Sore ini Kalla ingin memenuhi janjinya kembali untuk menemui Thalia. Hampir satu jam Kalla berputar-putar menebas jalanan sore di Jakarta. Sebelum akhirnya dia memberanikan diri mendatangi kediaman Thalia dan tidak menemui wanita itu. Tapi malah mendapati banyak umpatan dari keluarganya. Terutama dari Winda yang temperamental. Tidak dengan Aji yang lebih tenang. Bahkan Kalla baru melangkahkan satu kakinya ditemani sang bibik ART saat dia mendapat umpatan pertamanya.
“Heh, berani-beraninya, ya, kamu ke sini?!” pekik Winda saat melihat mukanya.
Kalla hanya tertawa dalam hati. Mungkin di mata calon mertuanya itu— mukanya sudah seperti narapidana yang dilarang menginjakkan kaki kotor di rumah suci wilayah mereka. Kalla tidak marah sekalipun dia mendapat berbagai umpatan ini.
“Setelah apa yang kamu lakukan, kamu masih berani mencari my dearest Thalia?!”
“Tante, saya cuma mau ketemu bentar dan minta maaf...”
“Nggak ada! Thalia nggak mau bertemu kamu! Ck... laki-laki macem apa, sih, kamu itu?! Bisa-bisanya kamu ninggalin anak saya sendirian di lereng gunung?! Kamu tahu dia juga punya asma, apa kamu tahu dan peduli?!”
Kalla terdiam. “Maafkan saya, Tante...”
“Bisa-bisanya kamu tunangan sama anak saya, tapi di belakang—”
“Ma, sudah cukup!” Aji menenangkan, “jangan diungkit-ungkit lagi!”
Winda berderap pergi sebelum mengirimkan ancaman. “Jangan pernah ganggu anak saya lagi! Anak saya beruntung karena nggak jadi nikah sama ular macem kamu! Udah mending Tuhan ngasih tahu! Cepat sana pergi! Urusin aja tuh, si Pil Kinna kesayangan kamu itu! Saya nggak mau lihat muka kamu lagi!”
Kalla menyerah dan memilih pergi. Aji mengejarnya tepat di depan gerbang. Kalla semakin merasa bersalah saat melihat mantan calon mertuanya itu menyusul. Segera diraihnya tangan Aji penuh sesal, mendapati serak dalam suaranya. “Ma... Maafkan saya, Om, udah mengecewakan Om dan Thalia... juga Tante.... Tapi jangan benci keluarga saya, ya?”
Aji menggeleng santai. “Kalau kamu ingin menemui Thalia, di sini alamatnya,” dan secarik kertas kecil diulurkan padanya.
“Pantai Indah?” gumam Kalla membaca alamat yang tertera di sana.
“Itu...” suara Aji jadi murung, “sebenarnya... adalah rumah yang akan diberikan Thalia sebagai kado pernikahan kalian. Setelah menikah, rencananya dia ingin mengajak kamu tinggal di sana,” Aji tersenyum gamang melihat ekspresi sendu di wajah Kalla, “tapi harapan tinggal harapan, kan? Nothing to regret. Everything’s gonna be alright,” dan ditepukinya lembut pundak Kalla, seperti anak sendiri.
Bahkan Dimas— mertuanya sendiri— tidak pernah berlaku selembut ini padanya. Hanya terus memeras dirinya untuk harta. Tapi Aji melakukannya. Betapa terharunya hati Kalla. Meski dia telah mengecewakan. Dan dia berdoa tulus dalam hatinya. Semoga setelah ini Thalia menemukan bahagia.
“Terima kasih, Om. Thalia akan mendapatkan seseorang yang jauh lebih pantas daripada saya.”
Aji mengangguk sekilas sebelum akhirnya kembali menutup pintu keemasan itu.
***
Hanya butuh satu jam bagi Kalla untuk melajukan maseratinya menuju alamat yang diberikan Aji. Pantai Indah. Seperti namanya, pantai ini memang indah sekali. Sepanjang jalan, Kalla melewati jalur pantai yang asri. Masih di dekat kota dan strategis. Cocok bagi mereka yang ingin tinggal jauh dari keramaian dan mencari tempat penuh kedamaian. Thalia, si pecinta ketenangan pasti sangat menyukai ini. Alasan mengapa perempuan itu mencari rumah di pesisir.
