itu apa?" ucap Sinetra.
"Pasti raksasa."
Sesuatu sangat besar, tinggi, berwajah merah dan seram berjalan mendekati taman dan tanah bergetar. Bocah laki-laki itu terjatuh dari sepeda ontel kecilnya.
Bruuk!
"Aduh!" memalingkan wajahnya. Terkejut dan gemetaran melihat raksasa mendekat. Kaki besar raksasa itu melangkah, akan menginjaknya.
"Bahaya!" Eka berlari cepat ke arah taman, menyambarnya.
Greeeb!
Buum!
Sinetra yang ketakutan dan gemetaran memberanikan diri menghampiri Eka. Ia menunduk, berlari melewati raksasa itu.
"Syukurlah, anak kecil itu selamat! Lain kali, lihat-lihat dulu kalau jalan," pesan seseorang berkostum Pahlawan Garuda merah menyala di pundak sang raksasa dengan duduk bersila. Ia merasa lega.
"Maaf, Master," jawab sang raksasa, suaranya berat menggema.
Lalu, di mana kartu itu? Duh, mana Gana dan yang lain belum datang, batinnya sebal.
"Kamu enggak apa-apa, kan?" tanya Sinetra khawatir.
"Enggak. Sebaiknya kita menjauh dari raksasa itu!"
Sinetra mengangguk. Mereka berlari menjauhi raksasa. Mencari tempat untuk sembunyi di sekitar taman.
Muncul sebuah lingkaran sihir gunungan jawa Gapuran di hadapan sang raksasa.
"Hai, Raksasa jelek!" sapa seseorang itu.
Ia tampak berkostum seperti Pahlawan Garuda emas-putih menyala. Raksasa dan seorang Pahlawan Garuda merah itu menatap ke bawah.
"Oh, rupanya Anda, Ketua Pahlawan Garuda. Baru datang ya? Ke mana dua anggota Anda?"
"Belum datang. Kamu? Kenapa berdua dengan Raksasamu? Belum datang juga?"
"Iya, tapi saya sebenarnya enggak mau melawan Anda. Karena Anda orang yang lebih tua. Walaupun sesama pahlawan," jawabnya. "Yah, mau gimana lagi."
"Kamu anak yang baik, ya," melompat ke arah raksasa. Cepat, tangannya muncul sinar kuning-mengeluarkan senjata sihir di telapak tangannya. Senjata berjenis tombak!
"Arc Garuda!"
Pahlawan Garuda merah itu melayang, menyuruh raksasanya.
"Maju, Bathara Kala!" perintahnya.
"Siap, Master!" raksasa bernama Bathara Kala itu menurut. Mengayunkan tangan besarnya, akan menghantamnya tetapi ketua itu menghindar, melompat lagi melemparkan tombaknya ke mata kirinya.
Jleeeb!
Menancap.
"Aargh...!!" teriak raksasa itu kesakitan. Ketua itu kemudian mendarat ke bawah. Tombak yang berada di mata kiri raksasa tercabut dan kembali sendiri ke tangan pemiliknya.
Bruaash! Bruaash!
Darah muncrat. Mengalir deras dari mata Bathara Kala. Dia berjongkok. Tangan besarnya memegang matanya, menahan darah yang masih keluar.
"Ma... ma... mata... mataku...!"
"Bathara Kala!"
Tiba-tiba muncul lingkaran sihir lagi dari gunungan jawa berbeda, Blumbangan. Datang empat Pahlawan Garuda merah menyala di belakangnya dan dua Pahlawan Garuda.
"Ketua!"
"Maaf, kamu sudah menunggu," ujarnya.
"Maaf, kami terlambat," ucap Margana.
Dia merasakan sesuatu.
"Kartunya di sini."
"Kartunya di sini?" kata Aji.
Tak jauh dari taman, berada di samping dua gapura masuk Kampus Negeri Cyborc, Sinetra dan Eka bersembunyi. Eka masih menggendong anak kecil yang di tolongnya tadi.
