Seisi ruangan seketika terdiam menyaksikan seorang perempuan dengan heels 15 cm berjalan bak model menuju ruang kelas. Para mahasiswa yang sedang menunggu kedatangan Bu Widya—pengajar mata kuliah Neraca Massa—tidak pernah sekalipun melihat sosok itu selama hampir dua bulan mereka kuliah.
Dengan mengenakan kemeja putih mengkilap yang dikombinasikan dengan celana jeans setengah betis, perempuan itu melesakkan pantat tepat di sebelah Raisa. Rambut kecoklatannya kini dikuncir satu, menampakkan tekuknya yang putih mulus dengan beberapa anak rambut berjatuhan disana. Parfumnya yang semerbak membuat Raisa beberapa kali menghembuskan napas.
Raisa mengenali penampilan dan wajah itu. Bagaimana bisa ia lupa? Terutama kenyataan bahwa perempuan itulah yang berpelukan dengan Aran tempo hari. Namun, ia tak pernah menduga bahwa gadis modis itu akan jadi teman sekelasnya, bahkan duduk tepat di sebelahnya. Dalam hati, Raisa menggerutui Fia yang harus izin kuliah karena sepupunya akad nikah di luar kota.
Perempuan itu menyunggingkan senyum diantara bibirnya yang kini tersapu lipstik merah. Ia mengulurkan tangan tepat ke depan Raisa.
“Kenalin, aku Keisha Amanda Westring.”
Raisa menyambut uluran tangannya, kemudian berujar pelan, “Raisa Kamila.”
Sepasang mata hitam Raisa sontak jatuh terperangkap ke dalam mata tajam yang dilapisi lensa kontak berwarna biru muda itu. Raisa menarik tangannya, kemudian menyunggingkan senyum ramah.
Senyuman Keisha Amanda Westring sangat manis, namun kontradiksi dengan sepasang matanya yang kejam dan menakutkan.
***
Keisha Westring—begitulah namanya dikenal orang-orang sebagai selebgram dan model perempuan tanah air. Pengikut media sosialnya bahkan hampir satu juta. Tak ada yang dapat dibanggakan dari dirinya, kecuali wajah cantik dan tubuh moleknya. Ia yang pandai memilah-milih pakaian, menjadikan kecantikannya semakin terkuak ke permukaan. Barang-barang branded dengan harga selangit yang ia kenakan menjadi sorot utama netizen-netizen pengguna media sosial.
Selain fisik dan penampilan, Keisha mendapatkan privilege sebagai anak tunggal dari keluarga terpandang dan kaya raya. Konon, keluarganya memang sudah kaya turun temurun. Bahkan ayahnya, Joseph Westring, tidak pernah merasakan pengalaman mengirim aplikasi pekerjaan ke beberapa perusahaan setelah mendapatkan gelar sarjana. Lelaki itu langsung menduduki jabatan tinggi di perusahaan keluarganya yang rata-rata bergerak di bidang fashion.
Disinilah mereka bertiga duduk manis menghadap lensa kamera—yang entah sudah beberapa kali—mengeluarkan cahaya yang menyilaukan mata. Ketenaran Keisha sebagai selebgram dengan fashion sylist, ditambah perusahaan fashion ayahnya yang berkembang pesat, menjadikan keluarga mereka sebagai role model keluarga bahagia. Setelah pemotretan dan syuting iklan berakhir, gambar-gambar mereka akan tampil di berbagai majalah. Video-video mereka pun akan tampil di iklan televisi dan media sosial.
Saat waktu istirahat singkat berlangsung, beberapa penata rias mendekati Keisha dan Ibunya—Elsa Kinari—guna memberikan beberapa tambahan polesan di wajah. Joseph Westring mengambil air mineral yang diserahkan salah satu kru, kemudian meneguknya habis.
Kendati usianya hampir 45 tahun, Elsa Kinari tetap terlihat seperti wanita 30-an. Saat pergi berdua saja dengan Keisha, tak jarang orang-orang menganggap Elsa adalah kakaknya, bukan ibunya. Dengan warna cat rambut kecoklatan seperti Keisha, rambut Elsa berbentuk bob pendek dan tebal.
Namun, di balik semua keharmonisan di depan kamera, Westring adalah keluarga yang berantakan.
