Read More >>"> Call Kinna (BAB 7) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Call Kinna
MENU
About Us  

Kinna terbangun tak berdaya di dalam kamar kosnya. Tempat sekelilingnya berserakan. Tas selempangnya jatuh ke lantai. Berbaur jadi satu dengan kaos kaki dan sneakers yang semalam dipakainya ke club. Sementara kemejanya di bawah selimut nyaris terbuka seutuhnya. Kinna tersentak bangun. Sedikit ketakutan kalau ternyata dia dikerjai orang asing.

Napasnya langsung lega saat sadar dia benar-benar berada di kos. Tapi, jam beker di atas meja sudah menunjuk sepuluh pagi. Ya ampun, ini gila! Artinya dia telat bekerja?

Tunggu, hari apa ini?

Kinna melirik sebuah undangan emas di meja. Oh, Kinna ingat. Ya, hari ini pesta pertunangan Sakalla Tanubradja. Sekonyong-konyong air matanya mengalir lagi. Kinna merabanya kasar. Belum apa-apa dia sudah menangis. Bahkan semalam, saat dia mabuk, dan merasa bebas sekalipun. Tetap ada bayang-bayang Kalla dalam ingatannya. Kinna bermimpi menciumnya untuk pertama kali. Rasanya seperti nyata.

Tapi, Kinna tahu, itu pasti hanya omong kosong. Dan air matanya terus meleleh. Goblok! Nggak, Ki! Nggak! Lo nggak boleh nangis! Lo harus ke kantor! Lo harus baik-baik aja! Harus!

Tapi apalah daya, jika tangisannya terus saja mengalir. Kinna memaki dirinya sendiri. Menyerah, dan memutuskan tidak akan berangkat ke kantor. Tidak untuk mempermalukan dirinya sendiri. Mempertontonkan betapa menyedihkan dirinya hari ini. Sebaiknya dia lenyap saja hari ini.

“Argh...” Kinna mendesah frustasi, akhirnya bersimpuh di lantai pojok kamar kos. Merenung di sana selama berjam-jam. Hingga tanpa sadar hari sudah menjelang sore. Hampir malam.

Tidak. Kinna tidak ingin datang ke acara pertunangan itu. Tidak untuk menyakiti hatinya sendiri. Tapi, apa kabar Kalla? Apa tidak aneh jika sahabat dekatnya tidak datang ke sana?

Dan bel pintu kos berbunyi. Kinna benar-benar tidak ingin membukanya. Tapi, saat suara Jelita terdengar di sana. Mau tak mau dia buka juga.

“Udah gue duga, lo bolos hari ini,” gumam Jelita melempar tas kerjanya ke ranjang sisi Kinna.

Kinna menangis kacau. “Dan lo pikir, gue mau masuk dengan keadaan kayak gini?”

Jelita menghela napas panjang.

“Gue hancur, Je! Gue han—”

Dan sebelum Kinna menuntaskan kalimatnya, suara gebrakan muncul.

“Don’t saying that bullshit, Ki! Please!”

“Jor, again?! Why?!” Kinna mendesah frustasi, “kenapa lo selalu muncul merusuh ke hidup gue? Please!”

“Ikut gue!”

***

Pertanyaan Kinna yang berkecamuk terjawab saat CBR milik Jordan terhenti di sebuah salon merangkap butik kelas atas. Atau entah apalah itu namanya. Jordan menyeretnya ke sana. Sontak langkah Kinna membatu. Secara refleks menolak masuk.

“Jordan! Jordan!” teriakan Kinna mengaum di antara keramaian perempuan modis yang berkunjung ke sana. Mengapa dia terjebak di tempat sialan ini? Oh, ini bukan tempat yang pantas untuknya!

“Lepasin gue, Jor! Lepas! Lepas, nggak!”

Dan sentakan Kinna berhasil melempar Jordan. Oh, jangan main-main padanya. Kinna punya dua gender.

“Minggir! Gue mau pulang!” bersamaan itu, Kinna berputar arah, nyaris melangkah keluar pintu kaca.

Tapi Jordan menariknya lagi. “Mau ke mana, Ki?”

“Pulang! Tidur! Capek!”

Jordan tertawa sinis. “Dan kabur begitu aja?! Pura-pura nggak tahu?! What tonight is?”

Tangis Kinna hampir pecah lagi kalau Jordan tidak segera menepuk pundaknya lembut. “I can’t come tonight! I can’t, Jor! It’s too hurt!”

Jordan menarik Kinna, menangkup pipinya lembut. “You’re stong woman, Ki. Lo nggak selemah ini, kan? Lo nggak sepengecut ini, kan? Lo—”

“Mau lo apa, sih, Jor?!”

