Read More >>"> Garuda Evolution (Bab 1: Meeting) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Garuda Evolution
MENU
About Us  

"Sudah jam sebelas? Keasyikan nonton, nih," Sinetra kembali ke kasur lagi, meraih handpone-nya. Mengalihkan anime yang ditontonnya kembali ke halaman awal. Menutupnya lalu menggendong Molly membawanya ke dapur.

"Pus, kamu tidur di sini, ya? Aku mau cuci tangan sama pipis dulu," masuk ke kamar mandi, sembari mencuci tangan. Sesudahnya, berjalan menuju kamar. Dingin menyerbu, ia melepas kacamata, meletakkannya di meja lalu menyibakkan selimut, memeluk guling, dalam mata terbuka dan otak berkhayal, terlintas ingatan masa-masa ia pernah di-bully waktu sekolah dulu-membuatnya muak. Ia berharap, ada seseorang yang mengerti dirinya, perasaannya. Dalam keadaan ini tanpa diketahuinya, sekelebat muncul sesosok bayangan hitam menyerupainya di balik selimut malam itu.

Suara mama yang lantang pagi itu diringi cuitan Burung Love Bird milik ayah di samping rumah meminta jatah makanan, memanggil sampai dari kamar membuat ia terbangun, beranjak dari ranjang bersepraikan krem motif bunga-bunga. Merenggangkan badan, beranjak dari ranjang. Akan melangkahkan kaki, tiba-tiba ada suara dengkuran halus. Ia memutar badan.

Suara dengkuran siapa itu? Batinnya.

Mencari asal suara, matanya tertuju ke arah selimut. Dalam pikirannya terbayang hantu-hantu di film horor. Mendekati kasur, tangan meraih ujung selimut, membukanya hati-hati.

Deg.

"Aaaaah!!" teriaknya apa yang dilihatnya. Ia terkejut bukan main. Di balik selimut ada sosok pemuda. Pemuda itu langsung bangun dan kaget. Di dapur, mama yang mendengar anak keduanya menyahut,"Ada apa?!"

Ayah yang tidur ngorok terbangun marah. Shinta, kakaknya yang menjemur baju di atas balkon samping rumah ikut marah. Tangan pemuda itu menunjuk ke depan
mulut,"Sssst..." bisiknya, menyuruhnya diam agar tidak terjadi apa-apa. Sinetra pun menurut.

Ia teriak membalas,"Enggak apa-apa, Ma!" menatap pemuda di hadapannya. Bedanya, raut wajahnya menampakkan marah.

"Si-siapa kamu?" tanya Sinetra berbisik pelan.

"Kamu enggak tahu aku? Padahal aku tahu banget kamu," jawabnya.

"Ha? Tahu aku?"

"Iya."

"Lha siapa kamu?" tanya Sinetra lagi. Pemuda itu menggarukkan rambutnya,"Masa kamu enggak tahu?"

Sinetra menggeleng.

"Aku adalah dirimu, Eka Prameswara."

"Diriku? Diriku yang mana?" mencerna perkataan si pemuda. Otaknya dalam keadaan loading.

"Ya, dirimu yang lainlah!"

"Hah, bohong! Masa diriku yang lain, punya tubuh sendiri? Ini pasti mimpikan?!"

"Ini enggak bohong, enggak mimpi. Ini kenyataan, Sine."

"Eh? Kamu tahu namaku?"

"Iya!"

"Aku masih enggak percaya," kata Sinetra.

"Akan kubuat kamu percaya," pemuda itu berdiri, mundur bersandar ke dinding yang didominasi wallpaper berlatar belakang karakter anime gadis iblis imut-tersemat ikatan bambu di mulutnya, karakter favoritnya.

"Caranya?"

"Caranya seperti ini!" kaki kanan menendang ke arah wajah kanan Sinetra. Lantas, pemuda yang terkenal ceria itu menangkisnya menggunakan tangannya.

Sreeet!

Buuuk!

"Sudah percaya?" selanya."Kamu hebat juga."

"Terima kasih," ucap Sinetra,"sebelumnya, keberadaanmu enggak boleh diketahui orang. Terutama keluargaku," jelasnya.

