Dengan lekas, Raisa membereskan catatan, alat tulis, dan buku cetak tebal Elementary Principles of Chemical Processes. Bu Widya melenggang keluar kelas setelah memberikan mahasiswa tugas 10 soal untuk dikerjakan di rumah. Belum sempat Raisa bangkit berdiri, Keisha menahan pergelangan tangannya.
Pagi-pagi sekali, sebelum Fia datang ke kampus, Keisha mengambil tempat duduk di sebelah Raisa. Meskipun bangku kosong tersedia di beberapa tempat, Keisha tak berniat beranjak pergi. Raisa hanya diam. Tiba-tiba kabur ke bangku lain, membuatnya terlihat konyol dan tentunya bukan pilihan yang tepat. Raisa tak peduli. Ia mencoba fokus belajar dengan tenang. Namun, Raisa tak bisa bohong kalau kehadiran Keisha di sebelahnya menimbulkan rasa tak nyaman.
“Keliatannya kamu ngerti materi tadi,” ujar Keisha. “Ajarin aku!”
Raisa mengibaskan tangan hingga genggaman Keisha terlepas. Gadis itu mendengus. “Setelah apa yang kamu lakukan kemarin?”
Keisha benar-benar tak menampakkan rasa bersalah atau setidaknya rasa marah yang menyala-nyala seperti kemarin. Kejadian itu seakan-akan tak pernah ada dalam hidupnya. Melihat raut wajah tenang itu, Raisa semakin marah.
“Aku sudah bilang kalau itu cukup fair.” Keisha mengangkat bahu. “Kenapa sekarang kamu yang dendam?”
Raisa menyadari bahwa perempuan di depannya memiliki kepribadian yang aneh. Ia tidak punya empati. Emosinya berubah-ubah. Keisha terkadang baik dan ramah. Namun, di sisi lain, gadis itu bisa sangat mengerikan.
“Nanti saya suruh Dimas yang ngajarin kamu. Dia lebih pinter.”
Tanpa menunggu respon Keisha, Raisa langsung berlalu. Baru saja lima langkah ia berjalan, Keisha mengatakan sesuatu dengan intonasi tinggi. Membuat anak-anak yang masih berada di kelas, seketika langsung menoleh.
“Aku cuma mau minta ajarin. Aku nggak ngerti materinya. Kamu udah denger kabar, kan, kalau aku gagal di beberapa mata kuliah? Itu karena aku bodoh! Aku nggak sepinter kamu.” Keisha melirik sekitarnya. Anak-anak yang masih berada di kelas kini berfokus hanya pada dirinya. “Maaf, aku kelepasan.”
Raisa membalikkan badan. Ia menyaksikan sepasang mata Keisha melihatnya dengan tatapan sayu. Entah karena ia seorang public figur yang terbiasa di depan kamera, gadis itu berakting dengan sukses. Kini, beberapa pasang mata melirik Raisa dengan sinis.
“Kak, aku bisa bantu ngajarin kalau kamu butuh.” April menawarkan diri setelah mendelik Raisa dengan tatapan tak suka.
Raisa menarik pergelangan tangan Keisha. “Ikut aku!”
Kendati sorot mata beberapa orang mengatakan bahwa Raisa penjahat disini, gadis itu tidak peduli. Raisa enggan bersikap munafik dan memasang topeng. Setidaknya, itulah yang membuat kelasnya lebih tinggi dari Keisha Westring.
***
Setelah menepi di bangku dan meja batu yang tak jauh dari gedung jurusan, Raisa melepaskan tangannya yang sedari tadi menarik Keisha.
Gadis itu memberondong Keisha dengan dua pertanyaan. “Kamu nggak bener-bener minta ajarin, kan? Apa maksud kamu sebenarnya?”
“Kamu lebih pintar dari aku. Setidaknya, tolong bantu!” Keisha menjawab dengan intonasi suara yang melembut. “Aku mengulang Neraca Massa dua kali.”
Raisa langsung melesakkan pantat di atas bangku yang terbuat dari batu. Ia mulai mengeluarkan buku tebal diktat kuliahnya, catatannya di dalam binder, kemudian menyusul peralatan tulisnya dari dalam tempat pensil.
Keisha menyusul duduk di sebelah Raisa, kemudian mengeluarkan barang-barang yang sama seperti yang Raisa keluarkan. Sekuat tenaga melupakan siapa perempuan di sebelahnya, berikut dengan apa yang telah ia lakukan, Raisa mulai menerangkan materi ‘Neraca Massa dengan Reaksi Kimia’. Ia kewalahan menyadari bahwa Keisha tidak mengerti apa-apa. Bahkan, gadis itu tidak mengerti dasar-dasar stoikiometri.
