Merasa hampir gila, Kinna memutuskan pergi ke mall. Melupakan segala beban pikiran berat yang kini menimpanya. Menghabiskan waktunya kembali menjadi SPG. Setidaknya, dia bisa sedikit melupakan kejahatan si Tante anjing satu itu. Daripada waktunya dia habiskan untuk mengumpat terus menerus. Sekarang yang penting, dia harus bekerja lebih keras lagi untuk mendapatkan banyak uang.
Tapi dari mana uang itu?! Dan bahkan sejak tadi produk yang ditawarkannya sepi. Kalau dia bisa menjualkan seratus produk kecantikan dalam sehari, bonus yang didapatnya pasti berlimpah. Tapi apa buktinya?! Bahkan sejak tadi— tepatnya sejak berjam-jam lalu dia berdiri di stand ini— dia bahkan baru bisa menarik satu customer untuk membeli produk mereka.
“Halo, Kak, maaf ganggu. Mata kakak cantik banget, deh. Udah pernah coba eyeshadow dari kita bel—”
Dan mbak-mbak itu menyahut ketus bahkan sebelum Kinna selesai promosi. “Sorry, aku udah pake Lanco, Kak. Aku nggak pakai merk underrated.”
“Kita nggak underrated, kok, Kak. Kakak bisa coba dulu. Atau kakak mau coba lipstik-nya aja,” tapi tangan Kinna malah ditepis kasar, nyaris jatuh kotak eyeshadow di tangannya. “Oh, ya udah, Kak. Lain kali mampir, ya, ke gerai kami.”
Kinna menghela napas panjang. Menyerah, memutuskan kembali ke stand. Meraih sebotol air mineral di sana. Riris tengah asyik berdandan di dalam. Sibuk sendiri sambil bernyanyi dari headset. Seolah tidak peduli pada produk di sekeliling mereka.
“Laku berapa?” tanya Riris sambil asyik bercermin.
Kinna meringis. “Satu.”
Tawa Riris menguar ke udara. “Sedih amat. Santai aja, dong. Uang nggak cuma ngalir dari SPG, kok. Ya, kan, mbak-mbak kantoran?”
Riris kerap kali mengejek Kinna begitu. Entah apa maksudnya. Iya, sih, dia pegawai kantor. Tapi rasa babu. Alias tidak punya apa-apa.
Merasa hampir gila, tanpa sadar Kinna menangis.
Tentu Riris jadi panik. “Ih, lo nangis?! Kenapa, sih?! Marah gue sindir gitu? Loh, kan, lo emang kantoran, Ki! Kok malah ngambek, sih!”
“Gue—” isakan Kinna mengencang. “Gue lagi stres, Ris! Stres banget! Gue nggak tahu lagi harus cerita ke siapa!”
Riris menutup bedaknya perlahan, menatap serius Kinna yang putus asa. “Ada apa emang?”
“Gue butuh duit, Ris! Duit! Dua ratus juta! Gue butuh banget secepatnya!” Kinna menjambak rambutnya frustasi. “Tapi gue nggak tahu gue bisa dapetin itu dari mana—”
Tapi Riris malah tertawa. “Ck, cuma dua ratus juta doang mah kecil!”
“Apa maksud lo? Dua ratus juta itu banyak banget, Ris! Jangan gila, ya, lo!”
“Ongkos gue narik di tempat Madam ditotal mah ada kali segitu, Ki! Udah buat gue bangun rumah di kampung!” Riris tersenyum miring, “mau ikutan? Yuk, udah gue ajak dari kapan tahun juga!”
Kinna geleng-geleng mendengarnya. Lagi-lagi berujung ke Madam. Demi apapun, Kinna akan melakukan pekerjaan apa saja demi menghasilkan dua ratus juta, tapi tidak untuk pekerjaan haram satu itu.
“Ris, gue udah bilang berapa kali sama lo?! Gue takut dosa, Ris!”
“Oh, jadi lo ngehina kerjaan gue, Ki?”
Kinna menggeleng. “Bukan itu...”