***
“Aku nggak ngerti sama sekali, buat apa sih kamu masih kuliah?” tanya Elsa Kinari saat mereka tengah menyantap makan malam di meja makan rumahnya yang berukuran besar. Beberapa pelayan yang sedang menyajikan santapan beringsut mundur. Perang akan segera terjadi.
Keisha melirik ayahnya yang tetap makan dengan cuek. “Pa, kenapa aku nggak boleh kuliah?”
“Bukannya Mama nggaktahu, ya, Keisha!” Suara Elsa mulai meninggi. “Kamu kuliah cuma buat ngikutin Aran, kan? Bahkan kamu ambil jurusan yang sama dengan dia. Kamu lihat sendiri KHS kamu! Sudah berapa mata kuliah yang gagal?”
Elsa tak bisa menebak kemana arah jalan pikiran Keisha. Keluarganya mampu membayar kemanapun Keisha mau sekolah. Wanita itu menginginkan Keisha bisa sekolah di jurusan yang benar-benar diinginkannya. Elsa bahkan siap mengirimnya ke kampus-kampus terbaik di dunia. Namun, putri semata wayangnya justru mengikuti Aran dan mendaftar kuliah negeri di pinggiran kota. Dua tahun adalah waktu yang cukup baginya untuk merelakan Keisha kuliah di jurusan Teknik Kimia. Namun, hasilnya? Nilai Keisha anjlok. Semua praktikum harus mengulang. Beberapa mata kuliah gagal.
Setahun belakangan, Joseph meminta Keisha cuti kuliah untuk berpikir ulang. Ia mengirim Keisha ke Washington DC. Gadis itu menjadi model produk fashion perusahaan ayahnya di negara adikuasa selama satu tahun. Setelah itu, ia merengek minta pulang dan kembali kuliah di jurusan yang Keisha sendiri tidak minat.
“Papa kasih kamu kesempatan satu semester. Perbaiki nilai kamu! Kalau kamu gagal lagi, kamu harus pindah jurusan! Bila perlu pindah kampus.” Joseph berkata tegas sebelum akhirnya menyudahi makan malamnya. Nafsu makannya tiba-tiba saja hilang.
Lelaki 45 tahun itu meneguk segelas air mineral. Kemudian melangkah cepat menaiki tangga untuk memasuki kamar pribadinya. Hampir 10 tahun, ia dan Elsa sudah pisah ranjang. Status mereka sebagai suami istri dipertahankan hanya demi citra dan nama baik.
Elsa menyesap jus alpukatnya yang segar. Setidaknya, hanya ini yang dapat membuat pikirannya sedikit jernih. Ia menyentakkan gelas jus yang telah kosong di atas meja, kemudian bangkit berdiri.
“Kalau kamu udah sadar otak kamu nggak sanggup belajar, setidaknya gunakan penampilan kamu buat bertahan hidup!”
Kata-kata setajam mata pisau itu diucapkan Elsa dengan lantang, sebelum akhirnya wanita paruh baya itu melangkah memasuki kamar pribadinya. Hati Keisha tersayat mendengarnya. Ia terus berusaha mengunyah opor ayam masakan Trisna—salah satu pelayannya—yang tiba-tiba terasa hambar.
Kalau seseorang bertanya padanya mengenai siapa manusia yang paling ia benci di dunia, dengan lantang, Keisha akan menjawab ibunya—Elsa Kinari.
***
Meja kantin fakultas Teknik saat makan siang berlangsung nyaris penuh. Beruntung kali ini, Raisa dan teman-teman kelasnya—Fia, Andre, Soni, dan Dimas mendapatkan bangku tepat di bawah pohon mangga yang rindang. Hari ini adalah kali pertama Dimas, mahasiswa paling pintar di kelasnya, bergabung makan siang bersama mereka.
Kedatangan Keisha Amanda Westring di kelas Kimia B cukup membuat satu angkatan semester satu menjadi ricuh. Beberapa dari mereka memang sudah lama mengikuti akun media sosial Keisha. Tak jarang dari mereka terkejut bahwa Keisha ternyata kuliah di jurusan Teknik Kimia. Gosip-gosip lain pun bermunculan di permukaan, mulai dari kegagalan Keisha selama kuliah hingga akhirnya cuti, sampai dengan hubungan khususnya bersama Aran Dinata.
