Read More >>"> Dunia Sasha (Skizofrenia) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Dunia Sasha
MENU
About Us  

“Kamu tau nggak sih kalau anak kamu ini hampir bikin kita malu?” Elsa membuka percakapan panas di atas meja makan. Keisha, yang baru saja menyuap steak medium rare, hampir tersedak.

“Kenapa lagi Keisha?” Joseph Westring mengarahkan tatapannya pada Keisha yang terus saja makan dengan cuek. Lelaki itu tak pernah menduga bahwa kepulangannya dari perjalanan bisnis disambut dengan genderang perang.

“Tau sendiri lah ya anak kamu ini terobsesi sama anak temen kamu itu. Aran.” Elsa menatap Keisha tajam. “Dia melakukan kekerasan ke pacar baru Aran. Malu aku tuh tau nggak!”

Keisha menghentikan kegiatan makannya. Ia meletakkan pisau dan garpu di atas piring dengan kasar. Wajahnya mulai memanas.

Joseph mencengkeram lengan Keisha. “Semua itu bener?”

“Iya!” Keisha berteriak. Ia menyibakkan tangan Joseph yang sedang mencengkeramnya. “Aku cuma punya Aran, Papa! Aku nggak suka dia direbut siapapun. Aku nggak punya siapa-siapa lagi.”

“Anak kurang ajar!” Elsa berteriak tak kalah lantang. “Kamu pikir Mama dan Papa ini apa, hah? Sudah termasuk sabar ya selama ini Mama ngurusin kamu yang nggak berguna sama sekali!”

Keisha bangkit. Dengan sekali gerakan, ia mengibaskan menu makan malam di atas meja makan. Terdengar bunyi berisik bertubi-tubi, kaca yang pecah memecah, hingga makanan yang bercipratan kemana-mana. Pelayan keluarga Westring berkumpul dengan siaga. Bersiap-siap membereskan semua kekacauan.

“Anak setan!” Elsa Kinari berteriak dengan impulsif. Joseph Westring membeku dengan kepala yang tiba-tiba pening.

Entah sejak kapan persisnya, air mata Keisha sudah bercucuran. Gadis itu berteriak sembari menarik-narik rambut ikalnya. Semenjak kejadian di kantor polisi, Elsa tak henti-henti membahas semua itu dan melakukan kekerasan verbal seperti yang selama ini Keisha alami. Ketika Keisha menjawab, wanita itu tak segan-segan melayangkan tamparannya.

Melihat potongan kaca tergeletak di lantai, Keisha meraihnya tanpa berpikir panjang. Joseph dengan impulsif menahannya, namun kekuatan Keisha yang tengah kesetanan mengalahkan segalanya.

Gadis itu menusuk pergelangan tangannya tanpa kesadaran penuh. Darah segar bercucuran di dapur bergabung bersama makanan-makanan yang tumpah.

***

Maya rebah di ranjang kamar pribadinya sembari tertegun. Rasa bersalah tak henti-hentinya menyeruak ketika ia telah lepas kendali menceritakan semua kenyataan itu kepada Aran. Ia tak mampu menunaikan janji kepada Putra Dinata untuk tetap tutup mulut.

Maya yakin Aran mampu menutup mulut. Cerita tujuh belas silam cukup sampai di perbincangan di kedai kafe siang tadi. Namun, Maya tak bisa bohong bahwa kini memori pertemuannya dengan Raisa malam itu, hingga untaian kejadian selanjutnya, memenuhi isi kepalanya.

Sesampai di kediamannya malam itu, Raisa memarkirkan jazz merah di dalam garasi rumah pribadinya. Ia langsung melirik bayi yang sedang berada di gendongan Maya.

“Caca.” Raisa tersenyum manis. Tanpa izin dan aba-aba, ia langsung meraih bayi yang bernama Rana ke dalam pelukannya. Maya hanya bisa mengernyit keheranan, terutama ketika Raisa memanggil bayinya dengan sebutan lain.

Maya menyusul langkah-langkah kecil Raisa memasuki rumahnya. Putra Dinata, suami Raisa, menyambut wanita itu dengan raut wajah khawatir.

“Raisa, sudah kubilang jangan menyetir sendirian keluar!”

Raisa menampakkan wajah tenang sembari mengusap kepala Rana dengan lembut. “Aku ngajak Caca jalan-jalan keluar bentar, Mas.” Ia melirik Maya yang masih berdiri dengan bingung. “Oh ya, itu temenku, namanya Maya. Mulai sekarang, Maya yang akan jadi pengasuh Albert, Aran, dan Caca.”

