Read More >>"> Call Kinna (BAB 5) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Call Kinna
MENU
About Us  

Sore hari setelah menjemput Thalia dari rumah sakit, Kalla menghabiskan waktunya menemani perempuan itu di salah satu cafe. Belakangan ini Thalia sibuk mengerjakan sebuah penelitian yang entah apa itu. Kalla hanya sempat mendengar cerita darinya, bahwa dia sedang melakukan research mengenai anak-anak berkebutuhan khusus. Kebetulan papa Thalia adalah seorang dokter senior di sana. Dan Thalia ditugaskan membantu di bagian kejiwaan. Sekaligus menyelesaikan penelitian itu.

Jadi, setiap sore Kalla akan menjemput Thalia di rumah sakit. Kadang juga seperti ini. Menemani perempuan itu mengerjakan penelitian. Ini sudah yang entah ke berapa kalinya mereka menghabiskan waktu di cafe menikmati senja. Sambil Thalia bercerita mengenai kemajuan-kemajuan dalam penelitiannya. Hanya saja Kalla tidak begitu mendengarkan. Entah otaknya yang terlalu dangkal untuk mencerna omongan Thalia. Atau memang Thalia yang selalu mengangkat topik terlalu berat, yang membuat otaknya nyaris meledak dengan berbagai research itu.

Akhirnya mereka akan asyik dengan kegiatan masing-masing. Thalia yang sibuk dengan penelitian dan laptopnya. Hingga hanya terdengar bunyi ketukan keyboard yang beradu. Sementara di hadapannya Kalla sibuk sendiri dengan ponsel dan mobile legends-nya. Sesekali mengunyah camilan mengumpati lawan mainnya dalam game.

“Are you hungry, Kal?” tanya Thalia disela kegiatan mengetik.

“Hmm?” Kalla menaikkan sebelah alisnya. “Dikit, sayang.”

“Kalau begitu, taruh dulu ponselmu. Kita makan.”

“Nggak, ah, sayang. Nanti aku kalah. Kamu aja.”

“Aku suapi, ya?”

“Hehe... Kalau itu, mau... Akh!”

Thalia hanya tersenyum sekilas. Perlahan menyingkirkan sebentar laptopnya yang masih menyala. Lalu mulai meraih sepiring lasagna yang menganggur. Pelan-pelan menyuapkannya ke mulut Kalla. Kalla menerima suapannya dengan lahap. Meski fokusnya masih terus tertuju pada layar game.

“Serius sekali,” gumam Thalia lembut. “Sepertinya seru juga main game itu.”

Kalla hanya nyengir, menoleh sekilas pada Thalia. “Hehe... Iya, sayang. Seru banget. Kamu pengen main gini juga?”

Diam-diam Thalia masih tersipu malu. Setiap kali Kalla memanggilnya ‘sayang’. Rasanya jantungnya berdebar begini. Mungkin sedikit berlebihan, tapi Thalia menyukai panggilan itu. Meski Thalia tidak bisa membalasnya. Seperti ikut memanggil Kalla sayang. Thalia bukan orang seperti Kalla yang mudah menebar kata sayang. Tapi diam-diam, Thalia sangat menyukainya.

Thalia masih ingat jelas saat Kalla menyatakan cinta. Saat Kalla tahu-tahu datang ke apartemennya, mengajaknya dinner di rooftop, dan membawakan seratus tangkai bunga. Lalu menyatakan cinta. Thalia tidak bisa menjawab karena terlalu shock dan terharu. Sampai Kalla tiba-tiba mengecup bibirnya. Dan Thalia tanpa sadar sudah membalasnya dengan malu-malu. Seolah mengiyakan pertanyaan sekaligus ajakan laki-laki itu.

“So, Thal, what are we?” tanya Kalla malam itu, di akhir ciumannya. Dengan napas memburu, dan rambut berantakan bekas keringat. Ulah ciuman mereka. “Can I call you babe, honey, or sayang?! Which one you like, My Thal?”

Thalia tahu, saat itu dia tidak bisa mengelak lagi. Meski dia malu, akhirnya dia mengangguk juga. Menerima ciuman bertubi-tubi dari Kalla. Secara langsung mengesahkan pernyataan cinta mereka.

