenarkan.
"Eh? Maaf kalau begitu. Saya kira Sinetra. Soalnya mirip sekali." seraya duduk di kursi sebelah.
"Iya mirip sekali karena dia adik saya juga," tambah Shinta.
Penjaga wanita itu duduk ke kursi lagi, menancapkan flash disk ke CPU, membuka file yang ingin di-print. Melihat ada empat folder.
"File yang mau di-print, di folder yang mana?"
Eka menunjuk ke salah satu folder. "Di folder" Tahap Skripsi' itu, Kak."
Penjaga wanita itu kemudian meng-klik lagi, muncul sebuah tampilan-meng-klik lagi ikon di pojok Windons kiri bertuliskan 'Print'. Muncul lagi tampilan tetapi toolbar untuk mencetak serta menentukan halaman yang akan di-print. Mesin printer di atas berbunyi melakukan tahap mencetak. Sambil menunggu, Eka memandangi sekeliling ruang itu. Setelah dua lembar kertas selesai dicetak, penjaga wanita itu menarik plastik pembungkus di dekatnya, memasukkannya. Meng-eject dan mencabut flash disk.
"Oh ya, Kak, sama amplopnya dua," kata Eka.
Penjaga wanita itu menghampiri etalase pojok, mengambil amplop di pembungkusnya. Memberikannya kedua pesanan seraya mengembalikan flash disk ke Eka. Memberitahukan total jumlah uangnya.
Eka merogoh saku celana, memberikan uang pas. Mengucapkan terima kasih, beranjak keluar.
Setelah mereka pergi, penjaga wanita itu berkata,"Bang, kayaknya saya pernah lihat deh pemuda barusan. Enggak asing." duduk kembali, melanjutkan mengetik.
"Masa sih? Bukannya kakaknya tadi bilang dia saudaranya Sinetra?" menyetel musik dangdut berjudul "Konco Turu" di komputer satunya. Musik mulai terdengar.
"Kayaknya pernah nongol di televisi, deh."
"Oh, yang pernah nongol di televisi?" meraih handpone-nya. Musik terus mengalun. Keduanya terdiam. Tiba-tiba keduanya teringat akan sesuatu.
"Jangan-jangan..."
"DEEJAY EKA!!"
Berlanjut Sabtu pagi, mereka berangkat menuju Aliansi Garuda. Sekuter melayang itu sudah melesat setengah jam dan sekarang menuju Pasar Cyborc lalu berbelok lagi ke arah taman. Sampai, Eka membelokkan ke tempat parkir seperti biasa. Mereka turun, masuk saat pintu bergeser otomatis menuju ke ruangan mereka berkumpul. Masuk, melihat di sana Aksa bermain gitar dengan lihai dengan bernyanyi merdu. Sinetra kenal dengan lagu itu. Silent to me. Di mejanya robot mungil itu menyantap cokelat melihat kehadiran mereka-terbang menghampiri dan menabrak mereka sampai terjatuh.
Bruuk!
Mengelus pipi mereka manja.
"Bumi!"
Eka mengelus kepalanya. Aksa selesai dengan nyanyiannya. Meletakkan gitar kayunya di kursi kosong.
"Kalian sudah sampai?" tanyanya.
"Iya, ke mana Ketua, Aksa? Suaramu merdu," puji Sinetra.
Aksa tersenyum."Terima kasih," ucapnya,"Ketua ada di ruang
sebelah."
"Sebentar ya, Bumi," kata Eka.
Bumi berhenti mengelus, mengangguk. Mereka berbalik meninggalkan ruangannya dan menuju ke ruang sebelah. Pintu bergeser otomatis, mereka masuk menghampiri Mirna yang terpekur ke Evolution Tab.
"Ketua," panggil mereka.
Mirna mengalihkan pandangan.
"Kalian. Ada apa?"
Mereka duduk di sofa, mengeluarkan amplop masing-masing di tas, meletakannya di meja.
"Begini," kata Eka memulai."Kami ke sini dan menyerahkan amplop ini karena kami memutuskan untuk keluar dari Aliansi Garuda."
Mirna terkejut mendengarnya.
"Apa?!" serunya dengan suara lantang. "Kenapa?"
"Kami enggak sanggup lagi," kata Sinetra. Mereka merogoh saku celana mengeluarkan Evolution Entity dan kartu Gapuran meletakkannya di meja.
"Maaf, Ketua. Kami enggak bisa dipercaya oleh Anda..." mereka merogoh plastik hitam berisi baju kostum mereka di meja."Tolong berikan ini pada Aksa, kami berterima kasih," lanjut Sinetra, beranjak dari sofa seraya berpamitan.
Mirna diam sebentar, berkata,"Tunggu! Bilang dulu sama saya kenapa kalian keluar?"
Mereka tepat di pintu, menghentikan langkah, menoleh sambil meringis lalu keluar saat pintu bergeser lagi. Mirna menunduk menatap dua amplop, Evolution Entity, dan kartu Gapuran. Merasa tak terima. Aksa dan Bumi keluar dari ruangan mereka melihat Sinetra dan Eka pergi, masuk ke ruangan sebelah. Mereka melihat wanita itu dengan wajah murung. Menghampirinya.
