Chapter 5
Sudah lebih dari sepuluh kali aku menelusuri kamar ini. Mulai dari lemari, meja rias dan kamar mandi. Semuanya sudah kutelusuri demi mencari celah untuk bisa kabur dari kamar ini. Hasilnya nihil. Seluruh isi kamar ini hanya ada barang-barang cantik yang tidak berguna.
Di dalam kamar mandi ada satu jendela berterali besi di atas. Tapi ukuranya terlalu kecil. Dengan ukuran sekecil itu, kepalaku saja tidak akan masuk. Mustahil untuk kabur melewatinya.
Lebih dari delapan jam aku terkurung di kamar ini. Dan kalau boleh jujur sebenarnya aku lapar sekali. Dua puluh empat jam lebih aku tidak makan dan minum apapun.
Freddy sepertinya benar-benar marah padaku. Sebab tidak sekalipun dia mengantarkan makanan atau minuman meski mengurungku begini. Terpaksa, aku meminum air kran kamar mandi untuk mengurangi rasa laparku.
“Sepertinya kamu tertidur cukup lama. Pasti sekarang kamu kelaparan.” Freddy tiba-tiba sudah berdiri di depan pintu kamar yang terbuka. Dia menungguku keluar dari kamar mandi. Kemudian menyapaku seolah tidak terjadi apa-apa.
“Ayo. Makan malam denganku sekarang. Pastikan kamu memakai gaun ini.” Freddy mengeluarkan satu gaun cantik berwarna biru tua. Gaun ketat yang membuat kedua bahuku terbuka lebar.
Aku menatap gaun itu sambil menelan ludah.
“Pakai sepatu ini dan juga beberapa perhiasan yang kubelikan untukmu di sana.” Freddy mengambil sepatu high heels berwarna hitam yang tidak terlalu tinggi. Kemudian menunjuk perhiasan yang tergeletak di meja rias.
Sebenarnya aku ingin sekali menolaknya dan langsung bergegas keluar dari kamar ini ketika melihat pintu kamar terbuka. Namun aku mengurungkan niatku dan kembali berpikir jernih. Sekarang ini aku tidak tau sedang ada di mana. Langsung kabur begitu saja malah akan menyulitkanku. Belum lagi kalau sampai dia marah dan malah melakukan hal yang lebih gila dari sekedar mengurungku.
Jadi aku memutuskan untuk menahan diri dan mengikuti permainannya. Selama dia tenang, aku akan terus mencari informasi dan cara agar bisa kabur dari sini.
“Mandilah dan berdandan yang cantik. Aku akan menjemputmu lima belas menit lagi.” Freddy kembali mengunci pintu. Membiarkanku sendirian di dalam kamar.
Tepat lima belas menit dia datang menjemputku.
“Kamu tumbuh jadi wanita yang sangat cantik.” Dia memujiku yang mengenakan gaun ketat pilihannya itu.
Aku memang tidak ingat keseluruhan masalaluku dengan Freddy. Namun aku ingat kalau dulu aku sering mengganggunya, bermain di garasi rumahnya dan memintanya membelikanku kado. Seingatku namanya dulu bukan Freddy, tapi Didi. Hanya sampai di sana aku mengingatnya.
Aku bisa mengingat itu karena beberapa hari yang lalu aku baru membereskan rumah dan menemukan foto usang. Yang tidak lain adalah foto ulang tahunku. Di sana ada beberapa orang yang tidak asing bagiku, dan benar saja. Salah satu orang dalam foto itu adalah Freddy atau tetangga yang dulu kupanggil dengan nama Om Didi.
“Ikuti aku.” Dengan ringan dia menarik kedua bahuku dan menempelkannya pada dadanya yang bidang. Melangkah keluar kamar.
Ketika melihatnya dari dekat aku baru menyadari kalau dia sangat awet muda. Kalau saat kecil usiaku masih enam tahun dan dia sudah dua puluh dua tahun. Bukankah saat ini dia sudah berusia empat puluhan? Penampilan dan wajahnya benar-benar bisa menipu semua orang.
Aku terus mengamati rumah ini selama berjalan dengan Freddy. Rumah ini memang sangat besar bak istana. Sejauh yang kuamati ada tiga lantai. Lantai satu aku belum tau pasti, yang jelas lantainya berwarna putih bersih.