“Tunjukin ke mereka—” Jordan semakin berbisik, “if you’re strong and you’re fine. You deserved happiness. Believe, me? Let’s defeated your fear. I’m here with you.”

Kinna hanya bisa menunduk menahan tangis. “Jor, why?! Why?! You’re too kind...” isaknya.

“Always remember, you have me,” bisik Jordan sekali lagi. Setelah itu mendorong Kinna memasuki pintu kaca.

***

Jika sekarang Kinna menerima sebuah surat yang menyatakan bahwa ‘uang bisa mengubah segalanya’ dan dia dipaksa menandatanganinya, maka Kinna akan melakukannya. Karena bukti itu benar adanya. Berkutat dalam waktu hampir lima jam dalam ruangan ini, Kinna terbangun, dan mendapati dirinya bagai seorang Princess. Atau Cinderella yang disulap menjadi Putri Kerajaan.

Kinna bahkan mematung tak percaya menatap dirinya di pantulan muka cermin. Seorang Kinna yang— oh, astaga, perempuan jadi-jadian yang tidak tahu cara berdandan, tidak bisa merawat tubuh, dan mengurus rambut mangkuknya dengan benar. Sekarang?

Kinna berputar sekali di depan cermin. Nyaris terpeleset menggunakan high heels perak yang dipilihkan sang capster. Meski begitu, segera menarik pegangan kaca di sampingnya. Masih terpukau melihat bayangan di cermin. Siapa itu? Kinna seperti tidak melihat dirinya di sana.

Gadis itu memakai flounce dress maroon dengan potongan shoulderless yang menampilkan lengan putihnya. Dengan belahan dada sedikit menjorok ke bawah. Lalu rambut mangkuknya yang pendek berubah sepunggung. Berbentuk sedikit curly dan dimode ribbon. Sebuah pita merah menjuntai di sana.

Kinna masih mengerjap tak percaya. Merasakan polesan make up penuh gliter yang juga memulas wajahnya. Ditambah sebuah softlens berwarna biru terang yang begitu cantik. Kulitnya yang biasa kusam, kini terlihat cerah. Kinna tahu kulitnya memang tidak begitu buruk, tapi dia tidak menyangka jika kulitnya seputih dan sejernih ini.

“You’re so beautiful, Miss Kinnanthi,” puji si capster. “Secantik nama Miss.”

 Kinna pernah bermimpi, ingin menjadi cantik. Ingin menjadi bagaimana standar perempuan yang disukai Sakalla Tanubradja. Tapi, tidak dengan cara seperti ini. Tidak dengan keadaan begini.

“Miss Kinna, sudah ditunggu.”

Menghela napas panjang, Kinna segera berbalik. Lagi-lagi nyaris terjatuh oleh high heels-nya. Susah payah menuju tempat Jordan menunggu. Laki-laki itu di sana. Sibuk membaca salah satu majalah.

Kinna berbisik malu, kesulitan berjalan. “Jor—”

Jordan menoleh santai. “How? Udah sele—” dan majalah di genggaman Jordan jatuh berdebam ke lantai.

Kinna semakin malu. Merasakan tatapan bengong Jordan yang mendadak tertuju padanya. “Jordan! Why?!” sentaknya lagi.

Jordan tertawa canggung. “You are—” suaranya tercekat. “So beautiful.”

“You’re kidding me!”

“You’re princess, Ki! Open your eyes!”

***

Suasana taman yang menjadi lokasi outdoor pertunangan Kalla dan Thalia malam itu sudah tampak ramai. Dalam remang-remang cahaya yang memenuhi area pesta, Kalla berdiri gusar di sana. Sibuk sendiri dengan ponselnya. Tampak tak peduli pada lalu lalang pelayan yang hilir mudik mengisi gubuk sajian. Juga orang tuanya yang bersiap menyambut tamu.

Siulan Niko terdengar dari jauh. Bersama Dipta dan Leon yang mengekor tentu saja. “Widih, habis berapa nih acara? Cakep bener. Ckck.”

Dipta menatap bengong pada patung lampu yang menghias di muka pintu utama. Bertuliskan aksen KT. Ditatapnya Kalla penuh nyinyiran. “KT. Kalla-Thalia?”

“Iyalah, apaan lagi?” decak Niko. “Gitu aja masih lo tanyain, Dip, Dip!”

“Ya, barangkali kepanjangannya KaTak, atau KeTek gitu, Nik!”

