Read More >>"> Call Kinna (BAB 19) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Call Kinna
MENU
About Us  

Hamparan pepohonan lebat. Tebing-tebing tinggi. Jurang-jurang yang curam. Jalan nan berkelak-kelok terjal. Seluruhnya membentang di depan mata. Menakutkan? Tidak. Tidak sama sekali. Kinna justru sangat menyukai ini semua. Dan dia tidak peduli. Dia merasa bebas. Terus berjalan mendaki satu per satu jalur yang curam. Meninggalkan banyak orang di belakangnya. Tersengal-sengal kelelahan, nyaris kehabisan napas. Kinna hanya sesekali menoleh melihat orang-orang berusaha menyusulnya. Tapi dia di sini, di barisan terdepan pendakian bak pemimpin.

Jelita kesusahan menjerit-jerit memanggilnya. Tapi Kinna tetap melangkah lebar-lebar mencapai puncak. Kinna sangat merindukan penjelajahan seru di Bromo.

Ini hal seru dan Kinna tidak akan melewatkannya. Sepanjang jalan Jelita memasang muka pucatnya. Tapi Kinna malah tertawa-tawa melihat itu semua. Tidak peduli jeritan Jelita terus  terdengar di belakang sana. Sekuat tenaga menyusulnya. Tapi tidak mampu. Setelah sekian lama terkurung, di gunung ini Kinna merasa bebas. Kinna ingin sampai puncak dan berteriak sepuasnya.

“Kinna, please! Please, be careful! Samping lo jurang! Biar Jordan nyusul lo! Tunggu sana!” Jelita menjerit dari jauh.

Dan Jordan berusaha mendaki menyusul di belakangnya. Penuh kepanikan tak terhingga dari raut wajah Jordan. Tapi terus berusaha menyamai kecepatan kaki Kinna yang gesit.

“Hei... Ki, wait me!” teriak Jordan dari kejauahn, Jangan cepet-cepet! Bahaya!”

Kinna pura-pura terkekeh. Melirik Jordan di belakangnya yang kelelahan. “Eh, Jor! Ayo! Asyik, seru banget—Akh” dan kakinya malah hampir terperosok tiba-tiba, tapi Kinna buru-buru mencari pegangan untuk bangkit, lalu tertawa lagi.

Jordan yang melihatnya jadi marah sendiri. “Are you crazy, Ki?! Just stop! Stop!” hampir saja menangis melihat keteledoran Kinna. “Samping lo jurang, Kinna, so please—”

Tapi Kinna tetap tertawa-tawa sendiri. Meski tubuhnya sudah ambruk ke tanah karena terpeleset. Berusaha bangkit meraih bebatuan, tapi jeritannya keluar. Dan rasa perih menjalar di perutnya.

“Akh!” Kinna memekik, meraba perutnya yang seperti kram. Ini rasanya menyakitkan. Perih. Seperti luka yang menyayat-nyayat.

“Kinnaaa!”

Jordan berlarian panik. Segera menerobos ke depannya. Tubuhnya berjongkok lemah di hadapan Kinna.

“Are you okay?!” tapi tidak ada jawaban dari Kinna. Jordan hanya bisa menatap pucat wajah Kinna. “Kinna, so please!” teriakan Jordan makin menjadi-jadi. “Naik ke punggung gue, Ki!”

Kinna menatap sendu Jordan yang berteriak-teriak padanya di alas gunung ini. Hanya mereka berdua saja memimpin rombongan. Sementara yang lain tertinggal di belakang. Tapi bukannya takut pada arung nan terjal, Kinna malah semakin ingin menantang dirinya. Oh, dia belum puas.

Tapi... Jordan? Untuk apa? Kinna hampir menangis mendapat kemarahan Jordan. Jordan jarang berkata kasar. Suaranya selalu lembut dan meneduhkan. Sekalipun Kinna pernah melukainya, menyakitinya hingga tak bertepi. Jordan tidak pernah berubah.

Ini kali pertama laki-laki itu memarahinya. Bahkan memaksanya untuk naik ke gendongan. Tapi bukannya menurut, Kinna malah menangis.