Eka menurunkan kaki."Terserah. Tetapi kalau ketahuan, itu bukan urusanku. Aku enggak mau tahu."

Sinetra berpikir sejenak,"Iya, ya. Nanti ketahuan. Ayo, ikut aku!" menarik tangan Eka.

"Hei, tunggu dulu!"

Sinetra tidak peduli, ia berlari menghampiri ruang tengah. Ayah sudah bangun, terpekur di handpone-nya menonton acara memancing. Beliau menoleh dengan melebarkan mata. Eka melepas tarikan Sinetra. Sinetra menghela napas.

"Jangan heboh," Sinetra berkata. Sinetra mulai menceritakannya.

"APA!?"

"INI ENGGAK MASUK AKAL! MASA ANAKKU MENJADI DUA?! ENGGAK MUNGKIN!" raung Ayah mengusap wajah sambil duduk di sofa cokelat di sampingnya Molly ikut memperhatikan.

"Iya, Yah," jawab Sinetra menyakinkan.

Hening lama sekali.

"Aku enggak setuju!" ujar Mama tiba-tiba menoleh ke arah mereka. Membuat Molly kaget, terlonjak dari sofa. Bulu putihnya berdiri, dua mata birunya melebar, badannya gemetaran. Dia merosot dari sofa.

"Enggak setuju kenapa?" tanya Shinta, di belakang mereka.

"Mama enggak setuju jika adikmu-menjadi dua! Apa kata tetangga sama orang nanti!"

Sinetra meraih Molly, mengelusnya dan menenangkannya.

"Mama lihat! Molly sampai kaget gara-gara Mama!"

Mama mendengus tidak memperdulikan.

"Kan, kalau tetangga tanya bisa bilang-siapa nama kamu?" Shinta menatap Eka.

"Eka Prameswara."

"Iya, Ma, bilang saja kalau Eka ini saudaraku maupun Sinetra. Kan beres," lanjutnya. "Iya kan, Sinetra?"

Sinetra masih mengelus Molly, mengangguk.

"Hah? Itu sama saja merahasiakan anak ini!" tunjuknya ke Eka. "Dia seperti mirip apa itu-kayak kembaran! Pakai Bahasa Inggris itu lho!"

"Itu cloooone!" seru Shinta dan Eka bersamaan membuat Ayah yang tadi meraung ikut tertawa.

"Kalau enggak tahu, enggak usah pakai Bahasa Inggris segala!" ejek Shinta.

"Oh ya, pokoknya istilahnya itu!" kata Mama."Bagaimana, Yah?" menatap suaminya.

Ayah menghentikan tawanya.

"Enggak tahu. Terserah dua anakmu," katanya.

Mendengar perkataan suaminya, emosinya tersulut. "APA? Ayah bilang terserah Shinta sama Sinetra?!" serunya,"Yang berhak memutuskan itu kamu, Bang-bukan mereka!"

"Ya, tapi mereka merasa nyaman enggak kalau ada siapa-namamu tadi?" tanya Ayah ke Eka.

"Eka Prameswara. Perasaan tadi sudah ada yang tanya, deh," gumamnya.

"Iya, Eka. Mereka merasa nyaman enggak kalau ada dia? Bagaimana menurut kalian?" menatap Shinta dan Sinetra.

"Ha?"

"Bagaimana ya?"

"Kamu bagaimana, Sinetra?"

Sinetra diam sebentar."Kalau aku
sih..." menoleh ke Eka."Ya, mau sih... tapi aku masih belum percaya... kalau Kak Shinta, bagaimana?"

"Oh eh aku ya?" Shinta menatap Eka.
"Mau saja. Tapi aneh, Sinetra punya clone."

"Nah, dengar kan? Mereka mau menerima Eka. Masa Mama enggak mau sih?" kata Ayah.

Mama masih emosi.

"Tapi enggak enak saja, Bang, sama tetangga!"

"Cuek sajalah, Ma. Kalau ada yang tanya, bilang saja, Eka adik Shinta-adik yang terpisah dari kita. Itu saja."

"Sudahlah, Ma, sekalian kita rahasiakan. Bagaimana?"

Mama menghela napas.

"Baiklah. Mama juga merahasiakan sama menerima Eka," katanya setuju.

