Chapter 3
Dua minggu telah berlalu sejak insiden kecelakan Pak Bakri. Kasusnya dianggap sebagai kecelakan tunggal karena tidak ada saksi mata lain selain Pak Freddy yang beralibi membantu korban.
Hari ini weekend. Aku baru terbangun jam delapan pagi. Kemarin seharian aku sibuk mengurus acara jamuan makan untuk para vendor. Tim Freddy sudah menyelesaikan proyek pertamanya. Tim baru akan segera dibentuk. Untuk itu perusahaan mengadakan jamuan makan. Mengapresiasi kinerja mereka selama dua bulan ini.
Aku baru menyadari kalau rumahku kosong. Andi, Adikku sepertinya pergi main dengan temannya. Aku ditinggal sendirian untuk mengurus rumah. Yah, tidak begitu masalah buatku.
Aku tinggal di Kota perantauan bersama adik lelakiku. Kami berbeda tiga tahun. Baru satu bulan yang lalu dia mendapatkan pekerjaan setelah lulus kuliah tiga bulan sebelumnya.
Langkahku tersoyok-soyok. Leher dan pinggangku sakit semua. Belum lagi kakiku masih sedikit mati rasa karena terlalu banyak berlarian ke sana-ke mari.
Aku duduk sejenak di sofa ruang utama. TV tidak menyala dan lampu-lampu sudah dimatikan. Andi pasti yang melakukannya.
Rasa nyeri di leherku sudah hilang setelah beberapa saat duduk menyender di sofa. Sekarang aku bisa memantau sekelilingku dengan lebih seksama.
Ketika itu, aku baru menyadari kalau ada kotak sterofom di meja depanku. Aku kembali duduk dengan tegap sambil membaca note yang ada di atas sterofom itu.
Untuk kakakku yang hobi bekerja keras dan jomblo. Cepat cari pacar gih :p - Andi, adikmu tersayang.
Aku langsung merepas note itu dan melemparnya sembarangan. Anak itu memang minta dihajar sesekali, aku mengumpat. Tapi semua rasa kesal seketika sirna setelah aku menyantap bubur ayam yang dia siapkan.
Hari ini bocah tengil itu masih bisa dimaafkan. Batinku.
Usai sarapan aku bergegas untuk melakukan pekerjaan rumah. Mulai dari mencuci baju, menyapu dan mengepel. Aku juga kembali menata barang-barang lama yang sedari awal pindah belum sempat aku tata. Terbengkalai berbulan-bulan di dalam kardus.
Satu-satu barang usang keluar dari kotak kardus yang berdebu. Sambil membersihkan debunya aku juga mengamati barang apa saja yang ada di dalamnya.
Buku album SMP, Buku album SMA, foto-foto semasa kuliah, stiker yang aku kumpulkan dari macam-macam acara yang aku hadiri semasa kuliah. Dan barang terusang di sana adalah album semasa ulang tahunku yang ke tujuh tahun.
Aku ingat dulu sempat merayakannya. Ayah-Bunda mengundang teman sekolahku dan juga beberapa tetangga dekat. Aku mengamati foto-foto itu sambil tersenyum. Beberapa orang masih kuingat, beberapa yang lain terasa tidak asing namun aku tidak ingat siapa nama mereka.
Barang terakhir adalah buku harianku semasa kecil. Tanganku bergetar hebat ketika menemukannya. Kukira buku itu sudah lama hilang. Tidak kusangka buku ini masih utuh. Sekarang sudah hampir delapan belas tahun sejak terkahir kali aku menulis di buku ini.
Sebagian diriku ingin membukanya namun sebagian lainnya tidak berani. Aku tau betul apa yang aku tulis di dalam buku ini. Buku ini seperti kotak pandora bagiku.
Setelah lama terdiam, aku memutuskan untuk membukanya, membaca halaman demi halaman.
00-00-2000 Hari ini aku senang! Ayah memiliki Ibu baru. Dia akan menyayangi Aku dan Andi sama seperti Bunda kan?? Aku ingin cepat bertemu.
00-00-2000 Ada yang aneh dari Ibu Baruku. Dia bilang aku tidak usah sekolah, dia bilang aku bodoh. Bunda nggak pernah bilang begitu padaku.
00-00-2000 Hari ini aku menangis, aku kangen Bunda.