"Siapa mereka? Kok keduanya berwujud pahlawan?" bisik Sinetra menoleh ke arah Eka.
"Mana kutahu. Kenapa?"
"Keren banget! Ternyata ada ya kayak Kamer Rider!"
"Kamen Rider itu dari Jepang tahu," kata Eka. "Sekalian bilang Power Rangers gitu,"ejeknya.
"Iih, aku kan cuma bilang Kamen Rider!" Sinetra mengalihkan perhatian ke anak kecil digendongan Eka. Dia masih ketakutan. Tangannya mengelus rambutnya, menenangkannya.
"Kamu suka ya sama anak kecil?"
"Suka tapi kalau anak kecilnya nakal banget, aku enggak suka. Aneh, kenapa raksasa seram tadi datang?"
"Mungkin mereka mencari sesuatu."
"Sesuatu? Nanti kita samperin sehabis pertarungan dia antara mereka selesai."
"Beneran?!"
Eka mengangguk mantap. Kembali menyaksikan kedua pahlawan itu.
"Dewa, kamu enggak apa-apa, kan?" kata Margana kepada pemuda bernama Dewa Anantara itu.
"Aku enggak apa-apa."
"Kartunya di sini..." kata Yudha.
"Apa?"
Bathara Kala maju, dari tangannya mengeluarkan gumpalan api besar, mengarahkan ke Pahlawan Garuda.
DEESSH!
"Awaas! Menghindar!" seru Aksa. Mereka cepat menghindar menjauh beberapa meter."Hufh, hampir saja! Kalau kena, bisa-bisa gosong dilahap api. Tapi kita harus mengalahkan raksasa jelek itu!"
"Tenang. Bagaimana dengan
yang ini."
Yudha merentangkan tangan kanan cepat, muncullah sosok pria tampak berpenampilan dewa, menaiki seekor lembu di depannya.
"Ada apa, Master? Kenapa Anda memanggil saya?" tanya sosok itu kepada Yudha.
Yudha mengantupkan kedua tangan ke depan, memejamkan mata."Maaf, Dewa Wisnu, saya memanggil Anda kemari ingin meminta bantuan. Tolong hadapi raksasa merah itu."
"Baik, Master," terbang ke atas lagi. "Tolong, menjaulah," perintahnya.
Yudha menurut lalu menjauh, menyuruh Aksa dan Mirna menjauh.
Bathara Kala membuka telapak tangan kanannya, muncul segumpal angin berukuran kecil namun semakin lama semakin membesar, membentuk sebuah badai. Di sekeliling taman, bunga, toilet di sebelahnya, dan pohon banyak berterbangan. Tak hanya itu, kampus sebelah taman sama. Banyaknya sepeda melayang, mobil melayang, tranportasi melayang diparkir, atap terbang ikut meliuk-liuk. Tak keruan!
Orang-orang di sekitar kampus yang masih ketakutan akibat Bathara Kala tadi, segera menyelamatkan diri ke kampus, ada yang bersembunyi di kantin sebelah. Margana merasakan, melihat ke arah salah satu pohon.
"Ketemu!" tunjuknya.
"Kartunya?"
"Kartu Wirata!"
Kartu Wirata yang dicari menyangkut di antara pepohonan. Menampakan sinar.
"Kartunya! Kartunya!" seru Aksa menunjuk."Yud, kamu bagaimana sih? Kartunya ikut terbang!"
"Ah, maaf. Yang penting kan enggak rusak!"
Di tempat yang sama, Eka dan Sinetra beranjak cepat dari situ sementara mereka tahu sihir dari dua Called itu buru-buru beranjak, berlindung di tempat di sekitar taman yang aman. Bathara Kala mengeluarkan gumpalan api lagi menghadap ke arah badai Wisnu.
DEESSH!