***
Aku bersama Raisa sekarang. Kami berteman. Aku bisa jadi orang baik-baik.
Sebaris pesan singkat dari Keisha, membuat Aran langsung lari terbirit-birit keluar kelas setelah membereskan barang-barangnya. Tak butuh waktu lama, ia menemukan Keisha dan Raisa duduk bersebelahan tak jauh dari gedung jurusan.
Aran mendekati keduanya. Tanpa perlu mengeluarkan sapaan dan basa-basi, Aran menarik lengan Keisha. Memaksa gadis itu untuk berdiri.
“Ngapain disini?” tanya Aran dengan sorot mata tajam.
“Aku belajar.”
Raisa menurunkan tatapan matanya seketika. Tak tahan ia melihat pemandangan di depannya.
“Aku yang bakal ngajarin kamu!”
Genggaman erat Aran di pergelangan tangannya, membuat Keisha tersenyum semringah. Ia langsung membereskan barang-barangnya, kemudian melirik Raisa dengan senyum lebar. Kedua matanya menyorotkan tanda kemenangan.
Sepasang mata Aran memandang Raisa dengan sedih. Gadis itu sama sekali tak mau melihatnya. Belum sempat ia mencoba peluang untuk mengenal Raisa lebih dalam, kedatangan Keisha kembali membuatnya mau tak mau menjauhkan Raisa darinya. Tak ada yang lebih baik dari itu.
Keisha dan Aran melangkah menjauh. Tangan Keisha seketika mengamit lengan Aran. Mereka berjalan bersisian. Sudah tahu pemandangan di depannya tak mengenakkan, Raisa tetap melihatnya.
Ketika sosok dua manusia itu tak terlihat lagi, Raisa memalingkan wajah. Ia menatap buku catatan kuliahnya dengan pandangan kosong. Tatapan itu semakin lama semakin kabur. Matanya mulai basah.
***
Semester ganjil telah berakhir. Liburan semester, meski hanya berlangsung singkat, cukup membuat mahasiswa jurusan manapun menghembuskan napas lega. Begitu pula Raisa, ia tersenyum puas melirik kartu hasil studi miliknya menampakkan huruf-huruf yang memuaskan. Nilainya di dominasi oleh huruf A dan B, tidak ada C, D, apalagi E. Meskipun Dimas dan beberapa anak-anak lain lebih unggul, perempuan itu cukup puas menerima nilai hasil usaha dan adaptasinya sekuat tenaga selama satu semester.
Adaptasi bukan hanya soal perkuliahan, melainkan perasaan.
Semenjak kejadian hari itu, setelah menyaksikan bahwa hubungan Aran dan Keisha tidak mungkin hanya sebatas teman, Raisa beringsut mundur dan tahu diri. Sikap Aran yang kembali dingin dan menjauhinya, membuat Raisa tak punya pilihan selain membenarkan pemikirannya. Bahkan kedua buku tebal Raisa dikembalikan Aran melalui Dimas. Merasa canggung, Raisa pun mengumpulkan laporan hanya melalui Dimas. Tidak ada yang terjadi diantara mereka selain praktikum Kimia Organik.
Raisa masih sangat menyukainya. Namun, berharap apalagi mencari celah untuk maju, bukan sesuatu yang bisa ia lakukan. Kepercayaan dirinya benar-benar menyusut sekarang.
Fakta lain yang ia alami adalah Keisha sangat baik padanya. Beberapa kali menjalani kuliah bersama, gadis itu mengambil tempat duduk di sebelah Raisa. Seringkali, Keisha bertanya mengenai soal-soal perhitungan yang membuatnya tidak mengerti. Gadis itu bahkan beberapa kali meminta Raisa untuk mengajarinya. Semua permintaan Keisha berakhir dengan anggukan. Mereka belajar berdua di bangku batu dekat jurusan, di perpustakaan, di kelas kosong, bahkan di kafe tak jauh dari kampus. Satu hal yang Raisa sadari, Keisha berusaha belajar dengan keras.
“Raisa, makasih, ya.” Suara itu seketika membuat Raisa menoleh ke kanan. “Berkat kamu, aku dapet B. Walaupun beberapa mata kuliah lain tetap gagal.”
Raisa mengangguk mendengar suara riang dari Keisha—yang tiba-tiba saja menemukannya termenung di gazebo fakultas Teknik. Meski beberapa kali belajar berdua. Meski beberapa kali ia menyadarkan dirinya untuk profesional. Meski Keisha tak lagi menunjukkan kepribadian anehnya. Raisa harus mengakui bahwa ia tetap merasa tidak nyaman.