Putra mengusap dahinya yang tiba-tiba pening. Sedetik kemudian, ia terperangah melihat sosok Maya Kamila, juniornya di fakultas Hukum. Maya pun menampakkan keterkejutan yang sama.

Raisa melenggang masuk ke dalam rumah, membuat Putra langsung melirik Wati yang tertegun di sebelahnya. “Bu, tolong awasi Raisa dan bayi itu!”

Lelaki itu melirik Maya. “May, bisa kita bicara sebentar?”

***

“Apa???” Maya hampir memekik mendengar penjelasan dari Putra mengenai kondisi Raisa yang sebenarnya. Terutama kenyataan bahwa bayi bernama Raisa alias Caca sebenarnya tidak ada.

“Kami memang hampir punya anak perempuan. Tapi keguguran.” Putra menghela napas. “Setelah Skizofrenia menyerang Raisa semakin parah, ia sering berhalusinasi seakan-akan Raisa atau Caca itu ada. Bahkan, bayi itu sama sekali belum kami kasih nama.”

“Apa dia... melakukan hal-hal buruk?”

Putra menggeleng. “Sejauh ini tidak. Dia cuma sering berdelusi. Tapi, anak kami Aran sangat dekat dengan mamanya. Dia menularkan halusinasi kepada anak sekecil itu bahwa ia benar-benar punya adik. Itu yang bikin aku khawatir.”

Maya merebahkan punggunya yang sedari tadi menegang. Pertemuannya dengan Raisa yang dirasa adalah solusi justru memunculkan masalah baru.

“May, saya dengan senang hati kalau kamu mau menemani Raisa. Saya nggak sebut kamu pengasuh. Tapi setidaknya, jadilah teman dia.” Putra menaikkan kacamatanya yang melorot. “Pekerjaan saya banyak. Saya sering perjalanan dinas keluar kota. Saya tidak bisa mengawasi Raisa dan anak-anak saya, terutama Aran yang masih kecil. Bu Wati pun sudah tidak bisa menginap disini lagi.”

Maya mengangguk. Mengiyakan. Lagipula, ia tak punya tempat tinggal dan pekerjaan. Kendati kediaman Raisa tidak terlalu besar, rumah ini cukup nyaman.

Putra Dinata pamit masuk ke kamar pribadinya. Dalam hati, Maya sangat lega suami Raisa tidak menanyakan alasan kenapa Maya bisa terluntang-lantung seperti pengemis. Padahal, lelaki itu tahu dengan siapa Maya menikah sebelumnya.

Wanita itu melangkah menuju satu kamar pribadi Raisa. Kamar itu berisi peralatan-peralatan bayi perempuan. Maya tak menyangka bahwa halusinasi Raisa sudah separah ini. Rana yang sedari tadi digendong Raisa, diletakkan wanita itu di dalam keranjang bayi yang nyaman.

Seorang bocah laki-laki berjinjit. Guna melihat siapa gerangan yang mengisi tempat tidur bayi yang selama ini kosong.

“Aran, ini adik kamu. Namanya Raisa. Panggilan sayangnya Caca. Cantik, ya?” Raisa mengusap pipi Rana—yang kini ia sapa dengan sebutan Raisa alias Caca—dengan lembut.

Meski tak bicara, Maya mampu menangkap antusiasme dari sepasang mata bocah lelaki itu. Ia melukiskan senyum melihat bayi yang disapa Caca itu mulai bangun dan menguap. Pelan-pelan, Aran mengulurkan tangannya, mengusap pipi Caca dengan lembut dan malu-malu.

Ketika kesadarannya kembali, Raisa tak jarang menangis menyadari fakta bahwa anak perempuannya tewas keguguran. Namun, ketika kesadarannya hilang, ia kembali memperlakukan bayi Rana sebagai anak perempuannya. Maya cukup bersyukur Raisa sama sekali tidak melakukan hal-hal aneh.

Maya membantu mengurus Albert dan mengantarkannya ke sekolah. Ia pun mengambil alih mengurus Aran, mulai dari memandikan, memberi makan, hingga menidurkan, ketika jam sudah menunjukkan pukul 9 malam. Ia masih rutin menyusui bayinya. Namun, hal-hal lain seperti memandikan, mengasuh, mengajak bermain, hingga menidurkan Rana, semuanya dilakukan oleh Raisa seorang diri.