Gumpalan api raksasa sedikit demi sedikit terisap oleh badai dewa angin itu. Badai itu beputar cepat ke raksasa, terisap, meliuk-liuk di dalamnya.
"Sucsses!" seru Aksa girang.
Setelah meliuk-liuk di dalamnya, raksasa merah itu terlempar jauh menghilang.
Bluush!
"Bathara Kala!"
Wisnu kemudian menggenggam tangan, menghentikan badai miliknya. Badai pun berhenti. Benda-benda yang tadi ikut arus badai, jatuh ke tanah tidak keruan.
Yudha mendongak, melihat kartu Wirata melayang. Bathara Guru menghilang.
Bluush!
"Kartunya!" Yudha segera melompat menangkap kartu.
"Tidak kubiarkan!" tangan Margana mengeluarkan sinar-api, menyerupai Aruna Axe. Yudha menangkisnya dengan melemparkan Bintang Raksasa.
Wuur!
Maya mengangkat kedua tangan ke atas, keluar senjata semacam Palu Garuda ke arahnya. Yudha melemparkan senjata Bintang Raksasa-nya menangkis.
Klaang!!
Menimbulkan suara dentuman keras.
Mirna mendekat, melempar tombak tepat ke arah dua senjata beradu.
Dlaaang!
Dua senjata beserta pemiliknya jatuh. Tombak terbang kembali ke tangan Mirna.
"Tolong, kembalilah," ucapnya. "Ayo, kembali seperti dulu... kita berbaikan. Aku minta maaf kalau selama ini salah..."
Apa maksudnya? Batin Yudha melihat dua ketua itu di hadapannya.
Tangan Mirna menggenggam lengan kakaknya tetapi Maya menepisnya.
"Berisik!" serunya tak suka lalu melihat Samudra dan Aji melawan Aksa beradu senjata sihir. Sinetra dan Eka masih dalam persembunyiannya menyaksikan di balik bunga-bunga.
"Untunglah, kita enggak terbawa badai tadi..." kata Eka.
"Iya, tapi aku pengin pulang secepatnya. Aku enggak mau mengalami kejadian kaya gini!" keluh Sinetra.
"Sine, bukan cuma kamu saja yang pengin cepat pulang, aku juga! Kita nanti kan harus menemui mama anak ini!"
Bocah digendongannya sudah tenang, ikut apa yang dilihat mereka sementara Maya dongkol berbalik, memanggil anggotanya untuk berhenti. Mereka menurut, dua di antaranya mengeluarkan kartu Blumbangan yang tersimpan di benda semacam hardisk hitam berlogo burung garuda merah menyala. Kartu Blumbangan menyala, mengeluarkan lingkaran yang sama dengan gambar kartu di bawah kaki mereka lalu menghilang.
Mirna terdiam. Benar, dia tak bisa menghentikan orang terdekat yang mungkin disayanginya untuk meminta maaf.
"Ketua, enggak apa-apa?" Yudha mendekatinya.
Aksa sehabis melawan, ikut mendekat.
Mirna menggeleng pelan. "Ayo, kita pulang," ajaknya, berbalik, menepuk pundak keduanya.
Sinetra dan Eka keluar dari tempat persembunyian berlari mendekati mereka.
"Maaf, permisi," ucap Sinetra,"boleh kah saya bertanya?"
Mereka menoleh.
"Boleh."
Sebenarnya apa yang terjadi di sini?"
"Begini," kata Mirna, "maafkan kami, karena telah membuat keributan di sini. Kejadian sebenarnya adalah kami, Pahlawan Garuda, memperebutkan sebuah kartu. Kartu itu telah terpecah belah. Masing-masing kartu ada sembilan. Kalau kartu lima itu lengkap, maka kartu yang satu lagi bernama kartu Baratayudha dapat menyegel kartu sembilan itu. Karena, Pahlawan Aruna, menginginkannya kartu sembilan itu agar misi berhasil dituntaskan duluan dan menyegel kartu-kartu itu tempat yang digunakan untuk menyimpan kartu di sebuah pulau di selatan pulau ini. Dan sembilan kartu lengkap, bisa terjaga," jelas Mirna.
