Menikah dengan sahabatnya sendiri? Tidak pernah Kalla bayangkan sebelumnya akan berada di sini. Di rumah yang tergolong biasa saja ini— bagi Kalla— yang terletak di sebuah kompleks perumahan sederhana. Tinggal di sini, berdua bersama Cendol. Eh, salah, maksudnya bertiga— bersama Baby K yang masih di perut. Siap menua bersama.
Jika itu bertahun-tahun lalu, Kalla pasti akan tertawa. Ya iyalah, hidupnya yang berharga akan dihabiskan hanya untuk melihat Kinna? Duh, yang benar saja. Ini pasti hanya mimpi buruknya di siang bolong saja.
Tapi, nyatanya, sekarang dia di sini. Hidup bersama Kinna, menyaksikannya yang dari hari ke hari makin mengembang seperti roti dioven. Tubuh yang gendat berisi, kaki yang bengkak, muka yang kumal, ditambah daster kucelnya. Oh, tambahan, perut bundar yang terus diisi makanan.
Kalla hanya bisa mengelus dadanya tiap hari. Atau dia akan kena marah jika membahas hal itu. Kinna yang siap mengamuk kapan saja kalau disinggung soal kehamilannya. Dan sekarang di sinilah istrinya itu berada. Tiduran di atas kasur sambil mendekap sekaleng biskuit. Raupan demi raupan dilayangkan ke mulut. Terus mengunyah tanpa henti.
“Kal, nyalain TV, dong!”
Kalla yang tengah menyapu hanya cengo melihatnya. Sampah di sekeliling kasur— bekas cemilan dan makanan— bertebaran tidak tahu diri. Tapi Kinna tidak peduli. Tetap makan dengan santai. Bingung bagaimana harus menyalakan TV? Padahal jelas-jelas remote TV itu berada beberapa jengkal saja darinya. Tapi, istrinya itu tetap berteriak-teriak tidak tahu diri.
“Ih, Kal, buruan nyalain!”
Mau tak mau Kalla menghentikan kegiatannya menyapu. “Ampun, yang, itu tuh remote di samping kamu! Gimana, sih?”
Mendengus kesal, Kinna melongok ke samping. Barulah menyadari benda itu di sana. Sontak cengirannya muncul juga. “Oh, iya, nggak nyampe, tuh. Hehe,” dan dengan gerakan sok cantik, dijulurkannya jemari beberapa kali. Tapi tetap tak sampai.
Kalla bersiap menyemburkan api naganya— yang entah kesekian kali— mungkin akan meledak lagi. Tapi buru-buru ditahannya dengan seulas senyum. “Iya, yang, iya! Kamu nggak usah gerak ya! Aku yang ambil, kok!”
Tawa Kinna melengking puas. “Baik, deh,” dielusnya perut sebentar. “Thank you so much, Papi.”
Kalla nyengir lagi. Kembali melanjutkan aktivitas beberesnya. Memasuki usia kehamilan yang ke-sembilan, Kinna semakin malas. Ya, malas apa saja. Malas mandi, malas bergerak, malas jalan, pokoknya semuanya. Kecuali malas makan, ya. Itu jelas tidak masuk hitungan. Justru setiap hari, itu yang dilakukannya.
“Makannya udahan dulu, yang! Semut, tuh,” decak Kalla tak habis pikir. “Mandi dulu, gih.”
Kinna menggeleng tanpa semangat. Lalu buru-buru memeluk guling. “Ih, nggak, ah. Males.”
Kalla melotot. “Heh, nggak gitu! Ntar kamu dirubungin semut, loh! Tahu rasa, deh. Udah buruan bangun. Mandi, gih.”
Kinna makin menggeleng malas. “Nggak. Ntar aja.”
“Nggak ada ntar-ntar! Sekarang, ya, sekarang! Buruan, yang!” tapi yang membuat Kalla kembali mengelus dada— saat Kinna hanya merentangkan tangan padanya. Minta digendong ke kamar mandi.
Kalla ingin menangis rasanya. Mau bilang saja sesungguhnya...
Ndol, kamu mah gede sekarang! Ndut! Nggak kuat gendong! Ngga nyadar apa?!