Niko melotot lagi. Bersiap menyerang Dipta menggunakan jurus bala-bala. Emosinya mulai ke pucuk. “Kal, usir aja ngapa, nih, anak? Nggak dibutuhkan di sini!”

Kalla menghela napas jengkel. “Diem bisa nggak lo berdua? Berisik! Kalau mau ngerusuh nggak di sini, bikin malu keluarga gue aja.”

“Santuy, Bor.” Leon menyenggol lengannya. “Cendol mana? Kok gue cuma lihat Jelita aja tadi.”

“Tahulah! Capek gue! Biarin aja dia mau dateng atau nggak,” Kalla mendengus gusar.. Mana tadi tuh anak nggak ngantor! Paling juga sibuk ama si Jontor Kenapa gue harus peduli?

Kalla mengalihkan tatapannya ke sekeliling. Melihat Thalia bersama Donna dan Winda mulai sibuk menyambut para tamu. Acara hampir dimulai. Satu per satu kerabat keluarga mereka dari kalangan atas bermunculan. Mau tak mau Kalla bergabung juga. Ikut menjabati tangan beberapa pejabat kenalan papanya.

“Pak Kalla, congrats for your engangement.”

“Of course Mr. Kim. Thank you for coming.”

“Your fiancee so beautiful.”

Kalla hanya memasang senyuman tipis. Ya, dia tahu itu. Sesekali melirik Thalia yang juga tersenyum mendengarnya dari jauh. Perempuan itu memang cantik bak dewi. Kulitnya yang kuning langsat dibalut longdress keemesan dengan panjang menjuntai. Thalia sampai kesulitan melangkah menyapa para tamu. Sesekali Kalla mengalah, penuh perhatian, membantu Thalia mengangkat gaun itu di belakangnya. Memberikan space untuk Thalia melangkah lebih leluasa.

Dan Thalia akan menoleh, menatapnya  tidak enak. “Maaf, Kal. Seharusnya aku nggak pilih model ini.”

“Ya ampun, nggak apa-apa, sayang. Jalan aja. Aku pegangin gaun kamu.” Kalla tertawa, “jadi pengawal kamu aja aku udah seneng.”

Thalia masih tersenyum geli. Sebelum akhirnya kembali melangkah. Bersama Kalla di belakangnya, memegangi sedikit ekor gaunnya. Mereka berputar beberapa kali meneruskan sapaan pada para tamu. Acara semakin meriah. Panggung mulai menyalakan musik romantis klasik diiringi alunan biola.

Kalla masih menelisik dari barisan para pegawai Tanubradja Grup. Semua mendapat kartu undangan darinya. Meski beberapa petinggi jabatan masuk kategori VIP. Seperti Kinna tentu saja. Juga Heru, Jelita, dan kenalan dekatnya yang lain. Tapi yang dicari benar-benar tidak ada di sana. Hanya Heru yang asyik mengobrol di salah satu sudut. Heru tengah mengangkut keranjang berisi buah strawberry yang dibagikan.

Diam-diam Kalla mengumpat. Tidak ada Kinna sama sekali di sini. Tangannya mengepal kuat. Tega-teganya lo nggak dateng di acara penting gue, Kinnanthi!

Heru melambai dari jauh. “Pak Kalla, woy! Gue di sini! Eh, hai, Mbak Thalia, I’m Heru, tangan kanannya Pak Kalla! Do you remember, me?”

Tentu saja Thalia tersenyum.

Kebetulan Niko dan yang lain kini menyusul tak jauh dari sana. “Nggak inget. Maap, yak, Thalia nggak mau inget-inget manusia nggak penting.”

“Ya elah, Pak Niko! Sadis mulu, Pak, lambe-nya.”

Dipta nyengir. “Eh, bawa apa lu, Her?”

“Stroberi, Pak Dip!” Heru menyurungkan keranjangnya pada Dipta. “Monggo.”

“Kalau kelengkeng ada, nggak? Ups!” Dipta langsung mengatupkan mulut saat pelototan Niko membara lagi. “Eh, nggak ada ya, si kelengkeng di sini? Harusnya ada. Di mana, ya, tapi?”

“Maksud lo siapa, Pak?”

Suara Kalla berubah dingin. “Nggak usah cari-cari yang nggak ada! Nggak penting!” segera ditariknya Thalia menjauh. “Ayo sayang, kita ke tempat Mama lagi!”

Thalia mengangguk patuh. Bersama Kalla menghampiri Donna dan Winda yang masih sibuk sejak tadi mengobrol bersama para kolega bisnis. Lama Kalla mematung, sibuk menyumpah, saat sadar tepukan lembut Thalia di pundaknya.

“Apa, sayang?”

“Kinna...” lirih Thalia.