“Gimana, sayang?” panggilan Kalla membuyarkan lamunan Thalia. Kembali pada realita. “Heh, ditanyain juga. Kamu mau nyoba? Sini, aku ajarin.” 

“Aku nggak bisa.” Thalia mendesah sedih. Tanpa sadar membaca salah satu musuh yang tertera di layar. Cendol Sayang? Thalia langsung tahu siapa yang bermain game dari seberang sana dengan kekasihnya itu. Menjadi pacar Kalla, sudah membuat Thalia paham segala hal tentang laki-laki itu. Meski, kadang, ada saatnya dia sedikit cemburu begini.

“Kamu main game dengan Kinna, ya?” tebaknya.

“Iya, sayang. Aku lagi main game lawan Cendol.”

“Game apa itu?”

“Mo—” dan jeritan Kalla melengking, menggebrak meja, saat sadar Kinna berhasil menembak nyawanya saat dia lengah. “Sialan! Sialan! Argh, mati punya gue! Awas lo, Ndol!”

Thalia hanya tersentak kaget. “Kal, Im sorry. Gara-gara aku, ya, kamu jadi kalah?

No, sayang. No. Ini bukan salah kamu. Ini salah Cendol,” Kalla kembali menekan-nekan touch-nya panik. “Kamu lanjutin aja bikin penelitiannya. Aku mau menangin game ini dulu.”

Thalia tersenyum masam. “Kalau capek main game-nya, istirahat dulu. Nanti lagi.”

Tapi Kalla tidak peduli. Malah membuka laman chat dan mengirim voice note, memaki-maki Kinna. “Heh, Cendol! Cebol! Kuntil Anak! Kutilang darat! Kelengkeng! Dasar jomblo nggak laku-laku! Lihat aja pembalasan gue, Ndol!”

Dan tawa Kinna melengking membalas voice note dari sana. “Ouch... Kasian! Talk to my hand! You go to hell! Bye!”

***

Di lain sisi Kinna tertawa puas. Sambil menggebrak-gebrak meja panjang di hadapannya, dikirimkannya berkali-kali voice note balasan pada si Kaleng. Rasanya puas sekali berhasil mengalahkannya dalam perang game kali ini. Biasanya Kalla yang akan unggul. Tapi sekarang, oh, jangan harap! Kinna akan menguasai permainan.

Satu balasan voice note dari Kalla terputar. Makian laki-laki itu langsung mengudara tanpa ampun. Berbagai umpatan muncul dari sana. “Heh, Cendol! Cebol! Kuntil Anak! Kutilang darat! Kelengkeng! Dasar jomblo nggak laku-laku! Lihat aja pembalasan gue, Ndol!”

Tak tanggung-tanggung, Kinna balas merekam. Meski diam-diam air matanya meluncur putus asa. “Mampus lo, Kal! Mampus! Mampus! Mampus—”

“Ki!”

Dan panggilan lembut Jordan menyadarkan Kinna. Meringis malu, Kinna segera melirihkan suaranya. Setengah terpaksa menutup ponsel. Jordan hanya tersenyum geli. Segera menyembunyikan ponsel milik Kinna.

“Makan dulu siomay-nya, Ki, keburu dingin. Main game-nya ntar lagi.”

“Ehehe, iya, Jor!” Kinna nyengir, menghapus sisa air mata di pipinya. Buru-buru memusatkan perhatian pada siomay di hadapannya. Memakannya dengan lahap seperti orang kelaparan berhari-hari.

“Are you okay?”

Kinna mengernyit. Paham kalimat Jordan barusan. Pasti selalu berujung pada Kalla. Hubungannya dengan Kalla memang membaik lagi belakangan ini. Mereka kembali bertengkar seperti dulu. Main game, berolahraga, dan segala aktivitas lainnya. Kinna memilih melupakan omong kosong mengenai buah kelengkeng itu. Lagi pula sudah hampir tiga bulan berlalu. Kinna sudah melupakannya. Meski itu hanya topeng belaka. Meski kadang, hatinya tetap terluka. Remuk tak bersisa.