"Molly, kamu bagaimana? Kamu mau menerima Eka?"

Molly sudah tidak gemetaran. Menatap Sinetra.

"Bagaimana?"

Molly menjawab dengan meongannya.

"Meooong!"

"Bagus!" kata Sinetra, mengelus kepalanya sayang.

"Oke. Pokoknya masalah ini disudahi dulu, bilang sama teman psikiater kamu, untuk merahasiakan juga, Sinetra," pesan Mama kepada Sinetra.

"Iya, Ma," kata Sinetra.

"Terus menurut Ayah, bagaimana?" kata Mama. Ayah meraih satu putung rokok Wismilak, memasukkannya ke mulut, menyulutnya dengan korek api. Di keluarga ini ayah adalah orang yang paling menyebalkan, pemarah, sifatnya yang seperti anak kecil. Bila marah, mengeluarkan kata-kata kasar, seluruh rumah menjadi imbasnya, keinginannya harus dituruti. Ayah adalah orang kuno bertampremental. Tapi anehnya beliau juga menyukai anime-tidak terlalu seperti Sinetra dan penyuka film laga. Sinetra membayangkan kalau ayahnya sedang marah, muncul sesosok jiwa berdiri di belakangnya. Ia menyebutnya "Stand."

"Iya," kata Ayah.

"Terima kasih. Biar malam nanti saya tidur di ruang tamu saja," jawab Eka.

Sinetra menoleh."Enggak usah. Tidur di kamarku saja. Yah, biarpun rumah ini enggak ada kamar tamunya."

"Tidur berdua? Tapi kan..."

"Sudahlah. Kadang Sinetra itu kalau malam suka nyusul kalau tidur. Iya kan, Sinetra?" ledek Shinta.

"Biarin. Memang aku takut kok tidur sendirian."

Setelah kejadian itu, ia sekarang sudah di sebuah Lab Desain atau mahasiswa jurusan Desain Grafis menyebutnya Lab C, membantu salah satu mahasiswa Jurusan Desain Komputer 2 yang kesulitan mengedit sebuah foto menggunakan program Adobe Photoshop di pojok dekat pintu. Di ruangan itu dinding berwarna putih di pasangi pajangan peringatan "Di larang main game." Selesai membantu mahasiswa itu, ia kembali duduk di bangkunya sambil melanjutkan membaca komik online di internet menunggu Indra, dosen desain sedang rapat.

Pintu terbuka, orang yang ditunggu masuk, memegang berkas absen berwarna hijau menuju meja kerja di sebelah pemuda berkacamata berbingkai kotak hitam berminus lima itu.

"Aduh!" keluhnya, berkas absen yang beliau bawa dibanting keras.

"Kenapa, Bang? Baru datang sudah mengeluh?" tanya Sinetra.

"Saya pusing, Sinetra! Gara-gara rapat tadi membahas mahasiswa yang droup out paling banyak!" jawab Indra, menidurkan kepalanya ke meja.

"Droup out paling banyak? Di jurusan mana itu? Desain Komputer 1, Desain Komputer 2 atau Desain Komputer lain?"

"Huh! Di Desain Komputer 1! Di jurusan saya menjadi wali dosennya!"

"Di Desain Komputer 1 toh. Hebat tuh."

"Hebat apanya? Gara-gara itu saya sebagai wali dosen harus mencoret mahasiswa yang droup out di absen ini," tunjuknya ke berkas yang dibanting tadi.

"Yang sabar saja."

Indra menghela napas diringi anggukan pelan.

"Oh ya, kamu bawa flash disk, enggak? Saya minta filmnya dong. Tapi yang horor."

"Bawa," katanya. "Enggak punya kalau itu. Saya enggak suka nonton horor, tapi lebih suka baca komik horor." mengarahkan mouse, mengganti halaman komik yang dibacanya.

"Aneh, kamu. Padahal penakut."

"Biarin. Saya kan penasaran."

Soundtrack anime favoritnya berbunyi di handpone-nya lalu ia mengambilnya di saku celana. Ternyata Whatssap dari Eka. Membukanya dan membacanya.

Aku pulang sore, nanti sekalian kujemput kamu dari kampus.

Ia pun mengetikkan balasan. Dikirimnya.