Jordan membentak, “Love yourself! Lo itu berharga! Lebih dari apapun! Jadi, stop nyakitin diri lo sendiri! Ayo buruan naik! Kita ke puncak pelan-pelan!”

Kinna masih tetap menangis. “Kenapa lo masih selalu baik sama gue, Jor?”

“Karena gue sayang lo... sebagai sahabat. Atau apapun itu terserah lo! Gue nggak peduli,” suara Jordan makin lemah. “Ayo naik! Gue mohon!”

Mau tak mau Kinna menyerah juga. Tubuhnya sudah selemah ini, seremuk ini rasanya. Entah apa yang terjadi. Seluruh tulangnya mati rasa. Seperti dia bisa hancur kapan saja. Bersama pandangannya yang berkunang-kunang. Dan dia merasa akan hilang.

Sebelum Kinna bisa meraih punggung Jordan, tubuhnya ambruk tiba-tiba. Nafasnya tersengal-sengal. Kelelahan luar biasa. Sekelilingnya hampir padam. Dan perutnya semakin sakit. Kram menjalar luar biasa.

“Kinnanthi!”

Lalu yang Kinna dengar selanjutnya adalah teriakan bertubi-tubi, mendekat, membabibuta, dan menakutkan. Kalla berlarian di sana seperti orang gila.

Yang dirasakan Kinna selanjutnya, tubuhnya terombang-ambing kesana-kemari. Bersama jeritan Kalla yang membabi buta. Kinna tidak ingat lagi, pandangan matanya perlahan gelap. Suara Kalla terus meraung-raung.

***

Kalla tidak menikmati acara hari ini. Sepanjang pagi digunakannya untuk mengamati Kinna yang seperti mayat hidup. Masih seperti semalaman, perempuan itu tampak pucat, kelelahan, dan hilang harap hidupnya. Kalla menyumpahi dirinya sendiri berkali-kali. Penyebab apa yang dialami Kinna pasti karena ketidakbecusannya. Tuhan, Kalla tidak tahu mengapa hidupnya penuh gelimang dosa. Kalla ingin lepas dari semua ini. Dan melihat Kinna, dirinya seperti dirajam dosanya sendiri.

Bagaimana pagi tadi istrinya itu seperti mayat hidup. Membawa ransel gunungnya di gendongan tanpa semangat. Kalla mengamatinya setiap detik. Merasakan aura Kinna yang jadi berbeda sejak semalam. Mukanya pucat, dingin, dan kosong. Setiap kali Kalla bertanya ada apa, dia tidak menjawab.

Hampir berjam-jam Kalla merasa gila. Sebentar-sebentar akan menengok ke belakang bus. Mengamati Kinna yang duduk di sana bersama gerombolannya. Sudah pasti Jelita, Royhan, dan tentu ada anak divisi SDM. Itu jelas Jordan. Ada Heru juga. Meski separuh hatinya tidak mengikhlaskan Jordan berada di sana.

Suara berisik membahana sepanjang jalan. Tawa dari Jelita menggelegar. Bercampur tawa renyah biang gosip Heru. Kalla mendengus dalam hati menyaksikan itu semua dari kursinya. Bagaimana Jordan tiap detik menawarkan makanan pada Kinna dengan penuh perhatian. Meski hanya dibalas gelengan lemah Kinna. Oh, shit, dia benci melihat si Jontor itu cari muka! Kinna miliknya! Tidak ada yang boleh menyentuh Kinna-nya! Tapi Kalla tidak bisa melakukan apapun. Dia di sini, terjebak kebodohannya sendiri selama beberapa bulan terakhir.

Thalia hanya meringis menyadari muka dingin Kalla di sampingnya. Perlahan mengusap pipinya lembut. “Why you look so tired, sayang?”

Kalla mengerjap, memaksakan senyum tipis pada Thalia yang khawatir. “No.. I just—” dikedikkannya bahu, “hungry?”

“Hungry?” Thalia terkekeh, “kamu banyak makan belakangan ini? Ambil bekalku untuk mengganjal perutmu.”

“Hmm.”