"Ketua, baik-baik saja, kan?"
Mirna terdiam.
"Ketua?"
Mirna menghela napas."Mereka keluar," katanya lirih.
"Siapa?"
"Eka dan Sinetra..."
Mata Aksa dan Bumi membulat.
"Yang benar, Ketua?" Aksa tak percaya. Dua temannya telah keluar dari Aliansi Garuda? Berarti berhenti menjadi Pahlawan Garuda? Dan kehilangan patner kerja dan penggemar? Bumi mendengarnya murung. Semuanya dalam ruangan itu terdiam. Aksa merogoh saku, mengeluarkan handpone, menuliskan pesan kepada Yudha.
Yud, kata Ketua, Eka dan Sinetra keluar dari Aliansi Garuda.
Selesai mengetikan pesan lalu mengirimkannya.
"Sebelum mereka pergi, mereka mengembalikan sesuatu padamu di meja," kata Mirna.
Aksa menoleh, membuka plastik hitam itu.
Ctik!
Pesan terkirim.
Di salah satu hotel di Kota Cyborc, Yudha bersama chef lainnya sibuk menghidangkan makanan untuk para tamu. Dia meletakkan tempe orek di cobek yang sudah jadi ke piring, menghiasinya dengan potongan daun seledri di atasnya. Selesai meletakkan cobek ke westafel. Aldi, sudah jadi dengan nasi bakarnya meletakkanya ke piring.
Ting!
Handpone-nya berbunyi. Dia pun merogoh saku, mengambil handpone-nya. Ada sebuah pesan Whatsapp masuk, membukannya. Matanya membelalak membaca pesan itu.
"Apa?!"
Teman chef lainnya menoleh.
"Kok bisa sih..." katanya.
"Ada apa, Yud?" tanya Aldi.
Yudha menoleh, wajahnya terlihat kecewa, menggeleng. Melihat perubahan wajah temannya itu, Aldi dan yang lain ikut khawatir.
"Beneran enggak ada apa-apa?" kata Aldi."Cerita dong..."
"Abangmu sakit?" celetuk temannya yang lain.
Dia menggeleng.
"Kamu baru putus dari pacarmu?"
Dia menggeleng.
"Ditinggal menikah sama pacarmu?"
Dia menggeleng.
"Terus?"
Dia menggeleng.
"Cerita dong! Cerita!" seru Aldi menjadi gemas.
"Ini temanku," ceritanya.
"Teman yang mana itu?"
"Ada. Mereka sudah keluar dari anggota..."
"Anggota apa?"
"Eh, itu... Itu dari fans Hard Core Band..."
Aldi dan teman lainnya mengalihkan pandangan. Melanjutkan tugas masing-masing.
"Olaa, cuma itu," kata Aldi. "Kirain apaan. Bikin khawatir saja!"
"Maaf. Soalnya kalau mereka keluar para penggemar jadi bingung semua..."
"Segitunya, ya, kan bisa cari anggota baru yang lainnya. Ngapain repot."
"Tapi, Al, mereka ini sudah cocok menurut para penggemar yang lain!" kata Yudha, menutupi. "Menurutku mereka itu enak saja orangnya."
"Bukannya setahuku, kamu enggak suka musik metal? Kok sekarang jadi suka?"
Yudha meringis.
"Kamu jadi aneh ya sekarang?"
"Iya, lebih aneh ketimbang alien," sahut teman yang lain.
Yudha tertawa getir.
"Aku enggak aneh. Tapi aku suka lagu itu gara-gara temanku."
"Cewek?"
"Bukan."
"Pasti cowok."
"Iyalah! Siapa lagi?"
"Kalau cewek, kenalin dong ke aku," Aldi memberi hiasan ke nasi bakarnya.
"Ada. Tapi lain itu."
"Siapa? Cantik?"
"Cantik. Tapi khusus buat seseorang saja."
"Siapa?"
"Aku," akunya bangga.
"Sekali-kali buat kita dong!"
"Jangan pelit!"
"Kan, sudah ada tuh. Lihat," tunjuknya ke para chef wanita. Para chef wanita itu tersenyum ada yang tidak menggubris. "Pilih mana?"
Yudha cuek.
"Lebih baik itu kamu. Kamu kan masih sendiri. Lha wong di antara kita ada yang sudah menikah."
"Iya, betul katamu, Yud," kata Aldi.
"Apa Bu Kepala Chef?"
Mereka memandang kepala chef itu dari jauh. Terlihat bahwa wanita itu masih muda dan cantik. Banyak chef-chef pria yang menyukai dan mengangguminya. Sejak mengetahui gosipnya jika sudah menikah dan memiliki satu anak, para chef pria termasuk Aldi, yang dulu menggodanya langsung patah hati. Yudha menghiburnya diselingi tawa.
Temannya yang lain menggeleng langsung berwajah muram.
"Bikin patah hati kalau mengingatnya."
"Iya, aku juga," Aldi ikut berwajah muram.
"Maaf, maaf, deh," ucap Yudha meminta maaf, memasukkan kembali handpone-nya ke saku celana kemudian mencuci wajan dan cobek yang kotor.