“Enak banget, sih, Raisa bisa kenalan langsung sama dia. Gimana rasanya jabat tangan Keisha? Mulus nggak?” tanya Soni.
Alih-alih bahagia, Raisa justru tertekan. Perkenalannya dengan Keisha di kelas Neraca Massa dua hari lalu meninggalkan sesuatu yang janggal baginya. Gadis bermata tajam itu seakan-akan tahu bahwa Raisa menyukai Aran. Hal yang paling aneh adalah Keisha hanya berkenalan dan tersenyum ramah padanya. Sedangkan anak-anak lain? Gadis itu hanya berlalu dengan raut wajah tak bersahabat.
Andre mendecakkan lidah. “Gue masih nggak percaya kalau Keisha beneran pacar kak Aran.”
“Kenapa?” Fio bertanya setelah mengunyah mie tumisnya. “Keisha kan cantik, kaya, dan terkenal. Siapapun bisa kepincut sama dia, termasuk Kak Aran.”
“Kalau yang pacaran sama kak Aran modelnya kayak Raisa aku percaya.” Andre kembali membantah. Namun tanpa sadar, perkataannya membuat Raisa yang tengah menyeruput es teh tawar hampir tersedak.
“Tapi Keisha? Aku lebih percaya kalau dia pacaran sama Jeremy. Mahasiswa paling ganteng sekampus anget.”
Dimas yang biasanya irit bicara ikut menimpali. “Aku setuju sama Andre.”
Raisa tersenyum kecut. “Keisha cantik. Siapa sih yang nggak mau?”
Seketika, Raisa tertusuk oleh kata-katanya sendiri. Mengingat bagaimana Keisha berpenampilan, membuat kepercayaan dirinya tersedot habis seketika.
Teringat rencananya membeli jus mangga, Raisa bangkit dari kursi, kemudian melangkah menuju kedai penjual beraneka macam jus. Jus buah fakultas Teknik yang terkenal enak, membuat beberapa orang rela mengantre. Termasuk Raisa. Namun, perempuan setengah baya sebagai penjual sangat cekatan dalam membuat jus. Antrean itu tak terasa sama sekali.
Setelah mendapatkan minuman yang ia inginkan, Raisa menggenggam erat jus mangga di dalam gelas plastik lalu berbalik. Ia kembali melangkahkan kaki menuju meja teman-temannya yang masih berbincang-bincang sambil tertawa terbahak-bahak. Kehadiran Soni dan Andre yang suka melawak membuat suasana semakin cair.
Kecepatan langkah kaki dari arah kanannya, membuat Raisa tak sengaja menabrak seorang perempuan dengan bau parfum semerbak. Baju terusan biru laut yang dikenakan perempuan itu seketika terkontaminasi oleh jus mangga milik Raisa yang tumpah. Langkah kaki perempuan yang tadinya melesat cepat, seketika terhenti seperti menginjak rem.
Raisa terkesiap menyadari bahwa ia bertabrakan dengan Keisha. Kenyataan berikutnya yang semakin membuatnya gugup adalah baju terusan biru laut yang licin itu, kini berwarna kekuningan di bagian dada. Mengingat betapa kayanya Keisha, Raisa semakin merasa takut.
Bagaimana jika ia minta bajunya diganti? Ah, berlebihan!
“Keisha, saya minta maaf. Bener-bener nggak sengaja.” Raisa berkata sambil menunduk-nundukkan kepala. Gadis itu merogoh saku kulot hitamnya, mencoba meraih tisu.
Keisha menghela napas panjang. Bajunya kini basah. Tangannya lengket. Kondisi ini sangat menjengkelkan sekaligus menjijikkan baginya. Beberapa orang mulai memfokusikan diri untuk menonton mereka berdua.
Raisa hampir mengusap tangan Keisha yang basah, kalau saja Keisha tidak menepiskan telapak tangan, mengisyaratkan bahwa itu sama sekali tidak perlu.
“Nggakpapa.”
“Aduh, saya bener-bener nggak enak. Gimana? Baju kamu basah.”
Keisha tersenyum. Tentu saja dipaksakan. Ia menepuk bahu Raisa pelan. “Aku bilang nggakpapa.”
Lagi-lagi, Raisa mengamati bahwa senyuman dan sepasang mata itu kontradiksi.