Satu jam kemudian bus mewah yang mengangkut para pegawai TB Grup itu sampai juga di alas kaki gunung. Acara pendakian hari pertama dimulai. Kalla menurunkan tasnya ogah-ogahan. Lagi-lagi mendapati di seberang sana Jordan sedang membantu Kinna membawakan tas. Dan... muka pucat Kinna yang semakin menjadi-jadi. Kalla meremas buku tangannya.

Guys, guys, semua kumpul! Semua kumpul! Kita mulai dari pos pertama, ya!”

Tapi Kalla tak peduli pada seru-seruan yang diteriakkan komandan acara. Akhirnya Kalla menghampiri Kinna yang asyik tertawa-tawa bersama yang lain. Kinna tentu marah. “Apaan, sih?! Jangan ngatur-ngatur gue, ya!”

Kalla menghela napas panjang. “Lo sakit. Nggak usah ikut. Please, love yourself. Gue nggak mau terjadi apa-apa sama lo di gunung nanti.”

Tentu saja Kinna jadi marah.

“Lo nggak lihat muka lo kayak zombie?”

Kinna malah tertawa cuek, “Takut, ya?”

“Bener-bener, ya, lo!” mendesah kesal, Kalla berbalik, kembali ke barisannya bersama Niko dan yang lain. Malas sekali dia bergabung dengan Kinna and friends. Di mana di dalamnya sudah pasti ada Jordan. Meskipun kata gosip santer yang didengarnya, Jordan sedang menjauhi Kinna.

Tapi, apalah? Beuh, mana percaya! Buktinya setiap detik laki-laki itu terus menempeli Kinna seperti kutu. Memang dasar pengganggu! Kalla tidak akan diam saja nanti.

Setengah jam kemudian setelah briefing, kegiatan mendaki dimulai. Rombongan mulai berpencar karena terbagi menjadi beberapa tim. Dan yang jelas Kinna ada jauh di depan bersama geng pegawai gosipnya. Lagi-lagi Kalla hanya bisa mendengus mendengar jeritan tawa dari Si Cendol dan Jelita itu. Oh, jangan lupakan si Jontor yang selalu menguntit juga.

“Kal, don’t hurry. I’m too afraid, cause this is my first time climbing,” lirih Thalia, masih berusaha memeluk lengannya sebagai pegangan. Senyumnya memancar cantik, “But, I really like it. Ternyata seru sekali, ya? Kenapa kamu nggak mengajakku dari lama?”

Lagi. Kalla hanya tersenyum kecut. “Iya, next time, ya, Thal?”

Niko yang berada di belakang mereka mencibir. “Ehem... ehem... Mesra banget, inget-inget yang lain, dong! Ehem...” matanya berputar ke depan. Tepatnya pada barisan kelompok Kinna.

Kalla meringis mendapati sindiran itu. Fakta kalau dia punya tunangan dan istri di saat yang bersamaan membuatnya gila. Sakit, tapi benar. Fakta itu menyakitinya. Tapi Niko selalu menggunakannya sebagai bahan olok-olok. Tanpa tahu dia benar-benar terluka dan gila menghadapinya.

Niko menarik lengannya mundur. “Dude, Kinna lagi sakit, ya? Kasihan, suruh udahan, gih.”

 Kalla mendongak menerobos rombongan. Baru sadar Kinna memang sudah mendaki terlalu jauh. Paling depan dari semua rombongan. Gerakannya gesit dan gila-gilaan. Kalla mengawasinya dari jauh. Beberapa kali melihat Kinna hampir merosot jatuh kalau tidak ada Jordan di sana. Sampai Kalla sadar, Kinna jatuh pingsan.

Just wait, there, Ki! Kalla bahkan tidak peduli saat Thalia menjerit-jerit memintanya hati-hati. I’m sorry, Thal. I’m sorry. Tapi Kalla tidak bisa diam saja. Merebut Kinna dari gendongan Jordan.

Satu jam kemudian Kalla tidak ingat apapun lagi. Bayangan bagaimana dia memaksa Leon menyetir menuruni lereng perbukitan menuju rumah sakit sudah tidak diingatnya. Saat dia berlarian menggendong Kinna ke atas brankar dan terus menggenggam tangannya. Berdoa dalam setiap tangisnya.