Ting!

Ya sudah. Kutunggu di kampus.

Ia memasukkan kembali handpone-nya ke saku celana.

"Siapa hayoo... pacar kamu, ya?"

"Idih, Bang Indra kok kepo sih? Bukan, saudara saya yang Whatsapp."

"Oh." mengambil tas di belakangnya membuka tas, mengambil beberapa camilan. Merobek tengah bungkusnya, menawarkan kepada pemuda tampan berbaju ungu muda itu.

"Mau?"

Sinetra menoleh," Terima kasih," mengambil camilan dari Indra. Meletakkannya di tangan.

Eka tiba di Kampus USER, salah satu kampus swasta yang terletak di Kota Malang yang berada di Jalan Cyborc 4 yang telah memiliki dua cabang di Kota Cyborc lain. Kampus ini juga telah bekerjasama dengan Kampus WINTER yang ada di Jalan Cyborc 10, untuk melanjutkan semester lanjutan.

Eka memarkirkan sekuter melayang hitam milik Sinetra di area parkir. Ia turun, melepas helm, dan mencabut kunci kemudian masuk ke kampus. Tak lupa mengambil handpone di sakunya. Ia sempat memberikan nomor baru di handpone milik Sinetra yang satunya kepada pemuda penyuka anime itu yang memberikan handpone miliknya. Nomor baru itu sengaja dibelikan oleh mama, beliau buru-buru menaiki sepeda melayang bagaikan memburu Snitch di Pertandingan Quidditch ke counter langganannya. Membukanya, mengetikan pesan di Whatsapp.

Sine, kamu di mana? Aku sudah di sini.

Ia mengirimkannya. Tak menunggu lama, pesan yang dikirimnya di balas.

Ting!

Aku di lab C, Lab Desain, di lantai dua.

Ia menutup handpone, menuju tempat yang dimaksud sambil menaiki tangga ke lantai dua. Sampai di lantai dua, berjalan ke arah lab namun beberapa mahasiswi yang sedang duduk di bangku besi hitam panjang menatapnya penasaran. Ada pula yang berbisik kecil membicarakan dirinya.

"Siapa itu? Kok mirip sekali sama Bang Sinetra? Apa saudaranya? Kayak pernah lihat."

"Masa, sih?"

"Iya, itu!"

"Masa enggak tahu? Itu kan DJ Eka, yang sering muncul di televisi. Tapi, mukanya itu galak."

Mendengar bahwa dirinya sedang dibicarakan, tidak mempedulikannya. Ia melihat ke tiang pintu bertuliskan Lab Desain yang bersebelahan dengan ruang 4 yang biasanya digunakan oleh Indra mengajar dan ruang unit kesehatan yang dilapisi kaca tertutupi gorden hijau muda.

"Di sini tempatnya," tangannya meraih ganggang pintu dan pintu terbuka lalu masuk. Di dalam suasana ramai karena alunan musik disetel kencang. Mahasiswa Desain Komputer 2 yang sedang mengerjakan tugas menoleh ke arahnya.

"Mana, Sine?" tanyanya kepada mahasiswa itu.

"Sine siapa, ya, Bang? Saya enggak tahu."

"Maksud saya, Pak Sinetra," katanya membenarkan.

"Pak Sinetra itu di sana," tunjuknya ke arah empat meja di tengah yang ditutupi empat kemputer. Di antara dua komputer terdapat satu scanner dan printer.

"Terima kasih," menghampiri empat meja di tengah yang ditunjuk oleh mahasiswa tadi.

"Sine," panggilnya.

Sinetra mengalihkan wajah, tersenyum.

"Eka!"

Indra yang di sampingnya menoleh. Mata dosen itu melebar.

"D-DJ Eka?!"

"Ha? DJ?" Sinetra bingung.

Semua di ruangan itu menoleh, terdiam, melebarkan mata saat melihat Eka.

"Iya, beneran itu DJ Eka! Masa kamu enggak tahu?"

"Saya kan baru tahu sekarang. Tahunya ya dari Bang Indra. Iya toh, Ka?"

"He-eh."

Lalu mahasiswa-mahasiswi yang berada di bangku kerja masing-masing langsung bergejumbel ke arah Eka sambil membawa catatan kecil dan pulpen, membawa handpone beserta tongsis, ada yang membawa kamera.

