Biasanya, Raisa membuka pintu rumahnya dalam keadaan sendirian. Kalau pun ada orang, maka tak lain dari ibunya, Ria, Tasya, dan Fia. Namun kali ini berbeda, tubuh jangkung Aran Dinata berdiri tegap di belakangnya.
Menutupi kemeja putihnya yang kini basah kuyup, jaket denim hijau milik Aran masih terbalut dengan kuat. Raisa tak habis pikir, mengapa saat kondisinya berantakan, Aran selalu terlibat tanpa diduga-duga? Kemarin, perempuan itu mandi jus mangga. Hari ini basah kuyup karena segelas lemon tea. Besok mandi apalagi?
Rambut basahnya kini tergerai kusut dan awut-awutan. Wajahnya kini polos tanpa riasan. Bedak, lipstik, dan blush on luluh lantak tak bersisa. Berikut maskara dan eyeliner yang luntur, meninggalkan rona kehitaman di kantung matanya. Raisa bergidik ngeri membayangkan betapa buruknya ia sekarang.
“Masuk, Kak!”
Aran mengikuti langkah-langkah kecil Raisa. Rumah kediaman Raisa dan ibunya sangat minimalis dan padat. Bagian teras rumah hanya dapat menampung satu mobil dan beberapa pot tanaman. Ruang tamunya sempit, mungkin hanya berukuran 3x3. Raisa mempersilahkan Aran duduk di sofa depan televisi di ruang tengah. Ruang itu menyatu langsung dengan meja makan kecil yang hanya berkapasitas dua orang. Bahkan dari tempatnya duduk, Aran mampu melihat dapur dan kamar mandi. Di belakang dan di sebelah kanannya, terdapat masing-masing pintu yang diduga Aran sebagai kamar Raisa dan kamar ibunya.
Raisa melesat ke dalam kamar. Tak membutuhkan waktu lama, gadis itu keluar kamar dengan mengenakan baju terusan sebatas tulang kering berwarna putih polos. Ia mengambil tempat duduk di sebelah Aran dan mengembalikan jaket denimnya.
Aran hanya melirik benda itu tanpa mengambilnya.
“Aku yang harus nyuci?
Aran mengangguk. “Iyalah. Bau lemon tea.”
Muka Raisa sontak bersemu merah. Kejadian siang tadi benar-benar memalukan. Kalau saja Aran tidak menyelamatkannya, entah apa yang akan terjadi selanjutnya. Apakah ia akan beradu jotos dengan pacar Alfa?
“Kamu tinggal dengan siapa aja disini?”
“Cuma aku dan Ibu. Berdua.”
Aran melirik ke sekitar rumahnya. Meski hari telah menunjukkan pukul lima sore, ibu Raisa sepertinya tidak ada di rumah.
Mengetahui isi hati Aran, Raisa menjawab, “Ibu akhir-akhir ini jarang pulang. Banyak undangan kelas dan bedah buku di luar kota.”
Aran mengernyitkan dahi. “Bedah buku?”
“Ibuku penulis.”
“Siapa?”
“Nama penanya Dunia Maya. Kakak tahu?”
Aran terkesiap. Sepasang matanya langsung melotot. “Serius? Penulis buku Apple of My Eyes, Adorasi, Mawar Merah di Balik Salju, First Sight?” Aran berpikir sejenak. Mengingat-ingat buku karya Dunia Maya yang sering ia baca. “Dia juga nulis biografi, kan?”
Raisa mengangguk mantap. “Betul. Itu Ibuku. Maya Kamila.”
Aran masih saja ternganga. Ia tak menyangka, salah satu penulis favorit tanah air, yang ia sukai beberapa bukunya, adalah ibu kandung Raisa. Dunia Maya tak pernah menulis secara gamblang informasi pribadinya di bagian belakang buku. Foto pribadinya di bagian biodata pun tak pernah ada. Selain itu, meski suka baca buku, Aran tak terlalu berminat ikut seminar kepenulisan dan bedah buku. Itulah mengapa sampai sekarang, ia tidak tahu bagaimana persis sosok Maya Kamila.
