Entah sudah berapa lama Keisha berdiri di rumah itu. Rumah sederhana yang jauh dari kata mewah. Rumah yang bahkan hanya seukuran paviliun keluarganya yang biasa disediakan untuk tempat tinggal tukang kebun. Namun, menurut informasi yang ia terima dari internet, disinilah Ibunya tinggal.
Keisha hanya bisa mencengkeram pagar rumah itu tanpa berani memanggil orang yang tinggal disana untuk keluar.
Gadis muda yang sangat ia kenali, keluar dari rumah itu sembari membawa sekeranjang pakaian untuk dijemur. Ketika ia melihat Keisha, gadis itu menaruh keranjang pakaiannya, kemudian berjalan mendekat ke arah Keisha.
“Mau apa kesini?” Ia berjalan mendekati Keisha.
Keisha yang selama ini menatap gadis itu dengan penuh kebencian, hanya bisa bergeming. Kenyataan berikutnya tak kalah pahit. Apakah mereka benar-benar saudara?
“Siapa, Ca?”
Sosok yang ia tunggu-tunggu keluar dari rumah. Wanita itu masih menggunakan gaun tidur. Air mukanya yang tenang, langsung berubah tegang ketika melihat siapa gerangan yang bertamu ke rumahnya pagi-pagi.
Gadis yang berdiri di depan Keisha ikut bingung. Kendati membenci Keisha setengah mati, kenyataan bahwa Keisha hampir saja bunuh diri membuatnya tak sampai hati.
“Kamu mau ketemu saya?” tanya gadis muda itu.
Keisha mendongak, kemudian menggeleng. Ia memberanikan diri menatap wanita bergaun tidur yang berdiri tegang tak jauh dari tempatnya berdiri.
“Anda....” Keisha mencoba mengatur napasnya yang memburu. “Maya Kamila?”
Maya memaksakan senyum. “Iya benar. Ada apa?” Wanita itu berjalan menuju pagar, kemudian membukakan pintu untuk mempersilahkan Keisha masuk. “Ayo masuk dulu!”
Keisha melangkah pelan memasuki teras rumah. Namun, gadis itu masih membisu. Raisa yang berdiri tak jauh darinya, menyadari bahwa Keisha mengalami perubahan drastis dari segi penampilan. Gadis glamor yang biasanya menggunakan pakaian yang jauh dari kata sederhana, beserta pernak-pernik seperti kalung, gelang, dan anting, ditambah lagi dengan heeels, kini hanya mengenakan celana denim dan kaus putih. Rambutnya yang biasanya hairdo dengan warna kecoklatan, kini kembali berwarna hitam dan dikuncir satu acak-acakan. Tubuhnya lebih kurus dari kemarin.
“Apakah....” Keisha memberanikan diri bicara. “Apakah anda kenal saya?”
Maya tak sampai hati berkata bahwa ia mengenal Keisha akibat kasus kekerasan kepada putrinya beberapa bulan lalu. “Kita pernah bertemu di kantor polisi.”
“Cuma itu?”
Sepasang mata Keisha berkaca-kaca. Bertepatan itu juga, air muka Maya berubah sendu. Ia tak menggeleng maupun mengangguk.
“Saya lihat anda bicara dengan papa saya di rumah sakit.”
Tak hanya Maya, Raisa pun tercengang dengan kenyataan itu. Memorinya kembali kepada ingatan seminggu lalu, dimana Maya hanya mengabari lewat pesan bahwa ia harus ke rumah sakit menjenguk temannya. Raisa tak pernah menyangka bahwa Maya ke rumah sakit menemui Keisha. Lalu, buat apa Ibunya melakukan itu semua?
Keisha mulai menitikan air mata, lalu mengusapnya cepat. Hatinya sesak menyadari bahwa meski Maya adalah Ibunya, wanita itu tidak mengakuinya. Dan kenapa? Kenapa wanita itu meninggalkannya?