Wati yang sedang meracik makan siang di dapur, menyeletuk ketika Maya tengah meminum segelas air. “Mbak, kalau anak mbak dikasih beneran sama Bu Raisa. Dia mungkin bahagia banget kali, ya?”

Dengan logat jawa kental, ucapan Wati terkesan bergurau dan biasa saja. Namun, Maya tak bisa bohong bahwa dadanya ikut sesak. Melihat ketidakmampuannya sebagai orang tua untuk mengurus bayinya saat ini, kadang-kadang ia ingin membiarkan bayinya hidup di tempat yang lebih baik. Termasuk di rumah ini. Bersama keluarga ini. Kendati Raisa punya penyakit, ia mampu mengurus anaknya dengan baik. Putra Dinata, suaminya, adalah figur laki-laki yang bertanggung jawab dan mampu jadi ayah yang baik untuk bayinya.

Air matanya menetes. Ia segera menghapusnya cepat sebelum Wati terlanjur melihat. Entah apa yang akan terjadi di masa yang mendatang, ia masih ingin bersamai anak perempuannya. Meski selamanya harus jadi pengasuh di keluarga ini pun, ia rela.

***

Di kedai kopi siang itu, Aran menghela napas lega. Beban berat yang ia pikul berhari-hari langsung menguap begitu saja.

“Berarti Raisa benar-benar bukan adik saya, kan?”

“Dia adik kamu, meski bukan kandung. Bahkan, nama Raisa alias Caca yang ngasih bukan saya, tapi mama kamu.” Maya tersenyum simpul. “Raisa kecil suka nggak kasih respon kalau dipanggil Rana. Dia terbiasa dikasih stimulus dengan panggilan Caca. Saya rasa Raisa adalah nama yang tak kalah bagus.”

Fakta yang ia dengar benar-benar di luar dugaannya. Ia tak pernah menyangka salah satu penulis favoritnya adalah pengasuh yang pernah memandikannya dan menyuapinya makan. Lelaki itu pun tak pernah menyangka bahwa masa kecilnya dilewati bersama Raisa, hingga kenyataan bahwa nama itu adalah pemberian ibu kandungnya yang sudah tewas. Ditambah lagi kenyataan pahit yang baru ia ketahui bahwa ibunya pengidap Skizofrenia.

“Kenapa Ibu dan Raisa pergi dari keluarga kami?” Aran bertanya hati-hati.

Maya menghembuskan napas panjang. “Maaf Aran, untuk kelanjutannya saya nggak bisa cerita. Cukup sampai disini saja. Setidaknya kamu tahu, kekasih kamu bukan adik kandung kamu seperti di dalam film-film.”

“Kalau itu memang rahasia, saya akan tutupi dari Papa dan juga Albert. Saya nggaktahu mereka tahu atau nggak semua ini. Tapi....” Aran menatap penuh permohonan. “Saya berjanji untuk pura-pura nggaktahu. Saya bakal tutup mulut. Bahkan dengan Raisa.”

Maya menggeleng. “Saya nggak bisa.”

Tatapan Aran kini penuh intimidasi. Ia menggunakan trik negosiasi seperti apa yang sering ia lakukan di organisasi kampus.

“Waktu Ibu kerja di rumah saya, Ibu hanya berdua saja dengan Raisa. Ibu bahkan cerita kalau Ibu nggak punya tempat tinggal dan pekerjaan. Sedangkan Raisa pernah cerita bahwa kehidupannya baik-baik saja. Ayahnya koki hotel bintang lima dengan penghasilan yang lebih dari cukup. Dari kedua fakta yang bertentangan itu, wajarkah jika saya merasa aneh?”

Sepasang mata Maya menegang. “Apa maksud kamu?”

Aran menyeruput ice americano. Kendati merasa tak enak, lelaki itu mencoba rileks. “Ada yang Ibu sembunyikan dari Raisa. Ada fakta yang Raisa nggaktahu.” Maya membeku dengan wajah menegang. “Saya nggak akan nanya apapun soal kehidupan personal Ibu, saya pun nggak akan bilang apa-apa ke Raisa.”

Aran menjamkan tatapannya. “Sebagai gantinya, saya mau tahu semuanya.”