Meskipun pada akhirnya Kalla hanya bisa membanting tubuhnya sendiri. Memukuli sepanjang bangku kosong dan menangis sepuasnya. Tubuhnya ambruk di lantai dingin rumah sakit. Menjadi bahan tontonan lalu-lalang perawat dan pasien lainnya. Penjelasan dari dokter tadi sudah cukup.

Karena Kalla hanya bisa menangis saat menunggu di UGD tadi. Leon tidak berani menyentuhnya sama sekali. Mengambil jarak yang jauh demi ketenangan Kalla. Kalla bahkan lupa Leon mengawasinya dan mendukungnya dari jauh lorong. Dan Thalia... Kalla tidak ingat apapun lagi. Selain mata perempuan itu yang menatapnya kosong. Suara-suara dari suster beberapa menit yang lalu pun masih menyakitinya.

“Kandungannya lemah... ibunya kritis...”

Kalla menyesalinya. Kebodohannya, keegoisannya... jika dia jadikan satu semuanya, maka tidak akan ada ampun di sana. Maafin gue, Ki. Maaf. Bahkan, kata maaf pun nggak akan pernah cukup buat gue selama ini... yang terus-terusan hancurin hidup lo... Gue mohon, lo harus kuat... dan anak kita... Gue mau dia... Gue sayang dia... Beri gue waktu, supaya gue bisa bahagiakan kalian...

Tangis Kalla mengencang saat membuka ponselnya lemah. Menemukan foto pernikahan mereka. Bayangan cantik Kinna dan kebayanya tercetak di sana. Kalla berani bersumpah bahwa Kinnanthi Anggun Prameswari adalah pengantin wanita tercantik yang pernah dia temui.

You’re so beautiful in this dress, my wife... And only you, that I hope to be a Mom for my kids... But, why did I just realize? I want you that much... Gue ingin lo sebanyak ini, Ki... Setiap detik... Setiap hari...  

But, what I do? I just ruined you...

***

“Kondisi kritis Nyonya Kinnanthi sudah terlewati.”

“And the baby?” Kalla tidak ingin mendengarnya. Meski suaranya tetap muncul walau serak, “was dead?”

Tapi jawaban selanjutnya malah membuat Kalla makin menangis.

“No! The baby is fine! Cause the blood not from the baby. Itu berasal dari luka sayatan yang lain. Mungkin kecerobohan istri Anda saat mendaki. Kami sudah menjahitnya.”

For god’s shake? Kalla benar-benar menangis mendengarnya. Thank’s god for saving her. Oh, Tuhannya mencintainya sebanyak ini? Manusia sebodoh ini? Yang bahkan punya bergunung-gunung dosa? Tuhan saja memaafkannya.

“Selamat, Pak! You should take care of them!” ringis dokter itu lagi sebelum benar-benar pergi meninggalkan Kalla yang terisak.

Sekarang di sinilah dia berada, menggenggam lembut jemari Kinna yang dingin dan dibalut infus panjang. Mukanya pucat. Jauh lebih pucat dari pada zombie. Tapi Kalla tidak bisa menghentikan senyumnya. Berkali-kali mengucap syukur dan terima kasih. Terus menciumi tangan Kinna. Bahkan membisikkan kalimat penenangnya berkali-kali.

“Hey, My Cendol do you hear me? I love you... And I love you again... I love everything about you, your kindness, your smile, your heart, and your body,” kekeh Kalla mencoba bercanda, mengelus lembut jidat Kinna, “and my child to be, our child... Thank you for giving me this beautiful gift... That I can’t believe I will be a Dad... Thank you...” rintihnya terus menerus.

Sampai ketukan di ujung ruangan pun Kalla tidak sadar. Barulah bayangan Reval mendekat, membuat Kalla hanya bisa memaksakan tawa.

“Hei, udah sampai?” gumamnya yang hanya dibalas anggukan Reval.

Reval hanya menatap kosong pemandangan di depan kakaknya. Kinna yang tidak berdaya— yang pucat, lemah, dan terbalut selang infus panjang. Hal yang jarang sekali dilihat oleh Reval bahwa perempuan tangguh itu bisa jatuh seperti ini.

“Kinna— what happen?”

Kalla menjawab hampa. Tanpa menoleh sedikit pun. “She’s pregnant...” meski sesak ditahannya, “hampir keguguran.”