Kalla mengangkat sebelah alisnya.

“Itu... Kinna datang. Kamu menunggunya, kan?”

Kalla meringis tidak percaya. Mana mungkin sahabat tomboy-nya mau repot-repot datang? Perlahan ditolehkannya kepala, melirik ke sana-ke mari dan memang tidak ada bayangan siapapun di sana. Ah, ini hanya gurauan saja atau apa. Sampai Kalla sadar saat aroma parfum mencolok perpaduan rose dan cendana menusuk-nusuk hidungnya.

“I’m sorry for this late—Kal.”

Butuh beberapa detik bagi Kalla untuk mencerna siapa yang berdiri di hadapannya. Satu detik. Dua detik. Tiga detik. Matanya mengerjap. Nyaris tidak mengenali perempuan berbahu putih mulus itu. Kalau Kinna tidak segera memukul lengannya gemas.

“Hihi. Lo nungguin gue, ya?!” tawa Kinna membahana.

Tapi Kalla masih dalam rasa shock-nya. Masih menatap terpaku pada Kinna yang malam ini terlihat berbeda. Dengan balutan dress tanpa lengan yang sedikit terlihat seksi. Menjuntai ke bawah menampilkan kulitnya yang seputih susu. Kalla tidak ingin mengakuinya, tapi malam ini Kinna terlihat seperti perempuan. Perempuan sesungguhnya.

“Malah bengong lagi, Kal, gue ngomong sama lo!” ejek Kinna.

“Ha?” Kalla tersentak bloon. “Lo ngomong ama gue?”

“Iyalah! Siapa lagi?!”

Jordan yang berdiri di samping Kinna menjulurkan tangan pada Kalla. “Selamat ya, Pak Kalla.”

Kalla berdecak, baru menyadari ada Jordan di sana. Tengah merangkul bahu Kinna. Mau tak mau dijawabnya juga. “Thanks.”

Thalia tersenyum riang. “Kinna, thanks for coming. By the way, kamu cantik sekali,” tatapannya teralih pada Jordan. “Kalian juga sangat serasi. Ini pacarmu?”

Jordan menyahut riang. “Of course, Miss Thalia. Doakan aja, ya.”

Kinna hanya meringis. Diam-diam merasakan tatapan tidak suka Kalla. Karena laki-laki itu akan terus mengirimkan tatapan mengintimidasinya apabila tidak menyetujui sesuatu. Dan itu membuat Kinna risih. Terlebih gaunnya yang sekarang menjadi tatapan sinis Kalla. Apa salahnya? Apa?

“Aku pasti doakan kalian. Benar, kan, Kal?”

“Hmm, iya, deh,” sungut Kalla setengah tidak ikhlas.

Kinna hanya berdeham-deham malas. Berniat akan pergi sebelum akhirnya teriakan Donna terdengar. Berlarian memeluknya tiba-tiba.

“Ya ampun, Kinna sayang!” pekik Donna, mengecup pipi Kinna bergantian. “Tante tungguin kamu dari tadi loh! Dan, ya ampun—” decakannya kagum. “Kamu cantik banget, Ki! So beautiful! Tante sampe pangling loh, liatnya!”

“Ah, Tante mah bisa aja!” Kinna memaksakan tawa lagi menatap Kalla. “Ya kan, ini acara pentingnya Kalla, Tante! Jadi, Kinna harus tampil cantik biar Kalla nggak malu! Iya, kan, Kal?!”

Tapi tidak ada jawaban dari Kalla. Kinna hanya menghela napas pasrah. “Selamat, ya, Tante akan segera dapet menantu yang cantik seperti Thalia. Hihi. Kinna ikut seneng.”

“Makasih, ya, Ki. Kamu juga udah cocok, nih, sama Jordan. Ya udah, nikmatin dulu, gih, hidangannya. Nanti Tante samperin lagi, ya!”

Mau tak mau Kinna mengangguk. Jordan kembali merangkulnya menjauh. Kinna mengikutinya patuh. Sesekali kembali menoleh menatap Kalla. Dan laki-laki itu juga terus melemparkan tatapan tajamnya dari sana. Kinna menunduk, segera menyusul Jordan.

***

“Your acting was great,” bisik Jordan begitu mereka sampai ke salah satu sudut pesta.

Kinna hanya tersenyum tipis. Senyumannya yang palsu. Diam-diam merasakan matanya hampir basah lagi. Dihapusnya dengan kasar. Akting yang penuh tipuan. Padahal dia di sini terluka, jatuh, dan hancur. Nyaris terinjak-injak hatinya. Tapi Kinna harus tahu diri, sudah berapa juta dihabiskan Jordan tadi untuk ini semua.