Riris berdecak. “Gue dulu juga gitu, kali! Lo pikir, gue nggak takut ama dosa?! Gue juga takut! Tapi, hidup ini nggak ngasih pilihan lain buat gue! Sebenernya gue jijik sama diri gue yang simpenan Om-Om, Ki! Tapi kalau nggak gini, keluarga gue taruhannya! Jangan sok suci, ya! Lo pikir gue serendah itu?”
Tangis Kinna merebak lagi.
Riris mendongakkan dagu Kinna. “Ayolah, Ki, lo itu aslinya cakep banget. Kulit putih, badan mungil, singset, oke punya. Siapa cowok yang nggak mau? Lo cuma butuh polesan dikit. Biar nggak keliatan tomboy banget.”
“Ris gue takuuut...” isaknya.
“Lo butuh uang? Semendesak apa?”
“Gue nggak mau adek gue dinikahin rentenir gara-gara Tante nggak bisa lunasin utang! Gue nggak mau...”
“Oke, lo ikut gue nanti malem ketemu Madam!”
***
My Thal
Kal, aku sdh sampai
Km sdg apa disana? Jgn lupa mkn, yaa
Kalla melemparkan tongkat cue di tangannya kasar. Turut menghempaskan ponsel itu ke lantai. Seakan barang itu tidak ada harganya sama sekali. Mendadak badmood-nya datang menyerang. Kalla memilih menjatuhkan dirinya ke sofa panjang. Menatap malas pada Niko, Dipta, dan Leon yang masih betah bermain kartu sambil menjadikan mobil masing-masing sebagai objek taruhan.
“Ck, gue menang! Tapi gue maunya mobil lo, Kal!” Leon mendesah, “Malah dapet mobil bengeknya Dipta, njir! Males banget gue!”
“Kalau lo nggak mau, ya udah! Gue tarik lagi, ya!” Dipta malah mengambil kuncinya kembali. “Taruhannya batal! Intinya, kita masih sayang mobil masing-masing! Daripada lo jual mobil gue! Dah, nggak usah!”
“Jadilah, mau gue kirim ke rongsokan mobil lo, Bor!”
Niko terpingkal-pingkal. “Gaya aja taruhan, ujung-ujungnya kagak jadi! Malu-maluin kaum kita! Pantesan lo jomblo, Dip!” diliriknya Kalla yang sibuk menginjak-injak ponselnya di lantai, “Ini lagi satu! Kasihan tuh hape lo injekin mulu! Kasih aja ke Dipta!”
Dipta nyengir. “Kenapa lo kasih ke gue?”
“Yee, ya, kan, lo yang tukang ngoleksi rongsokan, Dip! Gimana, seh?” tandas Niko malas.
Leon melirik Kalla heran. Lebih tertarik mengepoi sahabatnya itu. “But, why you’re just silence like a ghost?!”
Niko kembali tertawa. “Lo kayak nggak tahu aja, Yon! Lagi galau dia, mah! Abis ditinggalin Thalia, ditinggalin juga kembarannya, si Cendol! Buahaha! Makanya ngerjain orang mikir dulu! Otak lo atasin dikit, jangan ke bawah mulu! Gini, kan, jadinya!”
“Oh, sekarang nyesel ngedepak si Jontor, Kal? Wow, this karma doing well.”
“Coba, Yon, kirim dia ke kutub! Emang mau?! Gue jadi Cendol ya marah, pacar kesayangan gue dikirim-kirim seenaknya kayak barang paket!”
Leon ganti menoyor jidat Kalla. “Iya, Nik, kebanyakan main di kutub, nih, anak! Otaknya nge-freeze mulu! Nggak ada atinya kalau ama si Cendol!”
Niko menunjuk ke belakang, “tuh, panasin pake kompor, Yon! Biar meleduk, duar!”
Lalu tawa di sekelilingnya kembali pecah. Kalla bangkit dengan kasar. Tidak tahan pada makian-makian itu. “Bisa diem nggak?! Kalau cuma ngomongin ampas, mending tutup mulut aja!”
“Ampas tuh isi otaknya Dipta! Isi otak kita-kita mah berlian!”