Tentu saja Reval shock mendengarnya. “What— Pregnant?! But, who—”

“And you stil asking?! Who! Who!” amuk Kalla emosi.

Reval akhirnya tertawa sinis, “Oh, I shouldn’t asking! Ck... that jerk!”

 Starla yang baru datang menyusul langsung membekap mulut. Menyadari ketegangan panas di antara pacar dan kakaknya. Tapi, tunggu? Hamil? Starla semakin melotot. “My cutie Kinna... was pregnant?!” matanya melotot pada Kalla, “don’t dare you!”

“And you still asking?!” ulang Reval menyindir Kalla yang menunduk pasrah, menyugar rambut frustrasi.

Starla menatap Kalla geleng-geleng. “You jerk, Mas! Lo harus nikahin Kinna! Gue nggak mau tahu! Thalia deserve better than you!

“Gue udah nikah sama dia!” balas Kalla tak kalah sarkastik.

“WH— WHATT?!” pekik Starla semakin gila. “DAMN YOU!”

“Silahkan, hina gue sepuas kalian,” hanya itulah yang diucapkan Kalla, sebelum akhirnya kembali menggenggam jemari Kinna, menidurkan kepalanya di sana. Pura-pura lupa ada dua makhluk cerewet yang menyumpahinya di belakang.

“That’s crazy people! Ugh,” amuk Starla melirik Reval, “you learn more your brother to respect a woman.”

Kalla menghela napas, “Gue bakal pindahin Kinna ke rumah sakit di Jakarta secepatnya.  

Reval mengangguk, “Ya, Mama dan Papa harus tahu apa yang anaknya lakukan.”

Kalla membalas Reval dengan senyuman pasrah. Itu betul. Donna dan Tomi harus tahu semuanya. Biar saja. Biar semua orang tahu. Betapa brengseknya dia. Thalia pantas mendapatkan laki-laki yang lebih baik darinya. Kalla memejamkan mata. Menahan tetes air matanya yang nyaris turun lagi. Tak mau berlama-lama di ruangan, Kalla memilih mundur, membanting pintu ruangan Kinna.

***

 Ada yang aneh saat Kinna tertidur. Kinna bermimpi berada di sebuah taman yang luas nan indah. Taman yang sejuk dan segar. Berhiaskan bunga-bunga bermekaran. Tunggu, ada di mana dia? Surga, kah? Surga?

Kinna berada di tempat itu. Melupakan semua dosa-dosanya di dunia. Seharusnya dia bahagia? Tapi apa yang terjadi? Dia malah menangis. Rasa sakit yang terakhir dirasakannya menghilang. Tapi, ada sakit yang berkali-kali lebih perih. Hatinya...

Dan teriakan itu terdengar meraung tiba-tiba. Menyentaknya seketika.

“Mami... mami... let’s go back! Papi is waiting us!”

“Papi?” tentu saja Kinna mengernyit bingung. Siapa itu Papi? Kinna tidak mengenalnya. Tapi jemari mungil bocah itu buru-buru menyeretnya pergi. “But, wait... I don’t understand.

Bocah itu menoleh dan malah menangis. “Mami I wanna see the world... and want to meet Papi...”

“Papi?” ulang Kinna sekali lagi, dan jemari mungil di depannya menunjuk seseorang yang menghadang di depan mereka. Sedang menangis. Itu... Kalla.

Kalla? Sakalla Tanubradja?

Dan tangisan bocah itu mengencang. “Mami... can we back? And meet Papi?”

Tanpa sadar Kinna berjongkok, menemukan tangisan bocah itu makin kencang. Tangannya menangkup pipi dingin sang bocah. Betapa Kinna baru menyadari bocah yang berada di depannya sangat mirip dengan Kalla.

“Who are you, heum? Kalla junior?”

“Mami! Mami!” isaknya dalam tangis. Kinna memeluknya kencang. Tanpa sadar terisak juga.

“Maafkan Mami! Mami almost killed you! Mami was hurting you, Nak!”

 Tangis Kinna merebak. Dalam sesal dan luka. Menyadari anaknya di sana. That’s Kalla junior. Bersamaan itu cahaya mentari mengusak matanya lembut. Membuatnya mengerjap lemah. Silau. Kinna takut. Sejenak, merasakan tangannya digenggam hangat seseorang.