Jordan mengulurkan tisunya. Sekali lagi berbisik. “Tahan sebentar lagi.”

Kinna tersenyum mengejek. “Alright, Jor,” kemudian matanya menatap salah satu sudut menemukan Reval dan Starla di sana. “Ayo ke sana!”

Dan sambutan Starla heboh seperti biasa. “Beib, it’s you?! Really?!” decaknya kagum.

Tentu Kinna jadi kesal sendiri. “Kenapa lo kaget liat gue, La?!”

“Beib!” Starla mencak-mencak, memegang jidat Kinna. “Lo demam?”

“Argh! No way! Apaan, sih, La?!” Kinna menjauhkan tangan Starla. “Kenapa lo histeris gini?! Muka gue kayak badut, iya?! Kalau iya, bilang! Biar gue hapus abis ini! Gue juga nggak tahan, tauk!” nyinyirnya kesal.

“No, Ki! No!” jeritan Starla makin histeris. “Lo cantik banget, Beib! Gue sampe pangling gila, ih! Nyalon di mana? Tobat sekarang? Kembali ke jalan lurus jadi cewek tulen?! Terakhir kita ketemuan, lo masih dekil, Ki!”

“Ih, apaan, sih?! Ya nggak dekil juga kali, La! Asem, lo!”

Starla geleng-geleng. Melirik Reval yang juga sama bengongnya. Mulutnya hampir kemasukan lalat kalau Starla tidak buru-buru menginjak kaki kekasihnya itu. Seketika Reval tersadar.

“Yuhuuu.... your Star is here, Mr. Revaldo,” sindir Starla pura-pura cemburu.

Reval memaksakan tawa salah tingkah. “Ahaha... Kok tumben lo cakep, Ki.”

Tentu saja Kinna mencibir melihat reaksi pasangan heboh itu. “Ish, emang selama ini gue sedekil apa, sih, di mata lo berdua?! Sampe kalian pangling liat gue dandan sekali aja! Ck!”

Dan rasa kesal Kinna makin meningkat saat Niko dan yang lain lewat. Niko yang baru menenggak soda langsung tersedak-sedak. Dipta di belakangnya hampir menjatuhkan sepiring dessert. Leon langsung menahan piring itu. Ketiganya menganga-nganga bak tarzan. Mau tak mau membuat Kinna risih sendiri. Buru-buru menutup bagian depan tubuhnya dari tatapan penuh selidik para warkop itu.

“Uhuk... uhuk...” Niko menepuk dadanya, “Dip, minum! Ambilin minum!”

“Itu di tangan lo minum, njing!” sindir Leon gedek.

Dipta malah melambaikan tangan bodoh, mengabaikan Niko. “Hai, bidadari dari kayangan mana, nih? Kenalan boleh? Gue Dipsy, eh, Dipta!”

“Apaan, sih?!” Kinna mencibir kesal reaksi ketiganya. Diam-diam ingin menangis. Apakah penampilannya sangat buruk sehingga mereka akan mengejeknya lagi? Apakah dia tidak pantas berdandan begini.

“Cendol! It’s you?!” teriak Niko memuntahkan soda di mulutnya ke gelas. “Gila! Kesamber geledek dimana lo? Eh, tapi— ehem, cakep juga! Wih, bareng lo, Jor?! Hai!”

Jordan menyahut keki. “Ya iyalah, Kinna itu cakep dari dulu! Lo bertiga ke mana aja, Pak?!”

Leon berdeham. “Ndol, kalau lo dandan terus gini, boleh dong, sekali-kali kita jalan. Gimana?”

Kinna menjawab pedas. “Sorry, ya, gue nggak tertarik jalan bareng playboy macem kalian! Thanks!”

“Mbak Cendol! Seriusan iki panjenengan, Mbak?!” Heru akhirnya ikut bergabung juga.

Jordan malah jadi makin emosi. “Cendol?! Siapa itu Cendol?! Lo pikir lo lagi jajan es di warung?! Bisa nggak lo semua manggil dengan lebih sopan?! Kinna punya nama dan bukan minuman es! Jadi, tolong hargai itu!”

“Jor, please, udah nggak apa-apa. Gue emang sering dipanggil gitu.”

Kinna semakin malu rasanya. Sekarang keributan muncul dari tempatnya berdiri. Seketika mengundang banyak perhatian dari sekeliling. Semua mata mulai mencuri lirikan padanya. Padahal acara tukar cincin akan segera dimulai di atas panggung sana. Tapi para tamu dengan bodohnya malah ikut melirik ke sini.

