T H E Y O U T H C R I M E
18
HARI TERAKHIR PTS diwarnai dengan senyuman bahagia dari seluruh siswa, bukan hanya mengakhiri kegiatan belajar yang melelahkan tetapi juga menantikan libur panjang akhir semester satu di pertengahan bulan Desember.
Para guru merayakan hari terakhir mereka mengawasi para siswa dengan mengadakan jalan-jalan ke taman kota. Untuk guru sekolah tetap, semua makanan dan minuman digratiskan lain halnya dengan guru sekolah honorer yang harus membayar berbagai keperluan jika ingin ikut serta. Mahendra yang tahu bahwa posisinya tidak begitu tinggi maka ia memilih untuk berpesta sendiri saja.
Adelia masih dengan membawa buku sejarah yang belum ia kembalikan sedang duduk bersama duo fotografer, Baskara dan Vincent. Mereka bertiga saling membicarakan perihal hasil PTS serta apa saja mata pelajaran yang kemungkinan mendapat nilai dibawah KKM alias remidi.
"Fisika sudah pasti. Apalagi matematika!" sahut Vincent melipat tangannya dibelakang leher dan bersandar pada batang pohon pulai.
"Bahasa Inggris! Nilaiku pasti jeblok di bidang itu!" celetuk Baskara saat ia sedang sibuk-sibuknya memotret sekumpulan siswi yang berjalan bergandengan tangan.
"Adel, bagaimana denganmu? Adelia?"
Ketika namanya disebut barulah Adelia tersadar dari lamunannya, entah sedang memikirkan apa. Ia menjawab dengan sedikit terbata-bata. "Aku optimis tidak akan remidi di semua mata pelajaran!"
"Ah, kamu terlalu percaya diri. Coba renungkan dulu apa saja pelajaran tersulit yang bisa membuatmu harus ikut remidi," tukas Vincent yang asyik mengunyah permen karet.
"Menurutku tidak ada. Sama sekali tidak, aku harap juga begitu."
"Adel, jujur saja pada kami. Kenapa kamu murung begitu? Wajahmu seperti orang yang habis diputusin pacar! Eh, tidak mungkin kan?"
"Huh, mana ada lelaki yang mau berpacaran dengan gadis hitam sepertiku?"
"Ah, itu kan cuma pendapatmu saja. Siapa tahu ada laki-laki yang tertarik denganmu, hanya waktu yang tahu."
"Katakan saja bahwa kamu suka sama Adelia kan, Bas?"
"Hei, kau bilang apa?! Mulutmu itu ya seperti keran yang bocor!"
Mahendra mendekati perempuan berambut ikal yang sedang terduduk lemas dibawah pohon pulai.
*Halo, anak-anak. Kalian Vincent dan Baskara ya? Bapak dengar-dengar kalian suka sekali memotret sampai bawa kamera DSLR segala."
"Halo, Pak Hendra. Iya, itu benar. Apalagi si Baskara ini selain suka memotret dia juga suka gadis yang duduk di–" Baskara membekap mulut lelaki berkacamata itu hingga napasnya megap-megap sebab pasokan oksigen dicegah masuk oleh tangan kotor milik Baskara. "Diam, keran bocor!"
"Tanganmu kotor, bekas makan sambal terasi ya?! Ih, jijik!"
"Oh, ada Adelia. Bagaimana perasaan kamu setelah PTS? Kamu kelihatan murung. Jangan-jangan cintamu habis ditolak?"
"Pak. Saya sudah dua kali mendapat pertanyaan yang sama. Saya bukan lagi ditolak atau diputusin pacar! Saya cuma ... khawatir."
"Khawatir kenapa, Adel? Ayo, ceritakan saja sama Bapak. Ini rahasia ya, cuma kamu dan Bapak yang tahu."
"Pak, kami tetap bisa mendengar lho. Izinkan kami ikut mendengarkan sebagai teman yang baik untuk Adel!"
"Jadi begini ceritanya, Pak, Vincent dan Baskara ...."
"Tisu mana tisu? Siapa yang taruh bawang di sini?"
"Adelia. Kamu pasti merasa sakit kalau tidak bisa mencapai apa yang kamu inginkan dan impikan tetapi percayalah bahwa tidak ada yang tahu nanti atau besok. Hidup ini sesungguhnya masih penuh dengan misteri. Daripada terus khawatir dengan hal-hal yang belum tentu akan terjadi cobalah untuk tenang sejenak dan lupakan segala beban yang ada dipikiran. Nilai memang paling utama dari PTS, ujian, atau ulangan tetapi kejujuran tetaplah nomor satu. Jangan overthinking, ya. Kamu mungkin perlu istirahat sejenak. Omong-omong dua temanmu ini bisa jadi teman curhat, kalian baik-baik ya sama perempuan! Jadilah gentleman!"
"Siap, komandan!"
"Halo Jayadi! Kamu mau diantar pulang?"
"Tidak, Pak. Sebentar lagi saya akan dijemput sama Bapak saya."
"Omong-omong warna apa hari ini?"