“Aku harus minta tanda tangannya!”
“Oke.” Raisa mengangguk. “Aku bakal bilang ke Ibu buat ngasih tanda tangan ke penyelamatku.”
Raisa bergerak menuju dapur. “Kak, mau makan malam?”
Aran melirik arlojinya. “Malam apaan? Ini masih sore.”
“Emangnya minum kopi aja nanti malem bisa kenyang?” Raisa berteriak dari dapur. Seketika Aran baru ingat. Jam tujuh malam nanti, mereka ada pertemuan tim bersama Wildan. “Kalo nggak mau nggakpapa, tapi aku sekarang lapar.”
Aran meraba perutnya yang sebenarnya sudah keroncongan dari tadi. Niatnya makan ke kantin seketika batal melihat tragedi meja panas yang beberapa jam lalu menimpa Raisa.
***
Aran tertidur beberapa menit di atas sofa. Aroma masakan dari dapur Raisa yang tidak memiliki celah dengan ruang keluarga sukses membuatnya terbangun.
Aran duduk di meja makan dan memperhatikan Raisa yang masih sibuk di dapur.
“Kamu masak sendiri?” tanya Aran setelah gadis itu tiba di depan meja.
Raisa masih sibuk bergerak menyajikan dua mangkuk soto ayam, satu mangkuk sambal merah, dan sepiring besar tumis brokoli-tempe.
Gadis itu mengangguk. “Kenapa? Nggak percaya?”
“Bukan begitu.”
“Ibuku tiga hari di Surabaya. Ngisi seminar, lalu jadi juri sekalian. Selain bahan mentah di kulkas, aku nggak dikasih duit tambahan untuk beli pecel lele. Jadi, ya....”
Aran manggut-manggut, lalu berinisiatif menuangkan nasi putih dalam jumlah banyak ke dalam piring tanpa menunggu Raisa menawarkan. Toh, gadis itu tadi memang mengajaknya ‘makan malam’.
Raisa duduk di depan Aran. “Bisa dihitung dengan jari berapa kali aku makan di luar dalam sebulan. Bahkan di kantin sekalipun, aku biasanya bawa bekal sendiri.”
“Kenapa begitu?”
“Bagi Ibu, aku harus bisa survival skill, memasak salah satunya.” Raisa dan Aran mulai menuangkan lauk pauk ke piring masing-masing. “Dari SMA aku udah belajar bersih-bersih, masak, nyetir motor, nyetir mobil. Terus apalagi, ya?”
Aran melahap masakan sederhana Raisa yang—harus ia akui—sangat menyenangkan lidah. Lelaki itu seketika malu mendengar betapa disiplinnya Raisa dididik. Bahkan sampai sekarang, meskipun sudah 17 tahun hidup tanpa ibu, Aran tidak bisa masak sama sekali. Ia terlalu bergantung dengan Bu Wati untuk urusan domestik.
Ingatan Raisa melayang di masa putih abu-abu, ketika Maya mulai menyuruhnya untuk masuk dapur. Raisa selalu bermalas-malasan, ia lebih menginginkan makanan ultraprocess dan junkfood. Maya dengan tegas mulai marah.
“Ibu ngajarin kamu masak bukan karena kamu perempuan. Kalau kamu laki-laki, Ibu tetap suruh kamu masuk dapur!”
Sejak kecil, Raisa terbiasa di berikan tanggung jawab. Ia mulai mencuci piring sendiri ketika masih sekolah dasar. Kendati piring tersebut harus dicuci Maya lagi sebab terkadang masih ada buih sabun yang tersisa. Untuk urusan finansial, Maya sudah mengajarinya konsep menabung sejak kecil. Ketika Raisa ingin mainan, Maya tak serta merta memberinya langsung, melainkan melebihkan uang jajan Raisa untuk ditabung. Tabungan itulah yang akan dimanfaatkan Raisa membeli mainan impiannya.