Dehaman terdengar dari Tomi. “Bisa kita mulai acara tukar cincinnya?”

Suasana mulai hening karena microfon itu mulai beralih pada Kalla di sana. Sibuk memasangkan cincin pada Thalia, sambil menggumamkan kalimat romantis. Seketika riuh tepuk tangan terdengar begitu keduanya berhasil menukar cincin masing-masing. Dan sekelompok balon emas-putih dilepas ke udara sebagai tanda peresmian. Kinna menonton semuanya dari bawah sini. Semuanya. Diam-diam menangisinya dari jarak tak tergapai. Kalla yang begitu jauh. Kisah cintanya yang tidak akan pernah sampai.

Seharusnya dia tidak pernah mencintai Kalla. Seharusnya dia tidak pernah mencintai sahabatnya sendiri. Dan seharusnya dia tidak pernah mencintai seseorang yang kastanya sangat jauh darinya.

***

Acara mulai surut, satu per satu tamu mulai melayangkan pamit. Kalla masih di sana, menghantarkan beberapa tamu untuk kepulangan mereka. Bersama keluarganya dan keluarga Thalia tentu saja. Sampai dia menangkap dari sudut matanya Niko mendekat.

“You’re tired, dude?! Minum dulu, gih!” disurungkannya segelas kaca penuh perhatian.

“Widih, peka juga lo, Nik!” Kalla meminumnya hingga tandas.

“Eh, Kal—” Kalla menoleh, masih sambil menenggak sodanya, menatap Niko penuh kepo. “Apaan?”

“Gile! Liat Cendol nggak lo? Cakep bener!”

Kalla langsung tersedak. Oh, tentu saja dia melihatnya. Bahkan nyaris terpesona pada Kinna. “Mana dia sekarang?”

Niko mengedik.

Akhirnya Kalla memutuskan mencari Kinna. Masih lengkap dengan tuxedo bekas acara tadi. Juga cincin yang melingkar di jemarinya. Ah, Kalla bahkan lupa jika dia baru saja memasang cincin berpasangan dengan Thalia.

“Kal, Nik, gue balik, ya?”

Dan yang dicarinya berdiri di sana. Kalla meletakkan gelasnya. Segera mengejar Kinna yang berjalan menghindar. Tapi malah hampir terpeleset gara-gara high heels peraknya yang ketinggian menubruk meja. Lalu yang sebelah kanan terpental ke belakang. Ditahannya pinggang ramping Kinna yang nyaris jatuh. “Makanya nggak usah sok-sokan pake heels!”

Niko menyusul sambil ngakak, melemparkan heels sebelah kanan milik Kinna yang terlepas. “Buahaha! Gini, nih, Upik Abu kalau mimpi jadi Cinderella! Biasanya juga nyeker, sok pake heels!

Kinna merampas heels kanannya dari tangan Niko, lalu melepaskan yang kiri. Memutuskan menyangking sepasang heels itu di tangan. Mukanya berubah sinis. “Iya, gue emang lebih pantes nyeker, puas lo berdua?!” tangisnya hampir keluar, “tapi nggak perlu diperjelas, oke?!”

Niko jadi meringis. “Eh, lo nangis, Ndol?! Ah, elah, canda, doang!” ditepuknya lengan Kalla. “Dih, baperan kembaran lo!”  

Kinna benar-benar ingin menangis malam ini. Bukan karena pertunangan sialan ini saja. Tapi juga karena hinaan yang diterimanya. Mungkin jika ini hari biasa, Kinna tidak akan peduli pada ejekan itu. Tapi sekarang hatinya terlalu lemah untuk berpura-pura kuat. Mendengar perkataan Niko, semakin memperjelas ketidakpantasannya. Kinna bersumpah akan menghapus seluruh make up-nya setelah ini.

“Ampuuun, Ki!” Niko makin panik. “Canda gue! Iya, lo cakep serius! Gue ama Kalla kaget aja liatnya! Hue, Kal, bantuin! Ngamuk, nih, si Cendol!”

Tapi Kalla malah menatap balik Kinna sinis. “Nah, itu lo sadar! Kalau lo tahu, kenapa masih lo lakuin?!”

 “Oh... iya, ya, kenapa masih gue lakuin?! Mungkin gue penasaran aja, gimana rasanya jadi... Princess!” tekan Kinna  di akhir kalimatnya. “Apakah sebutan itu pantas buat semua cewek kecuali gue?! But, thanks, you two make me realized if that is true.

 Setelah mengatakan itu, Kinna berbalik pergi. Kalla berusaha mengejarnya. Tapi Kinna berlari terlalu cepat tanpa heels-nya. Kalla memutuskan memotong jalan hingga area parkir berhasil dihadangnya Kinna.