Terlebih karena... Kalla yang sekarang sudah resmi berpacaran dengan Thalia? Oh, tentu saja dia juga orang yang pertama tahu! Juga orang yang pertama kali menangis! Jordan tahu semuanya! Lagi-lagi Jordan yang selalu ada untuknya! Tapi kenapa dia selalu mencari orang yang tidak ada untuknya?

Kinna hanya berpura-pura. Terus berpura-pura bahwa dirinya baik-baik saja. Bersikap seolah semua oke di mata orang lain. Tapi, sesungguhnya, tidak ada yang oke di matanya sendiri. Hampir setiap malam dia menangis. Menangisi hidupnya. Masalah keluarganya, masalah percintaannya, masalah ekonominya, belum lagi ditambah kejaran rentenir. Lalu saat pagi menjelang, dia harus berubah lagi menjadi bunglon. Berlagak menjadi manusia paling cuek sedunia. Paling tidak punya masalah dan hidup bahagia sebagai Kinnanthi yang kuat.

“Apa hubungan lo sama Pak Kalla sekarang?” kekeh Jordan setengah bercanda, “Him secretly affair?”

“Huh, mana sudi!” Kinna pura-pura tertawa. “Ya, nggaklah, Jor!”

“You still love him, right?”

“No!”

“Your eyes says anything! Don’t lie!”

Kinna mengaduk siomay di piringnya tanpa minat. Akhirnya mengakhiri makan.

***

Hari selanjutnya Kalla kembali menemani Thalia mengerjakan penelitian. Masih di cafe yang sama. Kali ini ditemani secangkir espresso kesukaan Thalia. Karena Thalia sangat suka kopi pahit. Berbeda dengannya yang lebih memilih memesan latte. Tapi hari ini berbeda. Karena Reval ingin ikut bersama pacarnya— Starla.

Kebetulan Starla juga lulusan psikologi. Sama seperti Thalia. Jadi, Starla ingin mempelajari penelitian yang dilakukan Thalia. Dan hanya dalam waktu singkat keduanya akrab. Wow, Kalla tidak menyangka Starla yang tipikal cewek bodoh dengan otak minim sepertinya bisa cocok dengan Thalia.

“Mbak Thal, tahu nggak, sih? Gue sama Reval suka banget berantem gara-gara hal nggak penting?! Reval juga sering banget lupain gue demi pasien-pasiennya!”

Kalla yang sejak tadi sibuk sendiri dengan game-nya jadi waswas. Apa selama ini Thalia sering menyindirnya diam-diam? Karena dia akan asyik sendiri bermain game online bersama Kinna. Tapi, sumpah, Kalla tidak bermaksud begitu. Kalla toh juga dikacangi Thalia jika kekasihnya itu sibuk dengan penelitian.

Reval yang tengah menenggak macchiato melirik abangnya itu. “You really loved Thalia?”

“Yes, of course.”

“So, married her!” tantang Reval lagi. “Atau gue dan Starla yang melangkah lebih dulu?!” sebelah alisnya terangkat sombong.

“Lo nantang gue?!” sinis Kalla.

Reval mengernyit bingung. Bagian mana dari kalimatnya yang seperti sebuah tantangan? Dirinya kini sedang memberi tawaran. Bukan tantangan. Kalau memang abangnya itu tidak siap menikah sekarang, biarlah dia saja dulu. Toh, orang tua Starla tidak keberatan. Dan mereka juga sudah pacaran enam tahun lebih. Reval tidak pernah gonta-ganti pacar, Beda dengan Kalla. Tapi Reval yakin, Thalia perempuan yang baik.

Menghela napas panjang, Reval memberi kode pada Starla untuk undur diri. Akhirnya Starla merapikan sling bag yang dipakainya. “Ya udah, gue pamit dulu, ya? By the way, Mas Kal sama Mbak Thal, kalian cocok banget, loh. Gue tunggu undangannya, ya.”

Kalla tersenyum sombong menyindir Reval. “Iya, itu pasti, La. Lo tunggu aja!”