Lantai dua merupakan kamarku dikurung. Di depan kamarku ternyata ada ruang tunggu minimalis. Di sana tersedia TV dan sofa yang berwarna hitam. Di sebelah kirinya ada satu satu pintu yang aku yakini itu adalah pintu menuju balkoni lantai dua.
Terakhir yaitu lantai tiga. Lantai di mana Freddy membawaku. Ternyata lantai tiga hanya memiliki satu ruangan yang luasnya 6x3. Ruangan ini memiliki dua ventilasi kaca di langit-langit atapnya. Ruangan ini juga sudah di dekorasi seromantis mungkin. Lampu kuning bertebaran di mana-mana. Aku juga mencium aroma mawar hampir diseluruh ruangan ini.
Dari jauh aku bisa melihat sebuah meja yang sudah dihiasi dengan lilin-lilin kecil, ditemani dengan seikat bunga mawar merah yang berdiri cantik di dalam vas bunga. Hidangan steak dading dan anggur merah yang juga turut mengisi meja itu.
Hanya ada kami berdua di ruangan ini.
“Duduklah di sini.” Freddy menarik satu kursi untukku.
“Aku sengaja menyiapkan semua ini untukmu. Bagaimana, kamu suka?” Freddy tersenyum.
Tempat ini pasti akan sangat romantis bagi pasangan kekasih yang saling mencintai. Tapi tentunya tidak berlaku denganku. Ini justru sangat menakutkan. Seseorang sampai sejauh ini padaku. Memangnya apa yang dulu sudah aku lakukan padanya?
“Makanlah. Aku tau kamu pasti sangat lapar. Aku juga sengaja belum makan malam untuk bisa makan denganmu.” Aku tidak mabuk tapi merasa mual mendengar Freddy berkata-kata manis.
Meski aku sangat kelaparan, tapi aku tidak bisa langsung memakan sesuatu yang disiapkan oleh Freddy. Mengingat bagaimana aku bisa sampai ada di sini. Aku tidak mau tertipu untuk kedua kalinya.
Freddy tidak memahami kecurigaanku. Dia malah tersenyum lebar sambil menuangkan anggur merah pada gelas kaca di depanku, juga miliknya.
“Kita harus merayakan ini.” Freddy mulai menganggat gelasnya. Menatapku seolah memberi aba-aba untuk ikut mengangkat gelasku.
“Kenapa? Kamu nggak suka anggur? Mau aku bawakan yang lain?” Wajahnya mulai panik. Gelas di tangannya sudah kembali berdiri di atas meja.
“Bukan.” Aku berusaha tenang di hadapannya.
“Kamu nggak suka hidangannya? Atau Kamu hanya nggak mau makan berdua denganku?” Ekspresi wajah Freddy berubah sangat cepat.
Apa dulu dia pernah berekspresi seperti itu padaku yang masih kecil? Aku tidak ingat.
Baiklah, karena aku melihat sendiri botol anggur tadi masih tersegel. Semoga benar-benar aman. Batinku sambil menelan ludah.
“Bersulang.” Aku langsung mengangkat gelasku dan mengajaknya bersulang sebelum situasinya semakin tidak terkendali.
GLEK GLEK GLEK.
Rasanya sangat aneh, aku memang tidak pernah cocok dengan minumal beralkohol.
“Appetite.” Freddy langsung mengiris daging di hadapannya sembari tersenyum senang.
“Tunggu!” Aku berseru cukup kencang sehingga membuatnya terkejut. Matanya tajam menatapku.
“Em.. Aku befikir bagaimana kalau kita saling men.. menyuapi satu sama lain?” Mulutku terasa ngilu saat mengajaknya untuk suap-menyuap. Tapi hanya itu yang terpikirkan olehku.
Aku tidak tau apakah hidangan di depanku ini aman dari rencana jahat Freddy atau tidak. Kalau dia setuju dengan acara suap-menyuap ini, bukankah itu bisa menjadi bukti kalau hidangan ini aman.
“Aku nggak tau kalau kamu bisa seromantis ini. Oke.” Freddy setuju. Itu berarti hidangan malam ini aman dari rencana jahatnya.
“Tempat ini bagus sekali Om Didi.” Aku berkata sambil menyuapi mulutku dengan irisan daging.
Hening sesaat.
“Akhirnya kamu ingat. Aku tau kamu nggak akan lupa.” Freddy menatapku penuh haru.
“Apa Om selama ini tinggal di sini?” Alih-alih menanyakan kabarnya, aku langsung menanyakan informasi yang lebih penting padanya.