"Boleh saya minta tanda tangannya?"

"Boleh minta foto bareng?"

"Aku!"

"Aku!"

"Aku!"

Seisi ruangan ribut. Tidak ada yang mau bergantian. Semua berebutan. Tak ada satu pun yang mengalah. Malahan ada yang menyeret bangku Sinetra ke belakang dengan paksa.

"Minggir dong, Bang, saya mau foto nih!"

Ia pun menggesernya ke belakang lagi namun di belakangnya ada mahasiswi yang lewat.

"Minggir, Bang. Saya mau minta tanda tangan nih!"

Ia menggeser miring ke belakang lagi, mepet dengan kursi dan meja kerja di pojok. Keributan masih berlanjut, Eka tampak kebingungan.

Pintu terbuka pelan, seorang pria bertubuh tinggi, kurus, bermata sipit dan berkulit putih, memasuki ruangan. Dia terkejut melihat rombongan mahasiswa dan mahasiswi berebutan mendekati pemuda yang dilihat dari belakang. Menghampiri Indra dengan membawa berkas berwarna kuning, melewati beberapa gerombolan mahasiswa-mahasiswi lalu Menyodorkannya ke Indra.

"Maaf, ini nilai tugas Nirmana yang Anda minta, Bang," katanya.

"Terima kasih, Vian," ucap Indra menerimanya.

"Ng, ada apa sih? Kok ramai sekali?"

"Itu, di lab kita kedatangan DJ Eka, saudaranya asisten saya. Tuh, dia," tunjuk Indra ke pemuda yang sudah menjadi saudara Sinetra.

"Saudara?" Vian memandang ke arah Eka. Memastikan. "Masa...?" matanya terbelalak tidak percaya."Iya, Bang, itu betulan DJ Eka!"

Di bangkunya, Sinetra murung menyaksikan saudaranya menjadi selebritis. Eka memandangnya seperti makhluk terasingkan lalu memandang lagi ke arah mahasiswa-mahasiswi.

"Begini saja, kalau mau foto sama minta tanda tangan, jangan di sini. Lebih baik di taman di sebelah kampus ini," jelas Eka.

"Oke, siip!!" sorak mereka bersamaan.

Ia menoleh lagi ke Sinetra, ia merasa iba melihatnya. Menurut dengan perkataannya, mahasiswa-mahasiswi Desain Komputer 2 berjalan menyeberang ke taman yang berdekatan dengan kampus. Ia ikut di belakang mereka menyeberang. Mereka menyeberangi taman yang menjulang di Jalan Cyborc 4. Taman tersebut ada tempat duduk panjang bertekel yang ditutupi oleh kain lebar di atasnya. Di sisi-sisinya ada lampu berjejer mengitari taman dan banyak pepohonan serta tanaman yang diberi papan nama. Ada seorang bocah laki-laki sekitar berumur enam tahun sedang asyik memedalkan sepeda kecilnya.

"Nah, gimana kalau tanda tangan dulu. Habis itu foto-foto?" usulnya. "Tapi, jangan rebutan, bergantian saja, nanti masing-masing dapat."

Mereka pun menurut, bergantian. Masing-masing menyodorkan catatan kecil sedangkan yang mengantri berfoto menunggu giliran.

"Ada yang bawa pulpen? Saya pinjam satu," pintanya meminjam kepada mereka. Salah satu mahasiswi memakai hijab hitam, menyodorkan pulpen hitam bermerek Pilot padanya. Ia menerimanya, sekalian mengambil buku catatan milik mahasiswi tersebut." Maaf, biar saya tanda tangani."

Di Lab C, Sinetra yang masih di kursi, menggesernya ke depan mendekati meja di samping meja dosen. Meraih tasnya mencangklongnya, lalu menutup situs komik online yang dibaca tadi. Mouse yang ia pegang diarahkan pada Toolbar, muncul tanda Turn off untuk mematikan program windows. Monitor pun perlahan mati.