Pandangan Kalla terhenti pada sebuah rumah klasik berlantai dua. Tepat di pinggir pantai. Sebuah rumah bercat putih dengan tanaman hias di sekeliling halaman. Kaca-kaca yang panjang melintang membingkai setiap pintu. Dihiasi gorden-gorden keperakan yang elegan. Khas Thalia yang anggun.
Perlahan Kalla melangkahkan kakinya ke beranda rumah. Setelah memarkirkan maseratinya tepat di samping jazz merah Thalia yang terparkir sembarangan. Pintu kaca utama terbuka. Kalla pikir, apakah dia harus menekan bel atau tidak? Atau bagaimana? Lalu, apa yang harus dikatakannya pada Thalia? Setelah semua yang terjadi... apa dia masih pantas berbicara dengan Thalia? Lidahnya terasa kelu dan rangkaian kata-kata yang disusunnya mulai hilang satu per satu.
Tapi Kalla tahu, dia tetap melangkahkan kakinya ke dalam rumah itu. Menemukan sebuah lukisan besar yang diturunkan dari tempatnya. Senyumnya mendadak pilu, itu lukisan wajahnya saat hari pertunangan. Entah Thalia memesannya di mana. Dan Lukisan itu kini teronggok tak berdaya di lantai.
Kalla tertawa miris, mengalihkan pandangan. Sekeliling rumah berantakan. Bantal-bantal berserakan di bawah bersama bekas popcorn. Ini bukan Thalia.
“Thal?” lirihnya, dan tidak ada jawaban. Kalla masih terus memanggilnya. Samar-samar hanyalah denting piano dari salah satu ruangan yang terdengar. Kalla mendekat, menemukan yang dicarinya ternyata di sana. Sibuk memainkan piano yang menghadap langsung pada kaca pemandangan pantai di luar. Setiap dentingannya menyayat hati.
“Thal...”
Thalia tersentak, menyadari kehadiran Kalla di sana. Kalla tahu ingin rasanya dia kabur. Tapi betapa bodoh, yang dilakukannya malah maju menghampiri Thalia. Bodohnya, Thalia malah tersenyum santai. Seolah tidak terjadi apa-apa. Senyuman tenangnya yang seperti biasa. Tapi mampu menusuk Kalla hidup-hidup.
“Oh... Hai, Kall!” senyuman Thalia mengembang, “kamu di sini?”
Kalla mengedikkan bahu canggung. “Mm, iya... Thal... Mm, gue—”
“Congrats, ya...” Thalia masih tersenyum tipis, “untuk kalian berdua... kamu dan Kinna. I’m happy to hear that...”
Dan meski separuh hatinya remuk redam, Thalia masih tetap tersenyum sebaik mungkin. Kalla bisa gila kapan saja. Melihat muka gamang Thalia, yang berkaca-kaca. Siap menangis kapan saja. Tangannya terus memainkan gelas kosong di dekat meja.
“Wanna drink something?”
Kalla menggeleng lemah. Tapi yang dilakukan Thalia malah bangkit merapikan beberapa gelas dan piring di pantry.
“I was dreaming...” Thalia bergumam kosong, tersenyum kecil, “I want to cook everyday for you... but, in the reality it just a dream...”
Kalla terluka mendengarnya. “You can do it for other man.”
“Of course,” Thalia hanya memainkan gelas kosongnya, tersenyum cerah lagi. “Itu pasti!” meski diam-diam hatinya tetap hancur. Kalla tahu itu.
Thalia berpura-pura. Senyuman bersahabatnya hanyalah bohong.
“Just wait here, aku ambilkan minum.”
“Thal...”
“Ya?”
“I’m sorry...” lirih Kalla penuh sesal, sepertinya dia tidak perlu berpura-pura lagi. Thalia juga. Karena, untuk apa? Itu hanya akan menyakiti mereka, “maaf... buat seret lo ke dalam semua ini, Thal... maaf buat segalanya... dan makasih atas waktu lo selama ini...”