“Dari pada itu, Kamu harus tau bagaimana usahaku mencarimu. Bisa-bisanya Kamu pergi tanpa pamit padaku.” Saat ini Freddy pasti membahas masalah aku yang tiba-tiba pindah ke rumah Nenek.
“Om mencariku sejak hari itu? Apa Om tau apa yang terjadi padaku setelah aku pergi?” Aku ingin tau sejauh apa Freddy menyelidiki tentang diriku.
“Kamu nggak perlu panggil aku Om lagi. Toh, kita juga hampir seumuran sekarang. Kamu bisa panggil aku sesukamu saja.” Freddy berbicara sambil mengiris daging dan menyuapkan ke mulutnya.
Mau sekarang ataupun dulu, umur kami terpisah dua puluh tahun. Mana mungkin sekarang bisa seumuran begitu saja. Batinku menggerutu.
“Kamu menyukai rumah ini? Rumah yang seperti istana ini, aku membangunnya sambil terus memikirkanmu.” Rupanya Freddy masih ingat kalau aku yang dulu sangat menyukai rumahnya.
“Iya. Aku menyukainya.” Aku meremas pisau di tangan kananku. Dia tidak menjawab pertanyaanku, malah berceloteh tentang hal yang tidak penting.
Sebenarnya, aku bisa saja melukai Freddy dengan menggunakan pisau steak yang saat ini kupakai. Tapi setelah kupikir-pikir, pisau kecil yang sedikit tumpul ini tidak akan cukup membuatnya langsung tak sadarkan diri. Untuk mengiris daging saja butuh tenaga, sepertinya Freddy sengaja menyediakan pisau yang tak terlalu tajam.
Lagi pula kalau bertindak sembarangan seperti itu, justru aku yang sangat dirugikan nantinya. Jadi aku memilih untuk bersabar.
“Setelah kita menikah, Kamu tidak usah bekerja lagi. Aku yang akan membiayaimu.” Freddy menatapku sambil tersenyum.
“Kenapa aku harus keluar dari pekerjaanku? Aku menyukainya.” Aku mengerutkan keningku. Meminta penjelasan.
“Aku tidak suka kalau ada lelaki lain yang mendekatimu. Apalagi sampai menyentuhmu seenaknya.” Freddy meneguk gelas anggurnya.
“Menyentuhku?” Aku menatap Freddy. Berhenti mengiris daging.
“Contohnya Pak Bakri. Bukankah dia sering mengganggumu?” Freddy menatapku. Datar.
“Bagaimana Kamu tau? Apa kecelakan itu perbuatanmu?” Kedua tanganku langsung mengepal.
“Tidak sepenuhnya perbuatanku tapi Aku memang yang merencanakannya.” Freddy tersenyum.
“Kamu-” Aku spontan berdiri.
“Kebanyakan orang lemah di luar sana ketika membenci seseorang akan melampiaskan rasa bencinya dengan brutal. Tapi Aku memilih cara yang berbeda.” Freddy memotong kalimatku.
“Aku akan membiarkannya menderita. Kemudian setelah dia nyaris mati atau kehilangan salah satu fungsi organ tubuhnya, barulah Aku datang menyelamatkannya. Dengan begitu dia akan tetap berterimakasih padaku. Tentu saja dia harus berterimakasih padaku. Bukankah kehilangan salah satu jarinya lebih baik dari pada kehilangan satu kepalanya?” Freddy tersenyum lebar. Persis seperti iblis.
“Jadi kamu yang mencelakai Pak Bakri?!” Suaraku meninggi.
“Aku sudah membiarkan dia hidup. Padahal dia sudah menyentuhmu.” Freddy masih sibuk memasukan daging ke mulutnya tanpa sedikitpun rasa bersalah.
Air mataku mengalir. Rasa bersalah dan lainnya menumpuk jadi satu. Aku tidak tau harus bagaimana.
“Sampai sekarangpun Aku masih sangat kesal. Haruskah Aku mengambil satu matanya juga?” Kedua pupil Freddy membesar. Dia tersenyum menatapku. Seolah apa yang dia pikirkan itu sesuatu yang lucu.
“Freddy!” Suaraku kembali meninggi.