Aksa menatap mereka dan menyenggol lengan Yudha,"Yud, apa mereka bersaudara?" bisiknya.
"Iya, tahu. Mereka saudara. Kayak enggak pernah lihat saja," suara Yudha lantang.
Aksa mencubit lengannya. Yudha mengaduh sakit.
"Aduh!"
"Rudiiii...!" panggil seorang wanita berlari menghampiri mereka.
"Mama!" bocah kecil itu melihat wanita itu berlari mendekat ke arah mereka yang ternyata mamanya.
"Untunglah, kamu enggak apa-apa kan, sayang?" meraih anaknya dari gendongan Eka.
Dia menggeleng."Enggak, Ma. Tadi Rudi ditolong sama Oom Galak ini dari raksasa," katanya polos.
Oom Galak? Batin Eka.
Sinetra menahan tawa mendengarnya.
"Terima kasih Anda telah menolong anak saya," ucap mama itu senang.
"Sama-sama, Bu."
"Juga, saya berterima kasih kepada Pahlawan Garuda," lanjutnya.
Di balik kostum pahlawan, mereka tersenyum.
"Kalau begitu saya permisi. Rudi, ayo bilang terima kasih sama kedua Oom ini dan Pahlawan Garuda."
"Terima kasih, Oom, terima kasih Pahlawan Garuda!" Sambil melambaikan tangan lalu beranjak pergi. Mereka pun membalas lambaian bocah kecil itu.
"Kamu yang menolong anak kecil tadi?" tanya Mirna.
Eka mengangguk.
"Apakah kalian mau bergabung dengan kami?"
Sinetra dan Eka terkejut.
"Apa? Bergabung?"
"Iya, kalau kalian mau. Saya enggak memaksa," Mirna merogoh saku garudanya, memberikannya kepada mereka. Masing-masing dua kartu. Ya, kartu itu bernama Evolution card, kartu khusus Pahlawan Garuda.
"Saya berikan kartu ini. Kalau kalian ada apa-apa datanglah ke alamat di kartu ini."
"Terima kasih," ucap Eka, tangannya menerima kartu.
"Sama-sama. Kami pergi dulu. Ayo," ajak Mirna kepada Yudha dan Aksa.
Aksa mengeluarkan Kartu Gapurannya, mereka terisap dan menghilang.
Mereka segera pulang menaiki sekuter melayang melesat cepat hingga tanpa sadar mereka tiba di rumah, mama sempat bertanya kepada mereka kenapa wajah dan badan mereka penuh dengan peluh. Mereka bilang, ada senam sore yang dadakan diadakan oleh kampus. Berbohong sedikit, untuk kebaikan mereka. Buru-buru masuk ke kamar berbaring di kasur, mengingat kejadian yang barusan mereka alami sembari menghela napas.
"Mereka bukan gosip belaka ya?" kata Eka."Benar apa katamu tadi."
"Kita malah bergabung dengan mereka."
"Bagaimana rasanya ya?"
"Menjadi Pahlawan Garuda?"
Eka merogoh saku celana memperlihatkan Evolution Card di tangannya."Di Aliansi Garuda," lanjutnya melihat tulisan yang tertera bertuliskan "ALIANSI GARUDA".
**
Besoknya di Ruang 2, ruang adminitrasi, di ruangan itu Sinetra menata kumpulan Kartu Tanda Mahasiswa di ruang 1. Yang mana Kartu Tanda Mahasiswa itu akan dibagikan oleh mahasiswa Jurusan Desain Komputer 1. Setelah kartu tertata rapi, ia mengikatnya dengan karet.
"Bang, kartunya saya bawa, ya? Saya berikan ke Bang Indra," ujarnya.
