Keesokan harinya.
Langit terlihat mendung, awan pekat menggumpal di angkasa, cahaya matahari samar-samar. Sepertinya alam juga ikut bersedih atas peristiwa beberapa jam yang lalu. Peristiwa yang tak disangka kehadirannya, hanya memerlukan waktu beberapa menit, seluruh isi kota telah diluluh-lantakkannya.
Semalam tadi Azfar susah tidur, ia terus malamun, isi pikirannya selalu Ibu dan adiknya, berharap agar mereka selamat. Azfar baru tertidur pukul dua malam, dan terbangun pukul enam pagi.
Pagi itu, satu-dua helikopter dan pesawat hercules melintas di udara. TNI, POLRI, BASARNAS, BNPB dan para Relawan terus bertugas mengevakuasi korban.
“Adik, dua truk TNI akan berangkat ke Banawa untuk menolong korban di sana, silakan kamu ikut dengan mereka. Semoga keluarga kamu baik-baik saja,” kata TNI yang merawat Azfar semalam.
“Baik, Pak, terimakasih,” kata Azfar yang kemudian berlalu pergi menuju truk TNI tujuan Banawa.
Di sepanjang perjalanan menuju Banawa, terlihat bangunan-bangunan telah rata dengan tanah akibat gempa bumi dan terjangan tsunami. Angin berembus membawa aroma air laut yang sangat tajam. Truk TNI tak bisa melaju karena jalan poros itu sangat sempit, di kiri-kanan jalan semua puing-puing bangunan, juga banyak jalan yang merekah. Di tengah perjalanan, Azfar sempat melihat petugas di pinggir jalan mengangkat mayat korban tsunami yang sudah kaku dan pucat.
Truk TNI pun memasuki desa Azfar, terlihat semua rumah yang dekat dengan pesisir pantai telah rata dengan tanah. Dari kejauhan, Azfar tak melihat rumahnya berdiri.
“Berhenti, Pak... itu rumah saya.” Azfar menunjuk rumahnya yang telah rata dengan tanah. Rumah yang sore kemarin dilihatnya masih berdiri dengan kokoh. Tak perlu waktu lama bagi guncangan gempa dan hantaman tsunami untuk menghabiskan rumah itu.
“Yang sabar ya, Dik. Kamu harus kuat,” kata salah satu TNI.
Azfar mengangguk lalu bergegas turun dari truk.
Di sekitar rumah Azfar yang telah rata dengan tanah ada beberapa alat berat membersihkan puing-puing bekas rumah penduduk yang menghalangi jalan poros. Di sana juga sudah ada beberapa petugas dan para relawan lainnya yang juga mulai berdatangan. Semua cepat tanggap dalam menolong korban.
“Di sini ada mayat lagi!” teriak salah satu tim SAR.
Azfar mengikuti para petugas berlari ke arah tempat mayat ditemukan. “Innalillahi wainnailaihi rojiun,” Azfar mengucapkannya dengan lirih. Itu adalah mayat seorang Nenek yang bertetangga dengannya. Kata para petugas, mayat yang sering ditemukan adalah mayat yang sudah lanjut usia, yang mungkin tak sanggup lagi berlari untuk menghindar dari terjangan tsunami.
Tak perlu berlama-lama menyaksikan temuan mayat, Azfar harus mencari di mana keberadaan Ibu dan adiknya.
Azfar mencoba bertanya ke salah satu petugas, “Pak, semua penduduk desa di mana?”
“Semua penduduk desa masih berada di dataran tinggi,” jawab salah satu petugas.
Letak geografis desa tempat Azfar tinggal sangat strategis: sebelah timur Teluk Palu yang luas, dan sebelah barat pegunungan.
Azfar segera menuju ke dataran tinggi. Sesampainya di sana, ia menemukan para warga berkumpul. Ada warga yang tak kuasa menahan tangis karena rumahnya telah rata dengan tanah, bingung akan tinggal di mana lagi. Ada juga warga yang menangis histeris karena kehilangan orang yang sangat di cintai.
Azfar berteriak di keramaian warga: “Ibuuu....! Ibuuu....! Adiraaah...!”
Seorang warga yang mengenal Azfar memberi tahu kalau ibu dan adiknya tak ada di sini.
Ada banyak titik tempat warga mengungsi, Azfar terus berpindah-pindah dari tempat pengungsian satu ke pengungsian lainnya.
“Ibuuu....! Adiraaah....!” Suara Azfar sudah serak. Air matanya berlinang jatuh ke pipi.
Seorang perempuan berumur 40 tahun mengenali suara teriakan Azfar. Perempuan itu mencari sumber suara teriakan tersebut. Dari kejauhan, perempuan itu melihat Azfar dan memanggilnya: "Azfaaar...!"
Azfar menoleh, ia melihat Azizah dan Adirah berdiri di sana. Azfar segera menghampiri mereka berdua.
Azfar langsung memeluk Azizah. “Alhamdulillah, Ibu dan Adirah selamat.” Azfar terisak, suaranya lirih.
“Alhamdulillah, kamu juga, Nak. Di sini ibu sangat menghawatirkan kamu.”
Azfar duduk bersimpuh memeluk adik kesayangannya yang tingginya masih di perutnya. “Adirah, kamu baik-baik saja, Dik?”
“Iya, Kak, adirah baik-baik saja,” jawab Adirah sambil mengusap air mata kakaknya yang ada di pipi.
Azfar sangat bersyukur sekali, karena orang yang sangat ia cintai selamat dari bencana yang sangat dahsyat itu. Bagi Azfar, tak apa kehilangan rumah, harta, asalkan Ibu dan Adiknya selamat. Rumah masih bisa dibangun, harta masih bisa dicari, tapi nyawa? Nyawa tak bisa dibeli dengan uang. Terima kasih Ya Allah, ucap Azfar dalam hati.
Pagi itu, sudah ada beberapa warga turun ke kawasan rumah mereka—mencari barang-barang milik mereka yang masih layak pakai. Warga juga menemukan uang berserakan. Tak peduli uang siapa, mereka yang menemukan uang mengambilnya saja. Dalam keadaan seperti itu, semua butuh uang.
Azfar dan Ibunya juga turun ke kawasan rumah mereka. Azfar menggandeng tangan Adirah yang berjalan di sisinya. Mereka bertiga berjalan di atas puing-puing bangunan dengan hati-hati—benda-benda tajam ada di mana-mana.
Saat sudah berdiri di atas puing-puing rumah, Azfar, Adirah dan Azizah hanya terdiam, di kepala mereka hanya memikirkan satu hal, di mana lagi mereka akan tinggal?