Terlepas dari apa yang sudah Pak Bakri lakukan padaku, selama ini dia sudah menjadi rekan kerja yang baik. Aku juga sudah memaafkan semua perbuatannya. Dengan keadaan Pak Bakri yang sekarang, kehidupannya pasti lebih sulit. Sudah begitu Freddy masih ingin menyakitinya lagi. Keterlaluan!
“Dan lagi, bagaimana bisa Kamu masih mau bekerja di sana? Semua orang di sana mempermainkanmu. Pada acara jamuan makan itu, bagaimana bisa hanya Kamu yang berlarian ke sana-ke mari? Padahal orang-orang lainnya asik menikmati hidangan yang ada.”
Tentu saja aku sibuk! Saat acara itu aku merupakan panitianya. Tugasku adalah menyapa para tamu undangan yang datang dan mengarahkan meraka pada meja masing-masing. Mendata siapa saja yang sudah hadir dan siapa yang belum. Dan lagi tidak hanya aku yang berlarian ke sana-ke mari tapi Managerku juga! Kami semua sibuk pada hari itu. Batinku berteriak.
“Ah, kalau di pikir-pikir berarti bukan hanya Bakri yang harus diberi peringatan. Beberapa rekan kerjamu yang lain sepertinya juga-”
“Berhenti!” Aku kembali berteriak.
Hening sesaat.
“Aku akan keluar. Jadi jangan sentuh mereka.” Nafasku terasa sesak. Air mataku terus menetes.
“Oke. Aku tidak akan menyentuh mereka. Apapun, asalkan Kamu keluar dari pekerjaan itu.” Freddy memaksa.
Aku harus segera keluar dari tempat ini.
***
Esok harinya pukul 08.00 Freddy membuka pintu kamar dan mengajakku untuk sarapan di lantai satu. Ini sebuah kemajuan. Aku bisa tau seluruh struktur rumah ini perlahan-lahan secara pasti. Bukankah bila hendak keluar kita harus tau letak pintu keluarnya terlebih dahulu.
Aku menyusuri anak tangga yang diberi karpet merah. Di sini aku benar-benar diperlakukan bak seorang ratu. Berjalan di atas karpet merah, tidak pernah terbayang dipikiranku.
Barang-barang di dalam rumah ini juga keseluruhannya sangat luar biasa mewah. Aku tidak bisa membayangkan berapa banyak uang yang Freddy habiskan untuk membangun rumah ini.
Di ruang tengah pilar-pilar tinggi menyanggah rumah ini dengan kokoh. Di langit-langit terpasang lampu kristal yang sangat besar. Lampu itu sangat cantik seperti kumpulan kristal yang bergantung di atas sana. Aku tidak tau nama perusahaan yang membuatnya, tapi setahuku lampu itu berharga sekitar enam ratus dolar. Aku yakin karena dulu pernah tertarik dengan lampu itu saat hendak membeli perabotan rumah. Dan langsung terkejut begitu melihat harganya.
Dinding di lantai satu ini hampir seluruhnya di tutupi oleh walpaper berwarna emas. Dan dinding-dinding itu dihiasi dengan lukisan-lukisan yang aku tidak mengerti apa maknanya. Di setiap titik tertentu ada guci-guci besar dan pernak pernik lainnya. Rumah ini terasa seperti musium atau istana galeri.
Aku sama sekali tidak terharu. Aku justru merasa perihatin. Bagaimana bisa dia begitu terikat padaku? Apa yang sebenarnya terjadi pada hidupnya sampai seperti ini.
Selain mengamati perabotan, aku juga memperhatikan dengan khusus pintu-pintu yang ada di lantai satu. Dengan waktu yang singkat itu aku hanya bisa menemukan pintu kamar mandi dan pintu kamar lainnya. Sepertinya hanya ada dua kamar di lantai satu dengan satu kamar mandi luar.
Di bawah tangga aku juga melihat ada rak yang penuh dengan makanan anjing dan kucing. Aku belum sempat menjangkaunya karena Freddy merangkul bahuku dengan erat.
Orang gila ini punya peliharaan? Batinku tidak percaya.
Meja kayu jati yang dipoles dengan warna coklat emas menyapaku ketika sampai di ruang makan. Begitu juga dengan enam kursi lainnya. Semuanya terbuat dari kayu jati yang dipoles coklat keemasan.
“Hidangan pagi ini sup asparagus. Kamu sangat suka seafoodkan?” Freddy menarikkan satu kursi untukku. Kami duduk berhadap-hadapan.
