Aula utama di pesantren—nampak terlihat indah dengan dekorasi bunga bernuansa putih dan merah muda, terpasang di sepanjang ruang. Meja panjang bertaplak putih dengan beberapa ornamen aestetic di atasnya terlihat selaras dengan puluhan kursi berjajar berwarna senada. Kain-kain panjang yang menjuntai dengan aksen taburan mutiara berwarna gold dengan serat halus-halus berkerlipan dan berkilau, membuat ruang aula semakin sedap di pandang mata.
Hilir mudik orang-orang menata bagian utama dengan dekorasi yang nampak terlihat begitu mewah. Beberapa di antara mereka terlihat sibuk membenahi sudut latar yang bertabur bunga-bunga. Terpasang beberapa sofa berwarna putih di sana, dengan seseorang di bawahnya yang memastikan agar tata letaknya tidak miring. Sore ini, aula pesantren ramai dengan orang-orang yang siap untuk menyelenggarakan sebuah pesta penikahan dari salah satu putra Kiai pemilik pesantren—Gus Furqon. Sudah hampir 95 persen, persiapan yang dilakukan. Hanya tersisa beberapa sudut yang belum terpasang bunga.
Di tengah banyaknya orang yang bertugas, seorang lelaki paruh baya terlihat begitu antusias memberikan komando dan arahan kepada petugas sedari tadi. Ia berjalan bolak-balik hanya sekadar untuk mengecek agar setiap bagian tertata rapih. Ia bahkan memastikan sebuah karpet merah terpasang untuk jalan si mempelai.
Sempurna.
Hanya dalam jangka waktu kurang dari lima jam, ruangan aula tersebut di sulap sedemikian rupa; apik, harum, dan sempurna.
"Katanya, Gus Furqon belum tahu, ya, calon istrinya seperti apa?" salah seorang dari pendekor tengah berinteraksi dengan kawannya. Mereka tengah membahas pernikahan yang akan di helat esok pagi itu.
"Masa iya? lah kok bisa, belum tahu seperti apa, udah mau nikah?" sambung yang lain.
Pria yang saat ini tengah mengaitkan beberapa rangkaian bunga di atas meja, hanya mengedikkan pundaknya.
"Piye, tho, kamu. Tadi bilangnya, Gus Furqon nggak tahu, kaya apa calon istrinya. Sekarang malah nggak tahu kebenarannya!"
"Sssttt! jangan bergosib ... nanti kalau kedengeran salah satu santri di sini, terus lapor ke Pak Kiai, kita bisa-bisa di pecat sama Bos, mau?!" seloroh pria yang tengah menata kursi.
Ya. Ini adalah pernikahan Gus Furqon. Anak sulung dari Kiai Muhibbin—pemilik salah satu pesantren di Malang Jawa Timur.
Pernikahan yang terbilang di ada-adakan. Sebab, baik Gus Furqon, mau pun calon mempelai wanita, mereka tidak ada yang tahu. Pria tampan berkacamata tipis itu, baru saja pulang dari Kairo, Mesir. Ia baru saja lulus dari pendidikannya di sana.
Gus Furqon tidak bisa menentang keinginan orang tuanya. Baginya; pernikahan ini adalah kewajiban yang harus ia jalankan, meskipun tanpa ada rasa cinta dalam hatinya.
Bagaimana mau cinta, bertemu saja belum pernah! Batin Gus Furqon.
Pria yang saat ini berusia 26 tahun itu, tengah menatap senja yang menggantung di petala langit. Sesekali ia membuang napas begitu panjang dan berat. Jika boleh jujur; Gus Furqon ingin sekali menentang pernikahan ini. Ia tidak mau bermain-main dengan yang namanya pernikahan, karena baginya hal itu tentulah sangat sakral. Tapi, apa mau di kata? Gus Furqon hanyalah seorang putra, ia tidak punya keberanian lebih untuk menentang keinginan kedua orang tuanya.
Langit semakin menggelap, nyanyian burung hantu kian nyaring terdengar di cuping telinga. Semakin malam, semakin hening dan hampa. Hanya menghitung jam, Gus Furqon akan menghapus status di kartu tanda penduduknya; dari lajang menjadi menikah. Sungguh ini bukanlah pernikahan impiannya!