***

Tujuh belas tahun silam, Raisa menidurkan Caca di tempat tidur. Albert terkapar dan mendengkur di sebelah Raisa. Suaminya sedang menuntaskan pekerjaan di ruang tamu. Kendati mereka menginap di Villa dan menempati lantai paling atas, Putra harus tetap menyelesaikan pekerjaannya sembari membawa keluarga kecilnya liburan. Sementara Maya sedang membuat makanan di dapur.

Aran kecil mengusap-usap permukaan wajah Caca yang halus. Sesekali, Caca menyunggingkan senyum sambil menguap. Air mukanya amat menggemaskan.

“Adek udah ngantuk, tuh. Aran belum mau tidur?”

Aran yang memang hemat bicara hanya menggeleng.

“Aran, nanti kalau udah besar jagain adek, ya? Sayang kan sama adek?”

Aran mengangguk. “Iya, Ma.” Bocah itu mengecup pipi Caca singkat dan malu-malu. Dari tontonan televisi, ia mendapat informasi bahwa mengecup pipi adik adalah salah satu cara menyalurkan perasaan sayang.

Melirik gorden putih yang menari-nari, Raisa merasa terganggu. Ia bangkit dan melangkah mendekati balkon. Berniat menutup pintu. Niatnya surut ketika menyaksikan di depannya adalah wahana bermain anak-anak yang ramai.

Raisa sumringah. Ia melangkahkan kaki dengan pelan dan antusias. Menelusuri sekelilingnya. Berharap bisa mengajak Caca, Albert, dan Aran bermain di sana.

Namun, visualisasi wahana bermain itu hilang seketika. Tanpa mampu dicegah siapapun, Raisa Dinata terjun bebas dari lantai lima. Tubuhnya bertabrakan dengan aspal yang keras.

Telat mencegah, Putra Dinata tetap berlari menuju balkon. Lelaki itu membeku ketika melihat istrinya tergeletak di bawah sana. Darah segar mengalir kemana-mana. Orang-orang mulai berkumpul di sekitarnya.

Maya langsung mengungsikan Albert, Aran, dan Caca, serta mengurung mereka di kamar lain. Dengan menghiraukan jerit tangis anak-anak, Maya berlari ke balkon. Putra terkulai lemas di lantai. Saat lelaki itu kehilangan kesadarannya, detik itu pula Raisa Dinata menghembuskan napas terakhirnya.

***

Maya mengusap bahu Aran yang mengguncang. Ia sudah menduga, sekuat apapun Aran kelihatannya, ia akan tumbang saat mendengar penyebab sebenarnya mengapa Ibunya tewas.

Aran mengusap air matanya. Ia mengelap ingusnya dengan tisu. “Kenapa Papa bilang ke kami kalau Mama meninggal karena sakit?”

“Semenjak kejadian itu, Papa kamu menderita Post Traumatic Stress Disorder. Dia masuk rumah sakit jiwa untuk perawatan lebih lanjut. Kamu bayangkan saja, kalau saat itu saya nggak mengungsikan kalian, kamu dan Albert akan mengalami trauma yang sama, bahkan bisa lebih parah.” Maya melanjutkan, “Itulah kenapa, Papa kamu minta ke saya untuk merahasiakan sebab kematian Mama kamu yang sebenarnya. Dia takut kalian trauma. Bahkan, dia nggakmau kalian tahu kalau Mama kalian pengidap Skizofrenia.”

Aran mendengus. “Itulah kenapa keluarga kami bisa bangkrut abis-abisan sampai harus didongkrak oleh Joseph Westring.”

Maya mengerutkan kening. Wajahnya tampak terkejut. “Saya nggaktahu soal itu.”

“Ibu kenal Joseph Westring?”

Maya mengejapkan mata. Seketika itu juga, Aran menangkap air muka Maya tiba-tiba berubah. Wanita itu kemudian menggeleng.

“Nggak. Saya nggak kenal.”