Starla menahan tawa. “Oke, gue tunggu. Kapan-kapan kita double date, ya? Titip salam buat Kinna juga, Mas. Bye.

 Setelah Reval dan Starla menghilang, keadaan menjadi hening. Thalia kembali membuka laptopnya. Jemari lentiknya sibuk menari di sana. Kalla memilih meletakkan ponselnya. Melirik sekilas pada Thalia yang tampak serius di sana. Terlihat begitu anggun dan cantik dalam mode berpikir. Siapa yang tidak jatuh cinta pada wanita secantik Thalia? Hanya ada orang bodoh mungkin.

“Thal,” bisiknya lembut.

“Ya?”

Kalla menutup laptop di hadapan Thalia. “Can we— maksud aku, sehari aja, habisin waktu natep aku. Bukan natep layar laptop.”

Mau tak mau Thalia tertawa. “Why?”

“Cause I need your attention, sayang.”

Jemari lembut Thalia mengusak rambut Kalla. “So, I can get your attention too? One day without game?”

Kalla ikut tertawa. Perlahan maju memeluk Thalia. Melupakan ponsel dan laptop perempuan itu yang masih menyala bersama setumpuk kertas berserakan lainnya. “What about getting married?”

Thalia mendongak dalam pelukan Kalla. Sedikit tersentak kaget mendengar pertanyaan tiba-tiba Kalla. Tidak menyangka laki-laki itu akan bertanya demikian. Hatinya berdesir hangat. Antara senang dan tidak percaya.

Kalla tertawa geli mendapati reaksi Thalia yang seperti kemalingan uang. Bola matanya membulat sempurna menampakkan softlens-nya yang berwarna biru laut.

“What do you ask?”

“Nggak apa-apa. Just ask. Is this goods idea or not, sayang?”

Thalia menggeleng kebingungan. Kembali menyenderkan kepalanya dalam dekapan Kalla. Sesungguhnya itu seperti ide yang bagus. Entah mengapa, Thalia senang mendengarnya.

 “I don’t know, Kal. But, I think—”

“Yes? Please, say yes!” goda Kalla, menciumi hidung bangir Thalia. Mau tak mau Thalia tersipu malu. Balas mendongak, mengecup kening Kalla.

***

Kinna berlarian keluar dari kamar mandi. Masih mengenakan bathrobe warna pink miliknya. Dengan handuk melilit bagian rambut. Sambil menyalakan hairdryer dan mengeringkan rambut, Kinna berlarian menyambar ponsel. Di sana tertulis ratusan missed call tidak jelas. Dan pelakunya tidak lain tidak bukan pasti adalah...

Kaleng Busuk 100 missed called

Kaleng Busuk Temenin gue ngebasket, Ndol! Di lapangan Kemayoran! Buruan! Gue tunggu!

Dan Kalla tidak pernah berubah sampai sekarang. Kalimat ajakannya selalu lebih mirip seperti perintah yang ‘harus’ dilakukan. Bukan ajakan yang bisa diterima atau ditolak. Sambil menggerutu kesal, Kinna buru-buru membalasnya.

Me Ewh, ogah! Gue udh mandi! Lo ajak Thalia aj! Kan, dia pcr lo!

Kaleng Busuk Thalia gbs main basket, Ndol, Please!

Me Ow, trus Princess Thalia bisanya apa? -__-

Kaleng Busuk Masak! Yg jls lbh byk hal yg dia bisa daripada lo! Ngaca!

Me sialan! Lo mau ngajak gw olga atau tawuran?! Mending sm Niko sana!

Kaleng Busuk Gue dpn kos lo! Buka! Atau gue dobrak!

Sialan! Sialan! Kinna benar-benar ingin mengumpat rasanya. Kalla yang selalu menindasnya dengan semena-mena. Argh, Kinna bisa gila rasanya. Bagaimana dia bisa lepas dari laki-laki itu? Padahal Kalla sudah memiliki Thalia, untuk apa lagi keberadaan dirinya sekarang? Hanya untuk menjadi kambing congek di antara mereka berdua?!