Thalia tersenyum santai. “Aku yang bersalah. Aku yang minta maaf. Seharusnya aku nggak masuk ke dalam hubungan kalian. Seharusnya aku tahu diri. Maafin aku, ya?”
Kalla hanya menatapnya sendu. Semakin Thalia seperti ini, maka semakin besar juga rasa dosanya. Kalla benci segala kepura-puraan ini— yang akan terus menyakitkan. “Thal, lebih baik lo marah. Daripada bersikap kayak gini, Thal... Please...”
Thalia hanya menunduk. Diam-diam menyembunyikan isak tangisnya yang mulai tidak terbendung. Bodoh, dia menahannya sekuat tenaga. “Terus... apa yang kamu harapkan?! Apa?! Kamu mau aku lakuin apa, Kal?! Marah-marah sama kamu? Keluarga kamu?!”
Kalla mengangguk. Ini jauh lebih baik. Thalia menangis makin kencang meluapkan emosinya. “I’m sorry...” hanya itu yang bisa diungkapkan Kalla. Meski tidak akan mampu mengubah apapun.
Dan satu tamparan keras melayang ke pipinya. Dari Thalia. Sakit dan panas. Kalla bisa merasakan seluruh tenaga Thalia bercokol di sana.
“Itu nggak sebanding sama apa yang aku rasakan,” lirih Thalia berderai air mata.
“Iya... iya...” Kalla ikut terisak, “tampar gue lagi, Thal! Sampe lo puas!”
Thalia benar-benar melakukannya. Satu kali. Dua kali. Sepuluh kali. Menampar Kalla habis-habisan. Hingga dia berakhir menangis bodoh. Kalla terduduk pasrah merasakan pipinya memar keunguan. Bekas tamparan Thalia. Dan juga pukulannya. Thalia melakukannya sambil menangis.
“Kenapa kita harus bertemu, Kal?! Kenapa?! Kamu membuang waktuku yang berharga!” Thalia masih menangis saat mengucapkan itu, “kamu jahat! Kamu tahu itu?!”
“Aku bener-bener nyesel, kenapa dari sekian banyak manusia di muka bumi ini, aku harus bertemu kamu! Melakukan banyak hal bodoh demi kamu! Pernikahan kita, undangan, baju, gedung, rumah ini... semuanya! Aku lakukan demi kamu! Tapi apa yang aku dapatkan? Kamu tahu... itu sangat jahat, Kal!”
Kalla menunduk mendengarkan. “I’m sorry...”
“Dan... kenapa?! Kenapa aku jatuh cinta sama kamu?” Thalia semakin terisak, “di saat aku bisa lakuin banyak hal, aku malah habisin waktu dan tenagaku buat jatuh cinta sama kamu! The things that I’m really regret in my life! Meeting human like you! Ini adalah hal yang paling aku sesali seumur hidup aku... bertemu manusia seperti kamu! ”
Kalla memejamkan mata. Thalia akhirnya menyingkir untuk membasuh mukanya yang basah. Hanya dalam sekejap, dia kembali lagi dengan muka yang lebih fresh. Dan senyuman seperti biasa.
“Terima kasih sudah mampir, Kal. Senang bertemu kamu hari ini. See you next time.”
Thalia mengusirnya secara halus. Kalla mengangguk-angguk. Itu benar. Mereka butuh banyak waktu. Untuk menjadi teman sekalipun. Mereka harus mengulangnya dari awal. Kalla yakin, mereka akan jadi lebih dewasa dari ini.
“Gue... gue harap lo masih akan terus kerja di kantor kita... dan gue harap, kita masih bisa berteman? Jadi rekan kerja yang baik?” Kalla benar-benar tulus mengucapkan ini. Entah Thalia menerimanya atau tidak. Tapi, Thalia tersenyum. Itu sudah cukup membuat Kalla lebih lega dari sebelumnya.
“Of course. I hope it, too.”
***
“For your information, beib, Bu Thalia udah ambil cuti dua minggu terakhir ini.”
Kinna sedikit tersentak dari kegiatan makan donatnya, melirik penuh kepo pada Jelita. Keju di mulutnya sudah belepotan ke mana-mana. Tapi malah asyik menjilatinya sambil merapatkan diri pada Jelita yang sore ini mampir.