“Apaan, sih?! Ngapain ngejar gue?! Balik ke tempat tunangan lo sana!” jerit Kinna saat Kalla malah menarik-nariknya ke belakang hotel. “Lepas, Kal! Lepas! Gue mau pulang! Gue udah ditunggu Jor—Akh!” pekiknya saat Kalla menghempaskan tubuhnya ke tembok.

“Ngapain lo dandan kayak gini segala, Ky?!”

“Sakiiit,” ringis Kinna kesal, “kenapa, sih, lo selalu kasar sama gue?! Bisa, nggak, lembutan dikit?! Kayak sikap lo ke cewek-cewek lain?!”

Kalla hanya geleng-geleng. Kembali menatap Kinna dari atas ke bawah. Helaan napasnya kasar. “Gue tanya! Ngapain lo dandan segala?! Siapa yang nyuruh?!”

Bagi Kinna, pertanyaan ini sangat tajam. Sebenarnya, apa salahnya? Bukannya semua perempuan di dunia ini suka berdandan? Kenapa dia tidak boleh? Apa dosanya sebagai perempuan?

“Loh, apanya yang salah! Gue cewek! Gue berhak dandan! Salahnya di mana?!”

Kalla ingin mengatakan ketidaksukaannya. Ini seperti bukan Kinna. “Siapa yang nyuruh lo dandan kayak gini, Ki?!”

“Jordan!”

“Oh...” tawa Kalla terdengar. “Bucin, ya, lo apa-apa mau disuruh sama si Jontor?!”

“Terus apa masalahnya? Mau gue dandan kek, nggak kek, itu bukan urusan lo! Bagus, kan, gue mau susah-susah dandan ke acara penting lo ini?! Biar lo nggak malu kenal ama gue! Lo nggak mau, kan, gue dateng ke sini pake jeans buluk andalan gue?!”

Tapi, itu jauh bisa diterima Kalla daripada Kinna yang seperti ini. Kinna yang sok cantik dan sok anggun— yang tiba-tiba berubah menjadi perempuan yang tidak dikenalnya. Kalla saja yang merasa, atau memang benar Kinna seperti menjauhi dirinya. Apa salahnya? Kalla tidak mengerti.

“Iya, terus biar apa?! Biar apa, Ki?! Gue tanya ama lo!” teriakan Kalla meninggi, tanpa sadar menaikkan gaun Kinna yang melorot di bagian dada. “Biar pada liatin dada lo yang trepes ini?! Biar pada liat, iya?! Suka lo kalau diliatin?”

“Apaan, sih, berhenti hina gue—” tangis Kinna nyaris merebak lagi. “Bisa nggak lo berhenti ngatain gue sekali aja, Kal? Please... itu nyakitin.”

“Gue ngomong apa adanya. You’ve changed, Ki! Sejak lo suka si Jontor itu, lo berubah!” Kalla mendengus, sekali lagi berdecak melihat penampilan Kinna. “Secinta apa lo sama dia sampe rela berubah kayak gini?! Lo bukan Kinna yang gue kenal!”

“Dan lo pikir, lo Kalla yang gue kenal?!” isak Kinna tanpa sadar. “Lo benci gue kayak gini?! Terus lo mau gue gimana? Gue selalu salah di mata lo!”

“Iya, gue benci!” ujar Kalla sarkastik, “apalagi cuma demi si Jontor, lo rela berubah gini?! Ck, murahan banget! Nggak pantes lo dandan gini! Lo pikir setelah dandan menor, lo langsung jadi Princess, Ndol?! Nggak sama sekali! Malah kayak bitch!

Tangisan Kinna mengencang, tapi dia tertawa. “Oke, gue akan kayak gini terus, supaya lo makin benci sama gue! Gue suka lo benci! Daripada terus lo caci maki! Good night, Pak Sakalla Tanubradja!” bersamaan dengan itu, Kinna mendorong, berlari sekencang-kencangnya. Niko yang menyusul di belakang, ditendangnya juga.

“Resek lo, Ki! Tampilan doang kek Princess, dalemnya tetep Tarzan!” umpat Niko merasakan tendangan maut Kinna di bawah tubuhnya. Diliriknya Kalla. “Berantem lagi lo berdua?!”

Kalla malah memasang muka dingin. “Nik, Jordan bagian divisi, lo, kan?”

Niko memicing curiga. “I—iya, sih, kenapa emang? Tiba-tiba bahas Jordan segala?”

“Kirim dia ke cabang di Sidney. Gue mau dia gantiin Daru.”