Keisha hanya berlalu dari sana tanpa meminta Raisa untuk bertanggung jawab. Beberapa anak yang menonton mereka berdecak kagum. Berdasarkan apa yang terlihat, Keisha tak hanya cantik, tapi pemaaf dan penyabar.
Hanya Raisa yang mampu merasakan bahwa Keisha tidak benar-benar menerima kecerobohannya.
***
Ketika waktu hampir menunjukkan pukul lima sore, Raisa duduk menyendiri di gazebo fakultas Teknik Kimia yang sepi. Tidak ada orang yang duduk di sekitarnya selain gadis itu. Dengan bermodalkan papan ujian, Raisa masih sibuk menulis analisis data pada praktikum pembuatan etanol yang sebentar lagi selesai. Tangan kanannya menari-nari di atas kertas A4 menggunakan pena bertinta biru. Sesekali, ia melakukan peregangan pada tangannya yang pegal.
Raisa melirik arlojinya sekali lagi. Aran Dinata hanya menunggu hingga pukul lima sore. Setelah itu, laporan tidak akan diterima dengan alasan apapun. Tepat di sebelahnya, bertengger dua buku tebal karya Seneca dan Massimo yang akan ia pinjamkan kepada Aran.
Gadis itu berteriak secara impulsif ketika cairan dingin membasahinya dari atas ke bawah. Bukan hanya rambut dan kemejanya yang basah, melainkan laporan 18 halaman yang ia tulis dengan susah payah. Semuanya basah. Cairan kekuningan dengan bau mangga menetes dari rambut hitamnya.
Raisa mendongak. Ia menemukan Keisha Amanda Westring menyiramnya dengan segelas besar jus mangga dingin yang lebih encer.
Raisa mencoba mengamankan laporan, tas, dan buku-bukunya, meskipun laporannya terlanjur basah. Tulisan bertinta biru dari tangannya yang pegal seketika kabur satu persatu. Tinta pena itu luruh di kertas A4.
“Kurang ajar!” Teriak Raisa.
“Biar fair.” Jawab Keisha santai. Kali ini, gadis itu memiliki keseragaman ekspresi. Sorot mata dan lukisan bibirnya sama-sama menampakkan kemarahan.
“Kalau kamu dendam, kenapa kamu tadi bilang nggakpapa? Kamu bisa bilang saya harus apa. Apa saya harus cuci baju kamu....”
Keisha menukas, “Memang nggakpapa, tapi cuma ini hukuman yang adil.”
“Adil?” Raisa mendengus. Ia hampir menangis melihat laporannya yang sebentar lagi tenggat, justru tergeletak dengan rusak dan basah. Membayangkan betapa sulitnya ia mengerjakan laporan, membuat kemarahan sontak sampai ke ubun-ubunnya.
“Saya ngerjain laporan ini susah!”
Keisha tersenyum tipis melihat kemarahan perempuan di depannya. “Kamu mau ganti baju saya? Emang punya uang? Saya nggak yakin.”
“Saya cuma numpahin setengah gelas. Nggak setimpal....”
“Setimpal.” Keisha menukas. “Kamu bikin saya marah atas hal lain juga.”
Keisha mengeratkan tas jinjingnya. Memberikan ancang-ancang untuk pergi.
“Laporan kamu nggak sebanding dengan harga baju dan harga diri saya.”
Keisha berkata dengan intonasi pelan, namun setajam mata pisau. Gadis itu melangkah cepat hingga bunyi heels mengetuk-ngetuk rantai keramik. Raisa berdiri, membisu, dan kelimpungan.
“Cewek brengsek!!” Teriak Raisa murka. Keisha yang berjalan memunggunginya hanya mendengus tanpa menghentikan langkah kaki.
Beberapa orang yang lewat di sekitar, menatap Raisa dengan terheran-heran. Gadis itu berakhir dengan menangis sendirian di gazebo fakultas Teknik. Persetan dengan tatapan orang-orang. Ia tak peduli sama sekali. Raisa bahkan tak peduli bahwa Keisha yang dihadapinya adalah anak orang kaya dan figur yang terkenal. Laporannya basah sekarang dan hari sudah melewati pukul lima sore. Semuanya kacau.
Raisa mengusap cepat air matanya. Laporan rusak itu, secara kebetulan, harus ia kumpulkan ke Aran Dinata. Pasti ada cara.