“Seriously?!”
“Yes!” Jelita menghela napas panjang, sedikit berbisik, “katanya Bu Thalia cuti mau liburan. Tapi gosip santernya, dia masih di Jakarta...” suara Jelita sedikit ragu, tapi tetap melanjutkan, “katanya Bu Thalia mau nenangin diri. Di salah satu pinggiran kota di rumah pribadinya. Gue denger dari gosip sebelah, tiap hari dia habisin waktunya main piano di sana.”
Mau tak mau senyum Kinna sendu. Dirinya juga perempuan, mendengar sesamanya mengalami nasib yang seperti itu. Kinna tahu bagaimana sesaknya menjadi Thala. Dan dirinya... adalah dalang dibalik kesakitan yang dirasakan Thalia. Kinna menjadi semakin berdosa.
“Semua yang dialami Thalia...” Kinna menunduk menahan sesal, “gara-gara gue, ya, Je?”
Jelita memeluk Kinna dalam dekapannya, “Beib, nggak ada yang nyalahin lo! Nggak ada sama sekali, beib! Kita semua kenal lo, Ki! Believe me, we always support you no matter what! Kita malah kangen banget sama lo! Pengen jengukin calon ponakan kita...”
Kinna nyengir merasakan tangan Jelita sudah mendusel-dusel ke perutnya. “Ih, Je, geli tahuu... Ih, apaan, sih?”
“Aduh, calon ponakannya Aunty Je. Kapan kamu lahirnya, dear? Aunty nggak sabar ketemu!” kekeh Jelita lagi, “gue penasaran bakal seganteng apa, ya, anak kalian nanti. Soalnya Pak Kaleng, kan, ganteng banget, Ki!”
“Ganteng gimana, sih, ah? Emang yakin cowok?”
“Iya, ganteng! Feeling gue mengatakan anak kalian cowok! Gue beliin lo boba sewarung, deh, kalau tebakan gue sampe salah!”
Eh, tapi benar juga. Kinna pernah memimpikannya dulu. Kalau calon anaknya memang laki-laki. Feeling seorang ibu juga tidak pernah salah. Anaknya pasti laki-laki. Dan mirip Kalla sembilan puluh sembilan persen. Kinna yakin itu.
Tatapan Jelita teralih pada beberapa paperbag di atas meja. Secepat kilat diraihnya tumpukan paperbag itu dan menyerahkannya pada Kinna. “Nah, ini dari kita-kita. Roy sama Heru bilang mau nyusul ntar. Terus ini gue juga dapet titipan banyak banget dari anak-anak divisi sebelah. Dari Gea, terus Tamara, terus Odin, banyak, deh... Buat calon ponakan kita dan mommy-nya!”
“Ah... So sweet sweeet! Thank you, Je! Huhu...” Kinna jadi terharu, makin memeluk Jelita, membuat si empunya kesulitan bernafas, “Huhu... so lucky I’m bisa kenal manusia sebaik kalian!”
“Kita juga sayang bangat sama lo, Ki! Jangan pernah ngerasa kalau lo itu sendiri!”
Kinna nyaris terisak riang. “I know, Je... I love you! Love you! Muach! Muach!”
Dan Jelita memekik kencang. Tepat saat suara deritan motor terhenti di pekarangan. Sebuah CBR merah putih melintang terhenti di sana. Kinna langsung melepaskan pelukannya pada Jelita. Tahu siapa yang turun dari sana. Sedikit mematung, dilihatnya Jordan melangkah dengan senyuman tipis.
“Hi, wanna join the club! Can I?” dan Jordan mengacungkan beberapa kantong makanan di tangannya. Ternyata tumpukan kotak yamie.
Kinna menahan harunya. Jordan tidak pernah berubah. Selalu dan selalu. Datang padanya bersama yamie atau boba andalannya. “Of course. Welcome to the club!”
Jordan terkekeh melirik Jelita, “Ah, yes... sekalian gue jemput Jeje! Tadi kita janjian bareng! Ck, tapi gue ditinggal!”