Petugas yang dipanggil "Bang" itu menoleh, sibuk menata kartu milik mahasiswa lain. "Oke, bawa saja," sahutnya.
Sinetra beranjak dari situ membawa kartunya, berbelok ke arah tangga, menaikinya, berjalan menuju ruangan yang ber-AC itu. Ia masuk menghampiri Indra.
"Bang Indra, ini Kartu Tanda Mahasiswanya punya Desain Komputer 1", kata Sinetra.
Di balik komputer, Indra mencondongkan wajah."Oh ya, terima kasih," ucapnya, menerimanya.
Sinetra kembali ke meja kerjanya.
"Eh, kamu tahu enggak kejadian kemarin? Tiba-tiba ada raksasa?" tanya Indra membuka pembicaraan.
"Tahu, Bang. Kenapa memangnya?"
"Katanya, raksasa kemarin datangnya ke taman di sebelah kampus kita. Terus wajah raksasanya seram banget. Bahkan kalah sama sesosok yang mempunyai kekuatan badai!"
"Oh," kata Sinetra."Raksasa dari dulu wajahnya seram, Bang."
"Terus, raksasa sama sesosok itu milik dua pahlawan itu! Tapi apa tujuan mereka? Kok bertarung?"
"Enggak tahu, Bang," ia tahu, tapi enggan menceritakan yang sebenarnya kepada Indra.
"Nak, kamu enggak membaca berita pagi ini di internet? Beritanya ada dua pemuda yang satu menggendong seorang anak kecil sama wajah dua pemuda itu enggak diperlihatkan jelas. Beritanya menjadi viral!"
Deg.
Sinetra terperangah mendengarnya. Ia dan Eka masuk berita? Dan berita itu menjadi viral?
"Masa sih?"
"Iya, saya baca barusan di internet," kata Indra menyakinkan.
"APA?"
Ia mengambil handpone-nya di saku celananya. Dengan cepat, membuka WhatsApp, mengetikan sebuah pesan lalu dikirimkan kepada Eka.
Eka! Kita sudah masuk berita pagi ini! Katanya Bang Indra, beritanya viral!
Pesan yang dikirimnya di balas.
Ting!
Sine, aku sudah tahu beritanya. Aku sudah baca di LINE. Bodoh amat. Aku sih cuek. Pokoknya kita rahasiakan ini. Kamu sih orangnya heboh. Enggak usah heboh!
Sinetra tidak membalas pesannya. Handpone dikantonginya lagi. Ia masih tidak percaya.
"Ada apa? Kamu kok kaget begitu?"
"Enggak apa-apa. Cuma kaget doang."
"Menurut saya, dua pemuda itu berani banget! Padahal lawannya raksasa!"
Aku kan orangnya penakut, batin Sinetra.
Ia mengangguk kecil.
Untung dosenku ini enggak tahu kalau dua pemuda itu aku sama Eka, batinnya lagi.
Sepulang dari kampus, Eka di depan memegang kemudi bukan mengarah ke jalan pulang, melainkan ke jalan mengarah ke Aliansi Garuda.
"Jadi kita ke gedung itu? Maksudku, ke Aliansi Garuda?" tanyanya di bangku belakang.
"Enggak. Kita ke alun-alun."
"Ha? Beneran? Bukannya kita melewati alun-alun tadi. Kenapa kita enggak berbelok?" kata Sinetra, menyipitkan mata.
"Kalau enggak mampir, ini arahnya ke mana? Kamu tahu sendiri, kan?" jawab Eka sebal.
Mata pemuda bermata cokelat tersebut terbelalak, ia tersenyum.
"Ayo, cepetan! Nggak sabar nih!" sambil menggoyang-goyangkan pundak Eka heboh.
"Hei, hei... jangan kayak gitu! Aku lagi nyetir, tahu!"
"Maaf!"