Menyerah, Kinna buru-buru mengganti bathrrobe-nya dengan celana pendek training dan kaos hitam. Lalu segera dipakainya sepasang sneakers berwarna donker. Setelah menyambar handuk kecil beserta sebotol air mineral, menahan emosi, Kinna berlarian keluar. Menemukan maserati milik Kalla sudah parkir mentereng di sana. Tanpa perasaan, dilayangkan beberapa tendangan tanpa ampun ke badan mobil mahal itu.

“Kaleng, sialan! Sialan! Brengsek, turun lo!” teriak Kinna penuh emosi, terus menendang-nendang ban mobil. “Heh, lo mau ke sini ngajak gue olahraga atau tawuran, ha?! Bilang, sekarang!”

Kinna baru akan membuka pintu depan samping setir, sambil terus mengomel. Tapi yang tak disangka Kinna, Thalia sudah duduk di sana. Kinna langsung menutup mulut malu. “E... Eh, Thal... lo... ikut?”

Thalia hanya tersenyum tipis. “Iya. Aku mau nonton kalian main basket. Boleh, kan?”

Kalla yang duduk di samping Thalia mendongak songong. “Makanya jangan tereak-tereak! Malu ama tetangga lo! Ya, kan, sayang?!”

Astaga. Kinna langsung menciut putus asa. Kalau ada Thalia, artinya dia akan benar-benar jadi kambing congek, nanti?! Benar-benar Sakalla Tanubradja, sialan! Harusnya Kinna kabur saja tadi!

“Malah bengong, lagi! Buruan masuk, Ndol! Keburu maghrib, nih!”

Meski ogah-ogahan, Kinna membanting pintu juga.

Thalia menoleh. “Aku pindah belakang, ya? Temani Kinna.”

Thalia baru akan melangkah turun, Kinna segera menahan. “Ya ampun, Thal... Nggak... Nggak usah! Gue sendiri aja!”

“Nggak apa-apa, Ki.”

Dan Thalia benar-benar melakukannya. Pindah ke jok belakang menemani Kinna di sana. Menjadikan Kalla sebagai sopir. Diam-diam Kinna ingin menangis. Thalia yang terlalu baik. Thalia yang berhati malaikat. Kinna jadi merasa berdosa secara tidak langsung sering mengumpati Thalia. Astaga, Kinna benar-benar menyesal.

***

Bermain basket adalah salah satu olahraga yang disukai Kinna. Hanya saja sekarang tidak lagi. Ini menjadi sangat menjengkelkan karena Kalla terus menyerang. Melemparkan shoot jarak jauh berkali-kali. Membuat Kinna yang mungil kelabakan mengimbangi gerak-gerik tubuh tinggi jangkung, nan atletis milik Sakalla Tanubradja.

Berkali-kali pula Kinna kedapatan bengong menatap kagum laki-laki itu. Sialan. Siapa, sih, yang tidak kagum pada tubuh sempurna laki-laki itu? Kalla dan tubuh indahnya juga termasuk hal favorit yang Kinna sukai. Apalagi jika tubuh berototnya itu sudah mengalirkan keringat dingin di atas lapangan seperti sekarang. Meskipun Kinna hanya bisa mengakuinya secara diam-diam.

Sekarang Kinna berhasil menguasai bola. Asyik men-dribble mendekati ring. Tepat saat itu Kalla berlari menghadang. Tersenyum mengejek seperti biasa. “Ndol, Ndol, di belakang lo!”

Tentu saja Kinna tahu itu hanya omong kosong saja untuk merebut bolanya. Siapuh, siapa yang percaya?!

“Minggir, lo, Kal!” ancam Kinna sambil terus men-dribble, “Kalau lo nggak mau gue tendang, munduran, gih!”

“Oh, tidak semudah itu Cendol!”

Dan Kalla terus mengejar. Kinna tidak menyerah begitu saja. Terus menghindar dari gerakan gesit laki-laki itu. Tubuhnya mematung tiba-tiba saat Kalla iseng menarik kuncir rambutnya. Membiarkan helai demi helai rambutnya berkibar udara.

“Apaan, sih?!” dengus Kinna kesal.