Gadis itu mengeluarkan selembar foto yang memuat gambar dirinya, Joseph, dan juga Maya di kebun binatang. Ia menunjukannya tepat di depan wajah Maya. Tak hanya wanita itu, Raisa ikut tercengang.
“Saya nemu ini di album foto Papa.”
Maya tetap bergeming. Sepasang matanya mulai berair.
Keisha frustasi. Ia memasukkan selembar foto itu ke dalam tas dengan cepat. “Tapi sepertinya saya salah lihat.”
Tanpa mendapatkan jawaban apa-apa, gadis itu berbalik. Mulai melangkah pergi dengan gontai. Sepertinya apa yang ia pikirkan selama ini benar. Tuhan memberikannya napas hanya untuk merasakan cacat mental, ketidaknormalan, dan kesepian. Kini, kenyataan pahit sebagai anak yang terbuang cukup membuat dirinya semakin terpuruk.
Belum sampai Keisha menyentuh pagar, Maya melangkah cepat, kemudian menarik gadis itu masuk ke dalam pelukannya. Ia memecahkan tangisnya, sembari memeluk Keisha dengan erat. Amat erat. Tangis Keisha ikut pecah. Hanya Raisa yang membeku dan sulit mencerna semuanya.
Entah kapan terakhir kali Maya menangis sekencang dan selepas ini. Wanita itu mengusap rambut putrinya dengan penuh kerinduan. Putri yang selama ini hanya bisa ia lihat dari sosial media dan hanya mampu ia pantau dari jauh, kini mampu disentuhnya secara langsung.
***
Semalaman tak bisa tidur, Keisha akhirnya terlelap di atas ranjang. Kendati kamar ini jauh lebih kecil daripada kamar miliknya, Keisha bisa tidur lebih nyenyak. Entah kapan terakhir kali ia bisa tidur tanpa perlu terjaga saat tengah malam.
Maya yang berbaring di sebelah Keisha, mengusap kepala gadis itu dengan pelan. Ia kembali menitikan air mata dalam diam. Rasa bersalah tepat menghujam di jantungnya, ia tak pernah menyangka bahwa Keisha ternyata tumbuh di tempat yang tidak tepat.
Tujuh belas tahun lalu, ketika Maya diusir dari rumah keluarga Westring, ia tidak mendapatkan akses sama sekali untuk menemui Keisha. Entah berapa kali ia harus berdiri di depan rumah, memohon-mohon untuk bertemu Keisha sekali saja. Maria—Ibu kandung Aran—adalah wanita yang amat membencinya tanpa alasan yang masuk akal.
Hingga ketika hari perceraiannya bersama Joseph Westring, lelaki itu mendatangi Maya yang sedang berkemas di apartemen. Ia membawa Keisha yang berjalan lamat-lamat.
Maya merengkuh tubuh mungil Keisha. “Aku mau bawa Keisha.”
“Yang benar saja!” Joseph berkata dengan nada tak bersahabat. “Kamu yakin bisa menghidupi Keisha dengan baik? Keluargaku lebih bisa mengurusnya....”
Maya tertawa getir. Air matanya menetes ketika ia mengecup pipi Keisha. “Kamu benar. Aku memang belum punya uang.”
“Hak asuh jatuh kepadaku. Kamu ingat, kan?”
Maya mengangguk. Ia menatap Keisha penuh arti. “Nanti Mama jemput kamu lagi, ya?”
Bertahun-tahun berlalu, ketika Raisa duduk di sekolah dasar, ia mampu menyewa rumah kecil-kecilan, sudah menerbitkan buku, dan mulai bekerja sebagai editor, Maya pergi ke kediaman keluarga Westring. Rumah itu tak dihuni lagi sejak Maria meninggal akibat serangan jantung. Joseph Westring bersama anak dan istri barunya pindah ke Amerika Serikat.
