Dua puluh tahun yang lalu. Sepulang sekolah aku selalu menjumpai rumah yang kosong. Orang tuaku sibuk bekerja. Hanya ada bibi yang merawat Adikku di rumah. Aku sering kali bosan karena sendirian.
Di siang hari aku tidak bisa tidur. Bibi pasti ikut tertidur ketika menidurkan Andi yang masih tiga tahun. Dari pada bosan sepanjang sore aku memilih untuk bermain di luar atau mengganggu anak tetangga di sekitarku.
Bagi para tetangga yang punya anak seumuranku, aku ini dianggap contoh buruk untuk anak mereka. Di siang hari banyak orang tua yang memaksa anak mereka untuk tidur dan beristirahat. Sedangkan aku justru bebas bermain. Dan sering kali malah mengajak anak-anak mereka.
Menyadari kebiasaanku itu, entah sejak kapan para tetangga mulai menutup pintu ketika siang hari. Mereka menolak kehadiranku. Karena semua pintu tertutup untukku, akhirnya aku berjalan sendirian sampai di rumah paling ujung kompleksku. Ada sebuah rumah besar bak istana di sana, Aku biasa bermain petak umpet di garasinya. Dan mengambil beberapa buah ceri yang sudah matang.
Pemilik rumah itu sangat jarang terlihat. Jadi aku seenaknya saja berlari ke sana-ke mari. Namun hari itu seorang pria keluar dari pintu samping rumahnya.
Hening. Kami saling bertatapan sejenak.
“Siang Om! Hehehe.” Kataku sambil tertawa.
Sebenarnya pria itu terlihat masih muda. Usianya saat itu masih berkisar dua puluh duau tahun. Namun aku yang saat itu masih berusia enam tahun langsung memanggilnya Om tanpa tau usianya.
“Jangan berisik. Main yang tenang.” Begitu katanya sambil terus menatapku tajam.
“Oke Om.” Jawabku sambil mengacungkan ibu jari seolah setuju. Kemudian dia menutup pintunya, meminggalkan aku yang asik bermain di teraas rumahnya.
Hari terus berlanjut. Sore itu aku kembali ke sana membawa beberapa teman untuk bermain petak umpet. Tempat favoritku untuk sembunyi tentu saja di rumah istana itu. Banyak tempat bersembunyi untukku disana.
Namun kali itu si Om pemilik rumah berbaik hati membukakan rumahnya dan membiarkan aku bersembunyi di balik pintu terali besi rumahnya. Berkat bantuannya aku selalu menang karena tidak ada yang tau aku bersembunyi di mana.
“Makasih Om!” Kataku saat pamit. Semua teman-temanku sudah pulang ke rumah masing-masing.
“Sama-sama.” Katanya ramah.
“Nama Om siapa?” Aku penasaran.
“Didi. Kamu?” Dia balik bertanya sambil mengusap rambutku yang panjang.
“Nana Om. Om, besok-besok Nana main ke sini lagi ya?” Kataku sambil bersemangat.
“Iya. Boleh.” Aku saat itu girang sekali karena punya teman dan tempat bermain baru. Sama sekali tidak menyadari adanya bahaya bisa datang dari mana saja.
Suatu hari aku disuruh membuat kerajinan tangan di sekolah. Aku membuat beberapa tangkai mawar merah dengan kertas lipat yang diajarkan oleh guru.
Sepulang sekolah aku memberikan satu tangkai untuk Bunda-Ayahku, bibi dan adikku. Hanya tersisa satu tangkai. Kemudian aku teringat teman baruku.
“Ini untuk Om!” Kataku sambil memberikan setangkai bunga mawar kertas buatanku.
“Makasih.” Jawabnya sambil terus menatap bunga kertas itu.
“Wah! Om punya mainan baru ya.” Aku langsung menerobos masuk ke rumah Om Didi tanpa permisi.
Beberapa boneka barbie, robot dan juga cemilan berserakan di lantai rumah itu. Aku asik memilih benda mana yang akan aku mainkan.
“Om aku boleh mainan sama yang ini?” Tanganku memegang boneka barbie berbaju pink yang lucu.
Aku tidak mendengar jawaban Om Didi sama sekali. Langsung sibuk bermain. Tapi aku bisa merasakan kalau dia sedang mengusap rambut belakangku. Selang beberapa saat dia berkata dengan lirih “Terimakasih.”
Aku tidak memberi respon apa-apa. Hanya ada rasa bingung yang membuatku memutuskan untuk pulang ke rumah.
Setelah hari itu aku tetap mampir ke rumah Om Didi setidaknya hampir setiap hari. Aku merasa nyaman dengannya. Dia orang dewasa pertama yang jadi teman dekatku. Mau mendengarkan cerita konyolku, mengajakku bermain dan menonton kartun bersama.