00-00-2000 Aku belum makan malam. Ibu melarangku makan karena sudah terlalu malam. Tapi perutku sakit karena lapar sekali.
00-00-2000 Aku sakit tapi Ayah dan Ibu tidak mau tau. Mereka malah memarahiku.
00-00-2000 Nenek dan adikku datang ke mari. Ibu tiba-tiba jadi baik padaku. Kenapa begitu? Apa Ibu lebih sayang sama Andi dari pada aku?
00-00-2001 Sekarang aku punya adik baru. Dan ternyata Ibu nggak sayang aku ataupun Andi. Ayah juga. Mereka hanya sayang sama adik baru.
Mataku berair. Nafasku mulai sesak. Aku tak sanggup membacanya lagi. Semua rasa sakit itu masih membekas jelas dalam kepalaku. Rasa sakitnya diabaikan.
Itu adalah saat aku memaksa untuk tinggal dengan Ayah dan Ibu tiriku setelah Bunda meninggal. Dua tahun setelah bunda meninggal Ayah menikah lagi. Saat itu Andi masih berusia lima tahun dan aku delapan tahun. Aku dirawat oleh Ayahku dan Ibu tiriku sedangkan Andi dirawat oleh Nenek di desa.
Semuanya tidak berjalan sesuai dengan angan-anganku. Bahkan setelah satu tahun tinggal bersama, Ayah justru ikut menitipkan aku pada Nenek. Melempar tanggung jawabnya.
Sejak saat itu aku dan Andi tumbuh tanpa tau kasih sayang orang tua yang sesungguhnya. Aku ingat betul ketika sepulang sekolah dan menjemput Andi dari TK. Andi bertanya padaku kenapa orang tuanya tidak pernah menjemputnya sama sekali. Membandingkan dirinya dengan teman-temannya.
Aku tidak bisa menjawab. Bahkan ketika dia bilang tidak ingat wajah Ayah dan Bunda. Aku hanya bisa memeluk tubuh kecilnya. Memintanya agar kuat dan bersabar. Mengatakan kalau dia tidak sendirian karena ada aku yang sangat menyayanginya.
Setelah Bunda meninggal dan Ayah menikah lagi, kami berdua hanya bergantung pada Nenek. Untungnya kami punya Nenek yang benar-benar sayang pada kami. Jadi meski hidup kami serba pas-pasan kami masih bisa hidup dengan normal.
Setelah lulus dari SMA aku tidak langsung melanjutkan kuliah. Nenek tentu saja memaksaku, tapi aku memilih untuk bekerja lebih dulu untuk mengumpulkan biaya kuliah, agar tidak terlalu membebani Nenek.
Satu tahun menjadi kasir toko kelontong akhirnya aku bisa mendaftar di sebuah kampus negeri. Dan beruntungnya, aku mendapat beasiswa bidikmisi. Nenek menangis haru saat tau aku bisa berkuliah.
Selang beberapa tahun. Aku dan Andi kembali mendapat cobaan. Nenek meninggal. Saat itu aku tengah masuk semester lima dan Andi kelas dua SMA.
Di hari pemakaman Nenek, Ayah kami datang. Dia datang seorang diri. Berpakaian sederhana, tubuhnya sedikit kurus dan wajahnya lusuh. Benar-benar terlihat menyedihkan. Entah karena sedih kehilangan ibunya atau memang bertingkah seolah-olah hidupnyalah yang selama ini paling susah.
Tanpa sepatah kata, Ayah memeluk kami. Semua pengalaman burukku terasa berputar-putar seperti film pendek yang di putar ulang. Rasa rindu dan benci menjadi satu.
Bodohnya, pelukan hangat itu membuatku berfikir untuk memberikan kesempatan kedua padanya. Pada Ayahku sendiri.
Satu minggu berlalu sejak hari meninggalnya Nenek. Pagi itu aku ingin memasakkan makanan kesukaan Ayahku. Aku meninggalkan rumah dan berbelanja ke pasar, membeli beberapa bahan yang aku butuhkan bersama Andi.
Andi tentu juga sangat bersemangat. Meski tidak terlihat dari ekspresinya namun semangatnya dalam memilih bahan makanan segar membuatku yakin. Tentu saja, Ayah yang selama ini dia rindukan akhirnya datang. Tanpa sadar Kami menaruh harapan pada Ayah.