Lambat laun, ketika sosial media mulai marak, Maya menguntit Keisha di sosial media. Ia melihat putrinya tumbuh sebagai gadis yang cantik, glamor, dan kelihatan hidup dengan baik. Berita-berita yang ia baca mengenai keluarga Westring selalu tampak harmonis. Detik itu pula, kepercayaan dirinya yang hanya berprofesi sebagai penulis kondang, luluh lantak. Ia memutuskan untuk memantau Keisha dari jauh tanpa perlu mengaku di depan putrinya sebagai Ibu kandung. Ia teramat takut pengakuannya membuat Keisha terkejut dan hidupnya menjadi kacau. Belum lagi, berita simpang siur akan berimbas kepada karir putrinya ke depan.
Maya tak mau itu terjadi.
Maka, meskipun Keisha tidak pernah tahu sampai mati sekali pun, Maya tetap menyayanginya dengan memantau dari jauh. Tidak lebih dari itu.
Namun, kejadian di kantor polisi menjungkarbalikan fakta yang ia lihat soal Keisha. Entah berapa malam yang telah ia habiskan untuk menangisi kejadian pahit bahwa Keisha dan Raisa tidak pernah akur. Ia tak pernah menyangka bahwa Keisha, anak kandungnya, bisa melakukan hal-hal di luar batas norma sosial. Ditambah lagi kenyataan bahwa Keisha pengidap gangguan kepribadian antisosial. Putrinya tumbuh dengan kondisi mental yang jauh dari kata baik, hingga ia ingin bunuh diri ketika hilang kendali dan kesadaran.
Ditambah lagi dengan kenyataan bahwa Ibu sambung Keisha hanyalah wanita bodoh dan materialistis yang cuma bisa menyelesaikan segala masalah dengan uang. Keisha yang ia kira tumbuh dengan baik selama ini adalah dugaan yang keliru.
Ketika Raisa SMP, Joseph pernah menemuinya di Yogyakarta tepat setelah Maya mengisi seminar di UGM. Namanya sebagai penulis terkenal membuat Joseph dengan mudah menemukannya. Sembari duduk di bangku penonton, Joseph seakan-akan tertarik kembali ke masa lalu. Cara Maya berbicara, intonasinya yang tegas, mimik wajahnya, hingga pergerakan anggota tubuhnya—itulah setidaknya yang membuat Joseph tertambat. Sama seperti pertama kali melihatnya ketika wanita itu mengikuti kompetisi debat nasional dan berhasil meraih juara utama.
Maya terkejut bukan kepalang saat melihat Joseph berdiri di depannya dengan ekspresi wajah yang sulit diartikan. Mereka pun memutuskan untuk menyingkir ke kafe yang tak ramai pengunjung.
“Aku minta maaf.” Joseph berkata sungguh-sungguh. “Semuanya perbuatan Mama, termasuk menyabotase rumor perselingkuhan kamu.”
Maya mendengus. Setelah ia terluntang-lantung seperti pengemis, tidak mendapatkan akses untuk bertemu Keisha, hingga tertatih-tatih kerja keras siang dan malam. Lelaki pengecut itu baru datang sekarang?
“Aku nggak akan pernah bisa memaafkan kamu. Dan kamu nggak bisa maksa aku.” Maya berujar ketus.
“Keisha baik-baik?” Dibandingkan mendengar penyesalan Joseph yang hanya akan membuatnya muak, kabar Keisha lebih penting dari semua itu.
Joseph mengangguk. “Dia sekolah, sambil mendapat beberapa penawaran untuk jadi model.”
Sarat kerinduan berkumpul di pelupuk matanya. “Baguslah.”
Maya menyeruput jus mangga yang dipesannya, bersiap-siap pergi. “Kamu mau kumaafkan? Pastikan urus Keisha dengan baik!”
Malam itu, setelah mendengar kabar dari Raisa kalau Keisha masuk rumah sakit, Maya bergegas pergi setelah memastikan Raisa sudah tertidur pulas. Persetan Elsa maupun Joseph akan melihatnya. Ketika tiba di depan kamar tempat Keisha dirawat, Maya melihat Joseph menangis dalam diam, sementara anaknya terbaring tak sadarkan diri.