Jelita nyengir melayangkan protes. “But, you asked me to go first! Cause you will come with Roy and Heru!”
“No, I’m waiting you!”
Tapi Kinna malah tertawa mendengarnya. “Uuu... jadi gitu! I smell something here...”
Sontak Jelita melotot, mencubit lengan Kinna. Salah tingkah mendadak. “Nggak, Ki, lo salah paham! Astaga, nggak gitu! Gue sama Jor—”
Jordan sendiri langsung terbatuk menyadari arah pembicaraan ini.
Kinna tertawa menyadari muka panik sekaligus penuh rasa bersalah Jelita. “Ya ampun, Je. It’s okay. I’m happy to hear that. Kalau kalian ada apa-apa, ya, gue malah senang!”
Jelita makin salah tingkah. Jordan sibuk dengan cangkir minum— bekas Jelita— menyambarnya dan meneguknya secepat kilat. Masih terus terbatuk.
Sekali lagi Kinna tertawa. “Itu punya Jeje, Jor! Gue bikinin dulu buat lo!”
Jordan nyaris menyemburkannya. Panik. Tawa Kinna makin kencang dan puas. Punya hiburan tersendiri. Oh, menyenangkan sekali rasanya. Kinna nyengir dalam hati. Jordan yang dikenalnya jarang salah tingkah apalagi sampai tersipu begini. Ya, bagaimana? Jordan sendiri yang akan membuat lawannya salting karena kebaikan mautnya. Biasanya Kinna akan salting dan malu mendadak karena godaan Jordan. Sedangkan Jordan akan tertawa geli melihat tingkahnya.
Tapi, melihat Jordan hari ini. Salah tingkah mendadak hanya karena sikap menggemaskan Jelita. Mau tak mau membuat Kinna takjub. Jordan dan kemajuannya yang lain.
“Akh, Jor, Je... kalian...” gemas Kinna tidak tahan, “so cuteee! Ke mana aja gue selama ini?”
Jelita mulai kesal, meraup asal donat di kotak. “Apaan, sih, lo, Ki?! Resek abis! Pulang nih, gue!”
Kinna menyenggol lengan Jordan seketika. “Tuh, anterin! Katanya mau nganter!”
Jordan mengangguk-angguk tenang. “Gue pasti antar Jeje. But, wait, lo belum buatin gue minum! Gue baru datang!”
Kinna terkekeh. Baru akan bangkit sambil memegangi perutnya yang sudah sedikit menyembul. Jordan langsung menyesali itu. Buru-buru menghalangi.
“Eh, Ki, lo kasih tahu aja letak dapurnya! Biar gue buat sendiri! Kasihan ponakan gue,” usul Jordan penuh pengertian.
“Gue masih bisa cuman buat ke dapur, Jor!”
Tapi langkah Kinna terhenti saat ribut-ribut terdengar dari pekarangan. Melihat maserati milik Kalla mulai parkir. Muka panik Kalla adalah yang dilihatnya saat menatap deretan motor di sana. Ditambah Heru dan Royhan yang baru datang langsung menghentikan gas ugal-ugalan.
“Oy, Pak Kalla!”
Kalla menatap kaget. “Kalian?”
Mau tak mau senyum Kinna mengembang. “Wah, Jor, yang tukang masak udah dateng, tuh! Jadi, kita nggak usah repot, okay?” dan Jordan cekikikan puas. Kinna segera melambaikan tangan, membuat Kalla memasang raut datar. “Bossku, ada tamu! Buatin minum, dong!”
Muka Kalla penuh emosi. Nyaris seperti bisikan. “Kok nggak bilang kalau mereka dateng?”
Kinna mendorong-dorong muka Kalla risih. “Udah, nggak usah banyak tanya! Sana lo buatin minum cepet! Lima, ya, lima! Sekalian Heru sama Roy yang baru dateng!”
Jordan masih menahan tawanya. Pura-pura bersiul. “Ah, gue banyakin esnya, ya, Pak! Sirup atau apa, gitu? Ada, kan, Pak?”
Kalla baru akan menyembur Jordan kalau Kinna tidak memberikan ancamannya. Kalla jadi menciut ketakutan. Mau tak mau mengangguk bak robot. “O— okay, ada lagi?! Yang lain! Mau minum apa, nih?”