“Silahkan.” Dia Menyeduhkan satu mangkok penuh sup aparagus padaku. Lagi-lagi aku tidak bisa percaya padanya.
Aku mulai mencari celah. Bagaimana caranya agar bisa makan dengan tenang. Aku mengamati meja makan. Semua makanan sudah tersedia tapi tidak ada air mineral. Ini kesempatan bagus.
“Aku butuh air minum.” Aku berakting seolah sekarat karena kehausan.
“Oke. Aku ambilkan air.” Freddy melangkah menuju dapur yang ada di belakang ruang makan. Mengambil gelas dan air minum.
Melihat Freddy yang menjauh, tanpa ragu aku langsung menukar mangkokku dengan mangkoknya. Waktunya pas. Freddy kembali saat aku sudah duduk rapi seperti tidak melakukan apa-apa. Aku yakin dia tidak tau kalau mangkoknya telah kutukar dengan mangkokku.
“Makanlah yang banyak.” Katanya sambil mengusap rambutku. Apakah sewaktu kecil aku sangat menyukai interaksi semacam ini? Bagaimana aku bisa sepolos itu?! Batinku memaki.
Meski berjalan lancar dan terbukti tidak ada racun di hidangan pagi ini. Tapi tetap saja acara sarapan itu tidak membawakan hasil yang pasti.
Sewaktu sarapan, aku sempat membahas rak makanan hewan itu tapi Freddy malah berceloteh tentang masalalu yang sama sekali tidak kuingat.
Apa jangan-jangan semua itu hanya khayalan dia semata? Apa semua ini hanya halusinasi Freddy seorang? Aku tidak tau.
“Apakah kamar itu milikmu?”
Acara sarapan telah usai dan Freddy sedang mengantarku kembali ke atas. Tepat sebelum menaiki anak tangga, aku menunjuk sebuah kamar dan menanyakannya pada Freddy.
“Huh? Iya.” Freddy menjawabnya cepat.
“Aku ingin melihat isinya.” Kataku dengan suara sedikit manja.
“Kamarmu yang sekarang ini lebih bagus dari pada punyaku.” Dia hendak menolak permintaanku. Seolah ada sesuatu yang dia sembunyikan di dalam kamarnya.
“Ayolah. Kamu sudah tau isi kamarku. Kenapa aku nggak boleh lihat isi kamarmu?” Suaraku semakin manja atau bisa dibilang terdengar semakin menjijikan.
“Oke, sebentar saja.” Haluan kami berputar menuju kamar Freddy.
Memang benar. Kamarnya lebih simpel dari pada kamarku. Di sana hanya ada satu kasur springbed berukuran queen dengan bedcover hitam putih yang menutupinya.
Di pojok kanan ada lemari pakaian yang jauh lebih kecil dari pada lemari di kamarku. Meja kecil yang tidak ada satupun barang di atasnya dan kamar mandi di ujung sebelah kiri. Kamar ini lebih tepat dikatakan kosong dari pada sederhana.
“Benarkan? Kamarku tidak ada apa-apanya dibandingkan kamarmu.” Aku mengabaikan Freddy.
Pandangan dan kewaspadaanku teralihkan pada lemari pakaian Freddy yang terbuka sedikit. Sepertinya ada sesuatu yang mengganjal pintunya untuk tertutup.
Tanganku seolah bergerak sendiri, nyaris membuka lemari pakaian di depanku. Tapi sebelum itu terjadi Freddy sudah menahan gerakkanku.
Sebelah tangan Freddy langsung menutup paksa lemarinya. Tubuhnya berdiri tegak di belakangku. Aku terpojok.
“Kenapa kamarmu lebih sederhana dari punyaku?” Aku menyadari kesalahanku yang sedikit gegabah. Tapi dari sini aku jadi yakin kalau Freddy sedang menyembunyikan sesuatu. Aku harus membuka lemari ini.
“Bukannya Kamu sudah tau alasanya.” Akhinya Kami bertatapan.
Sial. Ternyata tindakan gegabahku juga membawa resiko besar. Tidak hanya sekedar bertatapan, tapi Freddy juga hendak menyerangku sekarang.
Freddy mendekatkan bibirnya padaku. Dia hendak mencumbuku. Aku meremas jemari, berusaha untuk tidak langsung memukulnya. Memaksa otakku berpikir keras agar bisa selamat dari serangan mendadaknya.