Maya yang melangkah masuk, membuat lelaki itu langsung menghapus air matanya dengan cepat. Wanita itu tak menggubrisnya, ia mendekati Keisha dan mengusap kepalanya. Tanpa bisa dicegah, bulir air bening menetes tiba-tiba. Wanita itu terisak di tempat.
Dengan wajah yang basah disertai mata yang memerah, Maya melirik Joseph penuh kemarahan. “Kita bicara di luar!”
Joseph mengikutinya tanpa mengatakan apa-apa. Sorot mata milik Maya telah menjelaskan semuanya bahwa wanita itu benar-benar sangat marah.
“Kamu tahu kenapa selama ini aku nggak pernah sekalipun muncul di depan Keisha?” Maya langsung menyemprotnya. “Itu karena aku kira dia tumbuh dengan baik di keluarga kamu yang kaya raya itu! Aku nggak mau rumor soal kedatangan aku bikin dia bingung dan hancur. Bikin media menyorot keluarga kamu. Bikin dia kesusahan!”
“Tapi apa?” Sorot mata wanita itu semakin membara. “Dia ternyata sosiopat. Nggak cukup disitu dia gangguan mental....” Tangis Maya langsung pecah di tempat. “Bagaimana kamu dan wanita bodoh itu mengurus anakku sampai bisa seperti itu?”
“Kamu fikir aku mau dia tumbuh jadi anak yang nggak normal seperti itu?” Joseph tak kalah frustasi.
Mendengar kata “nggak normal’, emosi Maya tiba di ubun-ubun. Ia langsung menampar keras Joseph tanpa bisa berpikir panjang. “Kamu benar-benar memuakkan!”
Maya pergi dengan langkah-langkah cepat bak kesetanan. Meski ia akui bahwa ia sangat marah dengan lelaki itu, Maya lebih marah kepada dirinya sendiri. Marah karena ia membiarkan anaknya tumbuh tanpa pengawasan dirinya. Marah karena keputusannya untuk menyingkir dari Keisha hanya karena takut rumor dan sorotan media menyebabkan anaknya tumbuh dengan kehidupan yang kacau.
***
Raisa yang masih syok hanya bisa menangis terisak-isak. Maya bahkan tak bisa menjawab serangan pertanyaan dari anak tunggal yang hari ini resmi menjadi anak bungsunya. Raisa melihatnya dengan tatapan kecewa yang membuat Maya semakin luka.
Wanita itu mengangkat ponselnya yang berdering. Untuk sementara waktu, Maya meminta Aran bersedia untuk membersamai anaknya.
“Raisa di rumah saya, Bu. Masih nangis.”
“Wajar.” Maya mengusap air matanya. “Dia sangat terkejut dan kecewa. Sudah pasti.”
“Saya pun begitu.” Aran menyahut di seberang sana. “Sudah saya duga waktu itu, Ibu bohong waktu bilang nggak kenal Joseph Westring.”
Maya memutuskan telepon dengan sepihak ketika menyadari Keisha sudah terjaga. Gadis itu menguap beberapa kali.
Maya mengusap dahi Keisha dengan lembut. “Mau makan siang? Tapi bantuin Ibu masak, ya. Bisa nggak, nih?”
Keisha mengerjap beberapa kali. Ia bingung dan syok. Namun, senyuman hangat yang diberikan Maya, membuatnya lambat laun tersenyum malu-malu. Ia mengangguk.
***
Maya menyajikan makan malam di atas meja sambil mengamati Keisha yang duduk di depan televisi. Kendati benda itu menyala, tatapan Keisha kosong ke depan. Pikirannya melayang jauh kemana-mana. Entah kenapa, meski ia tahu Maya tak pernah menemuinya selama ini, ia tidak marah, benci, dan kesal. Rasa hangat membuatnya lupa semuanya. Apakah ini alasan Tuhan masih mengizinkannya bernapas?
“Keisha?” Maya menyahut. Gadis itu menoleh. “Masukkan mobil kamu ke dalam! Disini nggak aman, nanti dirusak orang.”