Di lain tempat, tepatnya di kediaman keluarga yang begitu terlihat sederhana, seorang wanita tengah menangis lirih di dalam sebuah kamar berukuran kecil. Wanita itu bernam Farhana. Ia adalah calon mempelai wanita dari Gus Furqon.
Farhana. Wanita itu tidak pernah menyangka, jika ia akan di jodohkan dengan lelaki yang belum pernah ia temui sebelumnya. Bahkan ia baru di beri tahu pagi tadi oleh kedua orang tuanya, jika dirinya akan di nikahkan dengan salah satu anak Kiai pemilik pesantren, esok pagi.
"Nduk, Farhana ... buka pintunya, Nak! ibu mau ngomong bentar!" Ibu Siti, mengetuk beberapa kali daun pintu kamar milik sang putri. Pasalnya, setelah di beritahu jika dirinya hendak di nikahkan esok pagi, Farhana belum keluar kamar sejak pagi tadi.
Farhana bergeming, wanita berusia 24 tahun itu masih duduk dan memeluk erat kedua lutut kakinya. Ia tak segut untuk membukakan pintu untuk sang ibu.
"Ayolah, Nduk, jangan gitu! kita bisa membicarakan ini dengan baik-baik, Nak!" Ibu Siti masih bersikukuh, mengetuk pintu dan setengah berteriak agar kiranya sang putri mau membukakan pintu untuknya.
"Baik? semua nggak akan berubah baik, meskipun Ibu dan Bapak mau membahasnya! Farhana akan tetap menikah dengan Gus Furqon! iya, 'kan!" seloroh Farhana, wanita itu masih nyaman dengan posisinya yang memeluk kedua lututnya.
"Buka dulu, pintunya! baru setelah itu, kita bahas! Bapak kamu masih ke masjid!"
Sekeras apa pun hati Farhana, wanita itu akan tetap luluh pada kedua orang tuanya. Tidak ada alasan yang pas, baginya untuk sekadar menentang segala perintahnya.
Farhana beringsut membuka pintu kamar, kelopaknya bengkak, skleranya memerah akibat dari menangis seharian. Wanita itu menundukkan pandangannya di depan Ibu Siti.
"Boleh ibu masuk?" tanya Ibu Siti, ia bahkan tidak pernah masuk dalam kamar sang putri tanpa meminta ijin terlebih dulu.
Farhana mengangguk. Wanita itu lantas mengekori Ibu Siti.
"Ibu sebetulnya juga nggak mau pernikahan ini terjadi, tapi ... karena Kiai Muhibbim sendiri yang menemui ibu serta Bapak kamu, jadi—"
"Jadi ibu merasa tidak enak hati? karena selama ini Ibu bekerja di kantin pesantren itu?" Farhana memotong kalamat Ibu Siti.
Ibu Siti sedikit tersentak dengan nada bicara Farhana yang terbilang berani. Seumur hidupnya, baru kali ini, Farhana memotong pembicaraannya.
"Maaf, Bu. Farhana tidak bisa kontrol emosi ...." Farhana segera mencium punggung tangan Ibu Siti.
Meskipun Farhana bukan jebolan pesantren, namun percayalah; wanita berjilbab panjang serta lebar itu, beradab sangat baik. Mungkin benar, kali ini ia bersikap agak frontal—karena sebuah desakan dan keadaan yang membuat dirinya sedikit kacau.
"Ibu ngerti keadaan hati kamu. Tapi ... ibu mohon, ikhlaskan hatimu untuk menikah dengan Gus Furqon, dia pria baik dan berbudi luhur. Lulusan Kairo."
"Kapan Farhana menentang permintaan Bapak dan Ibu, coba katakan, kapan? Tapi ... untuk satu ini, Farhana harus berfikir seribu kali, apalagi pria yang akan Ibu nikahkan dengan Farhana, bukan sembarang pria, dia berilmu tinggi, anak Kiai, pemilik pesantren. Sedangkan Farhana—" Farhana tidak dapat melanjutkan kalimatnya, ia kembali tergugu. Air matanya terlalu mendominan, hingga ia tidak bisa mengeluarkan kekesalannya dalam hati. Mungkin lewat air mata, ia bisa bercerita pada Ibu Siti.
Ibu Siti merengkuh tubuh sang putri, ia ikut menangis melihat air mata Farhana membasahi pipinya.
"Yakinlah, jika Gus Furqon adalah jodoh yang Allah berikan untuk kamu."
Farhana semakin tidak kuasa menangisi nasibnya.