"Duluan ya, Bang Indra, Sinetra. Saya mau foto bareng sama saudara kamu," ujar Vian tesenyum, merenteng kamera DSRL hitam bermerek Nikon di lehernya. Menghampiri pintu keluar. Vian adalah seorang dosen seperti Indra. Bedanya, dia dosen non komputer atau dosen mengajar menggambar secara manual. Ia sangat mengidolakan Eka.

"Bang, saya pulang dulu. Assalammualaikum," Sinetra bangkit mengulurkan tangan kepada Indra yang kebetulan menonton acara "Tukul jalan-jalan" di YouTube.

"Walaikummsalam. Ya, hati-hati," ucap Indra.

Sinetra beranjak dari ruangan meninggalkan dosennya yang terlihat masih muda sendirian diiringi nyanyian lagu dari Hard Core Band yang buru-buru menggantinya dengan lagu slow. Ia berjalan menuju tangga, turun ke lantai satu menuju ke pintu kaca yang bergeser terbuka. Dari jauh, melihat kerumunan mahasiswa-mahasiswi Desain Komputer 2, mengantri meminta tanda tangan. Berjalan lagi melewati area parkir, menunggu kendaraan yang berlalu lalang, menyeberang. Ia menghampiri mereka dari jauh.

Tinggal dua lagi Eka selesai mendatang tangani.

"Nih, selesai. Sekarang giliran
berfoto," tandas Eka berdiri. Vian, yang kelihatan tinggi baru datang, menyerobot pasukan mahasiswa-mahasiswi bagaikan Titan Armore. Dia menginginkan di antrian pertama.

"Saya! Saya!" ucapnya tak sabar.

"Iiiih, curaang!!" protes kerumunan mahasiswi. "Masa Bang Vian duluan, sih? Kami duluan!!"

"E, e, e, enggak bisa begitu. Saya kan yang tua, jadi harus yang tua dulu baru kalian," katanya.

"Anda baru datang, Bang, harusnya kami dulu!" seru salah satu mahasiswi berkacamata bulat.

"Iya!"

"Bagaimana kalau berfoto bersama? Kan, adil," usul mahasiswi berkuncir satu.

"Terserah."

Mereka langsung berjejer-jejer membuat barisan menjadi dua. Eka di samping Vian merangkul pundaknya tersenyum lebar.

Sinetra masih di tempatnya memandangi mereka. Mahasiswi berambut pendek, berwajah hitam, melambaikan tangan.

"Bang Sinetra! Sini! Foto bareng, yuk!" panggilnya.

"Enggak, ah."

"Kenapa?"

"Saya enggak mau."

"Ayo dong," menghampirinya,"cuma sebentar kok!"

"Saya enggak mau. Saya pulang saja," berbalik, melangkahkan kaki ke pinggir jalan. Mahasiswi berambut pendek itu sebal.

"Huh! dasar Bang Upin-Ipin!"

Eka mendengarnya tersulut emosi, menghampiri pemuda hitam yang dipaksa ke arah mereka tersebut.

"Jangan panggil Upin-Ipin! Saya enggak suka kalau kamu panggil kayak gitu kepada saudara saya, kalau begitu saya terpaksa pulang!" bela Eka.

Mahasiswa itu berkata,"Iya, maaf. Saya kan cuma bercanda."

Eka masih emosi, menyeret Sinetra.

"Sine, cuma sebentar kok. Baru kita pulang," bujuknya pelan.

"Iya, deh. Sebentar saja." Sinetra menurut.

"Saya yang memfoto ya," celetuk mahasiswi bertubuh tinggi sembari membuka dan menyetel kamera.

"Sudah. Nanti saat difoto, kalian melompat serempak, ya. Nanti habis itu saya." Kemudian berjalan mundur beberapa langkah."Siap ya, satu... dua... tiga...!"

Mereka langsung melompat serempak. Mahasiswi itu menekan tombol "On". Membidikkannya ke arah mereka.

Jepret!

Sesudah difoto, mereka berkerumun lagi menghampirinya untuk melihat hasil jepretan.

"Mana? Lihat dong!"

"Aku mau lihat."

"Aku juga."

"Iya, sabar," katanya memperlihatkan hasil foto kepada mereka.

Saat dilihat mereka semua melompat, tapi ada satu orang yang tidak terfoto dan tidak melompat.