Akhirnya Kalla menyambar kunci mobil. Meninggalkan halaman belakang rumah Niko. Bisa gila lama-lama dia di sana. Sekarang Kalla melajukan maserati-nya menyusuri gang kecil menuju sebuah kos. Tentu saja kos Kinna. Siapa lagi temannya yang hidup sebagai rakyat jelata selain Kinna?
Ini entah sudah ke berapa kalinya Kalla mendatangi kos Kinna dan mendapati perempuan itu tidak ada di sana.
Argh, kemana, sih lo, Ndol?
Dua hari. Dua hari Kinna tidak masuk kerja sejak kepergian Jordan ke Sidney. Kalla jadi berpikir yang tidak-tidak kemana perginya perempuan itu? Kinna bahkan tidak ada di kos.
***
Kinna menatap pantulan dirinya di depan cermin. Setelan jeans panjangnya digantikan pakaian aneh. Sebuah mini dress hitam tanpa lengan, lalu dandanan yang sedikit mencolok. Bibirnya bahkan berwarna merah menyala. Oh, dia terlihat sangat cantik dan menawan. Rambutnya yang panjang berkibaran, mukanya yang penuh gliter, dan bentuk tubuh yang membentuk s line.
Hanya saja, kalimat Kalla terus terngiang-ngiang di telinganya.
Malah kayak bitch!
Sekarang Kinna menertawakan diri sendiri. Kalla benar. Iya, sekarang dia adalah bitch.
Pertama kali berkenalan dengan pria hidung belang sangat aneh bagi Kinna. Hal-hal sepele yang biasa dia lakukan dengan orang lain, menjadi tampak menakutkan. Seperti berkenalan, Kinna bahkan harus menelan ludahnya yang terasa kering.
“Oh, jadi namamu Anggun?”
“I— iya, Om, sa— saya Anggun.”
“Anggun? Hmm, cocok ya, sama nama kamu. Oh ya, kamu pengen apa? Ini ada sedikit uang jajan buat kamu. Beli apa yang kamu pengen.”
Setidaknya uang jajan itu sangat menolong Kinna untuk saat ini. Jadi, Kinna akan memanfaatkan semua kesempatan ini. Dia akan bekerja keras untuk mengumpulkan dua ratus juta secepatnya. Kinna harus mendapat banyak job.
Dan hampir satu minggu ini Kinna menekuri dunia barunya. Kadang sesekali, saat malam datang, dia akan menangis mengingat senyuman Jordan. Jemarinya yang terpatah-patah, akan mengetik balasan pesan dari laki-laki itu. Selalu mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja. Meski itu semua hanyalah kebohongan belaka. Tanpa Jordan, Kinna patah arang. Tanpa Jordan, Kinna hilang arah. Kalau ada Jordan, dia pasti tidak di sini sekarang.
Jordan. Kinna merasa sesak tiap hari. Jordan tidak pantas menyukainya. Kinna terlalu kotor dan murahan untuk mendapatkan cinta dari Jordan. Laki-laki itu terlalu baik, terlalu sempurna, untuknya yang punya banyak dosa sekarang. Sugar baby, yang menjerat dan menipu para daddy kaya demi mendapatkan cuan.
Maafin gue, Jor. Gue nggak pantes buat lo. Seharusnya lo nggak cinta sama cewek kayak gue.
“Nggun?”
Lamunan Kinna buyar saat Om Erick—pacarnya saat ini— mulai mendaratkan mobilnya di area muka lobby TB Grup. “Eh, iya, Om?” sahutnya sok ceria.
“Kantormu yang mana?”
Kinna menghela napas panjang. Seharusnya Erick tidak mengantarnya sampai sini. Menyebalkan sekali. Buat apa dia repot-repot menyamar sebagai ‘Anggun’ kalau pada akhirnya, para buaya darat itu memaksa mengorek kehidupan aslinya?
“Ya, pokoknya yang itu, Om!”
“Yang itu yang mana? Nggak apa-apa ini Om turunin kamu di sini?”
“Iya, nggak apa-apa. Sini aja, ya, Om. Hehe. Aku turun dulu. Keburu dicari atasanku, nih.” Kinna membuka seat belt yang membelit tubuhnya. Masih memasang muka super ceria, dilambaikan tangannya. “Dadaaah, Om...”