Beberapa kali, Maya melatih stimulus critical thinking pada putrinya. Mereka kerap berdiskusi sejak kecil mengenai banyak hal, meski hanya sekedar pertanyaan sederhana, ‘kenapa burung bisa terbang? Atau ‘kenapa bumi bulat tapi kok kita nggak jatuh?’.
Dalam pengambilan keputusan, Raisa selalu dilibatkan. Dari kecil hingga sekarang, Maya selalu berkompromi dengannya. Raisa ingat saat itu mereka harus menghias pagar rumah menyambut 17 agustus saat Raisa berusia 10 tahun.
“Kira-kira, kita mau hias rumah gimana, ya? Caca punya konsep?”
Atau hanya sekedar teman-teman Raisa ingin main ke rumah dan Maya harus membuat sesuatu. “Kita harus masak apa, Ca? Kamu punya ide?”
Aran antusias mendengar untaian kalimat demi kalimat dari mulut Raisa seputar Ibunya. Maya Kamila tak hanya piawai dalam mengolah kata-kata rupanya, melainkan pribadinya juga mengesankan, terutama bagaimana cara ia mendidik anak. Kini Aran paham, darimana Raisa—dengan kepribadian yang mengagumkan itu—berasal.
Sedikit rasa cemburu terbesit halus ke dalam lubuk hatinya. Begitu menyenangkan, kah, kalau kita punya ibu? Ketika ia masih SMP dan Albert masih SMA, ayahnya pindah tugas sebagai hakim di Banjarmasin. Kedua anaknya yang terbiasa sendirian memilih untuk tetap di Depok. Selagi Wati masih bersedia mengurus mereka, semuanya baik-baik saja. Namun tak lama setelah lulus SMA, Albert minggat ke Amerika. Melanjutkan kuliah Ekonomi dengan beasiswa parsial. Aran kembali sendirian.
Ia menyadari satu kesamaan lagi dengan Raisa. Kelas sosial mereka hampir sama. Mereka hidup tak berkekurangan saat ini, namun tidak semewah Keisha. Meski tak gusar memikirkan makan, namun keduanya masih harus mengatur uang dan berusaha berhemat. Kakaknya yang sekolah di Amerika hanya gratis biaya kuliah. Untuk biaya hidup, Albert kerja paruh waktu dan masih dapat suntikan dana dari ayahnya. Sekarang pun, Aran sedang kuliah tanpa beasiswa yang pastinya butuh dana cukup besar juga. Saat ini, kondisi keluarganya sangat pas-pasan. Aran pun hanya dapat suntikan dana sebagai asisten laboratorium. Ia belum punya waktu untuk bekerja sampingan.
“Tapi, kalo nanti ketemu Ibu, jangan bilang apa-apa soal kejadian hari ini, ya?”
Aran meneguk segelas air. “Kenapa?”
Raisa terus mengunyah makanannya dengan lahap. “Nggak enak aja.”
Setelah menaruh kembali gelas kaca di atas meja, Aran melirik Raisa lekat-lekat. Tatapannya tertuju penuh pada perempuan dengan mulut yang kini mengembung-ngembung akibat mengunyah makanan dengan sangat lahap. Ingatannya kembali pada kejadian tadi. Terutama saat ia menarik Alfa hingga jatuh telentang.
Raisa menelan makanannya. Merasa aneh ditatap Aran dengan sedikit intens. “Apa?”
“Kenapa sih kamu harus punya urusan dengan cowok ganteng berotak kosong kayak gitu?” Aran menyadari suaranya tak netral lagi. Nada kesal mendominasi penuh disana.
“Waktu aku susulan praktikum sama Kakak, aku pinjem buku panduan praktikum Alfa. Tapi, syaratnya harus ditukar dengan nomor hape. Itu awal mulanya.”
Aran yang sedang minum, tiba-tiba hampir tersedak. “Kenapa harus pinjem sama dia?”
“Daripada nggak minjem? Aku bakal mati berdiri dimarahi Kakak di lab!”