“Kita ke mal, yuk?”
Raisa menggeleng. “Nggak perlu.”
Keisha langsung menarik pergelangan tangan Raisa. “Ayo!”
Entah dorongan darimana, Raisa berdiri. Kakinya melangkah kemanapun Keisha membawanya.
***
Raisa melirik daftar menu di depannya sambil geleng-geleng kepala. Harga menu-menu di restoran steak ini hampir setara dengan uang jajannya selama dua minggu. Raisa merasa dungu sebab lambat menyadari bahwa teman hang out-nya saat ini adalah anak tunggal pengusaha kaya raya dan terkenal.
Maya Kamila cukup terkenal, namun literasi masyarakat Indonesia yang masih tergolong rendah, membuat ibunya hanya dikenal segelintir orang yang memang bergelut di bidang literasi dan suka membaca buku. Selain itu, Raisa dan Maya hidup pas-pasan. Jauh dari kata mewah. Meski tabungan Maya saat ini lebih dari cukup, Ibunya tidak akan melatihnya untuk hidup berlebihan.
Raisa menggeleng. “Aku nggak bisa makan disini. Kita cari KFC aja! McD juga boleh. Tapi jangan di tempat kaya gini!”
Keisha menurunkan buku menunya. “Aku suka makan disini.”
“Aku juga mungkin suka. Tapi, harga sepiring steak disini sama dengan uang jajanku dua minggu.”
Keisha menyunggingkan senyum. “Aku yang bayar.”
Raisa menggeleng. “Nggak ada yang aku lakukan sampe kamu harus balas budi.”
Keisha menghembuskan napas panjang. Beberapa teman yang pergi dengannya selama ini sangat kontradiksi dengan sikap Raisa. Alih-alih menolak, teman-temannya justru senang dan keenakan. Keisha pun sadar beberapa orang sengaja memanfaatkannya dan menyedot habis uangnya. Namun, karena rupiah bukanlah masalah bagi keluarga Westring, Keisha tak pernah ambil pusing.
“Aku masuk di angkatan yang sama dengan Aran. Aku kuliah dua tahun lebih dulu dari kamu. Di tahun pertama kuliah, aku gagal. Nilaiku jelek. Aku ikut semester pendek, nilaiku tetap saja jelek. Mama memaki-maki aku. Papaku yang tidak pernah perhatian, tiba-tiba memaksaku cuti kuliah setahun....”
Keisha mengatupkan mulutnya seketika. Entah dorongan darimana, ia menceritakan semuanya kepada Raisa—seseorang yang pernah ia benci karena nyaris merebut Aran darinya. Tak pernah sebelumnya ia mengumbar aib keluarganya. Gadis itu melirik Raisa dengan takut-takut.
Raisa terdiam sesaat. Ia menyadari bahwa dibalik kepribadian Keisha yang terkesan aneh, latar belakang keluarga mungkin saja menjadi pemicu terbesarnya. Meskipun Raisa dan ibunya tak pernah merasakan hidup mewah seperti Keisha, namun Maya adalah sosok ibu terbaik baginya. Sosok ibu yang sangat jauh dari kata toxic.
Beberapa kali, Raisa mendengar dari teman-temannya bahwa Keisha memiliki keluarga yang sempurna. Kontradiksi dengan apa yang barusan Keisha ceritakan dengan singkat. Raisa menarik kesimpulan bahwa keluarganya hanya sempurna di depan kamera.
“Cerita saja kalo mau cerita.” Raisa merespon dengan tatapan penuh empati. “Aku tahu kakak public figur. Tapi, aku cuma dengar. Aku nggak punya akun sosial media. Jadi, aku bisa jaga rahasia dengan baik.”
Keisha mengangkat wajahnya. Sorot matanya berbinar. Bibirnya melukiskan senyum antusias. Melihat Raisa mulai cair dari kekakuannya dan memanggilnya dengan sebutan ‘kakak’, membuat sebagian hatinya merasakan sensasi kesenangan yang tak pernah bisa ia jelaskan.
“Kalo begitu, pesan dulu!”
***
Sebaris pengumuman terpampang di mading jurusan beberapa bulan lalu. Poster pengumuman dengan latar bergambar industri kimia itu mengumumkan bahwa telah terbit kompetisi kelas Asia dari Tokyo University dalam bidang inovasi. Khusus untuk jurusan Teknik Kimia, sang empunya kompetisi menerbitkan tema mengenai Renewable Energy yang telah lama menjadi isu-isu dunia sebab cadangan energi fosil yang sebentar lagi surut.