Royhan yang baru datang langsung heboh. “Widiiih... Kun, ART lo ganteng juga, ya!”
Kinna tertawa puas melihat Kalla makin bad mood. “Iya, dong, import dari Mars, nih!”
Heru ikut cekikan. “Adoh e... kalau gitu gue pesen milkshake ya, Ki! Hehe... Bilangin ke Pak ART lo, gue takut kena amuk! Huaaa!”
Kalla melotot. “Heh, jangan nyari yang nggak ada lo, Her! Kalau lo pengen milkshake, beli di kafe! Di sini nggak ada!”
“Uuu... galak tenan baturmu, Ki! Wedi aku! Wedi!” Heru makin drama. Berlindung pada Kinna saat tatapan Kalla membunuh. Mulai menunjukkan sinyal ancaman andalannya. Siap-siap besok di kantor... Dan Heru tentu ketakutakan.
Kinna jadi galak. “Kata siapa nggak ada? Beliin sana! Buruan! Pake duit lo dulu!” marahnya pada Kalla.
Setengah terpaksa Kalla manut juga. Tawa Heru makin puas saat itu. Kapan lagi bisa ngerjain Pak Kalla? Di sinilah saatnya... karena di kantor pasti tidak akan bisa.
“Kalau gitu gue kopi, deh, Pak! Kopi!” tawa Royhan.
“Gue red velvet ya, Pak! Ehe...” Jelita nyengir lirih, “sekalian, kan, ya?”
Jordan tersenyum. “Ya udah, gue vanila. Okay, be careful, ya, Pak! Lagi becek jalannya! Apa sekalian go food aja? Bapak yang bayar, kan?”
Heru nyengir lagi. “Udah bwecek, nggak ada owjek! Pak Kalla mau ngowjek!”
Mendesah jengkel, Kalla bersiap juga meraih jaket kulitnya. “Iya, iya, bawel lo semua! Jangan sering-sering ke sini, ya!” Kalla baru akan menyelinap keluar, lalu kembali lagi, “Awas besok di kantor... lo semua, ya! Gue catet!”
“Uuu... tidak takut!” Heru malah tertawa, Kalla baru akan mengirimkan headshoot. Tapi tidak jadi karena pelototan Kinna datang lagi.
“Iya! Iya! Pergi dulu, yang!” dan sorakan langsung terdengar. Kalla menyambar kunci motor Heru. “Bawel lo semua! Tamu paling berisik seumur hidup gue! Udah, kan, ini aja!”
“Tambahan!” Kinna mengacungkan jarinya. “Pizza sepuluh kotak!” Kalla melotot. Tapi buru-buru ditahannya saat Kinna menambahkan. “Kalau ini anak lo yang minta!”
Baby K? Jadi, Kalla buru-buru memasang senyum tiga jarinya yang selebar buaya. “O—Okay, baginda Ratu! Pesanan sudah sesuai, ya! Saya pamit! Permisi!”
Tawa Heru paling kencang saat Kalla akhirnya mengalah, menghilang dari balik pagar menggunakan motornya. Jelita merekamnya ke story. Jordan geleng-geleng. Dasar wanita!
“Uuu... kejadian langka, nih, beib! Pak Kalla mau jadi babu, nih, demi istrinya! How, sweeet!”
“Uwes cocok kuwi jadi tukang grab!” cecar Heru, “kon kerja sampingan wae!
“Je, share videonya ke Pak Niko, gih!” usul Royhan.
“Okay, done, ya, guys! Udah gue share ke grup kantor juga!” pekik Jelita heboh.
Tawa menyembur lagi. Jordan masih geleng-geleng. Tak habis pikir. Sesekali diliriknya Kinna. Jordan juga dendam, sih, pada Kalla. Tapi dia, mah, tidak sejahat itu. Tapi kalau Kinna senang, ya, tidak masalah. Dan Kinna tidak pernah selepas ini. Bisa tertawa bahagia tanpa beban. Sesekali mengelus perut lembut-lembut. Baby K... thanks for coming to your Papi and Mami’s life.
***