Kalla hanya terkekeh. “Cakep juga lo, Ndol! Mau nggak—” ucapannya menggantung.

Kinna mengernyit. “Mau apaan?!”

“Will you marry me?”

Tentu saja Kinna tersentak kaget. Bola di tangannya sampai meluncur tiba-tiba bersamaan dengan tubuhnya yang mematung.

“And you’ll be my wife?” suara Kalla semakin lirih.

Apa dirinya bermimpi sekarang? Ini seperti mimpi. Telinganya tidak salah dengar, kan? Kinna tahu hatinya terus berteriak sekarang. Yes, I will. I will. Tanpa sadar nyaris menjawabnya gemetaran.

“Ye... Yes... I—”

Kalau Kalla tidak segera tertawa ngakak mendengarnya. Lalu merebut bola di tangan Kinna.

“Sialan! Sialan lo, Kal!” pekik Kinna saat sadar dia sudah dibodohi. Dan di belakangnya sekarang Kalla sudah men-dribble bola dan melemparkan shoot jarak jauh. Masuk ke dalam ring dengan mulus.

“Tripple point!” ejeknya.

“Lo bener-bener! Sakalla Tanubradja—” Kinna berlarian mengirimkan tendangan ke paha Kalla.

Kalla malah tertawa. Perlahan menatap Thalia yang duduk di bangku penonton sambil memangku laptopnya. Seperti biasa meneruskan penelitian. Sesekali Thalia akan tersenyum melambaikan tangan pada mereka. Kalla akan membalas dengan ciuman jarak jauh. Membuat Kinna mual mendadak— atau lebih tepatnya cemburu.

“How?”

“Apanya?!” tandas Kinna makin sebal.

“Percobaan lamaran gue tadi?”

“Percobaan lam—” seketika mulut Kinna membeku tak percaya. Bola matanya membelalak menatap Kalla. “Lamaran?”

“Iya, gue mau tunangan sama Thalia, Ndol.”

Tentu saja Kinna semakin mematung. “Tu— tunangan?” suaranya hilang tertelan senja. Nyaris tak bisa berbicara. “Lo... dan Thalia? This is not joke?”

Dan Kalla punya sederet prestasi dakjal dalam menggaet wanita. Mantan pacarnya entah sudah berapa gudang jika dikumpulkan jadi satu. Rata-rata hubungan percintaannya minimal bertahan satu minggu dan paling mentok satu bulan. Kalla tidak pernah serius. Tapi, baru kali ini Kinna melihatnya seserius ini. Tidak ada keraguan dalam binar matanya.

“Are you serious, Kal?” bisik Kinna lagi, makin putus asa. Kalla menjawabnya dengan anggukan mantap.

“Thalia beda dari yang lain, Ndol. Pertama kenal dia, gue udah ngerasa she’s the one. She has everything that I need. Semua kriteria istri yang gue cari ada di dia. Gue nggak pernah ngerasa se-klik ini. Dan yang paling penting...”

“Yang paling penting?” ulang Kinna nyaris tanpa suara.

“Thalia berada di kasta yang sama kayak keluarga gue. Jadi, Mama dan Papa gue sangat setuju. Cause this is Thalia Adiswara Soeharisman. Ya, lo tahulah, Ndol, Mama gue itu kayak gimana? Mana bisa dia nerima mantu sembarangan. Nggak jelas bibit, bebet, bobotnya. Gue bersyukur banget bisa ketemu Thalia secepet ini. Reval juga udah ngebet kawin soalnya.”

Kinna hanya tertawa hambar. Jadi, tidak penting siapa yang datang lebih dulu? Karena toh, dia tidak akan pernah berada di posisi itu.

Dan gue nggak akan pernah masuk dalam kategori itu. Ya, kan, Kal?

Tidak. Tidak. Kinna tidak boleh menangis sekarang. Tidak di sini. Tidak di hadapan Sakalla Tanubradja. Karena itu sangat memalukan dan menyedihkan baginya.

“Gue setuju... Sukses, ya, Kal...”