"Bang Sinetra enggak kelihatan, tuh. Enggak kena foto."

"Iya, deng."

"Foto lagi? Tapi, waktunya enggak cukup. Sekarang gilirannya Desain Komputer 3."

Eka pun mengajak Sinetra menjauh dari kerumunan.

"Ayo, kita pulang."

Mereka berjalan dan menyeberang menuju area parkir.

"Kamu tadi enggak kelihatan ke foto, ya?"

"Ya, aku enggak ke foto karena aku malas. Dari dulu aku memang enggak suka di foto."

Tin, tin, tin!

Sebuah mobil melayang hitam berhenti di belakang mereka. Kaca mobil diturunkan. Seorang wanita berparas cantik, kulit putih, memakai kacamata berbingkai kotak cokelat, berambut sebahu, memakai bando pink, memakai baju abu-abu dan berjas putih. Dia seorang dokter, lebih tepatnya Psikiater Sinetra. Bernama Linea Wijaya. Yang tahu tentang masalah Sinetra selama konsultasi.

"Hai, Sinetra dan—" sapanya terhenti. Dia tertegun melihat ada dua Sinetra."Kenapa kamu menjadi dua?!"

"Ceritanya panjang, Dok. Saya mau membahas ini kepada Anda."

"Baik. Ceritakan saja di dalam mobil," tawarnya kepada mereka. Eka menggeser pintu mobil diikuti Sinetra masuk. Duduk di bangku belakang dengan jarak terpisah lalu menutup pintu.

"Begini ceritanya..." Sinetra mulai bercerita.

Linea mendengarkan, membalikkan badan di bangku sopir. Ia bercerita panjang-lebar.

"Gitu, ya? Tapi, di dalam ilmu psikologi, itu enggak ada. Kalau kasus kayak kamu, dua atau lebih kepribadian satu tubuh," jelas Linea. "Bagaimana dengan orangtua sama kakak perempuan Anda? Mau menerimanya?" Linea menatap Eka.

"Ya, diterimalah! Bahkan, dijadikan saudara saya! Tapi kata Mama, saya harus kasih tahu ke Anda bahwa ini rahasia."

Linea mengangguk.

"Baiklah."

"Nah, kalau ngobrolnya selesai, kami mau pulang. Ayo, Sine," ajak Eka membuka pintu.

"Kalau ada apa-apa, telepon atau Whatssap saya. Saya pulang dulu," pamit Linea tersenyum.

Melihat senyumnya, Sinetra terpana. Linea pun beranjak pergi. Ya, ia dan Linea adalah sebaya. Eka meliriknya. "Kamu suka ya, sama dokter itu?" tebaknya. "Kalau kamu suka sama dia, suka cinta atau menganggumi?"

Sinetra tersadar.

"Enggaklah!"

"Ala, bohong kamu! Itu buktinya! Kurahasiakan deh dari Mama, Ayah sama Kakak."

"Emm, gimana ya? Memang aku suka sama dia. Tapi, yang kamu omongin barusan bener. Suka tapi menganggumi. Enggak mungkin cowok jelek kayak aku berpacaran sama dia. Aku enggak level, Ka!"

"Memang kamu jelek. Tapi, aku mau menerima kamu apa adanya sebagai saudara."

Deg.

Eka mau menerimaku apa adanya Batinnya.

Keduanya berjalan ke arah sekuter melayang yang terparkir.

"Apa itu?!" tunjuk salah satu robot satpam menunjuk. Muncul sesuatu mulai mendekat dari arah taman.

Mereka menoleh.

"I-itu apa?" ucap Sinetra.

"Pasti raksasa."