Aran terdiam. Ucapan Raisa ada benarnya. Namun, ia tak pernah menduga bahwa kedekatan Raisa dengan Alfa disebabkan karena dirinya. Aran menggeleng cepat. Meski kesal, tak ada gunanya ia mengungkit-ungkit sesuatu yang sudah terjadi.
Satu hal yang Raisa sadari, ia tak sedih sama sekali. Kehilangan Alfa hari ini, baginya hanya sekedar angin lalu. Namun, jauh dari Aran beberapa bulan lalu, membuatnya harus benar-benar berusaha keras.
Entah apa yang diinginkan semesta. Tepat di saat matahari mulai tenggelam ke peraduan, mereka berbincang sembari makan malam. Berdua saja. Di kediaman Raisa. Sesuatu yang bahkan seminggu lalu tak pernah mereka duga-duga.
***
“Pirolisis plastik? Hmm.” Wildan menimbang-nimbang ide Raisa. Ide tersebut tertuang di dalam esai yang gadis itu gunakan untuk proses seleksi di jurusan beberapa bulan lalu.
“Memang bagus sih. Sampah plastik banyak banget. Tapi kondisi operasinya tinggi. Minyak yang dihasilkan nggak seberapa.” Aran memberikan pendapat.
Menyadari bahwa idenya mungkin tak terlalu apik, Raisa hanya menurut. Toh, dia memang yang paling kecil disini. Pemahamannya mungkin belum terlalu tinggi.
“Aku setuju sama Kak Aran.” Wildan manggut-manggut. “Produknya nggak sebanding dengan kebutuhan energinya.”
“Gimana dengan esai Kak Aran?” Raisa bertanya.
Aran menggeleng. “Tentang fotobioreaktor yang dikombinasikan dengan biodiesel. Bagus. Tapi agak susah direalisasi....”
“Lombanya terbuka kalau mau sekalian merancang pabrik, Kak. Itu poin plus banget. Aku udah baca.” Wildan langsung menggulir panduan kompetisi di laptopnya.
Aran menggeleng, tetap tidak yakin dengan idenya. “Tapi, penelitian biodiesel dari alga udah bejibun.”
Entah sudah berapa kali, Raisa hanya bisa menyeruput latte dinginnya. Membiarkan kedua seniornya berdebat. Gadis itu kembali bingung mengapa jurusan memilihnya. Padahal, dilihat dari diskusi malam ini, Raisa bahkan tidak bisa memberi masukan apa-apa.
“Ide Kak Wildan apa?”
Raisa merasa amat bodoh, ia hanya sanggup menanyakan ide kedua seniornya dari tadi.
“Green diesel dari CPO.” Setelah mendapatkan jawaban, ia kembali diam.
Sudah diduga, Raisa tidak mengerti sama sekali. “Apa itu, Kak? Maaf Kak, saya belum banyak tahu.”
Aran menyunggingkan senyum kecil ketika ekspresi Raisa berubah menjadi kecut. Lelaki itu menyesap single espresso tanpa mengalihkan tatapan matanya. Segala hal mengenai green diesel, mulai meluncur dari mulut Wildan yang terbiasa berbicara dengan kata-kata rapi dan teratur. Beberapa kali, Raisa mengajukan pertanyaan hingga akhirnya gadis itu merasa benar-benar mengerti.
Raisa melirik Aran. Malam ini, air muka lelaki itu sangat bersinar. Tidak seperti biasanya. “Aku nggak ngerti soal fotobioreaktor itu. Boleh jelasin juga?”
Aran mengangguk, kemudian berhamburan penjelasan demi penjelasan. Hanya saja, penjelasan Aran memiliki durasi yang lebih pendek daripada Wildan. Setelah mengerti sepenuhnya, Raisa mengangguk.
Wildan melirik arloji di tangan kirinya yang telah menunjukkan pukul sembilan malam. “Jadi, gimana, nih?”
Aran memangku dahi menggunakan tangannya. Masih berpikir keras. Sedangkan Raisa, takut-takut mencoba mengeluarkan isi pikirannya. Kali ini, barangkali ia cukup berguna.