Kalla tertawa, mengacak rambut Kinna gemas. “Of course. Thanks, ya, Ndol. Saat kayak gini, gue butuh banget curhat sama lo. Soalnya cuma lo yang ngerti gue, hehe. Niko mah boro-boro. Gue curhatin malah ketawa mulu!”

Kinna masih pura-pura tersenyum. Tepat saat itu Thalia datang mendekat. Membawakan dua botol air mineral dan sebuah handuk kecil. Kinna tahu, hatinya diam-diam semakin terluka menatapnya yang sempurna. Tubuhnya yang tinggi semampai. Wanginya yang berkelas.

“Udah main basketnya, Kal?”

Kalla mengirimkan cengiran pada Thalia. “Eh, sayang. Iya, udahan, dong. Udah panas banget ini soalnya badanku.”

Seolah paham, Thalia dengan telatan mengelap keringat di sekujur muka kekasihnya menggunakan handuk yang dia bawa. “Coba nunduk dulu. Aku bantu bersihin, Kal.”

“Ih, sayang... Kamu mah sweet banget.” Kalla hanya tertawa memiringkan muka ke sana-ke mari. “Sini, dong. Sini juga. Sini. Sini.”

“Kamu ini!” ejek Thalia gemas.

Sialan. Bahkan Kinna menonton semuanya seperti orang bodoh. Oh, terima kasih pada kedua insan manusia yang telah mempertontonkan adegan manis padanya. Semakin membuat hatinya menangis teriris.

Thalia yang tersadar hanya meringis malu pada Kinna. “Eh, ini minum buat kamu, Ki.”

“Haha...” Kinna memaksakan tawa merampas botol minuman itu. “Oke, oke, thanks, ya, Thal. Nggak usah peduliin gue. Kalian lanjut aja, hehe.” 

“Jomblo, sih!” Kalla hanya tertawa mengejek Kinna. “Oh, ya, Ndol, gue mau nganter Thalia pulang ke rumah papinya. Arahnya beda sama jalan pulang.”

“Oh, jadi gue disuruh pulang sendiri? O... Oke, gue pesen gojek aja. Santai.”

“Nggak. Nggak. Gue udah telpon Niko buat jemput lo. Tunggu sini, ya. Niko udah otw.”

“O—ke!”

Entah sudah berapa kali oke yang diucapkan Kinna tadi. Meski hatinya tidak oke sama sekali. Bahkan sampai Kalla dan Thalia pamit. Melambaikan tangan dari balik kaca jendela mobil dengan mesra, meninggalkannya sendirian di lapangan ini. Kinna masih pura-pura tersenyum. Walau beberapa detik kemudian nyaris dia lemparkan sebuah kerikil ke arah kaca maserati yang melaju itu. Jahat, makinya dalam hati. Dan Kinna benar-benar merasakannya. Air matanya meluncur turun. Deras seperti hujan sore belakangan ini.

Tidak. Dia tidak ingin menangis. Dihapusnya kasar, tapi air mata itu tak kunjung berhenti. Kinna memaki dalam hati. Terus mengusap menggunakan kaosnya yang kotor. Mobil marcedes hitam milik Niko semakin dekat melaju. Nyaris parkir di hadapannya.

Kinna menatap sekeliling. Menemukan sebuah bekas pecahan kaca di belakang taman samping lapangan. Tanpa pikir panjang, diraihnya kaca itu dan digoreskannya ke salah satu sisi lengan. Membiarkan darah mengalir dari sana. Tapi Kinna tak peduli. Rasanya tidak sebanding dengan luka di hatinya. Sekarang Kinna punya alasan mengapa dia menangis sore ini.

Dan mobil Niko perlahan mendekat. Bersama bunyi klakson yang terus berdecit. Kinna segera berlarian masuk. Kebetulan ada Dipta juga di sana.

“Why are you crying?” tanya Niko bingung saat Kinna masuk.

Tangisan Kinna malah mengencang. “Sakit, Nik... Sakit... Gue jatoh, Nik... Huhu, di semak-semak... Kena beling... Ini, nih!”

Niko mencelos. “Ya elah, gituan, doang, nangis! Bocil aja nggak nangis, Ki!”