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Ansos and Kokuhaku
2992      870     9     
Romance
Kehidupan ansos, ketika seorang ditanyai bagaimana kehidupan seorang ansos, pasti akan menjawab; Suram, tak memiliki teman, sangat menyedihkan, dan lain-lain. Tentu saja kata-kata itu sering kali di dengar dari mulut masyarakat, ya kan. Bukankah itu sangat membosankan. Kalau begitu, pernah kah kalian mendengar kehidupan ansos yang satu ini... Kiki yang seorang remaja laki-laki, yang belu...
Gloomy
534      343     0     
Short Story
Ketika itu, ada cerita tentang prajurit surga. Kisah soal penghianatan dari sosok ksatria Tuhan.
Chloe & Chelsea
7048      1532     1     
Mystery
30 cerita pendek berbentuk dribble (50 kata) atau drabble (100 kata) atau trabble (300 kata) dengan urutan acak, menceritakan kisah hidup tokoh Chloe dan tokoh Chelsea beserta orang-orang tercinta di sekitar mereka. Menjadi spin off Duo Future Detective Series karena bersinggungan dengan dwilogi Cherlones Mysteries, dan juga sekaligus sebagai prekuel cerita A Perfect Clues.
Unending Love (End)
14852      2023     9     
Fantasy
Berawal dari hutang-hutang ayahnya, Elena Taylor dipaksa bekerja sebagai wanita penghibur. Disanalah ia bertemua makhluk buas yang seharusnya ada sebagai fantasi semata. Tanpa disangka makhluk buas itu menyelematkan Elena dari tempat terkutuk. Ia hanya melepaskan Elena kemudian ia tangkap kembali agar masuk dalam kehidupan makhluk buas tersebut. Lalu bagaimana kehidupan Elena di dalam dunia tanpa...
Army of Angels: The Dark Side
29818      4496     25     
Fantasy
Genre : Adventure, Romance, Fantasy, War, kingdom, action, magic. ~Sinopsis ~ Takdir. Sebuah kata yang menyiratkan sesuatu yang sudah ditentukan. Namun, apa yang sebenarnya kata ''Takdir'' itu inginkan denganku? Karir militer yang telah susah payah ku rajut sepotong demi sepotong hancur karena sebuah takdir bernama "kematian" Dikehidupan keduaku pun takdir kembali mempermai...
Gareng si Kucing Jalanan
6554      2773     0     
Fantasy
Bagaimana perasaanmu ketika kalian melihat banyak kucing jalanan yang sedang tertidur sembarangan berharap ketika bangun nanti akan menemukan makanan Kisah perjalanan hidup tentang kucing jalanan yang tidak banyak orang yang mau peduli Itulah yang terjadi pada Gareng seekor kucing loreng yang sejak kecil sudah bernasib menjadi kucing jalanan Perjuangan untuk tetap hidup demi anakanaknya di tengah...
Shane's Story
1993      740     1     
Romance
Shane memulai kehidupan barunya dengan mengubur masalalunya dalam-dalam dan berusaha menyembunyikannya dari semua orang, termasuk Sea. Dan ketika masalalunya mulai datang menghadangnya ditengah jalan, apa yang akan dilakukannya? apakah dia akan lari lagi?
TRISQIAR
7352      1400     11     
Fantasy
Aku memiliki sesuatu yang berbeda. Ibuku bagaikan monster yang memelihara anak iblis. Teman hanyalah kata kiasan untuk mengutuk mereka Manusia bagiku hanyalah bayangan yang ingin aku musnahkan aku tidak pernah sama sekali memperdulikan hidupku karena aku tidak akan pernah bisa mati dan hal itu membuatku senang membunuh diriku sendiri. tapi karena kebiasaanku, sesuatu itu memberikanku kek...
Blue Island
91      78     1     
Fantasy
Sebuah pulau yang menyimpan banyak rahasia hanya diketahui oleh beberapa kalangan, termasuk ras langka yang bersembunyi sejak ratusan tahun yang lalu. Pulau itu disebut Blue Island, pulau yang sangat asri karena lautan dan tumbuhan yang hidup di sana. Rahasia pulau itu akan bisa diungkapkan oleh dua manusia Bumi yang sudah diramalkan sejak 200 tahun silam dengan cara mengumpulkan tujuh stoples...
Azzash
268      218     1     
Fantasy
Bagaimana jika sudah bertahun-tahun lamanya kau dipertemukan kembali dengan cinta sejatimu, pasangan jiwamu, belahan hati murnimu dengan hal yang tidak terduga? Kau sangat bahagia. Namun, dia... cintamu, pasangan jiwamu, belahan hatimu yang sudah kau tunggu bertahun-tahun lamanya lupa dengan segala ingatan, kenangan, dan apa yang telah kalian lewati bersama. Dan... Sialnya, dia juga s...