Mereka tiba di sebuah gedung, bercatkan kuning emas. Yang bersebelah dengan Hotel Cyborc Mini Hotel yang sering digunakan oleh para turis mancanegara untuk menginap karena harganya terbilang murah. Eka membelokkan sekuter melayang memasuki area parkir yang terdapat pagar hitam. Menghentikan sekuter melayang di depan gedung, melepas helm, dan turun.
"Ini gedungnya? Besar sekali!" seru Sinetra.
Mereka masuk ke dalam, pintu geser otomatis berlogo garuda di tengahnya terbuka pelan. Melangkah ke ruangan kosong namun sebuah robot kecil berbentuk gumpalan putih kenyal bermata merah, membawa sebatang cokelat menabrak Eka.
Bruuk!
Robot itu terjatuh ke lantai. Mengetahuinya, Eka meletakkannya di telapak tangan. Melihatnya ia gemas dan mengelus pelan kepala robot itu.
Lucunya! Batinnya.
Robot kecil itu diam menurut saat kepalanya dielus.
"Wah, dia nurut, lho," Sinetra ikut mengelus.
Saking gemasnya, akhirnya Eka menciumnya seperti anak perempuan menciumi boneka Teddy bear dengan sayang.
"Kumat deh," ujar Sinetra melihat pemuda yang sudah menjadi saudaranya menciumi robot kecil itu di tangannya.
"Bumi!"
Panggil seseorang dengan aksen Inggris melangkah menghampiri mereka. Tampilan seseorang tersebut mengenakan topi kerucut hitam, kacamata hitam, masker hitam, dan baju-celana panjang serba hitam. Seperti menyamar.
"Don't take my chocolate!" mengambil cokelat yang jatuh. "Anda suka ya, sama Bumi?" sembari tersenyum. "Kita bertemu lagi," ujarnya.
"Ketemu lagi? Maaf, siapa kamu?" tanya Sinetra.
Eka menghentikan ciumannya."Ah, iya. Dia sangat lucu. Namanya Bumi, ya? Robot apa dia ini?"
"Dia robot bersih-bersih buatan Brother namun ia adalah robot versi kedua."
"Ooh. Maaf, kamu tahu, di mana orang yang memberikan Evolution card kepada kami kemarin?"
"Tahu. Beliau ketua saya. Saya akan mengantarkan kamu berdua ke ruangannya," ajaknya.
Mereka mengikutinya. Tiba di sebuah ruangan-pintu bergeser, mereka melihat ada dua orang di ruangan itu.
"Permisi, kita kedatangan tamu hari ini," kata Aksa, masuk diikuti oleh Sinetra, Eka, dan Bumi yang menempel dipundak Eka. Mereka nenghampiri meja. Mirna menoleh, Yudha menatap mereka duduk di sofa berwarna kuning.
"Oh, ternyata jadi ke sini? Silahkan."
Mirna, wanita berambut hitam berkuncir kuda, tinggi rata-rata 172 centimeter, cantik, berkulit putih, bermata sipit, membuka laci meja yang ada komputer layar hologram biru super besar, mengambilnya di dalam lalu meletakkannya di meja. Ya, dua benda berbentuk kotak hitam berlogokan dua garuda emas.
"Sebelumnya, kita belum berkenalan. Perkenalkan, saya Mirna Kemala, ketua di sini. Saya akan memberikan dua benda ini untuk kalian," katanya.
Sinetra dan Eka menatap dua benda itu. Mirna mengambil lagi dua benda itu. Mirna mengambil lagi dua buah kartu. Bermotif gunungan Gapuran sama.
"Ini saya berikan juga."
"Buat kami, Bu-eh Ketua?"
"Iya."
"Terus benda-benda ini buat apa?" tanya Eka.
Mirna tersenyum, mengambil masing-masing dari empat benda itu di kedua tangan.