Oh, tapi itu dulu! Duluuu sekali... Sekarang mah boro-boro. Diminta gendong Kinna sambil joget pun Kalla pasti akan melakukannya. Kalla juga ingat, anaknya yang ada di perut Kinna itu. Penyebab kenapa Kinna jadi mengalami penggemukan mendadak. Maka, Kalla mengalah.
Jadilah, setelah meletakkan sapunya, Kalla mendekat juga. “Ya udah yuk, yuk! Buruan! Daripada lo—eh— kamu nggak mandi! Ye, kan?!”
“Iya, aku mandi, deh— Ups!”
Kinna melotot kesenangan, mendapati Kalla langsung mengatupkan mulut. “Bilang apa, hayoo?! Ih, Kall! Inget perjanjian kita!”
“Lupa, anjir!”
“Denda seratus ribu, ya!”
“Apaan, sih, Ndol?! Curang!”
“Eits, manggil apa tadi? Cendol? Oke, dua ratus, ya!”
Kalla tertawa ngakak. Tapi akhirnya ngalah juga. Meraih sembarang dompetnya di saku celana dan mengeluarkan beberapa lembar merah dari sana. Lalu memasukkannya ke dalam toples. For your information, toples itu sudah terisi bertumpuk-tumpuk lembaran merah. Hasil keteledoran Kalla yang melanggar janji, berakhir merogoh kocek.
“Nih, nih, puas udahan? Jago banget, sih, morotin aku, yang!”
Kinna malah tertawa. “Tabungan makin banyak aja. Sering-sering gitu deh, Kal! Biar kita makin kaya!”
Kalla meringis. “Ye... enak situ, dong! Tapi aku makin kere, yang!”
Dan meski beberapa menit selanjutnya Kalla masih misuh-misuh. Merenungi nasib apesnya yang lagi-lagi kecolongan, Kinna malah tertawa puas menatap note yang tertempel di meja. Beberapa kali hampir kabur tertiup angin. Tapi Kinna tidak akan meloloskannya. Terus menambal kertas itu dengan selotip. Sampai lecek. Bahkan panjang lembarannya terus bertambah.
PENTING!!
Body shamming istri (ngatain gendat, gembrot, gede) = Denda 150k
Panggil Cendol = Denda 75k
Panggil Kaleng Rombeng = Free
Call Kinna, My Beautiful Wife = Free Kiss
Ngomong gue/lo = Denda 100k
Ngomong kasar = Denda 100k
Marah-marah = Free
Berantem/ debat = WAJIB
Adu jotos = Libur dulu, istri lagi hamil
Basket = Kapan2
Nobar = Jumat/ Sabtu
Ngopi begadang = Malming
Bersih-bersih = Kalla (Senin-Jumat)/ Kinna (Sabtu-Minggu)
Nyuci baju = Kalla (Setiap hari)/ laundry kompleks
Nguras kolam = Kalla
Ganti galon + gas = Kalla
Masak = Kalla/ gofood/ jajan
Nyari uang = Kalla
Goleran = Kinna (Wajib)
Drakoran = Kinna (wajib tiap malam)
Kalla geleng-geleng membaca tulisan Kinna di sana. Sebenarnya itu tidak adil. Rata-rata penguasanya Kinna. Kalla hanya dijadikan budak di rumah ini. Tapi, ya, sudahlah... yang penting Kinna bahagia. Toh, istrinya juga sedang hamil. Mau tak mau sebagai suami dia mengalah. Daripada nanti Kinna bawa-bawa kehamilannya terus sebagai alasan. Maka Kalla mengalah lebih dulu. Belajar pengertian dan kesabaran memang penting.
“Tapi, yang, jadwalnya ganti, dong, nanti kalau Baby K udah lahir! Masak di aku nggak enak semua!”
Kinna mengedikkan bahu santai. “Ih, ya itu urusan kamu!”
Kalla jadi manyun. Tapi gemas sendiri. Malah mencubiti pipi Kinna yang seperti squishy. “Ya udah, deh, nurut aja! Ck, emang pinter banget, deh, istri aku ini! Pantesan si Jontor naksir! Iya, kan, My Cendol sayang?!”
Kinna melotot lagi. “Weits, manggil apa tadi? Cendol? Denda!”