“Masalah biodiesel tadi kan udah banyak penelitian yang serupa. Terus kalo untuk green diesel, bahan baku CPO bersaing dengan pangan. Betul, kan?” tanya Raisa. Kedua seniornya hanya menganggukkan kepala.
“Gimana kalo kita pake ide kak Aran. Tapi, fotobioreaktor digabung dengan green diesel aja. Produknya kan alkana, lebih baik daripada FAME.”
Keduanya menatap Raisa bersamaan. Tatapan yang tak bisa gadis itu definiskan seperti apa persisnya. Raisa menggigit bibirnya. Merasa kali ini ia hanya beromong kosong dan buang-buang waktu.
“Kak Wildan bilang di panduannya kita boleh menambahkan rancangan pabrik sebagai penguat. Gimana kalau prototype-nya kita bikin fotobioreaktor dan reaktor hidrogenasi, terus rancang pabriknya kita bikin keseluruhan?”
Keduanya terdiam sesaat, mencoba mencerna maksud Raisa. Tak lama kemudian, Wildan bertepuk tangan.
“Bravo, Raisa!” Lelaki itu mengacak rambut Raisa dengan gemas. “Ide kamu brilian!”
Berbeda dengan Wildan, Aran masih tercenung. Di pikirannya justru berkembang beberapa pertimbangan lain. Ide Raisa memang sangat ajaib, tapi eksekusinya tidak semudah itu. Mereka hanya punya waktu persiapan tiga bulan.
“Rancangan pabriknya memang nilai plus, tapi bikinnya nggak semudah itu.”
“Kita tim, Kak.” Wildan menukas. Ia melirik Raisa. “Kamu bisa ngitung neraca massa sama panas?”
“Massa bisa. Tapi, panas belum belajar.”
Aran menimpali. “Nanti aku ajarin cara ngitungnya.”
Wildan menyentikkan jari. “Tunggu apalagi? Neraca massa sama panas dihitung Raisa. Kak Aran rancang alur proses dan alat-alatnya sambil bantu-bantu Raisa. Biar urusan spesifikasi alat, utilitas, limbah, dan ekonomi, aku yang urus!”
Aran mendelik Wildan. Tak percaya dengan rencananya. Namun, mengingat Wildan adalah mahasiswa paling gila belajar sepanjang sejarah, Aran akhirnya mengangguk. Lelaki hitam manis berkaca mata itu sanggup menghitung semuanya.
“Gimana dengan prototype dan risetnya?” Aran kembali bertanya.
“Hmm.” Wildan mulai berpikir. “Aku nggak punya kendaraan sih, Kak. Agak susah mau kemana-mana.”
Aran tahu kemana arah pembicaraan Wildan. “Oke. Kalau begitu, saya dan Raisa cari bahan baku dan bahan pendukung. Kamu bikin alatnya.”
Wildan mengangguk mantap. Memang itu yang ia inginkan. “Sepakat!”
Namun yang janggal adalah kenapa Aran memutuskan untuk membawa Raisa bersamanya? Padahal Raisa bisa saja diserahkan ke Wildan untuk membantu pekerjaannya.
Wildan segera menggeleng. Tidak mau membebani pikiran dengan berbagai macam praduga. Lagipula, Raisa hanya anak kemarin sore, tidak akan benar-benar berguna untuk membantunya membuat reaktor. Lebih baik ia bersama Aran, meski hanya berperan untuk membantu membawa barang-barang.
“Nama pabrik kita apa?” tanya Aran.
“Foto....” Raisa mulai berpikir. “Fotobiodiesel?”
“Cakep!” Wildan mengangguk mantap, kemudian kembali mengacak-acak rambut Raisa secara tiba-tiba. Gadis itu hanya menghembuskan napas kesal. Rambutnya kini awut-awutan seperti sarang laba-laba.
Tanpa Wildan sadari, detik itu pula Aran meliriknya dengan tatapan tak suka.