"Dua benda ini ada kegunaannya. Di tangan kanan saya, Evolution Entity, alat ini bisa mengubah wujud kalian menjadi "Pahlawan Garuda". Caranya, hanya mengucapkan kata kunci "Garuda Evolution" seperti wujud Pahlawan Garuda seperti kami kemarin. Apabila Evolution Entity ini menyala, menandakan kartu muncul di suatu tempat. Di tangan kiri saya, kartu Gapuran, kartu ini adalah kartu perpindahan tempat. Kartu yang bisa memindahkan kalian dari tempat lain bahkan jauh sekalipun dan bisa untuk memindahkan sesuatu. Paham?"
"Paham," ucap Sinetra dan Eka kompak.
"Mulai hari ini kalian menjadi anggota di sini. Selamat," Mirna bertepuk tangan, diikuti tepukan tangan Yudha dan Aksa.
Plok. Plok. Plok
"Ingat, kalian menjadi Pahlawan Garuda tidak boleh memberitahukannya ke orang lain kecuali keluarga kalian. Karena ini rahasia," tambahnya.
"Sebentar, kenapa Anda menerima kami begitu cepat?"
Mirna menatap mereka.
"Karena saya percaya kepada kalian. Saya tahu waktu bertemu kalian kemarin, saya tahu kalian itu orang yang tulus bergabung dengan kami," jelasnya. "Saya belum pernah bertemu dengan orang seperti kalian."
"Tulus?" kata Sinetra. "Kami ini aslinya penakut."
"Aku juga penakut," kata Yudha. "Tapi itu enggak masalah. Hei, benar, kan?" melirik ke seseorang itu mulai memarahi robotnya di belakang Eka karena membuka cokelat dengan paksa dengan aksen inggris yang kental. Dia menghentikan omelannya.
"What?" katanya, memberikan cokelatnya ke Bumi. "Aku dengar, kok!"
Yudha kembali ke mereka, "Ngomong-ngomong, kamu berdua masuk berita lho, katanya viral. Saya baca beritanya di LINE," kata Yudha, dia berwajah tampan, tinggi kira-kira 186 cenitimeter, berkulit cokelat, berambut arajuku, dan memakai udeng cokelat bermotif batik Bali.
"Saya belum berkenalan dengan kamu berdua," mengulurkan tangan."Saya Made Yudha."
"Ah, ya. Saya Sinetra," mengulurkan tangan, berjabat tangan.
"Eka," bergantian berjabat tangan.
Sinetra penasaran dengan pemuda yang berpakaian serba hitam di samping Yudha.
"Maaf, Yudha, siapa yang di samping kamu itu?" tunjuknya.
"Dia? Masa enggak tahu? Biasa, dia kalau ke sini suka menyamar, biar enggak ketahuan. Cepat, buka penyamaranmu."
Pemuda itupun akhirnya membuka kacamata dan maskernya. Saat membukanya, mata Sinetra melotot dan tahu siapa dia. Ya, Aksa Maheswara! Vokalis band cadas Hard Core Band! Yang nama aslinya Lucino Milano. Pemuda asal London. Sinetra langsung berteriak girang, dan buru-buru membuka tas mengambil buku dan pulpen untuk minta tanda tangan. Ia bisa bertemu idolanya walaupun cuma vokalisnya saja. Menyodorkannya kepadanya.
"Minta tanda tangan, boleh?" tangannya gemetaran dan jantungnya berdebar kencang saking senangnya.
Aksa melihatnya tersenyum.
"Boleh. Tapi tangan kamu
gemetaran..." mengambil buku serta pulpen dari tangan Sinetra. Menuliskan tanda tangan. Selesai, memberikannya lagi kepada Sinetra.
"Ini baru pertama kali ya, kamu bertemu saya?"
"I-iya, soalnya saya cuma bisa lihat dari internet saja..." tangannya berkeringat dingin dan jantungnya masih berdebar kencang.
Aksa bergantian menatap Eka,"Sepertinya saya pernah lihat kamu? Apakah kamu Deejay Eka itu?"
"Iya," aku Eka.
Bumi melompat-lompat girang di pundak Eka.