“Wait! Atasanmu cewek atau cowok?” tanya Erick cemburu.
“Cowok, sih, Om. Tapi nggak seganteng Om Erick, kok.”
Erick langsung tersenyum bangga.
Tapi Kinna malah menunduk cemberut menampilkan muka sok imutnya. “Tapi, Om, aku boleh minta uang jajan lagi, nggak? Duit aku kemarin abis, Om.”
“Ya ampun, bilang, dong. Dua juta cukup nggak, Nggun?”
Senyuman Kinna langsung merekah. “Iya, cukup kok, Om, kalau cuma buat sehari. Hihi, makasih ya, Om Erick. Om itu baiiik, banget. Aku sayang sama Om.”
“Om juga sayang sama kamu. Sini, Om cium pipinya dulu, dong! Biar nggak kangen!” dan Kinna hanya bisa mengangguk pasrah saat kecupan itu dilayangkan ke pipinya. “Kamu ngangenin, sih!”
Kinna makin cemberut. “Jangan gitu, dong, Om. Kasihan istri Om. Pikirin perasaan Tante.”
Erick malah tertawa mencubit pipi Kinna. “Habisnya kamu gemesin, sih, Nggun. Mana bikin kangen lagi. Nanti kalau Om berhasil minta izin ke istri Om buat poligami, kita nikah, ya?”
Kinna hanya memaksakan senyum. “Iya, Om boleh milikin aku, kalau Om udah nikahin aku, ya?”
“Iya, itu pasti! Kamu yang sabar, ya? Istri Om itu kayak macan. Beda sama kamu yang gemesin kayak kucing.”
“Hem, aku sabar, kok.”
“Oh ya, Nggun, tas yang Om beliin ini kamu suka, nggak?” tatapan Erick teralih pada flap bag warna merah merk gucci yang dipakai Kinna, “cocok banget sama kamu.”
“Iya, suka banget, dong, Om! Tapi ternyata aku udah punya model ini Om!”
“Oke, nanti sore kita beli lagi, ya? Om jemput.”
Erick melayangkan kecupannya lagi sekali, sebelum akhirnya membiarkan Kinna melangkah turun dari sana. Lalu ketika mobil Erick menjauh, senyuman Kinna berubah datar. Diraupnya tisu dari balik tas mahalnya dan dibersihkannya pipi secepat kilat. Kinna meringis, menahan jijik, tidak mau sama sekali bekas kecupan Erick tersisa di sana. Tidak cukup, diraihnya sebotol handsanitizer dan menyemprotkan ke segala arah.
Tidak, Kinna masih menyayangi dirinya sendiri. Masih. Setidaknya untuk saat ini. Tidak tahu lagi ke depannya. Karena toh percuma, dia tidak punya apa-apa lagi selain harga dirinya yang makin hari menipis tergerus angin.
Menghela napas, Kinna memutuskan melangkah memasuki lobby kantor. Tatap-tatap penuh gosip langsung memenuhinya lagi seperti malam-malam di pesta itu. Kinna tidak peduli. Masa bodoh, mulai sekarang dia akan tutup telinga. Hidupnya harus terus berlanjut serusak apapun itu.
“Pa— Pagi, Mbak Kinna,” sapaan satpam yang biasanya bersahabat bahkan kini berubah awkward.
Kinna hanya mengulas senyum seperti biasa. “Eh, Pak Banu! Pagi, Pak!”
Tapi tidak sampai di situ karena di depan lift, sosok yang paling tidak diharapkannya untuk dia lihat pagi ini malah muncul. Kalla dengan berkas-berkasnya di map. Sibuk melangkah sambil membaca. Nyaris tidak menyadari kehadiran Kinna.
Kinna ingin berbalik mengambil lift lain dari sana, tepat saat Kalla tiba-tiba malah tersandung dan menjatuhkan berkas-berkas di tangannya. Seketika kertas-kertas itu berhamburan. Dan tatapan dingin Kalla menghujam padanya. Tidak peduli pada kekacauan di sekeliling mereka.
“Pak Banu, tolong berkas-berkas saya,” lirih Kalla yang langsung mendapat anggukan dari Banu, langkahnya lalu menghampiri Kinna. “Wow, I think you’re not attend a party, but you’re in my office, Miss.”