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Dua Warna
420      307     0     
Romance
Dewangga dan Jingga adalah lelaki kembar identik Namun keduanya hanya dianggap satu Jingga sebagai raga sementara Dewangga hanyalah jiwa yang tersembunyi dibalik raga Apapun yang Jingga lakukan dan katakan maka Dewangga tidak bisa menolak ia bertugas mengikuti adik kembarnya Hingga saat Jingga harus bertunangan Dewanggalah yang menggantikannya Lantas bagaimana nasib sang gadis yang tid...
Mahar Seribu Nadhom
4451      1486     7     
Fantasy
Sinopsis: Jea Ayuningtyas berusaha menemukan ayahnya yang dikabarkan hilang di hutan banawasa. Ketikdak percayaannya akan berita tersebut, membuat gadis itu memilih meninggalkan pesantren. Dia melakukan perjalanan antar dimensi demi menemukan jejak sang ayah. Namun, rasa tidak keyakin Jea justru membawanya membuka kisah kelam. Tentang masalalunya, dan tentang rahasia orang-orang yang selama in...
My Teaser Devil Prince
5565      1337     2     
Romance
Leonel Stevano._CEO tampan pemilik perusahaan Ternama. seorang yang nyaris sempurna. terlahir dan di besarkan dengan kemewahan sebagai pewaris di perusahaan Stevano corp, membuatnya menjadi pribadi yang dingin, angkuh dan arogan. Sorot matanya yang mengintimidasi membuatnya menjadi sosok yang di segani di kalangan masyarakat. Namun siapa sangka. Sosok nyaris sempurna sepertinya tidak pernah me...
Hear Me
474      341     0     
Short Story
Kata orang, menjadi anak tunggal dan hidup berkecukupan itu membahagiakan. Terlebih kedua orangtua sangat perhatian, kebahagiaan itu pasti akan terasa berkali lipat. Dan aku yang hidup dengan latar belakang seperti itu seharusnya merasa bahagia bukan?
Semu, Nawasena
6160      2520     4     
Romance
"Kita sama-sama mendambakan nawasena, masa depan yang cerah bagaikan senyuman mentari di hamparan bagasfora. Namun, si semu datang bak gerbang besar berduri, dan menjadi penghalang kebahagiaan di antara kita." Manusia adalah makhluk keji, bahkan lebih mengerikan daripada iblis. Memakan bangkai saudaranya sendiri bukanlah hal asing lagi bagi mereka. Mungkin sudah menjadi makanan favoritnya? ...
KAU, SUAMI TERSAYANG
612      416     3     
Short Story
Kaulah malaikat tertampan dan sangat memerhatikanku. Aku takut suatu saat nanti tidak melihatku berjuang menjadi perempuan yang sangat sempurna didunia yaitu, melahirkan seorang anak dari dunia ini. Akankah kamu ada disampingku wahai suamiku?
Rasa Cinta dan Sakit
426      215     1     
Short Story
Shely Arian Xanzani adalah siswa SMA yang sering menjadi sasaran bully. Meski dia bisa melawan, Shely memilih untuk diam saja karena tak mau menciptakan masalah baru. Suatu hari ketika Shely di bully dan ditinggalkan begitu saja di halaman belakan sekolah, tanpa di duga ada seorang lelaki yang datang tiba-tiba menemani Shely yang sedang berisitirahat. Sang gadis sangat terkejut dan merasa aneh...
Just For You
4148      1634     1     
Romance
Terima kasih karena kamu sudah membuat hidupku menjadi lebih berarti. (Revaldo) *** Mendapatkan hal yang kita inginkan memang tidak semudah membalik telapak tangan, mungkin itu yang dirasakan Valdo saat ingin mendapatkan hati seorang gadis cantik bernama Vero. Namun karena sesuatu membuatnya harus merelakan apa yang selama ini dia usahakan dan berhasil dia dapatkan dengan tidak mudah. karen...
Kala Senja
31453      4512     8     
Romance
Tasya menyukai Davi, tapi ia selalu memendam semua rasanya sendirian. Banyak alasan yang membuatnya urung untuk mengungkapkan apa yang selama ini ia rasakan. Sehingga, senja ingin mengatur setiap pertemuan Tasya dengan Davi meski hanya sesaat. "Kamu itu ajaib, selalu muncul ketika senja tiba. Kok bisa ya?" "Kamu itu cuma sesaat, tapi selalu buat aku merindu selamanya. Kok bisa ya...
When You're Here
1984      921     3     
Romance
Mose cinta Allona. Allona cinta Gamaliel yang kini menjadi kekasih Vanya. Ini kisah tentang Allona yang hanya bisa mengagumi dan berharap Gamaliel menyadari kehadirannya. Hingga suatu saat, Allona diberi kesempatan untuk kenal Gamaliel lebih lama dan saat itu juga Gamaliel memintanya untuk menjadi kekasihnya, walau statusnya baru saja putus dari Vanya. Apa yang membuat Gamaliel tiba-tiba mengin...