Pak Subroto, selaku dekan jurusan, memberi putusan untuk melakukan seleksi secara adil. Beberapa dosen yang telah memberikan nama-nama anak kesayangannya yang pintar di kelas, atau hanya sekedar menyenangkan dirinya, ditolak Subroto mentah-mentah. Seleksi berlangsung mulai dari penyerahan kartu hasil studi, penulisan esai dengan tema relevan, kemudian pemaparan dalam bahasa Inggris. Kecuali semester akhir yang harus fokus pada proyek rancangan pabrik dan penelitian, setiap angkatan diberi kesempatan yang sama untuk mencoba. Akan dipilih satu dari masing-masing angkatan yang akan bergabung menjadi tim berjumlah tiga orang.
Wildan, anak semester tiga yang menduduki jabatan sebagai ketua Himpunan Peneliti Muda, seketika unggul melebihi teman-teman seangkatannya. Dengan IPK 3.8, ide yang kreatif, penulisan esai yang apik, serta bahasa Inggris yang mencerocos—dosen penguji tak perlu bekerja keras untuk menentukan pilihan.
Namun untuk seleksi anak semester satu dan lima, dekan, wakil-wakilnya, dan beberapa dosen harus mengadakan rapat. Nama dua orang dari masing-masing angkatan telah muncul ke permukaan. Hanya saja, mereka harus memilih antara kemampuan akademik dengan IPK yang tinggi atau ide dan penyajian esai yang apik.
Setelah beberapa waktu berdiskusi, nama dua orang yang terpilih untuk bergabung bersama Wildan pun diputuskan.
***
Raisa melonjak kegirangan melihat papan pengumuman di lantai satu—gedung perkuliahan khusus mahasiswa baru. Diantara 50 nama yang ikut seleksi, sebaris kalimat dalam pengumuman itu menyatakan bahwa ia yang terpilih. Gadis itu akan berangkat ke Tokyo. Sesuatu yang tak pernah ia duga sebelumnya.
Dimas yang berdiri di sebelahnya tak dapat menyembunyikan rasa kecewa. Memiliki nilai tertinggi satu angkatan, membuat harapannya sempat melambung tinggi. Namun kini, ia dikalahkan oleh perempuan yang sering bertanya padanya mengenai pelajaran. Dimas bisa mengerti mata kuliah dengan sekali kejap, sedangkan Raisa harus mengulang kembali di rumah baru paham. Namun kini, ia kalah telak.
“Selamat ya, Ca.” Dimas berujar dengan tersenyum kecut.
Raisa menoleh. “Dim, kalau nanti ada lomba lagi, aku mau sekelompok sama kamu.”
Dimas mendengus. “Setelah ini, senior-senior keren bakal hire kamu. Kenapa aku?”
Raisa menepuk bahu Dimas. “Otak kamu lebih encer!”
Gadis itu berlalu meninggalkan Dimas yang masih berdiri dan tercenung. Sembari berjalan menuju ruang kelas lantai tiga atas arahan di papan pengumuman, Raisa mengetik sesuatu di ponsel.
Anak kelas A yang pernah ia pinjam buku panduan praktikumnya, kemudian ditukar dengan nomor ponselnya, cukup mewarnai hidup Raisa selama sebulan belakangan.
Alfa, aku bakal ke Tokyo. Seneng banget!
***
Raisa tersenyum ramah dan menganggukan kepala dengan sopan saat memasuki ruangan kelas berukuran besar. Subroto menduduki bangku sentral, dengan beberapa dosen duduk di sebelah kanan dan kirinya.
Gadis itu menyunggingkan senyum ramah kepada lelaki hitam manis dengan kacamata tebal di sebelahnya. Ia menebak bahwa lelaki itu adalah kakak kelasnya yang resmi satu tim dengannya.
Raisa melirik satu bangku kosong di sebelahnya. Sisa timnya belum tiba di ruangan.
“Maaf, terlambat.”
Suara berat dan serak-serak basah itu mendorong Raisa untuk menoleh ke sumbernya. Dengan santai, pemilik suara itu langsung duduk di bangku sebelahnya.
“Udah demisioner masih aja sibuk kamu.” Ujar pak Dekan dengan santai.
“Presiden baru masih perlu diajarin, Pak.”
Raisa tertunduk seketika. Cinta pertamanya yang ia hindari dan lupakan, kini duduk manis di sebelahnya. Entah apa sebenarnya permainan takdir yang mempertemukannya kembali pada kesempatan kedua. Kesempatan yang seakan-akan memberi bisikan layaknya sebuah peluang. Raisa segera menggelengkan kepala. Menyadarkan dirinya.
“Selamat untuk Wildan Mulyana, Raisa Kamila, dan...” Dekan mulai membuka rapat. “Aran Dinata.”