Kinna mengerjap. Ternyata dia belum mati. Tapi, di mana bocah kecil itu? Anakku. Anakku. Jeritnya tanpa sadar. Hampir bangkit kalau saja Kalla tidak segera bangun dari tidurnya. Tangisan Kinna merebak.

“Anakku! Anakku mana?!” isaknya, “Anak aku! Balikin ke aku! Give him back!”

Mau tak mau Kalla ikut menangis mendengar raungan Kinna, “It’s okay, Ki! It’s okay!” tenangnya.

“Anakku... Anakku, Kal...” rintihnya.

“Anak kita,” ralat Kalla cepat. “It’s okay, Ki. Our little angel,” isaknya, “don’t worry!”

Kinna menatap Kalla yang menangis tanpa suara. “Are you crying, eh?”

Kalla menggeleng. Masih tanpa suara, bersimpuh memeluk Kinna, “lo masih capek, tidur, gih.”

“Gue... mimpi buruk. Gue... takut.”

Kinna menunduk. Merasakan air matanya makin basah menggenang di atas rambut Kalla. Tanpa sadar dibelainya lembut. Ada getaran hebat di sana. “Kasih dia kehidupan, Ki... Gue pengen ketemu dia... Kasih izin gue... Buat kenalan sama dia... Buat gue ngenalin dunia ini ke dia... Iya, gue tahu, dia bakal kecewa karena bapaknya sebrengsek ini,” suaranya makin mengiba, dan Kinna tak sanggup lagi melihat air mata mengalir di pipi Kalla.

Kinna mengelus rambutnya lagi. Kalla makin terisak. Akhirnya bangkit memeluk Kinna. Membiarkan tangis mereka berderai dalam satu irama. Kinna tidak pernah sesakit ini. Tangisnya tidak pernah sekencang ini. Tidak pernah sebebas ini di hadapan Kalla. Tapi, hari ini dia ingin melampiaskannya. Rasa sakitnya, lukanya, kecewanya. Dan dipukulinya dada Kalla terus menerus. Sampai mereka tenang. Kalla naik ke atas ranjang dan memeluknya. Meredam tangis Kinna di sana.

Donna melangkah masuk. Ketukan high heels-nya nyaring. Tapi, tidak ada suara. Hanya menatap tanpa ekspresi. Hambar. Melihat bagaimana anaknya dan anak angkatnya— seseorang yang bahkan mungkin sudah dia anggap anak kandung— saling berciuman di atas tempat tidur yang sama, sekali lagi, Donna hanya menatap kosong.

Kinna tersentak kaget menyadari Donna di sana. Segera mendorong Kalla menjauh. “Ta... Tante—” lirihnya ketakutan.

Kalla juga mendongak panik. “Ma, u—udah sampai? Kok nggak bilang? Tahu gitu, aku jemput ke bawah!”

Donna menghela napas kasar. “Apa itu penting untuk saya?!”

“Tante...” lirih Kinna lagi, semakin terluka mendengarnya. Tidak pernah dia tahu nada suara Donna bisa sedingin ini padanya. Donna tidak pernah marah, tidak pernah kasar, tidak pernah membentaknya. Tapi cara bicaranya kali ini benar-benar berbeda. Kinna merasakan sakit yang luar biasa.

Tapi, Donna hanya tersenyum tipis. “Maafkan saya yang mengganggu kalian. Sepertinya saya harus pergi!” hampir berbalik kalau Kalla tidak segera turun dan mengejarnya.

“Ma, please, dengerin dulu!” mohon Kalla, menghadang Donna yang nyaris menyentuh kenop pintu. Kalla menahannya sekuat tenaga, “Mama, please! Aku mohon!”

“Apalagi yang harus Mama dengar?” tanya Dona setenang mungkin. Tapi beberapa detik kemudian meninggi. “Apalagi?! Apa?! Kalian mau ciuman?! Mau tidur seranjang?! Mau apapun itu terserah! Mama nggak mau tahu! Terserah!”