Kalla nyengir. “Hehe, nggak, kok! Peace!” badannya sedikit membungkuk, “mau kiss aja, sini! I wanna kiss you!”
“Mau aku kiss, Kall?”
Kalla mengangguk. “Maulah, yang. Kiss aku, dong.”
“Call Kinna...” bisik Kinna akhirnya, “bilang apa dulu?”
“Iya, deh, iya!” Kalla memajukan badannya memeluk Kinna. Balas berbisik lembut di telinga istri mungilnya itu. Sambil jemari Kalla menyisir helaian rambut pendek Kinna. “Kinna, My beautiful wife...”
Senyum Kinna mengembang. Secepat kilat menangkup pipi Kalla. “Mmmhh... I love you, hubby!”
“I love you, too, yang!” dan dengusan Kalla terdengar. Bibirnya manyun-manyun. “Bau, nih! Udah buruan, jadi mandi, nggak? Baby K ntar ikutan males, tau!”
“Yo’i! Ayo Bossku! Kita mandi!” kekeh Kinna santai, mengalungkan tangannya ke leher Kalla, siap digendong bagai ratu. “Air panasnya jangan lupa, ya, Boss! Anak kamu nggak mau dingin-dinginan! Maunya anget-angetan! Brrr!”
“Hmm... Banyak bener, ya, maunya! Iya, deh, buat Bu Boss! Apa, sih, yang nggak?”
Senyum Kinna mengembang. Senyum... yang lama-lama berubah menjadi tangis. Bukan. Bukan kesakitan seperti dulu. Kadang, ada kalanya dia memang begini. Sesekali dia melihat Kalla, dan menangis terharu. Menghabiskan banyak tisu dan waktu. Tapi perasaan harunya membuncah tidak menentu. Oh... Kinna benar-benar takut dia hanya bermimpi. Lalu Kalla akan berlari meninggalkannya.
Sering Kinna terbangun malam-malam dan panik mencari Kalla. Padahal laki-laki itu hanya ke kamar mandi. Atau ketika malam-malam datang, Kinna akan memeluk Kalla erat, takut kalau dia akan pergi saat bangun nanti. Kadang juga Kinna menangis tengah malam. Di samping Kalla yang tidur ngorok dengan kencang. Entahlah— belakangan menjelang hari persalinannya, Kinna jadi semakin mellow. Dan Kalla menyadari itu. Berusaha sabar dan selalu mengalah menghadapi Kinna yang tiba-tiba akan menangis. Kalla harus berlarian mengambilkan tisu.
Contohnya seperti sekarang, ketika Kalla sibuk menyiapkan air panas di bath up untuk Kinna. “Yang, udah, nih! Buruan, gih! Masak harus dimandiin juga?”
Kinna menggeleng. Kalla yang melihatnya mulai mewek malah tertawa. Meraupkan segenggam air hangat ke muka Kinna— yang langsung dibalas semburan ke muka.
“Ewh, jorok, yang! Udah cepet mandi, deh! Lama!” dengus Kalla pada akhirnya, “aku tutup, ya, kamar mandinya! Airnya kalau udah penuh matiin, yang! Jangan boros-boros! Listrik mahal!”
“Iya, iya, berisik!” Kalla bersiap menutup pintu kamar mandi. Tapi Kinna menahan, “Wait, Kal, daster aku, bantuin—”
“Hadeh, muter... muter...” Kalla menghela napas. Mau tak mau masuk lagi ke dalam kamar mandi. Membantu Kinna menurunkan resleting dasternya di punggung. “Udah, cepet! Nggak ada alesan-alesan lagi buat nggak mandi, ya!”
“Sampo aku nggak ada! Di laci!”
Kalla makin gemas, menunjuk-nunjuk botol warna navy di atas bak. “Itu ada sampo aku!”
“Nggak mau! Nggak enak! Kaalll! Maunya sampo aku!”
“Iya, iya!” akhirnya Kalla menyerah. Berlarian menyambar pouch warna pink blink-blink kesayangan Kinna yang berisi segepok peralatan mandi. “Nih, apaan lagi?!”
“Handuk aku, Kal!”
“Okaay! Udah, ya, yang, abis ini mandi beneran, kan?”
“Siap, Papi!”
TAMAT