Namun di saat seperti ini otakku malah tidak berfungsi. Tidak ada satupun cara yang terpikirkan olehku untuk lolos dari Freddy.
Terpisah dua senti. Aku bisa merasakan hembusan nafas Freddy dari jarak sedekat ini. Keputusasaan membuatku langsung mendorongnya.
Menyadari tubuhnya telah kudorong, Freddy membuka matanya dan menatapku.
“Ja-jangan begini.” Suaraku gagap.
“Jangan seperti ini sekarang.” Aku bersuara lebih jelas sambil menahan tangis.
“Aku tidak boleh mencium calon istriku?” Tanyanya sambil mengerutkan keningnya.
Aku nyaris mengumpat mendengar Freddy menyebutku sebagai calon istrinya. Namun kata-katanya itu justru memberiku ide cemerlang.
“Pernikahan itu suci bukan? Jadi jangan lakukan itu sekarang. Lakukan nanti setelah menikah saja.” Kataku sambil mengutuk mulutku dalam hati.
Hening sejenak.
“Kamu nggak akan membuangku setelah menikah nantikan?” Yang aku tau pria paling benci ketika diragukan atau dituduh. Kesempatan bagiku untuk memanipulasi kelemahannya.
“Bagaimana bisa aku membuang seseorang yang sudah kutunggu selama separuh hidupku. Bagaimana denganmu?” Freddy menatapku serius. Ada kalanya sulit untuk membodohi Freddy.
“Selama Kamu mau mendengarkanku.” Aku harus berbohong untuk bisa menang darinya.
“Oke, baiklah. Aku nggak akan menyentuhmu sebelum pernikahan kita berlangsung. Toh, aku sudah menunggu selama dua puluh tahun. Menunggu dua hari bukan masalah besar untukku.” Katanya sambil mengusap sebelah pipiku.
Tunggu, dua hari? Jadi dua hari lagi dia akan menyelenggarakan acara itu? Itu berarti aku hanya punya waktu kurang lebih empat puluh delapan jam untuk keluar dari sini!
Sedetik sebelum Freddy menarik pundakku, ponsel Freddy berdering. Aku tidak tau siapa yang menelponnya tapi sepertinya itu panggilan yang penting. Freddy bergegas membalik badannya dan berjalan sedikit menjauh dariku.
Kesempatan sebagus itu tak kulewatkan. Sambil mengamati Freddy yang sibuk berbicara di telepon, aku dengan sangat hati-hati membuka lemari pakaiannya.
Keberuntungan untukku akhirnya datang. Ternyata barang yang mengganjal itu adalah tasku. Freddy menyembunyikan tasku di sini rupanya. Aku langsung menggeledahnya, mencari ponselku. Dan ketemu! Secepat mungkin aku menyembunyikannya ke dalam tekukan celanaku.
“Sepertinya aku harus pergi. Aku antar Kamu ke kamar sekarang.” Telepon itu berakhir tepat pada waktunya. Kemudian Freddy kembali mengrangkul kedua pundakku. Tanpa curiga sedikitpun.
“Kamu mau pergi? Jauhkah?” Aku bertanya bukan mengkhawtirkan dia atau sebagainya. Justru semakin jauh dia pergi maka akan semakin baik untukku.
“Jangan khawatir. Aku nggak akan pergi terlalu lama.” Freddy menangkap pertanyaanku dari sisi yang terbalik.
“Jadi aku akan sendirian di rumah sebesar ini? Kamu mau kemana?” Tanyaku seolah penasaran. Sembari memastikan kalau hanya ada aku di rumah ini.
“Aku keluar untuk menyiapkan kado pernikahan kita. Aku jamin, Kamu pasti akan menyukainya.” Freddy tersenyum sambil menatapku. Dia sengaja tidak menjawab pertanyaanku yang pertama.
“Hadiah pernikahan? Apa itu?” Mendengar kata hadiah dari Freddy membuat perasaanku tiba-tiba tidak enak. Seolah ada hal buruk yang akan terjadi.
“Kamu akan tau nanti.” Freddy melangkah mundur. Menghindari pertanyaanku.
“Baiklah. Segera kembali ya.” Timbalku. Melupakan pertanyaanku sebelumnya.
“Tentu. Bye Honey.” Dia kembali mengunci pintu kamarku dan melangkah pergi.
Selamat tinggal brengsek. Batinku bangga.
***
love it...
Comment on chapter Chapter 1