Beberapa minggu setelahnya, aku berinisiatif mengajak dua orang temanku untuk main ke rumah Om Didi. Sebenarnya aku hanya ingin pamer pada teman-temanku, kalau aku memiliki teman orang dewasa yang super baik dan punya banyak mainan di rumahnya. Mendengar kata mainan, merekapun tertarik untuk ikut denganku.
Sampai di sana Om Didi menyambutku dengan ramah seperti biasa. Dia bahkan sudah memutar kaset Tom&Jerry kesukaanku.
“Kalian bebas milih mau main apa aja.” Kataku yang sudah seperti pemilik rumah.
Kak Sinta langsung tertarik ke gamebot yang jadi satu dengan mainan lainnya di dalam kardus. Rio sudah pasti bermain dengan robot-robotan. Dan aku asik menonton Tom&Jerry bersama Om Didi.
“Om! Bulan depan Nana ulang tahun yang ke tujuh. Om datang ya.” Kataku sambil menatap Om Didi yang duduk di atas sofa.
“Ha? Apa? Om nggak dengar.” Katanya sambil mengerutkan keningnya.
“Sini, duduk sini.” Om Didi menepuk-nepuk pahanya pelan. Memberi isyarat agar aku duduk di pangkuannya.
“Bentar lagi Nana ulang tahun. Om harus datang.” Aku duduk di pangkuannya dan mengulang kata-kataku dengan serius.
“Oh ya? Oke.” Jawab Om Didi santai.
Beberapa detik kemudian barulah aku merasakan tangan Om Didi mulai memeluk kuat tubuh kecilku. Dari posisi itu aku tidak merasa curiga sama sekali. Bahkan ketika dia mulai menncumbu leherku. Aku tetap asik melihat Tom&Jerry.
Kak Sinta yang saat itu sudah berusia tiga belas tahun terkejut melihatku. Wajahnya setengah panik dan hendak menahan tangis.
“Na. Aku mau pulang.” Kata Kak Sinta sambil terbata-bata.
“Hah? Kok pulang. Kan baru sebentar mainnya.” Aku yang tidak menanggap sinyal bahaya di wajah Kak Sinta terus berdalih ingin tetap tinggal di sana.
“Aku baru ingat ada acara sama Mama-Papaku. Adek ayo pulang!” Kak Sinta juga mengajak Rio untuk pulang.
“Eh? Aku masih main.” Kata Rio. Dia sama saja denganku. Sama-sama tidak paham situasi.
“Kamu mau ditinggal Mama-Papa pergi?” Kak Sinta menatap adiknya sinis.
“Pergi ke mana?” Ekspresi Rio seolah-olah memberi tau kalau mereka tidak ada rencana untuk pergi. Itu semua hanya karangan Kak Sinta.
“Ya sudah! Kamu Kakak tinggal.” Kak Sinta bergegas pergi dari rumah Om Didi setelah pamit secara cepat. Itu membuat Rio mengikuti Kakaknya secara terpaksa. Begitu pula denganku.
“Nana nggak di sini aja?” Om Didi menghalangiku.
“Nggak Om. Nana mau pulang. Datang ya Om di ulang tahun Nana. Bawa hadiah yang cantik ya.” Kataku sambil turun dari pangkuan Om Didi dan mengikuti langkah kedua temanku.
Aku dan Rio terus bertanya-tanya apa penyebab Kak Sinta memaksa pulang. Tapi Kak Sinta hanya marah-marah dan kesal tanpa menjelaskan apapun pada kami yang masih berusia enam tahun.
“Nana! Jangan ke sana lagi. Pokoknya Jangan pernah.” Katanya memperingatiku.
Aku dan Rio hanya bisa saling tatap satu sama lain dengan pikiran kosong.
***
Hari ulang tahun yang kutunggu-tunggu datang. Semua tamu undangan ikut serta acara itu. Mulai dari teman kerja Ayah-Bundaku, teman sekolahku dan beberapa tetangga dekat.
Namun disela-sela acara, satu orang yang bukan tamu acara datang sambil membawa sebuah kotak kado. Isi kado itu adalah sesuatu yang paling aku sukai. Gaun berwarna pink. Dan tamu itu tidak lain adalah Om Didi.
Hening. Ayah-Bunda hanya menatapku dan Om Didi yang asik bercengkrama. Mereka tidak paham bagaimana aku bisa dekat dengan pria misterius di kompleks ini.
Aku tidak menanggap raut kebingungan orang tuaku. Yang terpenting buatku adalah mendapatkan kado sebanyak mungkin. Tidak peduli apa pandangan orang dewasa.
Acara ulang tahun itu di tutup dengan foto-foto bersama. Aku sempat berfoto dengan Om Didi sebelum dia kembali pulang ke rumahnya.
Mimpi burukku datang enam bulan setelahnya. Ibuku sakit keras dan meninggal dunia. Ayah yang kewalahan merawat aku dan Andi akhirnya melempar tanggung jawabnya pada Nenek. Kami pun pindah ke rumah Nenek di desa. Meninggalkan Ayah dan semua kenangan indah kami di sana.
***
love it...
Comment on chapter Chapter 1