Namun begitulah. Cobaan sesungguhnya malah muncul ketika kami membayangkan kebahagiaan yang mutlak tanpa adanya kesedihan di dalamnya.
Ayah pergi dari rumah. Tidak hanya itu, dia pergi sambil membawa seluruh perhiasan Nenek dan juga perhiasan Bundaku. Semuanya tanpa tersisa satu pun.
Aku langsung terduduk lemas. Membiarkan seluruh belanjaanku tumpah ruah di lantai. Padahal seluruh perhiasan itu adalah bekal sekolahku dan juga Andi. Air mataku menetes tidak terhentikan.
Bagaimana bisa dia tega mengambil seluruhnya tanpa sepatah kata pun pada kami? Apa yang sebenarnya dia pikirkan? Tangisku sedu sedan.
Semenjak hari itu aku dan Andi memutuskan hubungan dengan Ayah. Kami mengganti nomor ponsel dan berfikir untuk merantau. Membuang seluruh harapan kami padanya. Berusaha bangkit dengan diri kami sendiri.
Enam tahun berlalu. Aku dan Andi berhasil hidup tanpa bayang-bayang Ayah kami. Hidup yang bahkan lebih baik dari pada happy ending dalam dongeng.
Aku berhasil mendapat bekerjaan yang baik, bisa membeli rumah yang aku inginkan. Hidup indah berkecukupan.
Begitu juga Andi. Dia sama persis denganku. Setelah lulus SMA memilih untuk bekerja setahun dan kemudian lanjut berkuliah dengan dana yang dia kumpulkan. Begitu lulus dia mendapat pekerjaan yang sesuai dengan bidang yang dia tekuni.
Kami memilih untuk tinggal bersama setelah Andi menyelesaikan kuliahnya. Meninggalkan rumah Nenek dan memutuskan merantau sesuai harapan kami. Melupakan semua masalalu berat dan menjalani kehidupan baru.
Seluruh kardus telah tertata ulang. Semuanya sudah rapi sekarang. Aku berdiri keluar dari kamar, hendak menuju kulkas untuk mengambil soda atau apapun yang bisa menghilangkan dahaga.
TING-TONG. Belum sempat aku membuka kulkas, bel rumahku berbunyi.
“Siang Bu Anna.” Freddy yang bertamu. Dia menyapaku ramah.
“Oh Pak Freddy. Mari masuk.” Aku baru menyadari kalau waktu telah berlalu dan sudah memasuki siang hari.
“Terimakasih Bu, tapi maksud kedatangan Saya bukan untuk bertamu tapi mau berpamitan.” Freddy berdiri di depan pintu rumahku.
“Pak Freddy sudah mau kembali? Ya ampun cepat sekali.” Suaraku sedikit heboh.
“Saya selama dua bulan ini senang sekali bisa jadi tetangga sekaligus rekan kerja Bu Anna.” Freddy tersenyum.
“Aduh, selama ini Saya nggak membantu apa-apa Pak. Ada yang bisa saya bantu?” Aku menawarinya bantuan selayaknya tetangga.
“Bukannya Bu Anna sedang sibuk?” Freddy menilik ruang tamuku yang sudah bersih mengkilap.
“Saya sudah selesai beres-beres. Hanya tinggal belanja ke supermarket nanti.”
“Kalau begitu apa saya bisa minta tolong untuk memindahkan barang sebentar? Nanti Bu Anna bisa ikut makan siang sama saya sekalian.”
“Tentu. Saya bisa.” Jawabku cepat.
“Saya ambil tas dan ponsel sebentar.” Aku berfikir akan langsung berangkat ke supermarket setelah membantu Freddy memindahkan barang-barangnya. Jadi lebih praktis kalau aku langsung membawa tas beserta isinya.
Sampainya disana, tidak banyak barang yang harus di angkut ke dalam mobil. Jadi gotong royong itu berjalan singkat saja.
“Mari silahkan. Saya memasaknya barusan.” Freddy menghidangkan spagetti dan jus jeruk. Aku menyantapnya tanpa rasa curiga sediktpun.
Kami bercakap-cakap sambil menikmati hidangan siang itu. Selang beberapa lama, aku mulai merasa pusing. Awalnya kupikir hanya rasa tidak enak badan karena kecapekan namun rasa pusing itu terus berlanjut sampai aku tidak sadarkan diri.
***
love it...
Comment on chapter Chapter 1