Kalla berdecak menatap tas gucci merah yang dipakai Kinna, juga high heels-nya yang mentereng. Beda dari heels yang dipakainya saat pesta kemarin. Belum lagi blazer yang dipakai Kinna sekarang, itu bukan blazer murahan. Bahannya halus dan Kalla tahu merk apa itu, karena Thalia sering mengenakannya.
“I’m worried about you for many days, but here you are. You look so fine.” Kalla mendengus, “malah terlihat sangat baik-baik aja.”
Tapi Kinna malah memasang muka sok ceria. Pura-pura tidak tahu sindiran itu. “Eh, hai, Pak Kalla!” sapanya melambaikan tangan, membuat Kalla silau pada nail art bergliter keperakan yang menghias jemari Kinna. Sontak ditariknya kasar jemari Kinna, membuat si empunya menjerit kesakitan, “Akh! Akh! Apaan, sih?! Jangan pegang-pegang kuku gue! Kutek gue bisa rusak!”
Kalla menghempaskan jemari Kinna.
Kinna berdecak jengkel, meniupi kukunya penuh sayang. “Tuh, kan, jadi jelek!”
“What you do, Kinnanthi?!” teriak Kalla tanpa sadar. “Baca ulang buku Undang-Undang Peraturan TB Grup. Pegawai dilarang pakai kutek. Dilarang pakai rok di atas paha berlebihan. Dilarang mengecat rambut. Dilarang—”
“Stop it! I’ve done read all those book. But, look, other woman staff do what everything they want! Why you only pushing me, Mr. Sakalla?”
Menahan emosi, Kalla menangkup muka Kinna kasar. “Look! What happened to you?! Why are you being like this!”
“Argh! Lepas!”
“It’s not you! Who are you?! Who?!” Kalla berteriak penuh kecewa. “Where is Kinnanthi that I know? Where is My Cendol?! Give her back!”
“Gue bilang lepas! Sakit! Jangan rusak tas gue—” pekikan Kinna makin kencang saat Kalla menarik tasnya, “Jangaaan! Itu mahal! Balikin!”
“Dari mana lo punya barang ini! Gue tanya, ini dari mana?!”
“Kenapa kalau gue punya?!”
“It’s too expensive for you! Where did you get the money to buy this?! Where?!”
“Itu bukan urusan lo! Emang kenapa kalau gue punya? Apa gue nggak pantas buat pake? Apa cuma Thalia yang boleh pake barang-barang kayak gini?”
“Cause Thalia have money. And you—” muka Kalla penuh sangsi.
“Dan gue miskin?! Gue miskin, iya?! Beda sama lo dan Thalia?! Jadi, gue nggak pantes pakai barang kayak gini!”
Kalla meringis.
“Thank you, lo udah memperjelas semuanya!” senyuman Kinna berubah sinis, “But I don’t care! I like being Princess now! Cause Jordan really like it! Gue lakuin semuanya demi Jordan!” bohongnya, “And, yes, as I said before. I’ll do everything to makes you hate me! Cause your attitude make me hate you, too! Don’t forget it!”
“Lo udah buta dunia, ya, sekarang?”
“Pardon?”
“I miss My Cendol back,” lirih Kalla putus asa.
“But your Cendol isn’t here! She is gone to hell! Say goodbye to her!”
Dan Kinna tidak berbohong. Dirinya yang dulu memang sudah pergi ke neraka. Dalam kubangan penuh dosa. Kinna menatap muka Kalla yang penuh kecewa. Diam-diam ingin menangis juga. Kalla bukan manusia. Kalla adalah manusia yang jahat baginya. Dingin, tidak punya hati, kata-katanya kejam, dan sok berkuasa. Tapi, apa kabar dirinya yang sekarang? Dia hanyalah gadis penipu dan perayu. Apa bedanya mereka?
I’m sorry, Kall. I’m sorry. Tapi lo emang harus benci gue. Jordan juga. Kalian pantas benci gue.
“Oke, gue harus balik kerja, Pak Kalla!” setelah mengibaskan rambutnya, Kinna berbalik pergi.