“Tapi ini dalem, huhu... Dip... Dip... Lihat, deh,” Kinna ganti mengiba pada Dipta, tapi percuma, “Dip—”

“Dipsy! Lala!” Dipta malah tertawa mengejek.

 “Pooh!” sahut Niko ikut tergelak.

“Beneran sakit, anjir!” dengus Kinna akhirnya, masih terus terisak kencang, “Ya udah, buruan jalan! Capek gue ngomong ama kalian! Mau istirahat! Sakit badan gue!”

 ***

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Buku Harian Ayyana
21087      4599     6     
Romance
Di hari pertama masuk sekolah, Ayyana udah di buat kesel sama cowok ketus di angkatannya. Bawaannya, suka pengen murang-maring terus sama cowok itu! Tapi untung aja, kehadiran si kakak ketua OSIS bikin Ayyana betah dan adem tiap kali dibuat kesel. Setelah masa orientasi selesai, kekesalan Ayyana bertambah lagi, saat mengetahui satu rahasia perihal cowok nyebelin itu. Apalagi cowok itu ngintilin...
If Only
337      213     9     
Short Story
Radit dan Kyra sudah menjalin hubungan selama lima tahun. Hingga suatu hari mereka bertengkar hebat dan berpisah, hanya karena sebuah salah paham yang disebabkan oleh pihak ketiga, yang ingin menghancurkan hubungan mereka. Masih adakah waktu bagi mereka untuk memperbaiki semuanya? Atau semua sudah terlambat dan hanya bisa bermimpi, "seandainya waktu dapat diputar kembali".
The Diary : You Are My Activist
13377      2315     4     
Romance
Kisah tentang kehidupan cintaku bersama seorang aktivis kampus..
Tuan Landak dan Nona Kura-Kura
2537      853     1     
Romance
Frans Putra Mandala, terancam menjadi single seumur hidupnya! Menjadi pria tampan dan mapan tidak menjamin kisah percintaan yang sukses! Frans contohnya, pria itu harus rela ditinggal kabur oleh pengantinnya di hari pernikahannya! Lalu, tiba-tiba muncul seorang bocah polos yang mengatakan bahwa Frans terkena kutukan! Bagaimana Frans yang tidak percaya hal mistis akan mematahkan kutukan it...
KESEMPATAN PERTAMA
495      346     4     
Short Story
Dan, hari ini berakhir dengan air mata. Namun, semua belum terlambat. Masih ada hari esok...
Ludere Pluvia
928      534     0     
Romance
Salwa Nabila, seorang gadis muslim yang selalu berdoa untuk tidak berjodoh dengan seseorang yang paham agama. Ketakutannya akan dipoligami adalah penyebabnya. Apakah doanya mampu menghancurkan takdir yang sudah lama tertulis di lauhul mahfudz? Apakah Jayden Estu Alexius, seorang pria yang tak mengenal apapun mengenai agamanya adalah jawaban dari doa-doanya? Bagaimanakah perjalanan kisah ...
Unforgettable
517      359     0     
Short Story
Do you believe in love destiny? That separates yet unites. Though it is reunited in the different conditions, which is not same as before. However, they finally meet.
REMEMBER
4156      1254     3     
Inspirational
Perjuangan seorang gadis SMA bernama Gita, demi mempertahankan sebuah organisasi kepemudaan bentukan kakaknya yang menghilang. Tempat tersebut dulunya sangat berjasa dalam membangun potensi-potensi para pemuda dan pernah membanggakan nama desa. Singkat cerita, seorang remaja lelaki bernama Ferdy, yang dulunya pernah menjadi anak didik tempat tersebut tengah pulang ke kampung halaman untuk cuti...
Tak Segalanya Indah
658      441     0     
Short Story
Cinta tak pernah meminta syarat apapun
Carnation
429      309     2     
Mystery
Menceritakan tentang seorang remaja bernama Rian yang terlibat dengan teman masa kecilnya Lisa yang merupakan salah satu detektif kota. Sambil memendam rasa rasa benci pada Lisa, Rian berusaha memecahkan berbagai kasus sebagai seorang asisten detektif yang menuntun pada kebenaran yang tak terduga.