Jayadi menunjukkan kertas yang ia warnai dengan pensil hitam. Ya, masih sama seperti kemarin-kemarin. Agaknya kebiasaan anak SD itu sudah menjadi hobi yang menyenangkan, mencoret-coret warna sesuai suasana hatinya. Ia tersenyum memperlihatkan kertas putih yang dipenuhi dengan dua warna. "Tadi pagi saya tidak sempat sarapan karena bangun terlambat, saya sedih. Makanya saya warnai dengan hitam. Lalu saat di sekolah saya begitu bersemangat makanya ada warna merah dibawahnya. Hehe."
"Jayadi, besok sudah mulai liburan semester ya?"
"Iya, Pak. Saya senang sekali bisa melupakan tugas sekolah sebentar dan bermain sepuasnya." Jayadi berusaha tersenyum tetapi Mahendra tahu bahwa anak itu tidak mengharapkan akan kembali ke rumah lagi.
"Kamu merasa senang di rumah?"
"Tentu aja, Pak! Kata orang-orang, rumahku istanaku. Ya, saya suka tinggal di istana bersama orang tua. Cuma kalau sudah liburan saya pasti merasa sangat capek ... capek bermain. Hehehe. Pak, orang tua saya sudah tiba. Dadah!"
RUMAH MAKAN SAFERA 05.30 PM
Alunan musik piano menemani para tamu asing dan lokal yang sedang menikmati hidangan barat dan masakan khas Indonesia seperti ayam betutu dari Bali dan ketoprak dari Jakarta. Suasana makin hangat ketika melodi lembut nan tentram dimainkan yang membuat para tamu enggan beranjak dari kursi duduknya. Bukan hanya sebagai pemuas lidah dan perut, rumah makan kadang jadi tempat pelarian dari segala masalah dan tugas yang selama ini selalu menghampiri, setidaknya memberikan pengalaman yang tidak terlupakan. Apalagi peranan dari seorang pianis turut serta mengaduk perasaan jiwa-jiwa yang butuh ketenangan. Pianis itu ialah seorang gadis berambut hitam yang lihai menekan tuts piano dengan gesit dan lincah, tak lain dan tak bukan ialah Adelia.
Adelia sebelumnya sempat dilanda bimbang ketika ditanya oleh pemlik rumah makan, mengapa ia sangat ingin bermain piano terlepas bahwa sekarang itu menjadi pekerjaan paruh waktu yang amat menguntungkan baginya tetapi dibalik itu sesungguhnya ia adalah salah satu jiwa yang ingin mencari pelarian dari tempat tinggalnya sendiri, rumah. Seolah bukan lagi tempat terhangat dan nyaman untuk berkeluh kesah, ia memilih mencari tempat lain untuk menyembuhkan hatinya yang begitu sakit.
Kemampuannya dalam menyeimbangkan melodi piano memang tidak perlu diragukan, ia bisa langsung mengubah tempo cepat jadi lambat, dari awalnya serius jadi lebih tenang begitupun sebaliknya. Hanya dengan inilah Adelia bisa merasa sedikit tenang, sejenak menakuh dari masalah yang akan datang menghampiri dirinya.
Pukul sebelas malam. Siapa coba yang berani pulang saat sudah menginjak larut malam? Adelia tidak menganggap ini masalah, selama ia tidak keluyuran ke tempat yang gelap, aman-aman saja. Seusai pemilik rumah makan mengemas barang-barang, ia memanggil Adelia yang tampak beristirahat sambil memainkan ponselnya.
"Nak, terima kasih untuk hari ini. Kerja bagus. Besok kamu ke sini lagi ya, untuk jamnya nanti Ibu kasih tahu lebih lanjut lewat ponsel."
Adelia menunduk dengan hormat seraya menerima amplop cokelat berisi uang yang warnanya merah semua, beberapa ada juga warna biru. Kalau ditaksir sih bisa mencapai sejuta rupiah atau lebih. Ya, jangan dulu fokus dengan itu. "Justru saya yang harusnya berterima kasih. Selamat malam, Bu. Sampai jumpa besok!"
"Hati-hati di jalan ya, Adel!"
Adelia berjalan
"Miras? Mungkin aku bisa dapat penghasilan yang lebih besar kalau berbisnis minuman ilegal itu."
"Hei, janda muda dari Papua ya? Apa yang kamu lakukan ditengah malam begini?"
"Saya dari Maluku! Eh, Anda barista ya? Pakaiannya rapi sekali, saya pernah melihat pakaian seperti ini sekali. Saya ke sini cuma numpang lewat, Bang."
"Kalau numpang lewat di sini tidak gratis, harus bayar."
"Berapa?"
"Bukan bayar pakai uang. Tapi bayar pakai tubuhmu."
Adelia menendang area kemaluan si laki-laki yang berprofesi sebagai barista itu. Oh, tepat sekali dibijinya. Mungkin sudah pecah atau malah terbelah jadi dua. Intinya ia tidak mau tahu. "Lelaki mesum!"
"WADAW!"
"Bang, sakit ya?"
"Kau pikir bagaimana rasanya kalau ditendang?!"
"Ah, abang lemah. Begini saja langsung menyerah bagaimana kalau sudah punya pasangan nanti? Oh, lelaki mesum macam abang tak mungkin didekati wanita! Jangan pikir saya ini gadis bermata keranjang! Permisi, saya pergi dulu!"