“But, Ma, please, just hear me... Sekali ini aja...mohon Kalla menarik ujung jemari Donna, menyeretnya mundur. Tanpa sadar Kalla bersimpuh di depannya, “I’m sorry, Ma. I’m sorry. For everything...”

Donna hanya diam mematung saat Kalla memeluk pinggangnya tiba-tiba. Sambil menangis. Suaranya teredam dalam pelukan. Anaknya jarang menangis. Sekalinya terjadi, Donna tahu ada yang tidak beres di sana. Jadi, dia hanya bisa memejamkan mata. Tanpa sadar nyaris menangis juga.

“Katakan yang mau kamu katakan! Mama nggak punya waktu banyak!” ketus Donna, “Mama sibuk kamu tahu?! Tiba-tiba Mama disuruh ke sini, tapi apa yang Mama lihat?!”

“Ma—” Kalla makin terisak. “I’m sorry...” bisiknya lagi, makin lirih.

Dari atas tempat tidurnya, Kinna hanya bisa menggigit bibir memandang Kalla. Diam-diam menyembunyikan tangisnya yang hampir turun juga. Sesekali meremas kuat seprei. Kal, what should I do? Batinnya berkecamuk, tapi tidak bisa melakukan apa-apa. Matanya langsung terpejam perih saat akhirnya mendengar kalimat selanjutnya dari bibir Kalla.

“Ma, aku... aku sama Kinna udah nikah, Ma...” satu tarikan napas berat terdengar dari mulut Kalla, “di Sukabumi. Maaf... baru bilang sekarang ke Mama. Maaf, ya, Ma? It’s okay for you, Ma? And the good news is...” Kalla memberanikan diri mendongak menatap muka dingin Donna, “Mama will having grandchild, Kinna was pregnant, Ma. And I will be Daddy—

Kalla bahkan belum selesai menjelaskan, tapi satu gamparan sudah melayang ke pipi. Tangisnya merebak. “Maaf aku nggak jujur, Ma. Aku... nggak bisa lanjutin hubungan aku dengan Thalia, Ma. Aku—“ dia kehabisan kata-kata. Air matanya mengalir deras. “I am truly, sorry, Ma! I love Kinna! Not Thalia!”

“Bisa-bisanya kamu—” Donna benar-benar marah mendengarnya. “Kamu sudah bertunangan dengan Thalia, kamu tahu?! But, what you do, Sakalla? You break my heart! Mama sangat kecewa! Dan kamu bilang apa? Kamu sudah menikah? Tanpa memberitahu Mama dan Papa? Kamu anggap Mama apa? Mama nggak membesarkan kamu untuk jadi pembohong, Sakalla!” sinis Donna mengakhiri kalimatnya

Kalla menertawakan diri sendiri.

“Mau ditaruh mana muka Mama di hadapan keluarga Thalia, Kal? Kamu benar-benar sangat mengecewakan! Kamu pikir sekarang! Pikir!”

“Ma— ”

“Don’t call me Mama!” marah Donna lagi, “Just remember what you do to someone you called ‘Mama’! Am I really your Mama?”

Tatapan Donna teralih pada Kinna. Mati-matian Kinna menahan tangisnya untuk tidak meluncur. Nyaris terjerembab dirinya turun. Melepas selang infusnya yang masih menancap kasar. “Tante! Tante! It’s my fault! I’m sorry...”

Kalla ingin memarahinya. Tapi Kinna malah berjalan mendekat, memancing raut kecewa Donna lebih dalam. Kalla menahan jemari mamanya. “Ma, please, Kinna butuh istirahat...”

Donna hanya menggeleng kecewa. “Kinna...” lirihnya putus asa, “Saya menganggap kamu seperti anak saya sendiri. Saya pikir, kamu anak perempuan saya. Saudaranya Kalla dan Reval. Tapi, apa yang kamu lakukan pada saya?”

“Mama, stop!” Kalla semakin marah melihat air mata Kinna berderaian turun. “Kita bicara di luar.”

“Kalau kalian saling mencintai, kenapa nggak mengatakannya dari dulu?” Donna memegangi kepalanya yang nyaris meledak, “kenapa harus membohongi kami? Mama dan papa kamu? Lalu gadis sebaik Thalia? Apa yang ada di otakmu?!”