***
Kinna benci menjadi pusat perhatian. Sekarang—selama seharian penuh— dia harus berjuang mati-matian melawannya. Tatap-tatap penuh kecurigaan, bisik-bisik penuh intimidasi, dan mata-mata yang terus melirik tajam. Penampilannya yang berubah total tentu menjadi konsumsi publik. Hal yang sangat asyik digibahkan bagi para penghuni kantor. Dari seorang pegawai cupu yang tahu-tahu berubah jadi Princess nyasar.
Mati-matian Kinna bersikap tak peduli, bodoh amat pada sekelilingnya. Karena di sinilah dia berada sekarang, mengambil keputusan itu. Mengubur dalam-dalam Kinnanthi yang cupu itu. Meski sisi hatinya lemah juga mendengar tanggapan negatif dari berbagai mulut di sana.
Jelita bahkan terus meliriknya sejak tadi.
“Je, lo lihatin gue dari tadi?!”
Jelita hanya memaksakan tawa. “Ng—nggak, kok!”
Kinna mendengus. “Lo juga ngerasa nggak kenal gue?!”
Cengiran Jelita muncul. “Gue kira lo dandan cuma buat dateng ke pertunangan Pak Kaleng aja. Tahunya lo beneran berubah, ya? Mmm,” senyumnya melebar, “tapi lo beneran cantik, Ki! Gue nggak bohong, sumpah! You’re such a princess now! Secara, lihat, deh, lo nyadar nggak? Dari tadi semua cowok di kantor kita lirikin lo tahu! Tadi pada ngintip-ngintip! Roy juga, tuh, ampe ngeces!”
Refleks Kinna memutar mata sinis pada Royhan di sampingnya. “Ewh, apaan lo lihat-lihat?”
Royhan akting batuk. “Idiih, geer lo!”
Sesungguhnya Kinna risih. Tapi, sisi hatinya senang juga. Benarkah dia secantik itu? Benarkah uang bisa mengubah segalanya? Dirinya? Nasibnya? Kinna menggeleng. Mengapa dia sekarang jadi silau? Tidak. Kinna harus benci pada uang. Uang menghancurkan hidupnya, harga dirinya. Dia mencari uang semata-mata untuk Rumi. Tidak lebih.
“Gue doain lo bisa cepet-cepet move on dari Pak Kaleng! Tapi... gue berharap, lo tetep pilih Jordan.” Jelita tersenyum, “Jordan tulus banget sama lo, Ki. He really love you.”
“I know, Je.”
Setelah itu tidak banyak percakapan dalam ruang divisinya. Jelita kembali sibuk dengan laporan bulanan. Sementara dirinya hanyut dalam pikirannya sendiri. Sampai Kinna gila rasanya, memutuskan keluar sebentar saat jam istirahat. Meski Jelita menolak karena masih nanggung kejar deadline. Kinna sendiri malas karena bisik-bisik gosip terus bertebaran sepanjang jalan, tapi dia mencoba tak peduli.
“Akh,” ringis Kinna saat sadar kakinya mulai lecet terlalu lama berjalan menggunakan heels. Perlahan dia mendudukkan diri ke salah satu bangku depan lift, “Kaki gue... Akh,” ringisnya nyeri.
Kinna sedikit mengendurkan tali heels-nya. Bermaksud melepasnya, tepat saat seseorang tiba-tiba datang bersimpuh di bawah kakinya, membantunya melepaskan heels itu.
Kinna mematung. Tidak perlu melihat siapa pelakunya.
“Being princess?! If only hurting yourself, better not!” sindir Kalla tajam, buru-buru mengeluarkan sekotak sneakers yang masih baru, lalu memakaikannya pada kaki Kinna. Sebagai ganti heels tadi. “Done. You can go back to your room for work.”
Setelahnya, tanpa banyak kata, Kalla berbalik dan pergi. Kinna menahan tangis. You hate me, Kal! And I hate you!
But, why? Dipandanginya sneakers pemberian Kalla yang kini terpasang di kakinya. Kinna merindukan sepatu-sepatunya yang lama—yang sering dipakainya untuk bermain basket dengan laki-laki itu.
***