Keisha diam sejenak, sedangkan Ibunya melanjutkan aktivitasnya dengan mengisi air minum ke dalam teko. Tanpa pikir panjang, gadis itu bangkit, memasukkan mobilnya ke halaman samping rumah Maya meski kedua mobil tersebut harus bersempit-sempitan. Kondisi yang sangat kontras dengan garasi mobilnya yang bahkan mampu menambung 4-5 mobil.
***
Keisha makan tak terlalu lahap, membuat mata Maya tiba-tiba panas. Apakah anaknya yang selama ini glamor selalu makan enak? Atau makan kebarat-baratan? Sedangkan Maya tidak bisa memberikan semua itu.
“Ibu minta maaf, ya.” Maya menyudahi aktivitas makannya. “Selama ini Ibu ingin sekali menemui kamu, tapi Ibu lihat kamu hidup dengan sangat baik bersama Papa kamu. Ibu tidak mau kedatangan Ibu malah membuat kamu bingung dan hancur.”
Keisha bergeming. Ia bahkan tidak berani menatap Maya sama sekali. “Kamu nggak marah sama Ibu?”
Pandangan Keisha mulai mengabur. Air bening mulai berkumpul di pelupuk mata, kemudian menetes tanpa bisa dicegah. “Aku....” Gadis itu kesulitan bicara. “Aku sudah terlalu sering marah.”
Keisha hanya bisa terisak. Ia tak bisa berkata apa-apa. Kejadian trauma yang ia alami ketika dirinya masih duduk di sekolah dasar tiba-tiba berputar di kepalanya. Maya berdiri, kemudian memeluk Keisha. Membiarkan anaknya melepaskan tangis di dalam pelukannya.
Gadis itu memeluk erat Ibunya. Keisha sangat marah mendengar kenyataan bahwa Maya tidak menemuinya hanya karena berpikir hidup Keisha sangat baik. Padahal kenyataannya, ia hidup dikelilingi trauma dan luka yang tak kunjung mengering.
“Ibu, seandainya dulu Ibu membawaku lari dari rumah itu. Aku tidak akan mengalaminya.” Keisha berujar dalam hati.
***
Hampir tengah malam, setelah Aran mengantarnya pulang, Raisa membuka pintu rumah pelan-pelan. Ia menyalakan sakelar rumah hingga cahaya menyebar menyinari seluruh ruangan. Melihat mobil Keisha terparkir di belakang mobil Ibunya, Raisa yakin bahwa gadis itu menginap disini.
Raisa terduduk lemas di sofa depan televisi yang tak menyala. Ia kembali terisak pelan-pelan. Kejadian hari ini membuat kepalanya sangat sakit. Bagaimana bisa Keisha ternyata adalah anak kandung Ibunya? Bagaimana bisa gadis yang memotretnya tanpa busana di kamar hotel, hingga melemparkan kaleng minuman bersoda hingga dahinya bengkak adalah kakaknya?
Kalau memang ternyata ia punya kakak, kenapa harus Keisha? Kenapa?
Pintu kamar Ibunya terbuka, membuat Raisa menoleh secara impulsif. Kakak yang tak diinginkannya keluar dari kamar, meliriknya dengan air muka tanpa ekspresi.
“Aku juga kaget waktu tahu ternyata Ibu kandungku adalah Ibu kamu. Meski saat ini aku nggaktahu persis kita beneran saudara atau nggak. Atau beda ayah? Atau bahkan kamu hanya anak adopsi?”
Mendengar penuturan dari Keisha, darah Raisa tiba-tiba mendidih. “Kamu benar-benar nggak ada malu!”
“Aku nggak punya apa-apa lagi, Raisa!” Keisha meninggikan nada suaranya. Matanya menyala dan melirik Raisa penuh kemarahan. “Kamu mau Aran, kan? Ambilah! Nggak akan aku usik kalian lagi!”
“Tapi sebagai gantinya....” Keisha tersenyum licik. “Aku mau Ibuku!”