“Apa?! Tapi, Kal—” Niko melotot, “Are you crazy? He is valuable asset in Jakarta branch!” Niko geleng-geleng sambil berdecak. “I think you really hates Kinna! You didn’t want her to be happy!”

***  

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
#SedikitCemasBanyakRindunya
3026      1101     0     
Romance
Sebuah novel fiksi yang terinspirasi dari 4 lagu band "Payung Teduh"; Menuju Senja, Perempuan Yang Sedang dalam Pelukan, Resah dan Berdua Saja.
Dear, My Brother
807      519     1     
Romance
Nadya Septiani, seorang anak pindahan yang telah kehilangan kakak kandungnya sejak dia masih bayi dan dia terlibat dalam masalah urusan keluarga maupun cinta. Dalam kesehariannya menulis buku diary tentang kakaknya yang belum ia pernah temui. Dan berangan - angan bahwa kakaknya masih hidup. Akankah berakhir happy ending?
Promise
607      339     7     
Romance
Bercerita tentang Keyrania Regina. Cewek kelas duabelas yang baru saja putus dengan pacarnya. Namun semuanya tak sesuai harapannya. Ia diputus disaat kencan dan tanpa alasan yang jelas. Dan setelah itu, saat libur sekolah telah selesai, ia otomatis akan bertemu mantannya karena mereka satu sekolah. Dan parahnya mantannya itu malah tetap perhatian disaat Key berusaha move on. Pernah ada n...
Say You Love Me
108      97     0     
Romance
Mendapati suaminya sendiri berselingkuh dengan adik tirinya, Adelia merasa hatinya hancur berkeping-keping. Ia akhirnya percaya, bahwa peringatan Raffi - sahabatnya - benar. Namun semuanya telah terlanjur terjadi, ia telah memilih melepaskan Raffi dan menerima Morgan sebagai pemilik hati.  Setelah pernikahannya rusak, hidupnya perlahan hancur, kemalangan terus menerus menimpanya. Hingga berak...
DEWS OF MOCCACINO ICE
561      386     0     
Short Story
I'm not the main character afterall!
1042      545     0     
Fantasy
Setelah terlahir kembali ke kota Feurst, Anna sama sekali tidak memiliki ingatan kehidupannya yang lama. Dia selama ini hanya didampingi Yinni, asisten dewa. Setelah Yinni berkata Anna bukanlah tokoh utama dalam cerita novel "Fanatizing you", Anna mencoba bersenang-senang dengan hidupnya tanpa memikirkan masalah apa-apa. Masalah muncul ketika kedua tokoh utama sering sekali terlibat dengan diri...
Dunia Tiga Musim
2981      1211     1     
Inspirational
Sebuah acara talkshow mempertemukan tiga manusia yang dulunya pernah bertetangga dan menjalin pertemanan tanpa rencana. Nda, seorang perempun seabstrak namanya, gadis ambivert yang berusaha mencari arti pencapaian hidup setelah mimpinya menjadi diplomat kandas. Bram, lelaki ekstrovert yang bersikeras bahwa pencapaian hidup bisa ia dapatkan dengan cara-cara mainstream: mengejar titel dan pre...
Luka Adia
707      430     0     
Romance
Cewek mungil manis yang polos, belum mengetahui apa itu cinta. Apa itu luka. Yang ia rasakan hanyalah rasa sakit yang begitu menyayat hati dan raganya. Bermula dari kenal dengan laki-laki yang terlihat lugu dan manis, ternyata lebih bangsat didalam. Luka yang ia dapat bertahun-tahun hingga ia mencoba menghapusnya. Namun tak bisa. Ia terlalu bodoh dalam percintaan. Hingga akhirnya, ia terperosok ...
Katamu
2804      1050     40     
Romance
Cerita bermula dari seorang cewek Jakarta bernama Fulangi Janya yang begitu ceroboh sehingga sering kali melukai dirinya sendiri tanpa sengaja, sering menumpahkan minuman, sering terjatuh, sering terluka karena kecerobohannya sendiri. Saat itu, tahun 2016 Fulangi Janya secara tidak sengaja menubruk seorang cowok jangkung ketika berada di sebuah restoran di Jakarta sebelum dirinya mengambil beasis...
Redup.
484      297     0     
Romance
Lewat setiap canda yang kita tertawakan dan seulas senyum yang kerap dijadikan pahatan. Ada sebuah cerita yang saya pikir perlu kamu dengarkan. Karena barangkali saja, sebuah kehilangan cukup untuk membuat kita sadar untuk tidak menyia-nyiakan si kesayangan.