“Tante, maaf... Maafin Kinna....”

“Saya nggak butuh maafmu Kinna...” lirih Donna sedih, “yang saya butuhkan adalah, bagaimana membangun kepercayaan saya pada kamu lagi, seperti dulu?” setelahnya Donna memilih bangkit, merapikan tasnya dan berjalan keluar membanting pintu.

Kalla meraih jaketnya bersiap menyusul. Perlahan ditatapnya Kinna sebentar. “Take a rest, Ki. I will clear all this, okay? Don’t think too much.”

***

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
(L)OVERTONE
2002      707     1     
Romance
Sang Dewa Gitar--Arga--tidak mau lagi memainkan ritme indah serta alunan melodi gitarnya yang terkenal membuat setiap pendengarnya melayang-layang. Ia menganggap alunan melodinya sebagai nada kutukan yang telah menyebabkan orang yang dicintainya meregang nyawa. Sampai suatu ketika, Melani hadir untuk mengembalikan feel pada permainan gitar Arga. Dapatkah Melani meluluhkan hati Arga sampai lela...
Rewrite
7293      2350     1     
Romance
Siapa yang menduga, Azkadina yang tomboy bisa bertekuk lutut pada pria sederhana macam Shafwan? Berawal dari pertemuan mereka yang penuh drama di rumah Sonya. Shafwan adalah guru dari keponakannya. Cinta yang bersemi, membuat Azkadina mengubah penampilan. Dia rela menutup kepalanya dengan selembar hijab, demi mendapatkan cinta dari Shafwan. Perempuan yang bukan tipe-nya itu membuat hidup Shafwa...
Never Let Me Down
461      347     2     
Short Story
Bisakah kita memutar waktu? Bisakah kita mengulang semua kenangan kita? Aku rindu dengan KITA
When I Met You
607      343     14     
Romance
Katanya, seorang penulis kualat dengan tokohnya ketika ia mengalami apa yang dituliskannya di dunia nyata. Dan kini kami bertemu. Aku dan "tokohku".
Heaven's Song
293      189     0     
Short Story
Kisah ini dideikasikan untuk : Orang-orang yang tanpa pamrih mendoakan dan mengharapkan yang terbaik. Memberi dukungan dengan ikhlas dan tulus. Terimakasih. Terimakasih karena kalian bersedia menunjukkan bahwa kasih tidak mengenal rentang waktu dan dimensi, Terimakasih juga karena kalian menunjukkan doa yang penuh kerendahan hati dan keikhlasan adalah hal yang terindah bagiNya.
Malu malu cinta diam diam
477      345     0     
Short Story
Melihatmu dari jauhpun sudah membuatku puas. karena aku menyukaimu dalam diam dan mencintaimu dalam doaku
Aku Lupa Cara Mendeskripsikan Petang
529      360     2     
Short Story
Entah apa yang lebih indah dari petang, mungkin kau. Ah aku keliru. Yang lebih indah dari petang adalah kita berdua di bawah jingganya senja dan jingganya lilin!
JURANG
971      467     5     
Short Story
Adikku memang orang yang aneh. Adikku selalu beri pertanda aneh untuk kehidupanku. Hidupku untuk siapa? Untuk adikku atau calon suamiku tercinta?
Under The Moonlight
1746      922     2     
Romance
Ini kisah tentang Yul dan Hyori. Dua sahabat yang tak terpisahkan. Dua sahabat yang selalu berbagi mimpi dan tawa. Hingga keduanya tak sadar ‘ada perasaan lain’ yang tumbuh diantara mereka. Hingga keduanya lupa dengan ungkapan ‘there is no real friendship between girl and boy’ Akankah keduanya mampu melewati batas sahabat yang selama ini membelenggu keduanya? Bagaimana bisa aku m...
Just a Cosmological Things
846      473     2     
Romance
Tentang mereka yang bersahabat, tentang dia yang jatuh hati pada sahabatnya sendiri, dan tentang dia yang patah hati karena sahabatnya. "Karena jatuh cinta tidak hanya butuh aku dan kamu. Semesta harus ikut mendukung"- Caramello tyra. "But, it just a cosmological things" - Reno Dhimas White.